Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999

B. Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999

Era multipartai yang terjadi pada tahun 1999 diperhitungkan akan menghasilkan banyak partai dengan suara yang relatif merata. Gambaran perolehan suara bisa mirip dengan yang terjadi pada hasil Pemilu 1955, yaitu munculnya empat, lima atau enam dengan suara banyak dan merata, diikuti dengan puluhan partai yang memperoleh suara sedikit yang sering disebut sebagai partai gurem. Hal tersebut benar-benar terjadi pada Pemilu 1999 maka jelas era mayoritas tunggal benar-benar sudah berlalu. Adanya satu partai politik yang diplot untuk selalu menang dengan suara moyoritas dengan partai lainnya selalu dibuat kalah sudah tidak zamannya lagi. Sebab pola mayoritas tunggal hanya menunjukkan proses dan hasil dari demokrasi semu, bukan demokrasi sejati. Kekuatan politik yang terbagi merata diharapkan merupakan hasil dari proses demokrasi yang sejati, yaitu melalui Pemilu dikarenakan era mayoritas tunggal sudah berlalu. Upaya koalisi dari beberapa partai besar merupakan suatu keharusan supaya dapat membentuk pemerintahan. Tanpa koalisi sulit rasanya kekuatan politik itu menghasilkan suara mayoritas, yang dengan demikian berhak mengambil inisiatif membentuk pemerintahan.

Partai politik peserta Pemilu 1999 yang berjumlah 48 partai relatif terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu: Partai Islam atau partai agama yang memiliki basis massa relijius, Partai sekuler dengan berbasis massa yang relatif sekuler, dan Partai Umum atau sekuler tetapi memiliki visi relijius dengan basis massa yang relijius. Ketiganya memiliki kadar nasionalisme yang sama, tetapi yang membedakan adalah ada yang memiliki kadar nasionalisme relijius dan ada juga yang memiliki kadar nasionalisme sekuler, sehingga tidak ada satu pun partai yang berhak mengklaim dirinya paling nasionalis (Suara Muhammadiyah, 16-31 Juni 1999: 13).

B.J. Habibie telah terpilih sebagai satu-satunya calon Presiden Golar dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Partai Golkar pada Mei 1999. Habibie ditampilkan oleh Golkar sebagai calon presidennya, sehingga Golkar berusaha memperoleh dukungan dan mendulang suara dari luar Jawa dikarenakan figur B.J. Habibie merupakan personifikasi wakil luar Jaawa dalam pentas kepemimpinan nasional. Tampilnya B.J.

Habibie berarti luar Jawa mempunyai kesempatam untuk memperjuangkan hak- haknya secara lebih proporsional, karena selama Orde Baru berkuasa, luar Jawa sering dieksploitasi sumber daya alamnya dan tidak memperoleh akses kekuasaan yang selayaknya. Padahal B.J. Habibie dalam mengemban TAP MPR sebagai hasil Sidang Istimewa MPR Nopember 1998, sama sekali belum memuaskan semua pihak, terutama yang menyangkut masalah pemberantasan KKN, khususnya yang berkaitan dengan kasus Soeharto, keluarga, dan para kroninya dan juga dalam upayanya menghentikan kerusuhan di berbagai daerah dan menangkap serta mengusut para provokator dibelakangnya, termasuk dalam upaya membongkar kejahatan perbankan nasional dan membersihkan birokrasi dari mental korupsi. Akan tetapi, prestasi B.J. Habibie dalam beberapa hal cukup signifikan, seperti pemberian kebebasan pers yang belum pernah ada selama Negara Indonesia ini lahir, pembebasan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) politik yang selama ini hanya menjadi momok para penentang rezim Soeharto, juga kesediaannya menyelenggarakan Pemilu 1999 yang diserahkan kepada partai politik dan mendudukkan pemerintah sekedar sebagai pemberi fasilitas.

B.J. Habibie pada saat itu dimungkinkan akan memperoleh dukungan dari kelompok Islam, karena Habibie merupakan simbol pemimpin Islam, yaitu kalangan Islam yang tidak mempersoalkan sebuah sistem pemerintahan sudah demokratis atau tidak selama hal itu menguntungkan posisi umat Islam secara politis maupun ekonomis, dan nada-nada ke arah itu sudah semakin transparan berasal dari partai- partai Islam yang bertarung di arena pemilu dan di Sidang Umum MPR (Okkie Muttaqie, Suara Muhammadiyah 1-15 Juni 1999: 8).

Pasca 2 hari pelaksanaan Pemilu 7 Juni 1999, belum ada konvensi bagaimana mekanisme pemilihan Presiden yaitu apakah partai pemenang pemilu secara otomatis berhak menentukan figur Presiden atau apakah seorang Presiden harus mengantongi suara dukungan MPR minimal 50% lebih satu. Jika alternatif pertama yang dipakai, tidak akan menjadi masalah karena partai pemenang tunggal mengajak partai lain untuk membentuk pemerintahan. Mekanisme ini hampir sama Pasca 2 hari pelaksanaan Pemilu 7 Juni 1999, belum ada konvensi bagaimana mekanisme pemilihan Presiden yaitu apakah partai pemenang pemilu secara otomatis berhak menentukan figur Presiden atau apakah seorang Presiden harus mengantongi suara dukungan MPR minimal 50% lebih satu. Jika alternatif pertama yang dipakai, tidak akan menjadi masalah karena partai pemenang tunggal mengajak partai lain untuk membentuk pemerintahan. Mekanisme ini hampir sama

Persoalan yang lebih rumit adalah komposisi perolehan suara nyaris berimbang. Ini hampir pasti terjadi karena partai sulit untuk tampil sebagai single majority seperti yang dialami Golkar selama Orde Baru. Oleh karena itu, menurut Siahaan (1999: 13) “Dibutuhkan suatu kompromi atau koalisi yang transparan”. Berdasarkan hasil perolehan kursi masing-masing partai politik peserta pemilu 7 Juni 1999 yang telah diputuskan oleh PPI (Panitia Pemilihan Indonesia), maka peta kekuatan politik menjadi jelas. PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu memperoleh 153 kursi DPR, disusul Partai Golkar dengan 120 kursi, PPP dengan 58 kursi, PKB 51 kursi, PAN 34 kursi, PBB 13 kursi, dan Partai Keadilan (PK) dengan 7 kursi. Berdasarkan peta perolehan kursi DPR tersebut, maka persaingan antar partai politik untuk bisa meloloskan calon Presiden menjadi menarik dan penuh dinamika dengan tidak adanya suara mayoritas tunggal (Okkie Muttaqie, Suara Muhammadiyah 16-30 September 1999: 8). Hasil Pemilu 7 Juni 1999 menunjukkan bahwa tidak ada mayoritas suara tunggal bahkan PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 7 Juni 1999 tidak memperoleh suara mutlak (Kompas, 6 Juni 1999: 13).

Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam Kompas (1999: 1) mengatakan bahwa pemerintahan baru hasil Pemilu 1999 sebaiknya merupakan koalisi partai-partai reformis yang belum pernah berkuasa. Partai-partai politik tersebut antara lain: PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sedangkan Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Budi Hardjono sebaiknya berada di luar pemerintahan, untuk membentuk kekuatan oposisi di parlemen. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam Kompas (1999: 1) mengemukakan bahwa apabila semua partai besar ingin menjadi anggota kabinet maka akan tumbuh penyakit lama. Partai-partai besar akan bekerja Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam Kompas (1999: 1) mengatakan bahwa pemerintahan baru hasil Pemilu 1999 sebaiknya merupakan koalisi partai-partai reformis yang belum pernah berkuasa. Partai-partai politik tersebut antara lain: PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sedangkan Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Budi Hardjono sebaiknya berada di luar pemerintahan, untuk membentuk kekuatan oposisi di parlemen. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam Kompas (1999: 1) mengemukakan bahwa apabila semua partai besar ingin menjadi anggota kabinet maka akan tumbuh penyakit lama. Partai-partai besar akan bekerja

Pada dasarnya pembentukan koalisi pemerintahan secara dinamis dapat terbentuk dan berakhir sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik yang dirasakan oleh masing-masing partai, bahkan masing-masing tokoh partai. Koalisi antara partai- partai yang berlatarbelakang kelompok muslim dengan kelompok sosialis dapat terjadi. Akan tetapi sebaliknya, ada kalanya sebuah kabinet jatuh karena mosi tidak percaya yang dipelopori oleh menteri yang separtai (Untung Wahono, 2003: 93).

Wacana koalisi sudah dibuka oleh tokoh-tokoh politik vokal sejak beberapa tahun sebelum Soeharto lengser. Pada tahun 1994-1995 Amien Rais menyatakan bahwa Indonesia akan selamat dan berjaya jika pemimpin nasionalnya mencerminkan koalisi yang besar dan bersih. Amien Rais juga melontarkan gagasan koalisi Amien- Megawati. Hal ini bukan konsumsi politik semata, akan tetapi memiliki substansi perpaduan dari dua pilar yang lebih banyak perbedaan. Apabila yang dilontarkan tentang gagasan koalisi Amien Rais-Deliar Noer atau Amien Rais-Yusril Ihza, maka akan muncul kesan seolah-olah itu hanya koalisi satu pihak yaitu sama-sama Muslim modernis (Untung Wahono, 2003: 97). Pada hari Selasa, 18 Mei 1999 tiga partai besar yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDI Perjuangan duduk dalam satu forum membentuk sebuah aliansi atau koalisi yang mana pada saat itu sangat dimungkinkan ketiga partai inilah yang bisa menghadang laju kelompok pro status quo untuk tetap mengangkangi kekuasaan di negeri ini. Ketiga partai besar ini sudah sepakat untuk duduk satu meja dan membentuk pemerintahan bersama (Okkie Muttaqie, Suara Muhammadiyah 1999: 8). Eep Saefulloh Fattah (1999: 2) menyatakan pesimis jika Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDI Perjuangan akan dapat berkoalisi karena Wacana koalisi sudah dibuka oleh tokoh-tokoh politik vokal sejak beberapa tahun sebelum Soeharto lengser. Pada tahun 1994-1995 Amien Rais menyatakan bahwa Indonesia akan selamat dan berjaya jika pemimpin nasionalnya mencerminkan koalisi yang besar dan bersih. Amien Rais juga melontarkan gagasan koalisi Amien- Megawati. Hal ini bukan konsumsi politik semata, akan tetapi memiliki substansi perpaduan dari dua pilar yang lebih banyak perbedaan. Apabila yang dilontarkan tentang gagasan koalisi Amien Rais-Deliar Noer atau Amien Rais-Yusril Ihza, maka akan muncul kesan seolah-olah itu hanya koalisi satu pihak yaitu sama-sama Muslim modernis (Untung Wahono, 2003: 97). Pada hari Selasa, 18 Mei 1999 tiga partai besar yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDI Perjuangan duduk dalam satu forum membentuk sebuah aliansi atau koalisi yang mana pada saat itu sangat dimungkinkan ketiga partai inilah yang bisa menghadang laju kelompok pro status quo untuk tetap mengangkangi kekuasaan di negeri ini. Ketiga partai besar ini sudah sepakat untuk duduk satu meja dan membentuk pemerintahan bersama (Okkie Muttaqie, Suara Muhammadiyah 1999: 8). Eep Saefulloh Fattah (1999: 2) menyatakan pesimis jika Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDI Perjuangan akan dapat berkoalisi karena

Koalisi tiga partai politik (PAN, PKB, dan PDI Perjuangan) oleh Partai Golkar dianggap bukan merupakan ancaman sehingga Partai Golkar tidak khawatir walaupun ada partai-partai lain yang berkoalisi, meskipun demikian, partai Golkar siap menghadapi rencana koalisi tiga partai besar tersebut, karena Golkar menginginkan supaya antar partai politik terjadi persaingan yang sehat (Solopos, 17 Mei 1999: 2). Menurut Matori Abdul Jalil dalam Tempo (10 Mei 1999: 22-23) Pada saat sebelum koalisi tiga partai tersebut disebarluaskan, masing-masing partai-partai politik sudah merasa menang, padahal ancaman status quo masih kuat. Hasil pemilu 1999 yang tidak menghasilkan partai pemilu dengan suara mayoritas, maka beberapa partai politik mencoba mencari kawan untuk melakukan koalisi.

Rivalitas Habibie dan Megawati merupakan peruncingan politik yang dapat membahayakan keselamatan bangsa, sehingga Amien Rais mencetuskan gagasan Poros Tengah (Suara Muhammadiyah, 16-30 September 1999:13) yaitu sebuah kaukus partai-partai yang berdiri di luar PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang berupa untuk menerobos kebekuan politik yang sedang berlangsung yang mana pada awalnya ide Poros Tengah dilontarkan oleh Ketua Dewan Ekonomi Partai Amanat Nasional (PAN) yaitu Dr. Bambang Soedibyo (Zainal Abidin Amir, 2003: 250).

Ide Poros Tengah yang berasal dari gagasan Bambang Soedibyo tersebut kemudian oleh Amien Rais segera dicetuskan dan dibantu oleh Fuad Bawazier, A.M. Fatwa, Hatta Rajasa, Al Hilal Hamdi, dan beberapa anggota DPP Partai Amanat Nasional (PAN). Pasca diumumkannya hasil Pemilu 7 Juni 1999, PDI Perjuangan larut dalam klaim-klaim kemenangan awal yang diraih pada Pemilu 1999 dan merasa

sudah mengantongi mandat rakyat untuk memimpin pemerintahan. Ide Poros Tengah dari Bambang Soedibyo muncul setelah Bambang Soedibyo melihat polarisasi antara kubu Megawati Soekarnoputri yang didukung oleh PDI Perjuangan dengan kubu B.J. Habibie yang didukung oleh Partai Golkar dalam perebutan jabatan Presiden. Partai- partai di luar PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang memperoleh suara cukup besar seperti PPP, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, dan partai Islam lain belum menentukan sikap. Apabila, kekuatan partai-partai Islam digabungkan, kekuatan partai-partai Islam bisa mencapai 170 kursi DPR, melebihi kekuatan PDI Perjuangan atau Partai Golkar. Oleh karena itu, di luar PKB yang sedikit dekat dengan PDI Perjuangan, partai-partai Islam umumnya memiliki hambatan serius untuk mendukung Megawati Soekarnoputri maupun B.J. Habibie, dan di sisi lain partai- partai Islam tersebut perlu diwadahkan dalam Poros Tengah (Muhammad Najib, 2000: 20-39).

Amien Rais (1999: 13) menyatakan bahwa rivalitas antara Golkar yang mencalonkan B.J. Habibie sebagai Presiden dan PDI Perjuangan yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden sudah sangat meruncing. Hal ini apabila dibiarkan dapat menimbulkan benturan di tingkat bawah serta dapat menimbulkan terjadinya konflik horizontal. Oleh karena itu, Poros Tengah perlu dimunculkan supaya rivalitas atau persaingan antara dua kubu yaitu Golkar dan PDI Perjuangan melunak. Ide Poros Tengah ini kemudian menggelinding dengan cepat, alasan perlu adanya keberadaan Poros Tengah menurut Amien Rais dalam Muhammad Najib (2000: 40) selain rivalitas antara Golkar yang mencalonkan B.J. Habibie sebagai Presiden dan PDI Perjuangan yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden sudah sangat meruncing dan sudah memainkan isi yang sangat sensitif yaitu agama, sehingga muncul kesan seolah-olah kompetisi Megawati Soekarnoputri dan B.J. Habibie merupakan pertarungan antara kelompok sekuler dan non muslim versus umat Islam, alasan yang lain adalah baik kubu B.J. Habibie maupun kubu Megawati Soekarnoputri tidak menunjukkan kesungguhan untuk mengakomodasi dan Amien Rais (1999: 13) menyatakan bahwa rivalitas antara Golkar yang mencalonkan B.J. Habibie sebagai Presiden dan PDI Perjuangan yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden sudah sangat meruncing. Hal ini apabila dibiarkan dapat menimbulkan benturan di tingkat bawah serta dapat menimbulkan terjadinya konflik horizontal. Oleh karena itu, Poros Tengah perlu dimunculkan supaya rivalitas atau persaingan antara dua kubu yaitu Golkar dan PDI Perjuangan melunak. Ide Poros Tengah ini kemudian menggelinding dengan cepat, alasan perlu adanya keberadaan Poros Tengah menurut Amien Rais dalam Muhammad Najib (2000: 40) selain rivalitas antara Golkar yang mencalonkan B.J. Habibie sebagai Presiden dan PDI Perjuangan yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden sudah sangat meruncing dan sudah memainkan isi yang sangat sensitif yaitu agama, sehingga muncul kesan seolah-olah kompetisi Megawati Soekarnoputri dan B.J. Habibie merupakan pertarungan antara kelompok sekuler dan non muslim versus umat Islam, alasan yang lain adalah baik kubu B.J. Habibie maupun kubu Megawati Soekarnoputri tidak menunjukkan kesungguhan untuk mengakomodasi dan