Berakhirnya Rezim Orde Baru

2. Berakhirnya Rezim Orde Baru

Kabinet yang dibentuk melalui hasil pemilu 1997 terfokus pada persoalan pergantian kepemimpinan nasional hasil Sidang Umum MPR tahun 1998. Hal ini berawal dari semakin merosotnya kredibilitas para pimpinan eksekutif dan legislatif serta krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara keseluruhan. Sedangkan persoalan-persoalan lain seperti semakin meningginya bahan-bahan pokok dan naiknya harga BBM, selain merupakan faktor yang dirasakan sangat memberatkan masyarakat, juga merupakan salah satu saluran yang dijadikan kendaraan dalam menyampaikan tuntutan reformasi politik tersebut. Komunikasi politik dalam pengertian sebagai unsur dinamisasi kehidupan politik selama proses pemilihan Presiden dan wakil Presiden di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak berjalan lancar. Komunikasi politik hanya berlangsung dalam kerangka formalisasi proses supaya terlihat sebagai Negara demokrasi dan hanya untuk memperkuat kekuasaan dan bukan untuk menghidupkan proses politik sebagai sarana demokrasi (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 90-92).

Krisis ekonomi yang melanda Asia pada awal tahun 1998 dan khususnya yang melanda Indonesia yang dialami sejak pertengahan tahun 1997 tidak juga membaik. Sementara beberapa Negara tetangga yang terhantam krisis seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina telah menunjukkan perbaikan, keadaan ekonomi di Indonesia tidak juga memberi sinyal bahwa krisis ekonomi akan segera selesai. Nilai rupiah terhadap Dollar Amerika terus turun drastis. Pada bulan Januari 1998, nilai rupiah terhadap Dollar Amerika telah menyentuh angka Rp 9.000,- per Dollar Amerika dari sebelumnya sekitar Rp 2.680,- pada Agustus 1997. Nilai rupiah terus merosot sampai akhirnya turun drastis hingga 1 Dollar setara dengan Rp 13.000,-. Hal ini semakin membuat situasi ekonomi terus menurun, akan tetapi pengusaha terus Krisis ekonomi yang melanda Asia pada awal tahun 1998 dan khususnya yang melanda Indonesia yang dialami sejak pertengahan tahun 1997 tidak juga membaik. Sementara beberapa Negara tetangga yang terhantam krisis seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina telah menunjukkan perbaikan, keadaan ekonomi di Indonesia tidak juga memberi sinyal bahwa krisis ekonomi akan segera selesai. Nilai rupiah terhadap Dollar Amerika terus turun drastis. Pada bulan Januari 1998, nilai rupiah terhadap Dollar Amerika telah menyentuh angka Rp 9.000,- per Dollar Amerika dari sebelumnya sekitar Rp 2.680,- pada Agustus 1997. Nilai rupiah terus merosot sampai akhirnya turun drastis hingga 1 Dollar setara dengan Rp 13.000,-. Hal ini semakin membuat situasi ekonomi terus menurun, akan tetapi pengusaha terus

Alternatif reshuffle kabinet yang ditawarkan pemerintah juga tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Kebijakan reshuffle kabinet pada awalnya diharapkan dapat menjawab tuntutan reformasi, akan tetapi hal tersebut tidak bisa menurunkan gelombang reformasi. Kebijakan reshuffle kabinet hanya dipandang sebagai cara-cara yang tidak akan memberikan arti yang cukup besar pada upaya penyelesaian krisis nasional yang berkepanjangan, karena berkaitan dengan tuntutan ideal reformasi (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 90).

Gerakan reformasi di Indonesia semakin menguat ketika krisis moneter yang terjadi pada Juli 1997 tidak dapat segera diatasi, bahkan berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis multi dimensional, yang pada akhirnya gagal ditangani oleh rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang terjadi gagal ditangani oleh rezim Soeharto menyebabkan tidak validnya keberhasilan ekonomi sebagai alat legitimasi sehingga muncul gerakan reformasi yang semakin menguat (Akbar Tandjung, 2008: 7). Mahasiswa dan masyarakat kemudian menggelorakan demonstrasi dari segala penjuru tanah air. Ratusan mahasiswa di Bandung dan Jakarta mendesak supaya pemerintahan Soeharto segera bertindak nyata untuk mengatasi krisis finansial. Akan tetapi, aksi protes mahasiswa justru dibalas Soeharto dengan kebijakan politiknya yang semakin mengusik rasa keadilan dan demokrasi. Setelah dikukuhkan kembali menjadi Presiden untuk periode 1998-2003, Soeharto mengumumkan formasi kabinet terbarunya. Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan putri sulung Soeharto ditunjuk sebagai Menteri Sosial, sementara Bob Hasan yang merupakan pengusaha yang sangat dekat dengan Soeharto dipilih untuk menjabat posisi strategis sebagai Menteri perindustrian dan perdagangan (Hanum Salsabiela Rais. 2010: 92).

Mahasiswa dan masyarakat kemudian berhasil mendesak pimpinan DPR/MPR untuk meminta Soeharto mundur dari kursi kepresidenan karena melihat Mahasiswa dan masyarakat kemudian berhasil mendesak pimpinan DPR/MPR untuk meminta Soeharto mundur dari kursi kepresidenan karena melihat

Orde Baru merupakan rezim yang terutama menyibukkan diri dengan kegiatan menjaga citra, sementara itu birokrasi menampilkan kesan administrasi yang rasional, yang terdiri dari institusi-institusi yang sangat tidak kompeten dan tidak efisien, dengan tanggung jawab-tanggung jawab yang saling tumpang tindih, pegawai-pegawai yang jumlahnya berlebihan dan digaji sangat rendah. Orde Baru bahkan berusaha menampilkan kesan adanya demokrasi dengan menyelenggarakan pemilihan umum sekali dalam lima tahun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh John Pamberton dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007: 9), bukan hasil yang penting, melainkan kampanye yang mendahului pemilihan-pemilihan umum, yang bisa dengan sangat mudah berubah menjadi tindak kekerasan dan kekacauan.

Rezim Orde Baru juga berusaha menampilkan kesan adanya kapitalisme yang rapi dan yang beroperasi di pasar bebas, tetapi rent dan crony capitalism serta hierarki-hierarki patrimonial memperkuat satu sama lain sedemikian rupa sehingga tidak satu orang pun mampu keluar dari struktur korupsi yang dikendalikan dari pusat. Pada saat krisis moneter yang melanda Asia menghantam Jakarta pada Agustus 1997, Rezim Orde Baru ambruk dalam waktu 9 bulan. Krisis keuangan dan politik 1997-1998 bisa dikonsepsikan sebagai kemacetan total jaringan-jaringan patrimonial yang mengarah ke pusat. Berbagai kelompok yang dulu mendukung Orde Baru secara perlahan-lahan digeser ke pinggir dan kehilangan akses menuju sumber-sumber kekayaan di pusat. Ketika arus dari pusat berhenti, kelompok-kelompok besar kehilangan loyalitas mereka pada Presiden. Tidak lama kemudian diikuti dengan robohnya rezim patrimonial.

Krisis ekonomi, krisis politik, dan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada akhir Orde Baru telah mengakibatkan terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden

Soeharto kepada wakilnya B.J. Habibie. Rezim Orde Baru berakhir di tengah-tengah suasana yang hampir sama dengan suasana kelahiran Orde Baru di tahun 1965-1966, yaitu di tengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan darah di jalan- jalan (M. C. Ricklefs, 2008: 624).

B.J. Habibie kemudian menjadi penerus kekuasaan Soeharto yang mana pemerintahan B.J. Habibbie mendapat tekanan kuat dari kelompok-kelompok pro- demokrasi agar segera melakukan sejumlah pembaruan dibidang politik, seperti pembaruan Undang-undang tentang Partai politik, Undang-undang tentang Pemilihan Umum, Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Pemerintahan B.J. Habibie juga didesak agar segera menyelenggarakan Pemilu, karena sebagian kalangan pro-demokrasi meragukan legitimasi Presiden B.J. Habibie sebagai pengganti kedudukan Soeharto. Dalam kondisi penuh tekanan politik, pemerintahan baru B.J. Habibie mengakomodasi berbagai tuntutan masyarakat (Akbar Tandjung, 2008: 73). Langkah-langkah pembaharuan yang terpenting dilakukan oleh kepresidenan Habibie (Mei 1998-Oktober 1999) adalah terlepas dari kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilihan-pemilihan umum bebas, dan pemberian referendum di Timor Timur, pemerintah Habibie juga memasukkan Undang-undang penting melalui parlemen secara terburu-buru, yang mulai menggerakkan proses desentralisasi administratif (Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, 2007: 16). Salah satu yang dilakukan B.J. Habibie dari langkah- langkah pembaharuan tersebut adalah melaksanakan pemilu legislatif 1999, untuk memperbarui legitimasi atas diri B.J. Habibie (Akbar Tandjung, 2008: 73).

Banyak orang yang tidak bisa menerima B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto, meskipun pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden sudah sesuai dengan aturan. Salah satu alasan B.J. Habibie tidak diterima sebagai Presiden pengganti Soeharto karena B.J. Habibie dianggap sebagai kader puncak Soeharto. Apapun yang dilakukan oleh B.J. Habibie disimpulkan oleh masyarakat hanya sebagai kelanjutan dari berbagai kebijakan Soeharto. Opini seperti itu secara tidak langsung juga didukung oleh pernyataan-pernyataan B.J. Habibie sendiri di berbagai Banyak orang yang tidak bisa menerima B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto, meskipun pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden sudah sesuai dengan aturan. Salah satu alasan B.J. Habibie tidak diterima sebagai Presiden pengganti Soeharto karena B.J. Habibie dianggap sebagai kader puncak Soeharto. Apapun yang dilakukan oleh B.J. Habibie disimpulkan oleh masyarakat hanya sebagai kelanjutan dari berbagai kebijakan Soeharto. Opini seperti itu secara tidak langsung juga didukung oleh pernyataan-pernyataan B.J. Habibie sendiri di berbagai

Praktik politik Indonesia di era Orde Baru berpusat pada Golkar, Militer, dan Birokrasi, di mana masing-masing kekuatan politik sepenuhnya dalam kendali Soeharto. Praktik politik di Indonesia pasca Orde Baru, kekuasaan tidak ada yang terpusat pada sekelompok kecil orang saja dan tidak ada satu pun kekuatan partai politik yang dominan di parlemen. Akibat tidak ada satu pun kekuatan partai politik yang dominan di parlemen, maka kekuasaan politik terbagi dalam kekuatan partai politik yang tercermin dalam kekuatan di parlemen. Presiden yang terpilih pasca Orde Baru, selalu melibatkan partai-partai politik dalam pembentukan kabinetnya. Hal ini mencerminkan adanya kerjasama politik atau koalisi, yang dicerminkan dalam kekuatan politik di parlemen. Akan tetapi, kerjasama tersebut masih dalam bentuk pemerintahan presidensial, bukan parlementer (Endin AJ. Soefihara, 2005: 108-109).

Pemerintahan B.J. Habibie mewarisi kekacauan dari pemerintahan Soeharto sebelumnya yang memiliki permasalahan yang sangat sulit untuk dipecahkan. Pemerintahan B.J. Habibie didesak oleh beberapa penentangnya tentang masalah ketidaktegasan atas perkara KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dari Presiden sebelumnya Soeharto. Permasalahan tidak kunjung selesai masih ditambah lagi dengan kasus Bank Bali dan hasil jeblok jejak pendapat di Timor Timur menjelang sidang Umum MPR 1999. Pemerintahan Habibie juga dipusingkan dengan fenomena bocornya pelbagai dokumen rahasia, karena tidak jelas siapa pengirimnya. Kasus Bank Bali berujung pada rekomendasi Panitia Khusus DPR. (Kamarudin, 1999: 36). Oleh karena itu, Amien Rais kurang percaya bahwa Habibie harus menyelesaikan periode kepresidenan Soeharto yang putus di tengah jalan karena B.J. Habibie mewarisi krisis dan kekacauan masa Orde Baru. Ketika B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden, Amien Rais meminta kepada Habibie supaya segera Pemerintahan B.J. Habibie mewarisi kekacauan dari pemerintahan Soeharto sebelumnya yang memiliki permasalahan yang sangat sulit untuk dipecahkan. Pemerintahan B.J. Habibie didesak oleh beberapa penentangnya tentang masalah ketidaktegasan atas perkara KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dari Presiden sebelumnya Soeharto. Permasalahan tidak kunjung selesai masih ditambah lagi dengan kasus Bank Bali dan hasil jeblok jejak pendapat di Timor Timur menjelang sidang Umum MPR 1999. Pemerintahan Habibie juga dipusingkan dengan fenomena bocornya pelbagai dokumen rahasia, karena tidak jelas siapa pengirimnya. Kasus Bank Bali berujung pada rekomendasi Panitia Khusus DPR. (Kamarudin, 1999: 36). Oleh karena itu, Amien Rais kurang percaya bahwa Habibie harus menyelesaikan periode kepresidenan Soeharto yang putus di tengah jalan karena B.J. Habibie mewarisi krisis dan kekacauan masa Orde Baru. Ketika B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden, Amien Rais meminta kepada Habibie supaya segera

Pemerintahan B.J. Habibie meskipun telah berusaha keras melakukan perubahan-perubahan, akan tetapi semangat Orde Baru belum hilang. Jiwa dan semangat itu masih tercermin dalam banyak Undang-undang, termasuk dalam Undang-undang politik sehingga dengan begitu praktik-praktik kampanye dan pemilu yang berlangsung dan membudaya selama Orde Baru terulang kembali dalam Pemilu 1999 (Sri Bintang Pamungkas, 2001: 132).