Sejarah Koalisi Partai Islam Setelah Kemerdekaan

1. Sejarah Koalisi Partai Islam Setelah Kemerdekaan

Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemeluk Islam secara bersama atau sendiri, memiliki sistem bertindak dan sistem hubungan sosial yang tersusun dalam institusi syariah. Institusi syariah Islam disusun berdasarkan ajaran Islam. Dengan demikian, setiap penyusunan dan perumusan aturan tata hubungan masyarakat yang dilakukan pemerintah Indonesia akan segera langsung atau tidak langsung melibatkan komunitas umat tersebut (Abdul Munir Mulkhan, 1989: 3).

Islam di Indonesia tidak dapat disamakan dengan Islam di Negara manapun. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Mintz dalam M. Rusli Karim (1997: 20) bahwa Islam di Indonesia sebagai unsur tambahan dari agama-agama yang telah ada, di samping mempersatukan juga merupakan sebuah kekuatan dinamis, tidak kaku dalam adaptasi dengan kehidupan modern. Faktor ini pula yang menyebabkan Islam memainkan peran penting sebagai kendaraan nasionalisme dan pembangunan sosial di Indonesia. Tokoh-tohoh Islam banyak yang memegang peranan penting dalam pemerintahan di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, Islam merupakan pemersatu bagi orang Indonesia untuk berhadapan dengan Belanda dan Cina. Oleh karena itu, berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911 untuk mewadahi atau mengorganisasi para pedagang Muslim di Indonesia yang kemudian Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam di tahun 1913 yang pada awalnya diarahkan untuk orang-orang Cina di Solo. Sarekat Dagang Islam kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam karena para tokoh Sarekat Dagang Islam ingin supaya organisasi tersebut tidak hanya untuk para pedagang Muslim saja tetapi juga seluruh orang Islam di Indonesia. Ikatan Pada masa penjajahan Belanda, Islam merupakan pemersatu bagi orang Indonesia untuk berhadapan dengan Belanda dan Cina. Oleh karena itu, berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911 untuk mewadahi atau mengorganisasi para pedagang Muslim di Indonesia yang kemudian Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam di tahun 1913 yang pada awalnya diarahkan untuk orang-orang Cina di Solo. Sarekat Dagang Islam kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam karena para tokoh Sarekat Dagang Islam ingin supaya organisasi tersebut tidak hanya untuk para pedagang Muslim saja tetapi juga seluruh orang Islam di Indonesia. Ikatan

Lahirnya Sarekat Islam merupakan sebuah aktivitas keagamaan pertama yang cukup berarti dalam usaha memperbaiki posisi umat Islam dalam sebuah bangsa yang telah dijajah. Sarekat Islam kemudian berubah menjadi partai politik sekaligus berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada tahun 1920. Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkontribusi dalam menegakkan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia yang kemudian disusul dengan berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912, dengan semangat pembaharuan yang merupakan suatu cara baru untuk diperkenalkan kepada komunitas Islam ke dalam kehidupan modern yang mulai menggunakan organisasi modern. Falsafah perjuangan yang terpenting adalah mengangkat martabat bangsa terjajah.

Sarekat Islam dan Muhammadiyah disebut sebagai langkah awal yang mempunyai dampak bagi masa depan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan berikutnya, Sarekat Islam yang menjadi Partai Sarekat Islam kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), sebagai partai Islam pertama. Sedangkan Muhammadiyah berkembang menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan yang sangat berpengaruh, terutama dalam mengajarkan paham Islam modern, memberikan perhatian pada pendidikan dan amal sosial.

Umat Islam di Indonesia sejak tahun 1920-an semakin banyak yang melibatkan diri dalam kegiatan politik untuk menentang penjajah asing. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa organisasi Islam telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perjuangan bangsa menentang penjajah (Abdul Munir Mulkhan, 1987: 56). Nahdlatul Ulama (NU) berdiri setelah Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada tahun 1926 oleh K.H.A. Wahab Hasbullah. Organisasi Islam yang muncul kemudian adalah Perti (Pesatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan dari sebuah proses jamaah pengajian Bukittinggi, Sumatera Barat tanggal 5 Mei 1928.

Organisasi-organisasi Islam yang lain (berhaluan modernis, reformis, dan tradisionalis) seperti NU, Muhammadiyah, PSII, Persatuan Umat Islam, Al-Islam, dan Al-Irsyad kemudian menyatukan dalam federasi Islam yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di tahun 1937 (Ahdi Makmur, 2006: 66). MIAI dibentuk atas dasar keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. MIAI secara umum bergerak di bidang keagamaan, akan tetapi dalam setiap kegiatan yang dilakukan MIAI sarat muatan politik. MIAI kemudian mendirikan partai Islam yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan November 1943 (Ahmad Syafi’i Mufid, 2009: 13). Selain Masyumi berdiri pergerakan-pergerakan Islam yang lain seperti Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Pergerakan-pergerakan Islam tersebut merupakan suatu catatan yang menunjukkan potensi sosial-politik umat Islam yang tidak bisa diabaikan dalam dinamika sosial-politik di Indonesia (Deliar Noer, 1999: 279).

Pada masa Revolusi keadaan Negara dan perpolitikan di Indonesia masih sangat labil, Indonesia masih menghadapi musuh asing yang ingin kembali menguasai Indonesia. Setelah musuh asing keluar, dunia perpolitikan di Indonesia juga kembali menguat termasuk kesadaran kembali sebagian umat Islam untuk kembali memperjuangkan umat melalui gerakan politik (M. Abdul Karim, 2007: 18). Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat Nomor X tanggal 3 November 1945, tentang pembentukan partai-partai politik yang mana setelah keluar Maklumat No.X tersebut, muncul 36 partai politik, akan tetapi partai Islam yang muncul pada saat itu hanya Masyumi yang merupakan representasi dari umat Islam. Masyumi terdiri dari empat organisasi umat Islam, yaitu: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam (Miriam Budiardjo, 2008: 427).

Partai politik Islam selanjutnya mulai bermunculan seperti Partai PERTI (Pesatuan Tarbiyah Islamiyah) yang pada awalnya merupakan ormas keagamaan kemudian berubah menjadi partai politik pada tahun 1945. Selain PERTI juga terdapat partai PSII (keluar dari Masyumi tahun 1952) dan Partai NU (keluar dari

Masyumi tahun 1954) sehingga wadah tunggal parpol Islam tidak ada lagi. Munculnya gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan salah satu representasi gerakan politik Islam pada saat itu, begitu juga mulai muncul kesadaran sebagian rakyat Aceh yang ingin lepas dari Indonesia (M. Abdul Karim, 2007: 19).

Masyumi pada masa awal kemerdekaan merupakaan partai Islam yang paling diminati. Kedudukan umat Islam pada awal revolusi kurang kuat meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hal ini dapat dilihat dari kabinet dan KNIP. Hanya terdapat dua orang menteri yang mewakili Masyumi dalam kabinet Presidensial yang dibentuk pada bulan Agustus 1945 yaitu K.H. Wahid Hasyim dan Abikusno Tjokrosujoso. Wahid Hasjim dan Sjafruddin Prawiranegara juga merupakan dua orang wakil dari umat Islam yang duduk dalam Badan Pekerja KNIP yang jumlahnya 15 orang. Kabinet ini terjadi perombakan dalam pembagian kursi, akan tetapi Masyumi yang merupakan satu-satunya partai Islam merasa pembagian dalam perombakan kabinet tersebut kurang adil.

Pada saat terjadi perubahan kabinet Presidensial ke kabinet Parlementer partai Masyumi tidak menyetujuinya. Kabinet Parlementer merupakan usulan dari Sjahrir dan kemudian kabinet berubah menjadi kabinet Sjahrir. Kabinet Sjahrir hanya meletakkan satu orang Masyumi yang duduk parlemen, yaitu H. Mohammad Rasjidi yang semakin membuat kalangan Masyumi kecewa. Kekecewaan ini berkembang menjadi tuntutan perubahan kabinet Sjahrir. Kongres Masyumi di Solo tanggal 10-13 Februari 1946 menuntut adanya pembentukan kabinet koalisi, dan suatu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui suatu pemilihan umum yang bersifat langsung. Partai-partai lain pada umumnya juga setuju dengan yang dikemukakan oleh Masyumi tentang pergantian sistem kabinet serta tuntutan kabinet koalisi. Pada tanggal 28 Februari 1946, dalam sidang KNIP di Solo Sjahrir telah mengembalikan mandatnya, akan tetapi pada tanggal 2 Maret 1946, Sjahrir ditunjuk sebagai formatir suatu kabinet koalisi. Kabinet Sjahrir jatuh disebabkan oleh oposisi Persatuan Perjuangan. Oposisi datang dari mayoritas rakyat, apabila hal ini tidak dikemukakan Pada saat terjadi perubahan kabinet Presidensial ke kabinet Parlementer partai Masyumi tidak menyetujuinya. Kabinet Parlementer merupakan usulan dari Sjahrir dan kemudian kabinet berubah menjadi kabinet Sjahrir. Kabinet Sjahrir hanya meletakkan satu orang Masyumi yang duduk parlemen, yaitu H. Mohammad Rasjidi yang semakin membuat kalangan Masyumi kecewa. Kekecewaan ini berkembang menjadi tuntutan perubahan kabinet Sjahrir. Kongres Masyumi di Solo tanggal 10-13 Februari 1946 menuntut adanya pembentukan kabinet koalisi, dan suatu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui suatu pemilihan umum yang bersifat langsung. Partai-partai lain pada umumnya juga setuju dengan yang dikemukakan oleh Masyumi tentang pergantian sistem kabinet serta tuntutan kabinet koalisi. Pada tanggal 28 Februari 1946, dalam sidang KNIP di Solo Sjahrir telah mengembalikan mandatnya, akan tetapi pada tanggal 2 Maret 1946, Sjahrir ditunjuk sebagai formatir suatu kabinet koalisi. Kabinet Sjahrir jatuh disebabkan oleh oposisi Persatuan Perjuangan. Oposisi datang dari mayoritas rakyat, apabila hal ini tidak dikemukakan

Tuntutan untuk mengadakan koalisi terus dicetuskan oleh Masyumi bersama dengan PNI, dan Persatuan Bangsa Indonesia. Sjahrir kemudian mempimpin lagi dalam kabinet Sjahrir yang ketiga, terdiri dari 30 anggota bersifat nasional. Termasuk di dalam Kabinet Sjahrir III ini adalah enam orang dari Masyumi. Setelah Kabinet Sjahrir, kemudian diganti dengan kabinet Amir Sjarifuddin. Setelah itu, sering sekali gonta-ganti Kabinet dalam kepemimpinan tokoh Masyumi hingga tahun 1950. Kesepakatan ideologis dalam elite politik pada saat itu dibangun atas dasar yang lemah. Kegagalan kabinet Sjahrir juga tidak lepas dari ketakutan elite Negara dan partai nasionalis terhadap kemenagan kelompok Islam, dan juga kaum nasionalis terus membenahi diri mencari dukungan (M. Abdul Karim, 2007: 19).

Pada tahun 1951, PNI menggantikan Masyumi sebagai partai yang berkuasa dalam perpolitikan kabinet dan mampu mengimbangi besarnya fraksi Masyumi di parlemen arena bentuk pemerintahan kembali ke Negara kesatuan, pimpinan RI kembali dipimpin oleh Soekarno (Presiden) dan Hatta (Wakil Presiden) dan dengan Kabinet Hatta. Akan tetapi kabinet Hatta tidak berlangsung lama, karena kemudian Kabinet Hatta digantikan oleh Kabinet Natsir. Kabinet-kabinet selanjutnya juga tidak berusia lama, setelah Kabinet Natsir, kemudian kabinet digantikan oleh Kabinet Sukiman, kemudian kabinet Wilopo, Kabinet Wilopo digantikan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo (1953 – 1955) (Deliar Noer, 2000: 228).

Pada tahun 1954, masa kampanye pemilu 1955, terjadi pelebaran pertentangan basis ideologi di antara PNI dan Masyumi. Perbedaan tersebut adalah seputar pandangan tentang prioritas dan arah perkembangan politik dan ekonomi Indonesia. Menurut PNI, yang utama adalah benar-benar terlepas dari Belanda, sementara Masyumi yang penting adalah membangun kembali ekonomi yang telah rusak akibat perang. Perbedaan ini pada dasarnya bermula dari pandangan agama dan

latar belakang kesukuan. PNI adalah orang-orang Jawa dan kaum priyayi yang cenderung sekuler sementara Masyumi mempercayakan Islam adalah landasan ideologis utama. Pada tahun 1952, kekuatan Masyumi yang sebelumnya didukung oleh NU justru ditinggalkan oleh pendukung besar Masyumi, yaitu NU. Hal ini dikarenakan peran NU dalam Masyumi dirasakan terpinggirkan meskipun NU mempunyai massa atau suara besar, dan NU dikuasai kaum modernis radikal di bawah Moh. Natsir. Keberhasilan PNI dalam menguasai perpolitikan parlemen dan kabinet pada tahun 1953 secara tidak langsung didukung oleh NU yang telah menarik diri dari Masyumi. Pada tahun 1954 PNI menjadi kelompok terbesar dalam parlemen, PNI semakin banyak menarik tokoh Islam tanpa harus mengikutsertakan Masyumi. Meskipun NU berlandaskan Islam, akan tetapi NU berakar pada nasionalisme (M. Abdul Karim, 2007: 20).

Pada Pemilu 1955, peta kekuatan politik Islam terpecah menjadi lima partai politik, yaitu Masyumi, PSII, Perti, PPTI dan NU sehingga jumlah suara yang diperoleh partai Islam kalah dari PNI. Pemilu 1955 dilaksanakan secara dua tahap, pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante. Pemilu 1955 dilaksanakan pada masa pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956). Kabinet Burhanuddin Harahap adalah Kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai intinya, sedang partai

Nasional Indonesia (PNI) menjadi partai oposisi. Pemilu 1955 menghasilkan PNI

sebagai pemenang pemilu untuk anggota DPR dengan perolehan suara sebesar 22,32% disusul Masyumi dengan 20,92% dan NU dengan 18,41% sementara PSII memperoleh suara sebesar 2,89%. Apabila NU dan PSII tidak keluar dari Masyumi, maka akan lebih unggul dari PNI apalagi jika kekuatan politik Islam digabung maka akumulasi perolehan suara seluruh partai Islam 44,93%.

Pada pemilu 1955, partai Islam sulit melakukan koalisi karena terdapat beberapa perbedaan (politik) yang menyebabkan partai-partai Islam tidak dapat membentuk pemerintahan koalisi. Koalisi yang terjadi justru dilakukan antara partai

Islam dengan partai non-Islam (Nasionalis – Sosialis). Setelah Pemilu 1955, NU semakin sering terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan. Berdasarkan hasil Pemilu 1955, NU ikut ambil bagian dalam kabinet Ali Sastroamidjojo dan dibentuk kabinet koalisi antara PNI – Masyumi – NU dan beberapa partai lain yang terdapat wakil di parlemen, tanpa mengikutsertakan PKI (M. Dzulfikriddin, 2010: 108). Pada tahun 1955, Masyumi sebagai partai Islam yang mendapat suara terbesar di antara partai Islam yang lain. Pada Pemilu 1955 memperlihatkan bahwa partai-partai Islam tidak mampu melakukan koordinasi politik yang mapan dan signifikan melalui satu koalisi politik yang kuat dan sinergis, sejak saat itu politik Islam terus terpuruk. Sidang Majelis Konstituante pada tahun 1957 yang ketika itu membahas ideologi Negara, NU dan Masyumi dapat berkoalisi mempertahankan ideologi Islam. Akan tetapi karena PNI dan PKI juga berkoalisi mempertahankan Pancasila, maka PNI dan PKI kembali memenangkan sidang. Menghadapi sikap PKI, kelompok Islam-pun merasa curiga. Umat Islam yakin bahwa komunis pada dasarnya tidak percaya pada Tuhan, karena dalam Pancasila terdapat sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Tahun 1959 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 7 PNPS tentang syarat- syarat dan pembubaran partai politik yang menyebabkan pembatasan gerak partai. Tekanan terhadap partai ditambah lagi dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 128 Tahun 1960 yang menyatakan partai yang diakui pemerintah adalah PNI, NU, PKI, Partai Katholik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti dan Partai Murba, sedangkan Partai Masyumi, PSI dan beberapa partai yang lain dibubarkan atau tidak diakui. Padahal, Masyumi merupakan mayoritas suara terbesar partai Islam. Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena Masyumi dinilai gagal dalam pembuktian keterlibatan Masyumi dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia–Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI–Permesta). Partai Islam pun semakin merosot dengan keadaan tersebut. Akan tetapi, tumbangnya PKI 1965, justru tampak sebagai kekuatan tunggal yang bermasa positif terhadap NU, sementara PNI juga tumbang berkaitan dengan pembubaran PKI (M. Abdul Karim, 2007: 21-25).

Pemilu kedua di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1971 yang telah memasuki masa Orde Baru atau merupakan Pemilu pertama yang dilaksanaan pada masa Orde Baru. Pada Pemilu 1971 ini diikuti oleh 9 partai politik dan 1 golongan yaitu Golongan Karya (Golkar). Pelaksanaan pemilu 1971 berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lain yang tergabung dalam Golkar sehingga menjadikan Golkar sebagai pemenang pemilu pada tahun 1971 dengan memperoleh suara sebesar 62,82%. Hal ini berarti Golkar memperoleh suara mayoritas dalam pemilu 1971 karena memperoleh suara diatas 50% (Mahrus & Nurhuda Y., 2008: 42). Sedangkan Pemilu 1971 ini diikuti oleh 4 partai Islam yaitu NU memperoleh suara 18,67%, Parmusi 7,36%, PSII 2,39% dan Partai Islam Perti 0,70%. Perolehan suara hasil pemilu 1971 untuk partai-partai yang bercorak Islam menurun dibandingkan pada pemilu 1955. Pada pemilu 1971 basis pertempuran terjadi bukan antara santri dan abangan dalam isu-isu keagamaan, melainkan antara PKI yang abangan dan koalisi PNI yang juga abangan di satu pihak, dan partai-partai santri seperti NU dan Masyumi.

Pada tahun 1973 terjadi fusi atau koalisi atau penyederhanaan partai politik yang mana sejak menjelang Pemilu 1971 Golkar telah melancarkan pembaharuan politik, dengan alasan modernisasi, yang salah satunya dalah ingin meninggalkan ‘Ideologi Oriented’ ke ‘Program Oriented’, salah satu programnya adalah berfusinya partai-partai yang ada. Selama masa Orde Baru berlangsung pluralitas partai dan pluralitas ideologi merupakan pembuat masalah dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya (Kacung Marijan, 1993: 37).

Pada tanggal 5 Februari 1973 empat partai Islam yang terdiri dari seperti NU, Parmusi, PSII, dan Perti tergabung dalam bentuk Konfederasi Kelompok Persatuan Pembangunan telah disepakati dibentuknya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam tersebut (Abadi, 8 Januari 1973:1). Ali Murtopo dalam Kacung Marijan (1993: 37) berpendapat bahwa gagasan penyederhanaan partai tidak hanya berarti pengurangan jumlah partai, tetapi lebih penting dari pada itu adalah perombakan sikap dan pola kerja menuju orientasi pada

program, sehingga paralel dengan penyederhanaan partai adalah penunggalan ideologi. Realisasinya, pada tanggal 10 Januari 1973 sepuluh partai yang ada pada saat itu disederhanakan menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) yang bercorak nasionalis (PDI) yang terdiri dari 5 partai seperti PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Murba, 2) yang bercorak spiritual (fusi dari partai-partai Islam) menjadi PPP yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, 3) Golongan Karya yang pendiriannya dimaksudkan untuk menampung aspirasi politik dari kelompok-kelompok yang belum tersalurkan lewat partai-partai yang ada, sehingga pada pemilu selanjutnya yaitu Pemilu 1977 yang mana pada pemilu tahun 1977 ini diikuti oleh Golkar, PDI, dan PPP. Pemilu 1977 dan selanjutnya hingga tahun 1997 hanya diikuti oleh 3 partai politik tersebut.

PDI dan PPP mengawali berfusinya anggota dalam fraksi-fraksi di DPR, dimana partai nasionalis tergabung dalam PDI, partai Islam tergabung dalam PPP, yang diawali berfusinya anggota dalam fraksi-fraksi di DPR. Restrukturisasi sistem kepartaian yang dilakukan pada tahun 1973 tersebut semakin memudarkan wadah politik umat Islam, hingga muncul PPP dan PDI untuk sekedar mendampingi Golkar yang tidak menamakan diri sebagai partai politik (M. Abdul Karim, 2007: 27-28).

Pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 oleh pemerintah Orde Baru hanya terdapat 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 (pasca fusi 1973) partai Islam yang berfusi menjadi PPP perolehan suara 29,29%. Empat kabinet pertama Orde Baru sangat sedikit kalangan muslim santri yang ikut duduk dalam kabinet. Pada masa kabinet pembangunan V dan VI wakil kaum santri mulai terlihat dalam kabinet.

Semangat berjuang umat Islam melalui PPP semakin mereda ketika muncul perpecahan hubungan antara MI (Muhammadiyah) dan NU, sehingga PPP semakin lemah dalam peran perpolitikan di Indonesia dan juga menunjukkan semakin lemah dalam perjuangan politik umat Islam. Hal ini semakin jelas terlihat karena penurunan perolehan suara PPP semakin berlanjut pada Pemilu tahun 1982 memperoleh 27,78%,

Pemilu 1987 memperoleh 15,97%, pemilu 1992 memperoleh 17% dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 17% suara (Abdul Munir Mulkhan, 2009: 49-54).