Tujuan Manfaat Sejarah Persuteraan Alam Biaya Produksi

Perlu adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dalam perkembangan persuteraan di Indonesia, mulai dari budidaya hingga ke pemasarannya agar usaha di bidang sutera dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat. Maka untuk menghadapi persaingan diperlukan suatu pengaturan dan pengawasan yang baik dalam kegiatan produksinya, yaitu perencanaan produksi, pengawasan pembiayaan, penilaian efisiensi, penekanan biaya produksi, dan penentuan harga jual yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan analisis biaya produksi, yang merupakan komponen penting dalam setiap pengambilan keputusan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Oleh karena itu, penelitian tentang analisis biaya produksi usaha persuteraan alam ini diharapkan dapat membantu dalam pengelolaan produksi persuteraan alam dan tingkat keuntungan yang didapat pengusaha.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis struktur biaya produksi usaha persuteraan alam yang mencakup biaya produksi kokon, biaya produksi benang, dan biaya produksi kain sutera. 2. Menghitung break even point usaha persuteraan alam. 3. Menganalisis tingkat profitabilitas usaha persuteraan alam.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengusaha tentang komponen biaya produksi untuk kepentingan pengelolaan dan pengendalian biaya, serta memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat tentang proses pembuatan benang sutera dan komponen biaya produksinya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Persuteraan Alam

Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori Lepidoptera, Bombycidae sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han. Benang dan kain sutera yang berasal dari ulat jenis ini telah menjadi produk unggulan yang dibanggakan oleh negara China, sekaligus bagian dari kegiatan atau budaya masyarakat di negara tersebut. Selain di China, budi daya ulat sutera B. mori juga sudah berkembang pesat di Jepang abad ke-2, di India dan Korea abad ke-3, di Italia dan Prancis abad ke-16, serta Inggris abad ke-17 Solihin 2010. Di Indonesia, perkembangan sutera juga sudah lama berlangsung, yakni dimulai pada abad ke-10. Awalnya, kegiatan perdagangan sutera di Indonesia dilakukan secara langsung oleh negara China dan India. Hal ini membuat pemanfaatan sutera mengalami perkembangan di wilayah Nusantara, terutama di daerah Sulawesi dan berlanjut hingga masa pendudukan Belanda. Sejak tahun 1922 hingga periode pendudukan Jepang, ulat sutera B. mori berkembang baik di beberapa daerah, terutama pada ketinggian 1000-5000 kaki dpl, misalnya di Garut Jawa Barat, Solo Jawa Tengah, Curup Bengkulu, dan Pematang Siantar Sumatera Utara.

2.2 Usaha Persuteraan Alam

Pada dasarnya kegiatan persuteraan alam adalah kegiatan agroindustri yang merupakan bagian dari kegiatan perhutanan sosial, terdiri dari beberapa kegiatan antara lain: budidaya tanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, pengendalian hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat sutera, pemanenan kokon, pemintalan benang sutera dan pertenunan kain sutera BPA 2007. Menurut Saifullah 2004, kegiatan persuteraan alam di Kebun Wanatani Sutera Cibidin, Sukabumi meliputi tiga tahap yaitu budidaya murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemintalan benang. Kegiatan budidaya murbei meliputi tahapan mulai dari pengolahan lahan, penanaman bibit yang dapat berupa stek, pemeliharaan tanaman, hingga pemanenan daun. Kegiatan budidaya murbei bertujuan sebagai sumber bahan pakan bagi kegiatan pemeliharaan ulat sutera. Kegiatan pemeliharaan ulat sutera sendiri dimulai dari persiapan pemeliharaan, penetasan telur, pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar, pengokonan, hingga pemanenan kokon. Kokon yang sudah dipanen diseleksi terlebih dahulu baru kemudian direbus sebelum dilakukan pemintalan I reeling dan Pemintalan II re-reeling.

2.2.1 Budidaya Murbei

Tanaman murbei Morus sp. termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, classis Dicotyledonae, ordo Urticalis, familia Moraceae , genus Morus, species Morus sp. Samsijah 1974. Tanaman murbei merupakan perdu atau semak, tetapi ada pula yang merupakan pohon tinggi bila dibiarkan. Umumnya bercabang banyak, percabangan tegak atau mendatar. Cabang dan ranting umumnya berbentuk bulat, warna hijau abu-abu, putih agak coklat ataupun ungu. Bentuk daun oval, ovulus atau sub orbiculair. Tepi daun bergerigi, bergigi, beringgit, bercangap berlekuk atau tidak. Ujung daun meruncing. Permukaan atas licin sedikit atau tidak berbulu, berwarna hijau tua atau suram, sedang permukaan bawah hijau suram, dan kasar. Tangkai daun umumnya bulat berwarna hijau putih atau ungu. Mempunyai daun penumpu, lekas gugur dengan meninggalkan bekas. Tumbuhan berumah satu atau dua dan buah majemuk. Menurut Katsumata 1972, dalam Samsijah 1974 dikenal beberapa jenis tanaman murbei, yaitu: 1. Morus nigra Linn. 2. M. alba Linn. 3. M. alba L.var. tartarica 4. M. alba L.var. macrophylla 5. M. multicaulis. 6. M. cathayana. 7. M. australis. Disamping itu juga dijumpai jenis M. bombycis koidz, Morus sp. sering disebut jenis x, Morus sp. berasal dari tengger dan M. macroura. Berdasarkan kebutuhan ulat sutera perlu diketahui bahwa untuk memelihara ulat kecil stadia 1 – 3 dibutuhkan daun murbei yang masih muda tetapi yang tidak terlalu lembek, jadi daun daun pucuk apalagi di musim hujan sebaiknya tidak dipakai. Untuk memelihara ulat besar stadia 4 – mengokon dibutuhkan daun murbei yang cukup tua asal tidak terlalu keras atau kering. Hamamura 2001 menyatakan bahwa pada daun murbei terdapat attracting factor, biting factor, dan swallowing factor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera. Komposisi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Komposisi faktor yang menyebabkan perilaku makan ulat sutera Feeding Behaviour Stimulate Substance Attracting Citral Biting β-sitosterol Morin or isoquercitrin Swallowing Cellulose powder Supplementary Potassium diposphate Sucrose Inositol Silicasol Sumber: Hamamura 2001

2.2.2 Pemeliharaan Ulat sutera

Ulat sutera Bombyx mori L. merupakan serangga yang biasa dipelihara dalam ruangan dan penghasil sutera utama, meliputi 95 produksi sutera dunia. Sebutan lain adalah ulat sutera murbei karena secara alami hanya makan daun murbei Morus spp. dan sutera yang dihasilkan dikenal sutera alam murbei Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009. Ulat sutera merupakan serangga dengan metamorfosis sempurna, yaitu serangga dengan perkembangan sayap terjadi di dalam tubuh dan fase pra dewasa berbeda dengan fase dewasa baik morfologi ataupun perilaku makan. Secara keseluruhan siklus hidup yang dilalui ulat sutera meliputi telur, larva instar, pupa dan dewasa imago. Pada masing-masing akhir instar ditandai dengan pergantian kulit moulting. Pada fase instar ada lima tahap, yaitu: instar I, instar II, instar III, instar IV, dan instar V. Katsumata 1964 dalam Ekastuti 1994 memberikan batasan waktu tahapan instar ini sebagai berikut: 1. Instar I lamanya 2 hari 13 jam, dihitung dari saat telur menetas sampai istirahat I. 2. Instar II lamanya 2 hari 2 jam, dihitung setelah istirahat 20 jam pada istirahat I. 3. Instar III lamanya 2 hari 14 jam, dihitung setelah istirahat II selama 20 jam. 4. Instar IV lamanya 3 hari 16 jam, dihitung setelah istirahat III yang lamanya 24 jam. 5. Instar V lamanya 8 hari 5 jam, dihitung setelah istirahat IV yang lamanya 1 hari 13 jam. Tahap terakhir ini ditandai dengan ulat mulai tidak mau makan. Gambar 1 Siklus hidup ulat sutera Bombyx mori berdasarkan dari www.cdfd.org.in. Lamanya periode hidup ulat sutera mulai saat menetaskan telur sampai masa membuat kokon sekitar satu bulan dan sangat tergantung pada iklim serta keadaan lingkungan Atmosoedarjo et al. 2000 dalam Nurhaedah 2009. Menurut Tazima 1964, lamanya siklus hidup ulat sutera secara keseluruhan sekitar 55 – 60 hari pada suhu 23 – 25 o C. Siklus hidup ulat sutera B. mori secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Sangaku 1975 dalam Ekastuti 1994, ulat sutera dapat dibagi berdasarkan atas sifat fisiologis dan ekologisnya, yaitu : 1. Berdasarkan atas voltinismenya jumlah generasi per tahun, maka akan didapatkan ulat sutera yang monovoltine, yaitu yang hanya mengalami satu generasi dalam setahun, atau secara alam telurnya hanya menetas sekali setahun. Ulat sutera bivoltine yaitu ulat sutera yang mengalami dua generasi setahun. Dan ulat sutera polivoltine yaitu ulat yang mengalami tiga generasi atau lebih dalam setahun. Dalam hal ini telurnya dapat menetas setiap saat. 2. Berdasarkan atas moltinismenya pergantian kulit, terdapat jenis three molter , yaitu ulat sutera yang mengalami tiga kali pergantian kulit. Jenis four molter mengalami empat kali pergantian kulit. Dan jenis five molter mengalami lima kali pergantian kulit. 3. Berdasarkan asalnya, terdapat jenis Jepang yang kupu-kupunya bertelur banyak, kokon berwarna putih dan bentuknya seperti kacang tanah. Jenis China kokonnya agak bulat, ada yang berwarna putih, dan kuning kehijauan. Jenis Eropa kokonnya besar dan berwarna putih. Ulatnya tidak tahan terhadap iklim panas dan lembab, ukuran telur dan ulatnya panjang dan periodenya juga panjang. Dan ulat sutera jenis Tropika kokonnya kecil. Kokon adalah rajutan filamen sutera yang dihasilkan kelenjar sutera melalui proses insolubisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran cairan sutera dan berfungsi sebagai pelindung saat berlangsungya proses metamorfosis Rukaesih et al. 1991 dalam Nurhaedah 2009. Bagian luar kokon berupa serat sutera yang membungkus kokon secara rapi dengan warna dan kehalusannya sangat ditentukan oleh jenis serangga penghasil sutera dan bahan pakannya Lee 2000; Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009. Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat atau filamen sutera. Serat sutera dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera silk gland dengan bagian- bagian seperti : 1. Bagian depan merupakan saluran pengeluaran kelenjar yang terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva; 2. bagian tengah, bagian ini sebagai penghasil zat warna yang dibentuk bersama serisin yang berfungsi sebagai perekat dua serat paralel dengan proporsi 25 dari bobot serat dan bersifat mudah larut dalam air panas; 3. bagian belakang kelenjar, sebagai penghasil serat sutera yang disebut fibroin merupakan bagian utama serat filamen dengan proporsi 75 dari bobot total serat dan tidak larut dalam air panas Tazima 1978 dalam Nurhaedah 2009.

2.2.3 Pemintalan

Pemintalan merupakan suatu proses untuk melepas serat sutera dari kokon dan menyayatkannya untuk menghasilkan benang sutera dengan menggunakan alat pintal. Alat pintal yang digunakan dalam industri pemintalan benang sutera alam terdiri dari alat pintal tradisional, alat pintal semi mekanis, dan alat pintal otomatis Bachtiar 1991 dalam Saifullah 2004. Tahapan pengolahan kokon menjadi benang sutera mentah rawsilk yaitu: 1. pengeringan, 2. pemilahan, 3. pemasakan, 4. pemintalan, 5. pemintalan ulang, 6. penjahitan, 7. pengujian, 8. penumpukan dan pengemasan Jaya 2003. Menurut Jaya 2003, mesin pintal mesin reeling ada 3 macam yaitu mesin pintal otomatis untuk kokon normal, mesin pintal duppion untuk kokon rangkap, dan mesin pintal multi untuk kokon cacat ringan. Mesin pintal multi dan mesin pintal otomatis dalam memintal kokon memiliki langkah yang sama yaitu sebagai berikut: 1. pemasakan, 2. pemilihan, 3. penyikatan, 4. jetbort, 5. button, 6. pulley, 7. beam, 8. guide, 9. reeling. Perbedaan kedua mesin ini hanya terletak pada penyikatan kokon untuk mencari ujung benang. Pada mesin multi pekerjaan tersebut dilakukan secara manual, sedangkan pada mesin otomatis dilakukan dengan menggunakan mesin secara otomatis.

2.3 Biaya Produksi

Saifullah 2004 menyatakan bahwa, struktur biaya usaha persuteraan alam terdiri dari biaya produksi kokon dan biaya produksi benang. Biaya produksi kokon meliputi biaya pemeliharaan kebun murbei dan biaya pemeliharaan ulat. Sedangkan biaya produksi benang meliputi biaya pemintalan dan biaya pembelian kokon. Biaya produksi kokon di Kabupaten Garut sebesar Rp. 43.840kg sedangkan di Kabupaten Sukabumi Rp 32.550kg. Untuk biaya produksi benang di Kabupaten Garut sebesar Rp. 193.880kg sedangkan di Kabupaten Sukabumi Rp. 362.989kg. Berdasarkan data dari Balai Persuteraan Alam pada tahun 2010, Harga telur ulat sutera F1 produksi KPSA Perum Perhutani Soppeng saat ini adalah Rp. 80.000 per boks, sementara produksi PSA Candiroto Rp. 40.000 dengan jumlah ± 25.000 butir per boks. Harga kokon sebagai bahan baku proses pemintalan benang, saat ini berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 27.000 per kilogram. Sedangkan untuk harga benang sutera saat ini berkisar antara Rp. 225.000 – Rp. 250.000 per kilogram.

2.4 Ekonomi Persuteraan Alam