mulut penyuntil yang mengarah ke keadaan oral hygiene yang buruk. Adanya oral hygiene yang buruk akan meningkatkan produksi nitrit dan berinteraksi dengan
komposisi menyuntil untuk mengkatalisasi pembentukan nitrsosamine dalam rongga mulut.
6
Aktivitas setelah menyuntil dan frekuensi menyikat gigi cukup penting diketahui untuk mengetahui gambaran kepedulian para penyuntil terhadap oral
hygiene, sehingga dapat dijadikan acuan praktisi kesehatan bila ingin menyusun program untuk penyuluhan kepada masyarakat.
Frekuensi mengkonsumsi daging yang paling sering dilakukan oleh subjek yang diteliti adalah sebanyak 8 – 11 kalibulan 95,2, sedangkan jumlah frekuensi
mengkonsumsi ikan asin yang paling sering adalah sebanyak 20 – 23 dan 28 – 31 kalibulan 36,76. Pola diet sehari – hari yang dilakukan oleh subjek yang diteliti
cukup penting untuk diketahui, mengingat hasil penelitian Delfitri Munir pada suku Batak di Medan dan sekitarnya yang menemukan hubungan yang bermakna antara
makan ikan asin yang merupakan salah satu sumber nitrosamine dengan terjadinya salah satu tumor, yaitu karsinoma nasofaring.
31
6.2 Prevalensi Nitrosamine Pada Saliva Perempuan Penyuntil Suku Karo di Pancur Batu
Penelitian mengenai nitrosamine pada saliva penyuntil ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan di Pancur Batu, Sumatera Utara. Berdasarkan
gambar 14, maka nitrosamine sebagai bahan karsinogenik ditemukan pada saliva perempuan penyuntil suku Karo di Pancur Batu sebanyak 93,7 59 orang. Hal ini
sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang menemukan nitrosamine dalam
Universitas Sumatera Utara
saliva penyirih dan penyuntil.
7,8-9
Namun, sebanyak 4 orang 6,3 perempuan penyuntil suku Karo di Pancur Batu tidak ditemukan adanya nitrosamine pada saliva
hasil menyuntilnya. Hal ini mungkin disebabkan ada pengaruh faktor lama kebiasaan, lama paparan, frekuensi, dan komposisi dalam menyuntil, atau ada faktor – faktor lain
yang mempengaruhi tidak ditemukannya nitrosamine. Untuk menjawab kemungkinan tersebut, maka akan coba dianalisis melalui tabel 4, 6, 8, dan 10.
Bila dianalisis dari lama kebiasaan tabel 4, pada 4 subjek yang salivanya tidak ditemukan nitrosamine, terdistribusi pada kelompok 6-11 tahun, 12-17 tahun,
24-29 tahun, dan 21 – 27 tahun yang merupakan kelompok dengan persentase ditemukan nitrosamine
≥ 83,3. Bila dianalisis dari lama paparan tabel 6, pada 4 orang subjek yang tidak ditemukan nitrosamine dalam salivanya termasuk kelompok
15 menitkali yang merupakan kelompok dengan persentase ditemukannya nitrosamine
≥ 89,5. Jika dianalisis dari frekuensi menyuntil tabel 8, 4 orang yang melakukan
kebiasaan menyuntil ternyata dalam salivanya tidak ditemukan nitrosamine, padahal ke 4 orang ini berada pada kelompok frekuensi menyuntil yang sama dengan
kelompok 10 – 11 menitkali, 14 – 15 menitkali, dan 20 – 21 menitkali dengan persentase ditemukannya nitrosamine
≥ 87,5. Bila dianalisis dari komposisi menyuntil tabel 10, 4 orang yang melakukan
kebiasaan menyuntil ternyata dalam salivanya tidak ditemukan nitrosamine, padahal ke 4 orang ini berada pada kelompok dengan komposisi menyuntil daun sirih, pinang,
gambir, kapur, dan tembakau dengan persentase ditemukannya nitrosamine ≥ 92,2.
Universitas Sumatera Utara
Setelah menganalisis keempat faktor, seperti: lama kebiasaan, lama paparan, frekuensi, dan komposisi menyuntil, mengindikasikan ada faktor lain yang
menyebabkan 4 orang subjek tidak ditemukan nitrosamine pada salivanya. Faktor lain yang menjadi kemungkinan adalah oral hygiene. Oral hygiene yang baik akan
menurunkan aktivitas enzim bakteri yang dapat memicu perubahan nitrat menjadi nitrit, sehingga menghambat terjadinya nitrosasi dan terbentuknya nitrosamine.
6
Nitrosamine tidak ditemukan pada ke 4 subjek yang diteliti mungkin karena jenis tembakau yang digunakan berbeda dengan penyuntil lainnya, sehingga dapat
dijadikan salah satu saran untuk penelitian selanjutnya agar mengklasifikasikan jenis tembakau yang digunakan setiap penyuntil, begitu juga dengan berat masing –
masing komposisi menyuntil. Kemungkinan lain yang dapat dijadikan alasan tidak ditemukannya nitrosamine dalam ke 4 subjek ini adalah pengaruh makanan maupun
minuman yang dikonsumsi penyuntil sebelum saliva diambil yang berpengaruh terhadap komposisi saliva dan akibatnya berpengaruh juga terhadap pembentukan
nitrosamine. Untuk itu, dibutuhkan penelitian selanjutnya untuk meneliti lebih menyeluruh mengenai peran faktor diet sebelum saliva hasil menyuntil diambil.
Selain itu, mungkin juga tidak ditemukannya nitrosamine dalam saliva beberapa orang penyuntil ini disebabkan pola diet sehari – hari yang baik,
kemampuan tubuh memetabolisme bahan – bahan karsinogenik nitrosamine masih berjalan dengan sempurna, kemampuan untuk memperbaiki DNA yang dirusak oleh
mutagen seperti nitrosamine juga masih baik, dan sistem imun tubuh untuk merespon antigen – antigen masih cukup baik.
27
Universitas Sumatera Utara
6.3 Hubungan Lama Kebiasaan Menyuntil dengan Nitrosamine