commit to user
sebenarnya.Hal ini sesuai dengan karya sastra berupa novel yang banyak mengisahkan tentang kehidupan manusia.
2. Kajian tentang Sosiologi Sastra
a. Pengertian Sastra
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sehingga, berbatasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau
instruksi. Akhiran –tra biasanya menujukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran,
seperti silpasastra buku arsitektur, kamasastra buku petunjuk mengenai petunjuk seni cinta Teeuw, 1984 : 23.
Selanjutnya Teeuw 1984 :22 juga merumuskan nama sastra sebenarnya merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang digunakan dalam
masyarakat bahasa asing, khususnya eropa. Dalam bahasa Inggris sastra dinamakan literature, dalam bahasa Jerman sastra dinamakan literature, dalam
bahasa Perancis literature. Nama susastra digunakan yang kurang lebih berarti “tulisan yang indah” juga digunakan dalam masyarakat Eropa tersebut:
letterkunde dalam bahasa Belanda, belles-letters dalam bahasa Perancis. Merujuk dari pendapat Teeuw di atas bahwa dalam usahanya untuk
merumuskan pengertian sastra memusatkan banyak perhatian pada pengertian tulisan dengan berbagai cirinya.
commit to user
Rene Wellek dan Austin Waren memberikan pengertian sastra sebagai berikut:
“Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik- teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial
merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,
walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan manusia.” Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:109
Berhubungan dengan istilah sastra, Atar Semi 1993:8 menjelaskan sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Jakob Sumardjo dan Saini K. M. 1994:3 menjelaskan bahwa sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra juga dapat diartikan sebagai hasil kreativitas pengarang yang
bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Sastra dianggap sebagai karya yang berpusat
pada moral manusia humanitat, yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan pada sisi lain pada filsafat Darma dalam Retno Winarni, 2009:7.
Dari beberapa istilah sastra di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli memiliki persamaan bahwa sastra sama-sama menggunakan media atau perantara
berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi bagi masayarakat. Bahasa diciptakan oleh manusia berdasarkan tempat tinggalnya. Namun, kosa kata dalam
bahasa merupakan kesepakatan antar masyarakat. Selain bahasa, persamaan lain
commit to user
adalah obyeknya adalah manusia. Ungkapan karya sastra manusia tersebut berupa kehidupan sehari-hari atau hasil imajinasi pengarang.
Sementara itu Sastra menurut Luxemburg 1984 : 5 merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman
menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan meyempurnakannya.
Merujuk dari pendapat di atas, sastra memang hidup dan berasal dari masyarakat. Masyarakat mampu menciptakan karya sastra merupakan masyarakat
yang memiliki daya kreatifitas yang tinggi. Hasil karya tersebut akan dinikmati oleh pembaca dan dijadikan pandahuan dalam kehidupan. Di mana karya sastra
mempunyai ide, gagasan dan nilai-nilai kehidupan yang baik dan patut diikuti oleh masyarakat.
Secara intuitif, kita ketahui bahwa sastra termasuk dalam seni, tetapi juga lebih dari seni.Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang
lebih luas daripada yang bersifat estetik seni saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi dan etika.Dengan demikian sastra
cenderung menjadi lebih penting dan menarik perhatian pembaca dari pada bentuknya sebagai penjelmaan pengungkapan seni. Pembicaraan sastra lebih
banyak berhubungan dengan kehidupan yang dipaparkan dalam karya sastra daripada masalah estetikanya Sastrowardoyo dalam Nani Tuloli, 2000:2.
Sementara itu Nani Tutoli 2000:2 mengatakan bahwa sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran.
commit to user
Penggambaran atau imajinasi ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi
murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup rekaan, atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.
Merujuk dari beberapa pendapat di atas, untuk memudahkan pengertian sastra, perlu dikembangkan beberapa pandangan sebagai berikut:
b. Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, yang berlaku pada puisi dan prosa. Misalnya terdapat paralisme, kiasan,
penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, peristiwaan dan sudut pandang yang bermacam-macam. Maka untuk mengerti sastra kita
haru kembali kepengetahuan tentang bahasa.
c. Ada anggapan bahwa sastra cenderung sebagai fiksi. Fiksionalitas ini dapat dikaji dalam sastra tulis maupun sastra lisan, juga terdapat
pada semua ragam puisi dan prosa d. Penggunaan tanda-tanda khusus dalam sastra, memungkinkan
munculnya wawasan bersifat umum tentang keberadaan menusia sosial atau budaya dan intelektual.
e. Dengan memahami sastra sebagai sebagai karya fiksi, serta hubungan
antara yang khusus dan umum, kita dapat
menginterpretasikan sastra sesuai dengan wawasan kita. Dalam teks sastra, secara implisit terdapat banyak “tempat terbuka” bagi
penafsiran dan pemahaman.
f. Penciptaan karya sastra berada pada ketegangan antara kreatikvitas dan konvensi. Karya sastra itu di satu pihak tergantung terkait
dengan konvensi sastra, tetapi pada sisi lain dituntun keaslian dan kraatifitas peniptaan Nani Tutoli, 2000:2-3
Definisi-definisi sastra yang ada dijadikan patokan tentang pengertian sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan
gambaran pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh Luxemburg 1984:4 digolongkan menjadi empat bagian yang meliputi:
a. Definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, sering dilupakan antara definisi deskriptif mengenai sastra itu apa. Dengan devinisi
commit to user
evaluative yang berkaitan dengan nilai yang menentukan suatu karya bernilai tinggi atau tidak.
b. Definisi yang merupakan definisi ontologism, yaitu definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan
bahwa hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai atau pembaca sastra, norma dan deskripsi sering dicampurbaurkan
sehingga tidak disadari bahwa sementara karya untuk orang ini termasuk sastra sedang munurut orang lain bukan sastra.
c. Definisi yang terlalu dititikberatkan pada contoh sastra Barat. Khususnya sejak jaman Renaissance, tanpa memperhitungkan
sastra di luar jaman tersebut. Padahal di luar kebudayaan sastra Eropa, banyak dijumpai sastra yang berbeda yang mempunyai
kekhasan.
d. Definisi yang hanya berkecenderungan dengan jenis-jenis sastra tertentu sehingga tidak relevan apabila diterapkan pada semua jenis
sastra. Pengertian tentang sastra Luxemburg, 1984: 3-4 juga berlaku pada
zaman romantik. Beberapa pengertian sastra pada zaman romantik; a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah
imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di alam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra
terutama merupakan sesuatu luapan emosi yang spontan. b. Sastra bersifat otonom , tidak mengacu pada yang lain, sastra tidak bersifat
komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalil ini masih bergema di hampir setiap pendekatan terhadap sastra.
c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang
mendalam antara bentuk dan isi. d. Sastra menghindarkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan.
Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya ada pertentangan
commit to user
antara yang di sadari dan yang tidak di sadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnnya.
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa sastra adalah hasil
kreatifittas masyarakat yang berupa ide, pengalaman, pemikiran dan perasaan melalui media bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imajinasi
ini dapat berupa titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan
dengan kenyataan hidup rekaan, atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.
b. Pengertian Sosiologi
Nyoman Kutha Ratna 2011:1 menjelaskan bahwa sosiologi berasal dari akar kata sosio Yunani socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman
dan logi logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soiosocius berarti masyarakat,
logilogos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan evolusi masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat , sifatnya umum, rasional dan empiris.
Soerjono Soekanto 2010: 4 merumuskan “secara etimologis sosiologi sastra berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata
Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:
commit to user
Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di
sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan
masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga
mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. Soerjono
Soekanto, 1993: 395
Swingewood dalam Faruk, 2010: 1 mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Berkaitan dengan pendapat di atas, Giddens dalam Faruk 2010:18
mengatakan bahwa : “…The study of human sosial life, groups, dan societies.it is a dazzling
and compelling enterprise, having as its subject matter our own behavior as sosial beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysis
of passing encounters between individuals in the street up to the investigation of global sosial processes.”
Bertumpu pada penjelasan di atas bahwa Giddens dalam Faruk 2010:18
mengatakan studi tentang kehidupan manusia, kelompok dan masyarakat.Studi tersebut merupakan permasalahan manusia dalam kehidupan sosial. Ruang
lingkup sosiologi sangat luas mulai dari individu sampai proses sosial dalam masyarakat.
Selanjutnya Pitirim Sorokin dalam Soerjono Soekanto 2010: 17 mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan
moral, hukum dengan ekonomi, gerak masayarakat dengan politik dan lain sebagainya;
b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala- gejala non sosial misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya;
commit to user
c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala – gejala sosial. Abdulsyani 2007:5 mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat.Sosiologi berkembang di dalam masyarakat.Masyarakatlah yang menjadi obyek ilmu.Baik itu dilihat dari
aspek sosial, aturan, adat-istiadat, kebudayaan dan sebagainya. Sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana ditemukan dan
dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan Faruk, 2010:17. Sebuah usaha untuk menemukan aturan, hukum dan pola-pola yang berulang dan
berlangsung dalam waktu relatif lama. Hal ini disebabkan obyek pengalaman dalam kehidupan sehari-hari berlangsung tak beraraturan.Pengalaman tersebut
senantiasa berubah, hilang sesaat atau muncul kembali. Michael
Zeratta dalam Elizabeth dan Tom Burns 1973:11 mendefinisikan sosiologi dalam novel:
In the sociology of the novel, sociologi is dealing with an art. True, narrative fiction is contained within language and takes most of its own
character from it; the form and content of the novel derive more closely from sosial phenomena than do those of other arts, except perhaps
cinema; novels often seem bound up with particular moments in the history of society; we are none the less concerned with a specific art.
Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni.Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk
karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film; novel
seringkali terlihat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia.
commit to user
Suatu paradigma sosiologi mempelajari apa yang disebut sebagai institusi- institusi sosial dan struktur sosial. Institusi sosial menurut Ritzer dalam Faruk,
2010:19 adalah nilai-nilai dan norma-norma bersama yang diwujudkan dalam suatu kebudayaan atau sub kebudayaan. Atau dalam pengertian yang lain:
“aways of actingand thingking that the individuals find pre- established,…already made,…imposed more or less in him … and that will
survive him” Sedangkan struktur sosial adalah
“the net works of sosial relations in which processes of sosial interaction
become organized and through which sosial positions of individuals and subgroups become differentiated”
Berdasarkan penjelasan di atas institusi sosial menurut Ritzer dalam Faruk, 2010:19 adalah cara berfikir seorang individu sudah ada dalam dirinya.
Strutur sosial merupakan hubungan interaksi sosial yang terorganisasi dalam individu dan kelompok sosial yang berbeda.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang timbul dalam
masyarakat yang bersifat umum, rasional dan empiris.
c. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang
telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian- penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah
commit to user
ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut.
Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan- persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Istilah sosiologi sastra dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan
antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya.Mereka
memandang bahwa karya sastra baik aspek isi maupun bentuknya secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu Abrams,
1971:178. Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak
sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda Damono, 1978:3 berkaitan
dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra
berdasarkan prinsip otonomi sastra. Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang
terjadi dewasa ini das sein bukan apa yang seharusnya terjadi das solen. Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut
Nyoman Kutha Ratna 2011: 2 ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan
commit to user
antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:1 Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya;2 Pemahaman terhadap
totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya;3 Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakangi; 4 Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah dialektik anatara sastra dengan masyarakat; dan 5 Sosiologi sastra berusaha
menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Endraswara 2010: 79 dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada
masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.
Lebih lanjut Nurhayati Harahap 2006:31-32 dalam Jurnal Ilmiah dan Bahasa menjelaskan bahwa sebuah karya sastra didekatidari hal-hal yang berada
di luar sastra itu sendiri ekstrinsik dengan memfokuskan perhatiannya pada latar belakang sosiobudaya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini di sebut sosiologi
sastra,yaitu pendekatan
sastra dengan
mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatannya. Segi kemasyarakatan berhubungan dengan masyarakat yang berada di sekitar sastra itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat yang
diceritakannya itu dan pembacanya.
Sementara, Faruk 2010: 1 memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa
commit to user
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan
hidup. Lewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut
sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi
dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individu- individu dialokasikannya pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur
sosial itu.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami
stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus
dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Menurut Nyoman Kutha Ratna 2011: 332 ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut; 1 Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,
disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat;2 Karya sastra hidup
commit to user
dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; 3 Medium
karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan; 4 Berbeda
denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut; 5 Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya
dalam suatu karya.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat
tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan
berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Perkembangan sosiologi sastra
modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya karya sastra besar,
menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan Abrams, 1971: 178.
Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam
karya sastra. Sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip
commit to user
penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi- interpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang
penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan.
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai yang menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat
yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang.
Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood 1972: 15 pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra,
kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan
kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya,
tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw 1984: 18-26 mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu
a afirmasi merupakan norma yang sudah ada, b restorasi sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang, c negasi dengan mengadakan
pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, d inovasi dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada.
commit to user
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood 1972: 15 mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang
merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya
sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
Berkaitan dengan sosiologi sastra Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soerjono Soekanto 2010: 18 menyatakan bahwa sosiologi
sastra atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta
lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan
ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan
lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.
Sosiologi sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra di Indonesia, gejala-gejala
baru yang timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut Nyoman Khuta Ratna, 2011: 8. Jadi, sosiologi sangat erat hubungannya dengan apa yang ada dalam
masyarakat. Dengan demikian, sosiologi tumbuh tidak dengan kekosongan sosial.
commit to user
Sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial, agama, politik, keluarga, dan pendidikan atau sosial budaya, Hal ini dapat dipahami karena
pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya pada saat dia menciptakan karya sastra itu. Latar belakang budayanya menjadi sumber penciptaan, yang
mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya Nani Tuloli, 2000: 62. Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru.
Sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap
mengalami kemunduran. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya
cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan system komunikasi
secara keseluruhan Nyoman Kutha Ratna, 2011: 332. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan Nyoman Kutha Ratna, 2011: 11.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan
meliputi tiga macam, yaitu: a. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra
itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya di sebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan
yang terjadi di sebut refleksi
commit to user
b. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan antarstruktur, bukan
aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. c. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,
dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai kedua Nyoman Kutha Ratna,
2011:339-340
Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang kedualah yang dianggap lebih relevan. Dibandingkan dengan model penelitian
yang pertama dan ketiga, dalam penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif dan dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar berperanan.
Selanjutnya dikaitkan dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justru masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra bukan sebaliknya.
Wellek dan Werren 1993: 111 membagi sosiologi sastra sebagai berikut: Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang
berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang
di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi
studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang
commit to user
akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang Wellek dan Warren,1993:112
Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa
yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.
Wellek dan Warren, 1993:122. Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama bahwa
sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah
peradaban.
Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya
meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt dalam Damono, 1978: 3-4 yang meliputi hal-hal berikut:
Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan: a bagaimana pengarang
commit to user
mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, b profesionalisme
dalam kepengaragannya, dan c masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih
kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah a sastra
mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku
lagi pada waktu ia ditulis, b sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, c
genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, d sastra yang berusaha untuk menampilkan
keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan
demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan
1 sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama
commit to user
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, 2 sastra sebagai penghibur saja, dan 3
sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Rahmat Djoko Pradopo 2001: 159 menyatakan sasaran sosiologi dapat diperinci ke dalam beberapa bidang pokok seperti berikut: a Konteks sosial
pengarang. Konteks sosial pengarang membicarakan hubungannya dengan status sosial sastrawan dalam masyarakat, masyarakat pembaca, serta keterlibatan
pengarang dalam menghasilkn karya sastra; b Sastra sebagai cermin masyarakat. Maksudnya, sastra dianggap sebagai gambaran keadaan masyarakatnya dan c
Fungsi sosial sastra. Pada bidang ini terdapat hubungan antara nilai sastra dan nilai sosial.
Selanjutnya Swingewood mendeskripsikan berbeda mengenai masalah sosiologi sastra tersebut. Ia mengklasifikasikannya sebagai berikut.
a. Sosiologi dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan. Pertama, melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang
mencerminkan waktu zaman. Kedua, melihat segi penghasil karya sastra terutama kedudukan sosial pengarang. Ketiga, melihat
tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap karya sastra.
b. Teori-teori sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar belakang sosial yang menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra.
c. Sastra dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori strukturalisme.
d. Persoalan metode yang membicarakan metode positif dan metode dialektik. Metode positif tidak mengadakan penelitian terhadap karya
sastra yang digunakan sebagai data. Dalam hal ini karya sastra yang dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosio budaya,
sedangkan metode dialektik hanya menggunakan karya yang bernilai sastra. Yang berhubungan dengan sosio budaya bukan setiap unsurnya,
tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan dalam Umar Yunus, 1986:1-2.
commit to user
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti
menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumber-
sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di
samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams1971: 178 menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh
kritikus atau peneliti yaitu: 1 Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal;2 Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya;3
Audien atau pembaca.
Lain halnya dengan pendapat Grebsten dalam Damono, 1978 mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra sebagai
berikut: Pertama karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah
menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak
commit to user
hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri
merupakan objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
Kedua gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik
itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra
adalah kegiatan yang sungguh-sunggug.
Ketiga setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun
dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak
tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra
adalah eksprimen moral.
Keempat masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi
yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau
menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
commit to user
Kelima kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah
kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya,
melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar.
Keenam kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus
memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi
penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu
tak ada habisnya.
Lanjut Damono 1978: 14 mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di
dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan.
Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw 1984: 220 mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat
mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan
itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus
commit to user
bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang berpusat pada karya sastra sebagai objek yang
dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial yang melatarbelakangi
masyarakat tersebut.
Berdasarkan teori tentang pengertian sosiologi sastra dari beberapa ahli di atas, Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai kajian dalam
penelitian ini dianalisis berdasarkan sosiologi sastra Wellek dan Werren, aspek sosiologi sastranya yaitu sosiologi pengarang dan sosiologi karya sastra. Sosiologi
pembaca menurut Wellek dan Werren dalam penelitian ini tidak dianalisis.
Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani, Novel Negeri Lima Menara bercerita tentang kehidupan di Pondok Madani atau Pondok Gontor
khusus Putra. Pengarang novel tersebut dalam menciptakan karyanya terinspirasi dari pengalaman pribadinya. Novel tersebut bercerita mengenai pengarang sebagai
tokoh utama. Di mana pengarang bercerita tentang pertama kali masuk ke Pondok Madani samapai lulus, ketidaksukaan pengarang masuk Pondok, pandangan
pengarang terhadap kehidupan di pondok dan pemberontakan hati pengarang. Pandangan pengarang terhadap kehidupan pondok itulah yang akan di analisis
dalam penelitian ini.
commit to user
Sosiologi karya sastra menurut Wellek dan Werren, seperti yang dijelaskan di atas bahwa sosiologi karya sastra memperlajari makna yang terdapat
dalam karya sastra tersebut. Dalam hal ini karya sastra berupa novel Negeri Lima Menara. Selain makna juga dipelajari tujuan yang terdapat dalam karya sastra.
Sosial Budaya, analisis sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren khususnya sosiologi karya sastra. Sosiologi tersebut membahas mengenai karya
sastra itu sendiri atau sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial
sebagai potret kenyataan sosial. Salah satunya yaitu sosial budaya.
3. Kajian tentangAspek Sosial Budaya