Sidang Istimewa MPR 2001

3. Sidang Istimewa MPR 2001

Pada bulan Mei 2000 serangan kepada Abdurrahman Wahid meningkat, padahal kasus interpelasi belum selesai. Media massa hangat membahas adanya kasus penggunaan dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 Milyar dan penerimaan sumbangan dana dari Sultan Brunei Darussalam sebesar US $ 2 juta yang mengaitkan nama Presiden Abdurrahman Wahid. Pada tanggal 29 Juni 2000, sebanyak 236 anggota DPR mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Rapat paripurna DPR pada tanggal 28 Agustus 2000 menyetujui untuk mengadakan penyelidikan yang diiringi dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki Abdurrahman Wahid. Sejak adanya kasus yang kemudian dikenal dengan Buloggate dan Bruniegate masalah interpelasi seolah tenggelam dan para anggota DPR lebih memusatkan perhatiannya kepada penggunaan hak penyelidikan (Rodjil Ghufron, 2001: 4).

Menurut Manasse Malo dalam Rodjil Ghufron (2001: 4) pembentukan Pansus Buloggate dan Bruneigate adalah suatu upaya untuk mengalihkan perhatian dari kebutuhan pelacakan penyelewengan dana non budgeter Bulog dalam jumlah yang jauh lebih besar yang melibatkan pejabat Orde Baru. Pansus menyampaikan laporan pada tanggal 29 Januari 2001 kemudian dikeluarkan Memorandum I tanggal

1 Februari 2001 disebutkan bahwa rapat paripurna DPR pada tanggal 1 Februari 2001 mengambil keputusan menyetujui dan menerima laporan hasil kerja Pansus penyelidikan terhadap kasus Dana milik Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Untung Wahono, 2003:186).

Pada tanggal 30 April 2001, dengan perbandingan suara 363 anggota setuju,

52 menolak, dan 42 abstain, DPR telah mengeluarkan Memorandum II kepada Presiden. Isi memorandum II menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid 52 menolak, dan 42 abstain, DPR telah mengeluarkan Memorandum II kepada Presiden. Isi memorandum II menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid

Rapat pleno Badan Pekerja MPR memutuskan Sidang Istimewa MPR dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2001 sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meskipun terdapat usulan dari tujuh fraksi DPR untuk mempercepat pelaksanaan Sidang Istimewa MPR (Untung Wahono, 2003: 191). Adanya masalah-masalah yang menimpa Abdurrahman Wahid membuat Megawati Soekarnoputri semakin jauh meninggalkan Abdurrahman Wahid dan mengisyaratkan bahwa Megawati siap untuk menjadi Presiden RI melalui Sidang MPR yang digelar 1 Agustus 2001. Seiring dengan melemahnya kekuasaan Abdurrahman Wahid, posisi Megawati kian menguat. Badan Pekerja MPR yang membuat Rancangan Ketetapan MPR tentang pemberhentian Presiden dan pengangkatan Wakil Presiden menjadi Presiden sudah dipersiapkan secara matang, dan segala persiapan tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan Abdurrahman Wahid sudah diujung tanduk, sebaliknya Megawati terus berkibar. Para pemimpin Partai Besar seperti Partai Golkar, PPP, dan PAN yang merupakan bagian dari koalisi Poros Tengah semakin kompak berdiri di belakang Megawati Soekarnoputri (Gendur Sudarsono, Adi Prasetya & Edy Budiarso, 2001:20-22).

Abdurrahman Wahid meskipun mendapat berbagai tekanan yang datang dari segala penjuru menjelang Sidang Istimewa MPR, akan tetapi tidak menyurutkan semangat Abdurrahman Wahid untuk menghadapi sidang tersebut. Strategi Abdurrahman Wahid untuk merangkul kembali Megawati Soekarnoputri dirasa sangat mustahil untuk dilakukan, kemudian Abdurrahman Wahid mengalihkan sasaran. Abdurrahman Wahid mengerahkan tim pendukungnya antara lain Mahfud MD, Agum Gumelar, Khofifah Indar Parawansa, dan Baharuddin Lopa untuk

menjalin kerjasama kembali dengan Poros Tengah (sebuah koalisi longgar Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan (PK), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)). Poros Tengah yang mempelopori dukungan terhadap Abdurrahman Wahid dan sukses mendudukannya sebagai Presiden dalam pertarungan dramatis melawan Megawati Soekarnoputri, akan tetapi kemudian hubungan antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan Poros Tengah menjadi renggang setelah hanya beberapa bulan Abdurrahman Wahid di kursi Presiden, ketika Abdurrahman Wahid memecat Hamzah Haz, pemimpin PPP yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Gendur Sudarsono, Edy Budiyarso, & Andari Karina, 2001: 22-23). Akan tetapi, berbagai lobi yang dilakukan Abdurrahman Wahid sia-sia dan membuat semakin mendekatnya pelaksanaan Sidang Istimewa MPR.

Pada tanggal 22 Juli 2001, hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sudah siap dengan calon wakil Presiden. Para petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga mendukung Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) apabila pertanggungjawaban Abdurrahman Wahid ditolak dalam Sidang Istimewa MPR (Gendur Sudarsono, Andari Karina Anom & Arif Kuswardono, TEMPO 23 Juli 2001: 22). Sidang Istimewa MPR pada akhirnya dilakukan lebih cepat yaitu pada tanggal 23 Juli 2001. Amien Rais kemudian membuka sidang dan mencabut mandat MPR atas status kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia kelima melalui TAP MPR No.3/MPR/2001 tertanggal

23 Juli 2001 yang merupakan akumulasi dan klimaks rangkaian perjalanan panjang Megawati Soekarnoputri (Hasrullah, 2001: vii). Babak Sidang Istimewa MPR selanjutnya adalah perebutan kursi Wakil Presiden, yang menjadi menarik adalah perebutan kursi Wakil Presiden karena munculnya pertarungan di antara kelompok politik yang sebelumnya bersatu untuk mengalahkan musuh bersama. Abdurrahman Wahid diberhentikan dari kursi kepresidenan melalui TAP MPR No.3/MPR/2001 dan mengangkat Megawati sebagai Presiden melalui TAP MPR No.3/MPR/2001. Secara kalkulasi politik ada dua tokoh yang paling berpeluanag untuk mendampingi Presiden

Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden yaitu Hamzah Haz yang di dukung oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Akbar Tandjung yang di dukung oleh Fraksi Reformasi.

Ditinjau dari sisi koalisi yang akan dibangun memang Hamzah Haz yang diajukan oleh Fraksi Reformasi dan dan Fraksi PPP tidak mudah untuk mendapat dukungan dari PDI Perjuangan karena alasan yang utama yaitu dukungan terhadap Piagam Jakarta serta gencarnya penolakan PPP pada masa pemilu dan pemilihan Presiden terhadap Presiden wanita. Akhirnya PPP tidak mempersoalkan lagi masalah Piagam Jakarta dan masalah Presiden perempuan. Fraksi Reformasi dan dan Fraksi PPP melakukan pendekatan dengan PDI Perjuangan dan pendekatan ini membuahkan hasil yang cukup nyata. Sehari menjelang pemilihan Wakil Presiden, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR yaitu Arifin Panigoro memberi jaminan bahwa suara PDI Perjuangan akan diberikan kepada Hamzah Haz (Untung Wahono, 2003: 199).

Pemilihan Wakil Presiden dilakukan dengan tiga putaran. Pada putaran kedua diikuti oleh tiga kandidat yang memperoleh suara terbanyak. Hasil putaran kedua Pemilihan Wakil Presiden memunculkan Hamzah Haz dengan perolehan suara terbanyak yaitu 304 suara, lalu Akbar Tandjung yang memperoleh 203 suara, dan Susilo Bambang Yudhoyono dengan 147 suara. Jumlah suara pemenang, yaitu Hamzah Haz tidak mampu mencapai jumlah separoh lebih, maka putaran ketiga harus diikuti oleh dua calon terbesar yaitu Hamzah Haz dan Akbar Tandjung. Dalam putaran terakhir ini, Hamzah Haz berhasil mendapatkan suara terbesar, mengungguli Akbar Tandjung sehingga secara resmi Hamzah Haz dinyatakan sebagai wakil Presiden untuk mendampingi Megawati Soekarnoputri (Akbar Tandjung, 2008: 267). Sidang Istimewa MPR 23 Juli 1999 merupakan hal yang menarik, karena pada awalnya Hamzah Haz pada pemilu 1999 termasuk salah satu tokoh yang ingin mengganjal Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden karena ulama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada saat itu sebagai partai Islam tidak mungkin menyokong Presiden wanita, akan tetapi pada Sidang Istimewa MPR tersebut Hamzah Haz bersedia untuk dicalonkan menjadi Wakil Presiden pendamping Megawati

Soekarnoputri (Gendur Sudarsono, Andari Karina Anom & Arif Kuswardono, TEMPO 23 Juli 2001: 22).