Pemilu 7 Juni 1999

3. Pemilu 7 Juni 1999

Pelaksanaan Pemilu 1999 segera dipercepat dikarenakan atas desakan public yang menyebabkan hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Pemilu kemudian dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pemilu tersebut diadakan untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Dengan dilaksanakannya Pemilu tersebut, yang terjadi tidak hanya keanggotaan DPR/MPR yang diganti sebelum selesai masa kerjanya, akan tetapi Presiden Habibie sendiri, bagi yang memandangnya konstitusional, memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003 (A. Malik Haramain, 2004: 134).

Reformasi yang bergulir pada masa pemerintahan B.J. Habibie menyebabkan jumlah partai politik tidak dibatasi dan bebas menentukan asas partai. Kebebasan mendirikan partai ini dilembagakan dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik (Hanta Yuda AR, 2010: 117). Perubahan ini sekaligus merupakan awal dari tumbuhnya kembali multipartai di Indonesia setelah beberapa tahun selama Orde Baru sejak tahun 1973 Golkar yang merupakan partai pembaharu menampilkan Reformasi yang bergulir pada masa pemerintahan B.J. Habibie menyebabkan jumlah partai politik tidak dibatasi dan bebas menentukan asas partai. Kebebasan mendirikan partai ini dilembagakan dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik (Hanta Yuda AR, 2010: 117). Perubahan ini sekaligus merupakan awal dari tumbuhnya kembali multipartai di Indonesia setelah beberapa tahun selama Orde Baru sejak tahun 1973 Golkar yang merupakan partai pembaharu menampilkan

Kebebasan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat pada masa reformasi merupakan hal-hal yang harus ada dalam mengembangkan kehidupan demokrasi dan sistem perpolitikan di Indonesia kembali berubah setelah jatuhnya Orde Baru pimpinan Soeharto. Setelah masa transisi di bawah pimpinan B.J. Habibie, partai politik yang pada masa Orde Baru diposisikan sebagai pelengkap dan aksesori demokrasi, maka pasca-reformasi fungsi partai politik dikembalikan lagi sebagai sarana yang bersifat legal dalam menampung dan menyalurkan semangat kebebasan berpolitik. Untuk membangun kembali struktur partai politik, dikeluarkan dua Undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1999 tentang partai politik dan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Sejak UU No.2 Tahun 1999 diberlakukan, jumlah partai politik tidak dibatasi lagi dan Indonesia kembali ke sistem multipartai (Firmanzah, 2008: 60).

Kebebasan mendirikan partai politik menjelang Pemilu 1999 menyebabkan munculnya lebih dari seratus partai politik. Euphoria politik ini muncul sebagai respon atas kebebasan berekspresi politik yang telah lama terpasung selama pemerintahan Orde Baru (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 97). Banyaknya partai politik yang bermunculan tidak terlepas dari politik aliran. Kehadiran Islam dan politik Indonesia memberi warna tersendiri bagi banyaknya partai politik yang bermunculan setelah Reformasi. Kehadiran Islam dan politik Indonesia kontemporer tidak berkaitan dengan politik aliran, tetapi merupakan konsekuensi logis dari proses politik di Indonesia. Aliran merupakan sebuah metafora dari kenyataan kehidupan sosial-politik di Indoneisa, di mana partai politik pada masa pasca-kemerdekaan Kebebasan mendirikan partai politik menjelang Pemilu 1999 menyebabkan munculnya lebih dari seratus partai politik. Euphoria politik ini muncul sebagai respon atas kebebasan berekspresi politik yang telah lama terpasung selama pemerintahan Orde Baru (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 97). Banyaknya partai politik yang bermunculan tidak terlepas dari politik aliran. Kehadiran Islam dan politik Indonesia memberi warna tersendiri bagi banyaknya partai politik yang bermunculan setelah Reformasi. Kehadiran Islam dan politik Indonesia kontemporer tidak berkaitan dengan politik aliran, tetapi merupakan konsekuensi logis dari proses politik di Indonesia. Aliran merupakan sebuah metafora dari kenyataan kehidupan sosial-politik di Indoneisa, di mana partai politik pada masa pasca-kemerdekaan

Menurut Clifford Geertz dalam Nur Syam (2009: 231-232), konsep aliran merupakan bentuk utama dari hampir keseluruhan pola kehidupan manusia Indonesia termasuk perilaku politiknya. Aliran merupakan bentuk dari integrasi sosial. Aliran merupakan keseluruhan pola dari dan bagi kehidupan orang Indonesia yang terutama didasarkan atas persoalan religio-kultural. Ada pattern from behaviour dan pattern of behaviour masyarakat Indonesia yang didasarkan atas nilai-nilai sosio-religio- kultural. Aliran dalam struktur kehidupan masyarakat sangat beragam. Aliran sebagai pola dari kehidupan akan terlihat pada seluruh dataran realitas kehidupan masyarakat. Clifford Geertz kemudian membagi masyarakat Jawa dalam tiga kategori sosio- religio-kultural, yaitu santri, priyayi, dan abangan. Ketiga tipologi pola dari (pattern of ) ini didasarkan atas pola bagi (pattern for) yang berupa norma-norma yang menjadi dasar pijakan atau kerangka pedoman.

Gambaran priyayi adalah orang yang baik, halus, dan santun, terutama dalam berbahasa. Praktik-praktik mistis dilakukan sebagai usaha untuk mencapai perasaan sabar, menerima, dan ikhlas. Kaum priyayi ini contohnya adalah seorang guru yang berperilaku baik dan dicontoh oleh murid karena mengajar di lingkungan pendidikan modern (Negara). Kaum abangan misalnya adalah figur seorang kepala desa yang dalam kegiatan sehari-hari melakukan ritual demi keseimbangan kosmologi yang dimiliki. Contoh dari kaum santri adalah seorang kiai yang berada di lingkungan pendidikan tradisional pada masyarakat santri. Berbagai aliran kepercayaan mewadahi kegiatan spiritualitas kaum priyayi. Sekat-sekat yang ada dalam ketiga varian (santri, priyayi, dan abangan) tersebut dalam perkembangannya kemudian Gambaran priyayi adalah orang yang baik, halus, dan santun, terutama dalam berbahasa. Praktik-praktik mistis dilakukan sebagai usaha untuk mencapai perasaan sabar, menerima, dan ikhlas. Kaum priyayi ini contohnya adalah seorang guru yang berperilaku baik dan dicontoh oleh murid karena mengajar di lingkungan pendidikan modern (Negara). Kaum abangan misalnya adalah figur seorang kepala desa yang dalam kegiatan sehari-hari melakukan ritual demi keseimbangan kosmologi yang dimiliki. Contoh dari kaum santri adalah seorang kiai yang berada di lingkungan pendidikan tradisional pada masyarakat santri. Berbagai aliran kepercayaan mewadahi kegiatan spiritualitas kaum priyayi. Sekat-sekat yang ada dalam ketiga varian (santri, priyayi, dan abangan) tersebut dalam perkembangannya kemudian

Peta masyarakat Indonesia oleh Clifford Geertz dalam Afan Gaffar (2006: 124-126) telah terjadi pemilihan sosial yang bersifat cumulative (secara komulatif) atau consolidated (gabungan), karena telah terjadi proses penguatan dalam hal pengelompokkan sosial. Orang-orang abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak kepada partai politik yang tradisional, sekuler, dan nasionalis seperti PDI Perjuangan atau Partai Golkar. Sementara, orang-orang santri cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai Islam seperti PKB, PPP, PBB, Partai Keadilan, dan lain-lain. Partai-partai Islam ini bersaing mendapatkan dukungan umat Islam Indonesia. Partai Amanat Nasional (PAN) didirikan oleh Amien Rais (Muhammadiyah) sehingga PAN didominasi oleh kalangan Muhammadiyah, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merepresentasikan kaum NU, dan lain sebagainya (Kuskridho Ambardi, 2009: 140-147).

Pada masa Orde Baru umat Islam di Indonesia terkotak-kotak dalam berbagai partai politik yang berasaskan Islam, sehingga merupakan hal yang mustahil untuk dapat mendirikan partai apalagi dengan asas Islam. Berbagai persoalan yang menyangkut masalah politik di tanah air semakin meruncing, Fuad Amsyary (1999:

18) mengusulkan agar tokoh-tokoh umat Islam seperti Amien Rais, Nurcholish Madjid, Yusril Ihza Mahendra dan Gus Dur secepatnya memprakarsai suatu forum dialog antar Partai politik Islam agar saling menguatkan posisi umat Islam Indonesia di masa yang akan datang baik dalam menghadapi Pemilu maupun pasca-pemilu.

Hal tersebut di atas dimaksudkan agar umat Islam tetap memegang peranan penting dalam kehidupan kenegaraan. Umat Islam harus memberikan contoh keteladanan dalam kehidupan politik berpolitik maupun bernegara. Oleh karena itu, umat Islam harus mensosialisasikan kepada masyarakat bagaimana proses pergantian kekuasaan dari Presiden kepada Wakil Presiden yang dulu terjadi. Masyarakat

Indonesia masih terjadi konflik antara yang pro dan kontra karena ada yang menganggap bahwa pergantian itu menyebabkan pemerintahan tidak demokratis. Tokoh-tokoh umat Islam tersebut seharusnya mendesak kepada Presiden Habibie untuk secepatnya meredam berbagai konflik yang terjadi di masyarakat, antara lain melalui kebijakan yang memihak pada aspirasi masyarakat dan mahasiswa, agar semua kepentingan bisa bersatu untuk diambil kebijakan yang terbaik sebagai referensi nasional.

Pemilu 1999 merupakan kesempatan emas bagi komunitas Islam politik di Indonesia. Pemilu 1999 bisa disebut sebagai bangkitnya partai-partai politik Islam. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kekuatan kelompok-kelompok politik lain, kekuatan politik Islam yang disimbolisasikan dengan 12 partai politik berasaskan Islam tetap mengkhawatirkan. Titik tekan kekhawatiran itu terlihat ketika partai- partai politik berideologi Nasionalisme-Sekuler terlihat kuat (Deliar Noer, 1999:116).

Bangkitnya partai-partai Islam di Indonesia karena sebelumnya terdapat isu “Islam” yang dikaitkan dengan perjalanan politik di Indonesia, terutama menguat sejak diumumkannya susunan kabinet 1993-1998. Kabinet pembangunan VI yang dikesani sangat berpihak pada kalangan Muslim saat itu telah mengundang kecemburuan yang hampir sulit dikendalikan. Meskipun bagi kalangan Muslim sendiri, kenyataan itu tidak tidak disikapi sebagai sesuatu yang final dan sangat menggembirakan. Hal ini mengisyaratkan satu tantangan besar, baik menyangkut prestasi kerja yang diperankannya maupun menyangkut prestasi kerja yang diperankan maupun menyangkut menyangkut sentiment primordial yang sangat sensitif di tengah pluralitas masyarakat. Sejumlah opini merebak dalam berbagai tema di media massa seperti “Penghijauan Kabinet”, “Penghijauan Beringin”, “Santrinisasi Golkar”, dan lain sebagainya. Sejak saat itu Islam sebagai salah satu kekuatan politik kembali muncul ke permukaan setelah beberapa periode sebelumnya seakan-akan tenggelam terkubur dalam lubang kekalahan (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 94).

Partai politik yang bernafaskan Islam yang semakin banyak bermunculan tidak bisa terlepas dari kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai oleh organisasi Partai politik yang bernafaskan Islam yang semakin banyak bermunculan tidak bisa terlepas dari kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai oleh organisasi

ICMI merupakan sebuah organisasi cendekiawan muslim di Indonesia yang didirikan pada tanggal 7 Desember 1990. Tujuan didirikan ICMI adalah meningkatkan mutu kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se- Indonesia dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 guna mewujudkan tata kehidupan manusia yang damai, adil, sejahtera lahir batin yang diridhoi Allah. Kelahiran ICMI merupakan kejutan untuk banyak kalangan karena Islam sebelumnya merupakan minoritas dalam politik Indonesia meskipun penduduk Indonesia mayoritas adalah Islam. Vaikotis dalam Ahmad Bahar (1955: 20) menyatakan bahwa ICMI dipersepsikan sebagai “menghidupkan kembali” peranan politik Islam. Pada akhir 1980-an Presiden Soeharto telah mengubah sikapnya terhadap Islam yakni lebih responsif. Kelahiran ICMI banyak yang memberikan reaksi atau kontra terhadap pendirian ICMI dan memojokkan ICMI tidak terkecuali adalah masyarakat sipil yang didukung oleh beberapa perwira ABRI, yakni lawan politik Islam, baik dari kelompok nasionalis “abangan”, kelompok sosialis ataupun kelompok-kelompok dari agama Nasrani, seperti dengan pembentukan wadah tandingan ICMI (Ahmad Bahar, 1995: 21).

Pendirian ICMI mendapat pro-kontra dari beberapa pihak. Selain terdapat pihak yang kontra terhadap pendirian ICMI tersebut di atas, terdapat pula yang pro atau menyetujui berdirinya ICMI. Bagi pihak yang menyetujui berdirinya ICMI karena menginginkan kiprah dan peranan para intelektual muslim di birokrasi pemerintahan semakin maju dan menonjol. Hal ini dapat dimaklumi karena masa kepemimpinan Soeharto dianggap kurang bersahabat dengan organisasi-organisasi Islam yang ada. Adam Schwarz dalam Fathurin Zen (2004: 126) menyatakan bahwa

terdapat tiga kelompok yang mendukung ICMI, yaitu kaum birokrat, kelompok modernis yang memiliki aspirasi mendirikan Negara Islam, dan sekelompok neomodernis. ICMI berusaha untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang disimbolkan dengan peningkatan 5K (Kualitan Iman, Kualitas Pikir, Kualitas Kerja, Kualitas Karya, dan Kualitas Hidup). Untuk mewujudkan cita-cita itu maka didirikan Yayasan Abdi Bangsa pada tahun 1992, dengan salah satu programmnya yaitu penerbitan Harian Umum Republika. Harian Umum Republika khususnya dalam bidang politik mendorong tumbuhnya proses demokratisasi dan optimalisasi lembaga-lembaga Negara, partisipasi politik semua lapisan masyarakat, dan pengutamaan kejujuran dan moralitas dalam politik. Peranan ICMI semakin luas karena banyak tokoh ICMI yang berkecimpung di dunia politik seperti B.J. Habibie.

Ormas Islam yang pada saat itu memiliki posisi dan kedudukan yang sangat strategis dalam memberikan andil besar untuk menggolkan cita-cita dan tujuan yang diperjuangkan. ICMI merapatkan barisan dan melakukan konsolidasi organisasi dalam rangka memberdayakan diri sendiri guna mengemban tugas-tugas reformasi dan pembangunan layaknya sebuah organisasi. Meskipun demikian, masyarakat sepertinya tidak bisa melupakan kaitan antara B.J. Habibie dengan ICMI, karena dalam kabinet Reformasi Pembangunan yang Habibie pimpin, terdapat sejumlah tokoh ICMI (Suara Muhammadiyah, 1-15 Januari 1999: 16).

ICMI di bawah pimpinan B.J. Habibie juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam proses penyusunan kabinet tersebut. Sehingga pandangan orang tentang Islam Indonesia yang ditempatkan dalam bingkai pemandangan menarik di mana Islam saat itu mulai memainkan peranan politik yang cukup besar. Bersama dengan hal itu, muncul pemandangan baru politisasi agama hampir dalam semua sektor kehidupan politik masyarakat. Simbol Islam bahkan menjadi komoditas yang relatif paling laris terutama ketika politik membutuhkan legitimasi publik yang lebih besar (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 95). Menurut Letjend Purn Ahmad Tirtosudiro, Ketua Umum ICMI Pusat bahwa di Era reformasi, demokrasi yang berkembang baik menjadikan politik umat Islam mengalami kemajuan, yaitu dengan munculnya partai- ICMI di bawah pimpinan B.J. Habibie juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam proses penyusunan kabinet tersebut. Sehingga pandangan orang tentang Islam Indonesia yang ditempatkan dalam bingkai pemandangan menarik di mana Islam saat itu mulai memainkan peranan politik yang cukup besar. Bersama dengan hal itu, muncul pemandangan baru politisasi agama hampir dalam semua sektor kehidupan politik masyarakat. Simbol Islam bahkan menjadi komoditas yang relatif paling laris terutama ketika politik membutuhkan legitimasi publik yang lebih besar (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 95). Menurut Letjend Purn Ahmad Tirtosudiro, Ketua Umum ICMI Pusat bahwa di Era reformasi, demokrasi yang berkembang baik menjadikan politik umat Islam mengalami kemajuan, yaitu dengan munculnya partai-

Letjend. Purn. Ahmad Tirtosudiro mengatakan bahwa Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa di Republik ini tidak boleh ada partai Islam, dan munculnya partai yang ada tidak lebih dari upaya legitimasi kekuasaannya saja. Sebab umat Islam tidak bebas bergerak. Tidak bebas menyuarakan pendapat dan kiprahnya selalu dalam pengawasan pemerintah. Gerakannya dibatasi sekat-sekat kekuasaan. Baru setelah kekuasaan Orde Baru tumbang maka umat Islam bergerak cepat untuk membangun kembali kekuatannya guna mengembalikan hak-haknya yang hilang (Suara Muhammadiyah, 1-15 Januari 1999: 14-15).

Islam muncul dalam pergumulan politik di Indonesia tidak hanya karena tuntutan perjalan sejarah yang pernah, sedang dan akan dilaluinya, tetapi pada saat yang sama Islam juga memiliki nilai-nilai yang oleh para penganutnya diyakini sebagai norma, batasan, atau bahkan sebagai etika yang secara normatif membimbing keterlibatannya dalam kehidupan politik. PPP merupakan representasi dari partai Islam yang pada prosesnya sendiri kerika itu masih sering menggunakan isu Islam sebagai pakaian partai yang ditawarkan oleh PPP. Hal itu digunakan karena adanya kaitan latar belakang sejarah yang cukup kuat diyakini massa. Kedua sisi tersebut satu sama lain saling berkaitan, dan secara bersama-sama keduananya berkaitan dengan sisi lainnya, yaitu birokrasi.

Pada masa Orde Baru terdapat tiga kekuatan sosial politik yang cukup mewarnai mekanisme politik di Indonesia, yaitu; Islam, Birokrasi, dan Militer. Asep Saeful Muhtadi (2008: 97) menyatakan bahwa “ketiga-tiganya juga pada akhirnya akan berujung pada satu tema yang sama, yaitu Islam.” Selain Islam sendiri telah membentuk satu kekuatan politik, pada birokrasi dan militer pun pada dasarnya terdapat sejumlah figur muslim. Arti strategis posisi “Islam” di sini sebagai tema sentral pergumulan politik di Indonesia. Islam pernah menjadi tema yang kurang menguntungkan dalam perbincangan tentang politik di Indonesia, maka kemudian dapat dipandang sebaliknya, Islam bisa menjadi tema yang tidak pernah absen hampir Pada masa Orde Baru terdapat tiga kekuatan sosial politik yang cukup mewarnai mekanisme politik di Indonesia, yaitu; Islam, Birokrasi, dan Militer. Asep Saeful Muhtadi (2008: 97) menyatakan bahwa “ketiga-tiganya juga pada akhirnya akan berujung pada satu tema yang sama, yaitu Islam.” Selain Islam sendiri telah membentuk satu kekuatan politik, pada birokrasi dan militer pun pada dasarnya terdapat sejumlah figur muslim. Arti strategis posisi “Islam” di sini sebagai tema sentral pergumulan politik di Indonesia. Islam pernah menjadi tema yang kurang menguntungkan dalam perbincangan tentang politik di Indonesia, maka kemudian dapat dipandang sebaliknya, Islam bisa menjadi tema yang tidak pernah absen hampir

Fenomena Islam politik pasca Soeharto atau pasca Orde Baru masih dalam tahap mencari bentuk ekspresi dan kelembagaan politik yang lebih tepat. Pada tahap yang paling awal dari kelahiran kembali partai Islam tahun 1999 terdapat sekitar 42 partai yang berasaskan Islam atau menggunakan simbol-simbol formal Islam. Akan tetapi hanya terdapat beberapa partai yang diidentifikasikan dengan Islam yang memiliki pendukung yang signifikan. Pengertian tentang partai Islam lebih luas lagi mencakup partai seperti PAN, PKB, PPP, PBB, dan Partai Keadilan atau bahkan juga partai Golkar yang sebelum reformasi sudah relatif “hijau” dan menjadi semakin “hijau” dengan banyaknya kalangan militer dan sipil yang tersingkir karena tidak dikenal sebagai orang-orang yang secara politik tidak memiliki orientasi Islam (Azyumardi Azra, 1999: 89).

Tahun 1999 terjadi pergeseran aliansi dalam dinamika politik di Tanah Air, yaitu dari aliansi politik antara kubu status quo, menjadi kubu Islam versus kelompok nasionalis sekuler. Pergeseran aliansi ini dari kacamata prinsip demokrasi adalah langkah mundur. Transisi ke demokrasi yang sangat sulit di Indonesia, akibat krisis ekonomi dan warisan politik Orde Baru, pada saat itu menjadi menjadi bertambah sulit dan labil karena pergeseran aliansi politik itu. Aliansi kubu reformasi versus kubu status quo telah dibentuk dengan harga yang sangat mahal. Beberapa bulan menjelang jatuhnya Presiden Soeharto, kubu reformasi adalah minoritas. Kubu reformasi menguat karena dibantu oleh adanya gerakan mahasiswa, krisis ekonomi dan pergeseran elite. Hal ini mencapai puncaknya pada saat jatuhnya Presiden Soeharto, dan ratusan mahasiswa tewas. Akan tetapi, pertarungan kubu reformasi versus kubu status quo belum selesai. Sistem demokratis yang diperjuangkan kubu reformasi belum sepenuhnya terealisasi. Menjelang akhir kampanye (akhir Mei dan awal Juni 1999), aliansi politik yang baru tumbuh. Garis pemisah bukan lagi isu reformasi versus isu status quo, tetapi kelompok Islam versus kelompok nasionalis- sekuler. Sekat pemisah antara Islam dan non-Islam dijadikan isu politik utama. Para Tahun 1999 terjadi pergeseran aliansi dalam dinamika politik di Tanah Air, yaitu dari aliansi politik antara kubu status quo, menjadi kubu Islam versus kelompok nasionalis sekuler. Pergeseran aliansi ini dari kacamata prinsip demokrasi adalah langkah mundur. Transisi ke demokrasi yang sangat sulit di Indonesia, akibat krisis ekonomi dan warisan politik Orde Baru, pada saat itu menjadi menjadi bertambah sulit dan labil karena pergeseran aliansi politik itu. Aliansi kubu reformasi versus kubu status quo telah dibentuk dengan harga yang sangat mahal. Beberapa bulan menjelang jatuhnya Presiden Soeharto, kubu reformasi adalah minoritas. Kubu reformasi menguat karena dibantu oleh adanya gerakan mahasiswa, krisis ekonomi dan pergeseran elite. Hal ini mencapai puncaknya pada saat jatuhnya Presiden Soeharto, dan ratusan mahasiswa tewas. Akan tetapi, pertarungan kubu reformasi versus kubu status quo belum selesai. Sistem demokratis yang diperjuangkan kubu reformasi belum sepenuhnya terealisasi. Menjelang akhir kampanye (akhir Mei dan awal Juni 1999), aliansi politik yang baru tumbuh. Garis pemisah bukan lagi isu reformasi versus isu status quo, tetapi kelompok Islam versus kelompok nasionalis- sekuler. Sekat pemisah antara Islam dan non-Islam dijadikan isu politik utama. Para

Pada Pemilu 1999 terdapat 19 partai Islam peserta pemilu, di antara partai- partai Islam tersebut terdapat 5 besar partai-partai Islam peserta pemilu 1999. Profil 5 besar partai-partai Islam peserta pemilu 1999 diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berdiri pada 5 Januari 1973 yang terdiri dari empat kekuatan partai Islam yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Parmusi yang mengalami kekalahan dari Golkar pada pemilu 1971. Penggabungan keempat partai tersebut bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama Orde Baru tahun 1973. Jadi, PPP berasaskan Islam.

Identitas yang melekat PPP sebagai partai Islam karena misi PPP yang berupaya melangsungkan upaya pembangunan spiritual dan material sekaligus dengan penekanan pada aspek pembangunan spiritual. Aspek spiritual mendapat bobot yang lebih besar karena akan menetaskan motivasi, nilai, etika, dan moral yang diperlukan oleh pembangunan. Tujuan PPP adalah mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Swt dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan mewujudkan tatanan politik yang demokratis yang dilandasi akhlakul karimah serta mengembangkan kehidupan yang Islami.

Struktur organisasi PPP secara garis besar terdiri dari Dewan Pimpinan dan Majelis Pertimbangan, dan dibangun sesuai dengan daerah pemerintahan yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, yaitu: Wilayah PPP ialah Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan didampingi oleh Majelis Pertimbangan Wilayah (MPW), Cabang PPP ialah Daerah Tingkat II atau yang disamakan yang dipimpin oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC), dan didampingi oleh Majelis Pertimbangan Cabang (MPC), Anak Cabang PPP di Tingkat Kecamatan yang Struktur organisasi PPP secara garis besar terdiri dari Dewan Pimpinan dan Majelis Pertimbangan, dan dibangun sesuai dengan daerah pemerintahan yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, yaitu: Wilayah PPP ialah Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan didampingi oleh Majelis Pertimbangan Wilayah (MPW), Cabang PPP ialah Daerah Tingkat II atau yang disamakan yang dipimpin oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC), dan didampingi oleh Majelis Pertimbangan Cabang (MPC), Anak Cabang PPP di Tingkat Kecamatan yang

b. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) didirikan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1998 yang dideklarasikan oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU), termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Lahirnya PKB, bukan hanya wadah baru bagi penyaluran aspirasi politik warga NU, tetapi juga menjadi parameter bagi soliditas politik organisasi sosial keagamaan yang berbasis massa di pesantren dan pedesaan (Untung Wahono, 2003: 74).

PKB yang merupakan partai yang didirikan oleh kaum Nahdliyyin yang tidak satu pun yang memeluk agama di luar Islam, akan tetapi PKB lebih memilih Pancasila daripada Islam sebagai asas Partai. Pancasila digunakan sebagai asas partai karena dilandasi oleh cara pandang tokoh-tokoh PKB dalam melihat Islam. Tokoh- tokoh PKB meyakini bahwa Islam tidak perlu dituangkan dalam bentuk formal kelembagaan, tetapi yang paling penting adalah ajaran Islam tercermin dalam tingkah laku sehari-hari. Bagi tokoh-tokoh PKB, kadar keislaman suatu partai tidak hanya diukur dari pemasangan Islam dalam AD/ART, namun ditentukan oleh seberapa jauh kemampuan partai tersebut mewujudkan nilai-nilai Islam dalam berpolitik. Menurut Abdurrahman Wahid (1999) PKB tidak perlu berasas Islam, akan tetapi yang penting PKB adalah Partai Islam.

Struktur organisasi PKB adalah daripusat sampai dengan tingkat desa, yaitu: Organisasi Tingkat Pusat dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Organisasi Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW), Organisasi Tingkat II dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC), Organisasi Tingkat Kecamatan dipimpin oleh Pengurus Anak Cabang, dan Organisasi Tingkat Desa dipimpin oleh Pengurus Ranting (Zainal Abidin Amir, 2003: 130).

c. Partai Amanat Nasional (PAN)

Partai Amanat Nasional dideklarasikan tanggal 23 Agustus 1998. Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) berawal dari Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang dibentuk Amien Rais pada 14 Mei 1998 di Galeri Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Keberadaan MARA berpangkal dari keprihatinan sejumlah tokoh dalam melihat perkembangan politik yang terus memburuk di penghujung Orde Baru. MARA merupakan wadah kerjasama berbagai organisasi dan perorangan yang mempunyai komitmen terhadap reformasi untuk demokrasi. MARA dibentuk untuk mendorong terbukanya jalan ke arah perubahan situasi yang damai dan sesuai dengan reformasi. MARA disebut juga sebagai embrio PAN. Setelah MARA terbentuk, Amien Rais menyatakan keinginannya untuk menjadikan MARA sebagai sebuah partai politik yang bisa menjadi organisasi peserta pemilu 1999, dan Amien Rais memutuskan untuk memimpin sebuah partai politik. Keputusan Amien Rais untuk memimpin partai politik tidak menemui hambatan karena warga Muhammadiyah mendukung sepenuhnya apabila Amien Rais memimpin partai politik baru tersebut. Pada awalnya Amien Rais akan bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB), tetapi pada akhirnya Amien Rais enggan untuk bergabung dengan PBB. Amien Rais yang merupakan tokoh penggerak reformasi kemudian juga didekati oleh PPP, akan tetapi Amien Rais lebih memilih untuk memimpin PAN (Pratomo, 2008: 45).

PAN memberi penegasan atas pilihan politik yang digunakan setelah melalui ijtihad politik, maka PAN berasaskan Pancasila, bersifat terbuka, majemuk dan mandiri, serta beridentitas menjunjung tinggi moral agama dan kemanusiaan. Tujuan pembentukan PAN adalah menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material dan spiritual. Struktur Organisasi PAN terdiri atas tiga pilar, yaitu Dewan Pimpinan, Majelis Pertimbangan Partai (MPP) serta Badan Otonomi dan Lembaga/Panitia Khusus (Zainal Abidin Amir, 2003: 140-142).

d. Partai Bulan Bintang (PBB)

Partai Bulan Bintang (PBB) didirikan pada tanggal 23 Juli 1998 dengan Yusril Ihza Mahendra sebagai pemimpin partai dan dideklarasikan pada tanggal 26 Juli 1998 di halaman Masjid Agung Al-Azhar. Warga PBB meyakini bahwa Islam adalah agama dan sekaligus jalan kehidupan. Oleh karena itu, PBB berasaskan Islam. Tujuan umum didirikan PBB adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan tujuan khusus didirikan PBB adalah untuk memperjuangkan cita-cita para anggota dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Stuktur organisasi Partai Bulan Bintang (PBB) antara lain, pada tingkat nasional yaitu Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sedangkan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) memiliki kepemimpinan di tingkat Provinsi atau Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya/ Daerah Tingkat II (Zainal Abidin Amir, 2003: 86).

e. Partai Keadilan (PK)

Kehadiran Partai Keadilan (PK) di panggung politik Islam Indonesia mengejutkan banyak pihak. Partai Keadilan (PK) mengupayakan desaklarisasi terhadap istilah presiden partai. Partai Keadilan telah mencatat prestasi luar biasa dalam melebarkan pengaruh ke berbagai pernjuru Tanah Air. Partai Keadilan (PK) didirikan tanggal 20 Juli 1998 yang kemudian dideklarasikan pada tanggal 9 Agustus 1998 di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta.

Kelahiran Partai Keadilan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang politik Islam di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan sampai dengan Orde Baru yang kemudian menjadi berantakan karena perlawanan rakyat. Bagi komunitas Partai Keadilan, hubungan antara Islam dan Negara dalam lembaran sejarah bangsa sering diwarnai saling mencurigai bahkan permusuhan yang mengakibatkan merosotnya Kelahiran Partai Keadilan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang politik Islam di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan sampai dengan Orde Baru yang kemudian menjadi berantakan karena perlawanan rakyat. Bagi komunitas Partai Keadilan, hubungan antara Islam dan Negara dalam lembaran sejarah bangsa sering diwarnai saling mencurigai bahkan permusuhan yang mengakibatkan merosotnya

Partai Keadilan didirikan berawal dari gerakan dakwah Islam yang dibangun secara sistematik di kampus-kampus dan lambat laun merambah ke masyarakat luas. Mayoritas kader dan anggota Partai Keadilan adalah golongan muda. Sebagai partai kader, Partai Keadilan memiliki sistem kaderisasi kepartaian yang sistematik dan metodik. Kaderisasi ini memiliki fungsi rekruitmen calon anggota dan fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader, dan fungsionaris partai. Partai Keadilan secara tegas menyatakan Islam sebagai asas partai. Nur Mahmudi Ismail sebagai Presiden PKS pada saat itu menyatakan bahwa pemakaian asas Islam dalam berpartai dan berormas hendaknya dipahami dalam Negara yang berlandaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945, seperti bunyi Pancasila sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan kepada setiap orang di Indonesia yang beragama supaya memiliki tanggung jawab rabbaniah (Zainal Abidin Amir, 2003: 83).

Fenomena Partai Keadilan dan langkah-langkah Partai Keadilan cukup unik diantara partai-partai yang bermunculan pada era reformasi, khususnya sebagai sebuah partai yang sama sekali dapat dikatakan tidak memiliki akar historis kepartaian, tetapi memiliki akar historis pemikiran. Pada tanggal 30 Mei 1999 delapan partai politik berasaskan Islam menyatakan bersatu dan menyepakati penggabungan sisa suara (stembus accord) hasil Pemilu 1999. Ke delapan partai itu adalah PPP, Partai Keadilan, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Ummat Islam, PPII, Masyumi, PNU, PBB, dan PSII 1905 (Untung Wahono, 2003: 45).

Peta politik nasional di masa mendekati pelaksanaan pemilu terbelah menjadi dua kutub yang bertolak belakang yaitu kubu reformis dan kubu status quo. Kubu status quo ini oleh komponen non-negara dilekatkan pada Partai Golkar sedangkan Partai-partai Islam ditempatkan di kubu reformis. Oleh karena itu, pentas politik nasional sebelum pergelaran pemilu 1999 menyaksikan munculnya dua Peta politik nasional di masa mendekati pelaksanaan pemilu terbelah menjadi dua kutub yang bertolak belakang yaitu kubu reformis dan kubu status quo. Kubu status quo ini oleh komponen non-negara dilekatkan pada Partai Golkar sedangkan Partai-partai Islam ditempatkan di kubu reformis. Oleh karena itu, pentas politik nasional sebelum pergelaran pemilu 1999 menyaksikan munculnya dua

Komunike kedua dibentuk oleh PAN, PPP, dan Partai Keadilan (PK) yang dinilai kurang ideal karena unsur-unsurnya hanya berasal dari satu kelompok yaitu Islam. Persoalan menyelamatkan agenda reformasi bukan urusan Islam saja, tetapi merupakan permasalahan seluruh bangsa ini berkepentingan dan karena hal tersebut perlu disertakan. Persekutuan yang didasarkan pada sentiment keislaman sangat rentan terhadap penetrasi Golkar (status quo), melalui tokoh-tokoh Golkar yang dekat dengan para pemimpin Islam yang tergabung dalam Komunike Dua (Zainal Abidin Amir, 2003: 289-290). PAN diwakili oleh Amien Rais, PPP diwakili oleh Hamzah Haz, dan Partai Keadilan (PK) diwakili oleh Nurmahmudi Ismail. Amien Rais yang mewakili ketiga partai tersebut menyatakan bahwa ketiga partai tersebut hendak menggulingkan partai Golkar. Bayangan koalisi diantara ketiga partai tersebut sudah lebih dari 50%, paling tidak rencana penggabungan suara dari masing-masing partai untuk salah satu partai yang paling berprospek menang mendekati tuntas (Wahyu Muryadi, Kelik M. Nugroho & Hardy R. Hermawan, 30 Mei 1999: 26-27).

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan atau pro dan kontra terhadap keberadaan dua komunike tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah kedua pernyataan bersama yang banyak mendapat sorotan itu dimotori oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari kelompok Islam tradisionalis diwakili oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Amien Rais dari kelompok Islam modernis diwakili oleh Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan dua tokoh terkemuka dari dua kubu yang berbeda yang mana dinamika politik selanjutnya terus diwarnai Terlepas dari kelebihan dan kekurangan atau pro dan kontra terhadap keberadaan dua komunike tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah kedua pernyataan bersama yang banyak mendapat sorotan itu dimotori oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari kelompok Islam tradisionalis diwakili oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Amien Rais dari kelompok Islam modernis diwakili oleh Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan dua tokoh terkemuka dari dua kubu yang berbeda yang mana dinamika politik selanjutnya terus diwarnai

Partai politik yang sudah dibubarkan sebelumnya sesudah tahun 1965/1966, menyebabkan orang mulai menyesuaikan diri dengan kenyataan Indonesia di masa Orde Baru telah berubah menjadi Sistem Partai dominan, atau lebih realistis, partai tunggal. Sejak kuartal ketiga 1998, Indonesia tiba-tiba kembali ke sistem multipartai, dan muncul nama partai-partai baru seperti PAN, PBB, PKB, dan Partai Keadilan, tetapi prospek dan ciri masing-masing partai dibicarakan dengan asumsi bahwa Indonesia sudah kembali ke dalam kompetisi partai sebelum Pemilu 1955 (Salim HS, Uzair Fauzan & Sholeh, 1999: xvi). Herbert Feith dalam Tempo (1999: 30-31) mengatakan bahwa situasi pelaksanaan Pemilu 1999 hampir sama dengan Pemilu 1955. Kedua pemilu tersebut sama-sama diliputi suasana tegang. Pemilu 1955 diwarnai oleh ketegangan Islam dan nasionalis. Perbedaan pendapat tentang dasar Negara meruncing diantara partai Islam dan partai nasionalis. Sedangkan dalam Pemilu 1999 diwarnai ketegangan akibat kerusuhan-kerusuhan di daerah-daerah seperti Ambon dan Kalimantan Barat. Akan tetapi, kerusuhan-kerusuhan tersebut tidak akan mempengaruhi Pemilu walaupun krisis ini bisa memunculkan rasa frustasi masyarakat. Hal ini sudah diprediksi sebelum dilaksanakannya Pemilu 1999, berdasarkan alasan historis dan sosiologis, para pengamat politik memperkirakan dalam proses penyederhanaan, seperti Pemilu 1955 hanya akan muncul beberapa partai besar (Salim HS, Uzair Fauzan & Sholeh, 1999: 7).

Pemilu Tahun 1999 untuk memilih anggota DPR, dilaksanakan serentak pada tanggal 7 Juni 1999, dan menghasilkan 10 besar diantaranya adalah sebagai berikut:

Tabel. 2. 10 Besar Hasil Pemilu 7 Juni 1999

No. Nama Partai

Suara

Kursi Tanpa SA*)

Kursi Dengan SA*)

1. PDI Perjuangan

7. Partai Keadilan

*) SA: Stembus Accord, yaitu penghitungan kursi dengan memperhitungkan penggabungan sisa suara. Sumber: www.kpu.go.id

Perhitungan suara dalam pemilu 1999 perlu memperhitungkan 2 catatan penting, yaitu apabila jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658 atau 9,17 % dari suara yang sah, dan apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 % dari suara sah (http://www.kpu.go.id/, 2012).

Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional berbasis Daerah Tingkat I, yaitu apabila suara yang berhasil dikumpulkan sebuah partai akan dihitung habis di Daerah Tingkat I. Sebuah Partai akan memperoleh satu kursi DPR RI mewakili Kabupaten atau Kota tertentu apabila memenuhi jumlah suara yang telah ditentukan berdasarkan jumlah penduduk Daerah Tingkat I tersebut. Apabila terdapat partai yang Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional berbasis Daerah Tingkat I, yaitu apabila suara yang berhasil dikumpulkan sebuah partai akan dihitung habis di Daerah Tingkat I. Sebuah Partai akan memperoleh satu kursi DPR RI mewakili Kabupaten atau Kota tertentu apabila memenuhi jumlah suara yang telah ditentukan berdasarkan jumlah penduduk Daerah Tingkat I tersebut. Apabila terdapat partai yang

Pasca Reformasi 1998, Pemerintahan B.J. Habibie dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan di segala bidang termasuk dalam Sistem Politik Indonesia pada saat itu. Pemerintahan B.J. Habibie berusaha untuk memperbaiki sistem politik yang ada pada saat itu dengan mengadakan pemilihan umum 1999 karena sudah banyak desakan dari masyarakat. Sistem politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya Politik Aliran seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam Kuskridho Ambardi (2009: 87) membagi masyarakat Indonesia dalam Priyayi, Santri, dan Abangan. Pola semacam ini juga masih tergambar pada masyarakat Indonesia pasca Reformasi 1998 termasuk dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia atau tercermin dalam partai politik di Indonesia.

Contoh pola tersebut di atas adalah PDI Perjuangan yang mana partai ini mewakili sekuler, dalam istilah Geertz kelompok ini biasa disebut sebagai abangan (satu segmen masyarakat Jawa yang memelihara tradisi spiritual yang bersifat lokal, kelompok ini mungkin mempraktikkan beberapa ritual Islam, akan tetapi tidak sepenuhnya terengkuh oleh Islam), atau bisa disebut nasionalis. Kelompok abangan adalah Partai Golkar termasuk dalam kelompok abangan, sedangkan kelompok santri diwakilkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merepresentasikan kaum Nahdatul Ulama (NU) atau Islam tradisional sebagai lumbung suara terbesar, Partai Amanat Nasional (PAN) merepresentasikan Muhammadiyah karena sebagian besar pemilih PAN berasal dari warga Muhammadiyah, yang mana Muhammadiyah lahir dari elite priyayi keraton, yaitu Kyai Ahmad Dahlan yang berbasis tradisi kekotaan Kauman Yogyakarta dan dalam perkembangannya Muhammadiyah berkembang sebagai gerakan santri kota sesudah mengalami formalisasi fikih dalam lembaga tarjih yang dibentuk tahun 1927, sehingga PAN merupakan gambaran dari Islam Contoh pola tersebut di atas adalah PDI Perjuangan yang mana partai ini mewakili sekuler, dalam istilah Geertz kelompok ini biasa disebut sebagai abangan (satu segmen masyarakat Jawa yang memelihara tradisi spiritual yang bersifat lokal, kelompok ini mungkin mempraktikkan beberapa ritual Islam, akan tetapi tidak sepenuhnya terengkuh oleh Islam), atau bisa disebut nasionalis. Kelompok abangan adalah Partai Golkar termasuk dalam kelompok abangan, sedangkan kelompok santri diwakilkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merepresentasikan kaum Nahdatul Ulama (NU) atau Islam tradisional sebagai lumbung suara terbesar, Partai Amanat Nasional (PAN) merepresentasikan Muhammadiyah karena sebagian besar pemilih PAN berasal dari warga Muhammadiyah, yang mana Muhammadiyah lahir dari elite priyayi keraton, yaitu Kyai Ahmad Dahlan yang berbasis tradisi kekotaan Kauman Yogyakarta dan dalam perkembangannya Muhammadiyah berkembang sebagai gerakan santri kota sesudah mengalami formalisasi fikih dalam lembaga tarjih yang dibentuk tahun 1927, sehingga PAN merupakan gambaran dari Islam

Pemilu 1999 menandai berakhirnya dominasi Golkar yang secara berturut- turut memenangkan Pemilu selama enam kali di era rezim Soeharto (Orde Baru). Perolehan suara Golkar merosot drastis dari 74,5% (pemilu 1997) menjadi 22,5% dan hanya merebut 120 kursi pada Pemilu 1999. Pemilu 1999 dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dengan suara mayoritas yaitu 33,8% atau 154 kursi DPR. PPP, PKB, dan PAN sebagai partai lima besar lainnya masing-masing memperoleh suara 12,62% (58 kursi), 10,72% (51 kursi) dan 7,12% (34 kursi) DPR (Zainal Abidin Amir, 2003: 239). Pada Pemilu 1997, semua daerah pemilihan dimenangkan secara mayoritas mutlak oleh Golkar, sedangkan dalam pemilu 1999 satu-satunya daerah pemilihan yang di dominasi oleh Golkar secara mutlak adalah Sulawesi Selatan, asal B.J. Habibie dengan meraih suara 66,5% dan merebut 16 dari 24 kursi DPR daerah tersebut. Sementara di daerah-daerah pemilihan lain di luar Sulawesi Selatan terjadi kompetisi yang cukup ketat di antara lima partai besar Pemilu 1999, terutama antara PDI Perjuangan dan Partai Golkar (Untung Wahono, 2003: 101).

Hasil Pemilihan Umum 1999 di satu pihak menggembirakan karena pemilu berjalan cukup demokratis dan benar-benar menjadi milik rakyat, meskipun disana- sini masih terdapat kecurangan, tetapi di pihak lain menyedihkan karena kekuatan- kekuatan politik Islam baik yang formal-eksklusif maupun yang substantif-inklusif tidak memetik suara yang menentukan. Muara kekuatan politik yang relatif akhirnya mengerucut pada yang akan bertanding di MPR untuk memperebutkan kursi Presiden (Pemilu Presiden 1999) berada di kubu PDI Perjuangan dan Partai Golkar dengan menghadapkan-hadapkan kubu Megawati melawan B.J. Habibie. Meskipun, kedua kubu tersebut masih jauh dari harapan untuk secara pasti dapat memenangkan suara untuk kursi Presiden, karena tidak cukup memadai untuk menguasai suara mayoritas (Haedar Nashir, 1999: 32).