Kabinet Persatuan Nasional

2. Kabinet Persatuan Nasional

Sidang Umum MPR 1999 dilaksanakan dengan terdapat empat kekuatan besar, yaitu PDI Perjuangan, Poros Tengah, Partai Golkar, dan TNI/POLRI (Untung Wahono, 2003: 165). Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memulai langkah reformasi administrasi yang berbekal pada pandangan demokrasi yang kental sejak masa mudanya dan selalu menjadi warna dasar perjuangannya dengan pembentukan dan penyusunan Kabinet Persatuan Nasional (L. Misbah Hidayat, 2007: 62). Menurut Alwi Shihab dalam Solopos (26 Oktober 1999: 1) bentuk kabinet Abdurrahman Wahid adalah National Unity Cabinet (Kabinet Persatuan Nasional) yang mana dalam kabinet tersebut merangkul semua unsur kekuatan politik, kaum professional, TNI, dan minoritas. Komposisi tersebut jelas memuaskan masyarakat karena semua wakil partai masuk seperti, PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKP, dan Utusan Golongan. Kabinet Persatuan Nasional mengakomodasi keempat kekuatan besar tersebut. Hal ini artinya sulit diharapkan adanya check and balances yang sama saja artinya dengan mengancam atau membunuh demokrasi, karena tidak adanya oposisi yang menjalankan mekanisme kontrol karena semua sudah dirangkul. Oposisi di DPR sangat penting dan mustahil berbicara demokrasi tanpa oposisi (Untung Wahono, 2003: 166). Terbentuknya Kabinet koalisi ini langsung mengundang kontroversi yang berkepanjangan dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kabinet Persatuan Nasional terdiri atas 29 Menteri dan pejabat Negara setingkat menteri, yaitu Jaksa Agung, Panglima ABRI, dan Sekretaris Negara.

Pada awal pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam Kabinet Persatuan Nasional tanggal 26 November 1999, Hamzah Haz mundur dari kabinet tersebut, hal ini tidak sesuai dengan keputusan Poros Tengah yang mana Poros Tengah telah menarik kesimpulan bahwa terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri merupakan usaha maksimal dari Poros Tengah. Menurut Zarkasih Nur dalam Wawasan (4 Desember 1999: 7) DPP PPP sebagai salah satu pendukung Poros Tengah harus mendukung hasil langkah maksimal yang mendukung pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Hamzah Haz yang keluar dari

Kabinet Persatuan Nasional tidak membuat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi oposisi bagi pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Serambi Indonesia, 7 Desember 1999: 1).

Kabinet Persatuan Nasional disebut sebagai “Kabinet Pelangi” karena merupakan hasil kompromi dan pertukaran kepentingan dari berbagai kekuatan. Oleh karena itu, ada semacam garansi dari para tokoh elite politik yang berpengaruh, seperti Akbar Tandjung, Amien Rais, Wiranto, Megawati, dan Gus Dur sendiri. Kendati demikian, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan bahwa para menteri akan tetap melaksanakan tugas dari kepentingan nasional dan kepentingan rakyat (Lalu Misbah Hidayat. 2007: 62).

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Kabinet Persatuan Nasional melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama Rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi Kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang dianggap korupsi (M. Hamid, 2010: 58). Penghapusan Departemen Penerangan mendapat sambutan sebagian lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang ini dan menganggapnya sebagai langkah penting reformasi. Tetapi di tubuh departemen yang dibubarkan terjadi gejolak besar karena kebijakan tersebut dianggap tidak memperhatikan nasib 55.000 karyawan yang terbesar di seluruh Indonesia (Untung Wahono, 2003: 167).

Kabinet Persatuan Nasional yang pada awalnya diperkirakan sangat kuat dan akan membungkam oposisi DPR sebagaimana dikhawatirkan para pengamat politik dan mahasiswa pada kenyataannya tidak demikian. Berbagai kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang semula mendapatkan dukungan dari parlemen sebagai manifestasi dari tuntutan reformasi, di masa-masa akhir-akhir pemerintahan Abdurrahman Wahid justru mendapat kecaman keras. Tidak saja kebijakan yang ditujukan kepada militer, kebijakan yang menjadi hak prerogatif Abdurrahman Wahid juga mendapat sorotan tajam dari politisi di DPR, sebagai contohnya adalah pemecatan Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla. Ketegangan institusional antara

Abdurrahman Wahid dengan DPR pun semakin hari semakin meningkat (A. Malik Haramain, 2004:269).

Berbagai masalah yang mengancam keutuhan koalisi besar tersebut terjadi dalam waktu yang relatif singkat, seperti keinginan Abdurrahman Wahid untuk membuka hubungan dagang dengan Israel. Gagasan ini mendapat reaksi penolakan yang keras terutama dari partai-partai Poros Tengah dan PAN karena hubungan dengan Negara Zionis itu dianggap melanggar ketentuan yang dicakup dalam Resolusi PBB nomor 242. Konflik yang lain yang terjadi setelah dibentuk Kabinet Persatuan Nasional adalah Tap MPRS XXV/MPRS/1966 yang dicetuskan oleh Abdurrahman Wahid membuat Kubu Poros Tengah merasa gusar. Fraksi PBB menilai bahwa usulan Abdurrahman Wahid tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan rangkaian dengan berbagai kebijakan politik Abdurrahman Wahid. Rangkaian itu dikhawatirkan menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar dan mendalam. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai upaya menyiapkan lahan pertentangan kelas di antara lapisan masyarakat, yang memang menjadi sendi utama metode perjuangan kaum komunis.

Fraksi PBB menyatakan menolak tegas sikap kebijakan Abdurrahman Wahid karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan melanggar sumpah jabatan. Fraksi PBB juga mengimbau kepada semua fraksi di DPR untuk membicarakan pelanggaran serius Presiden dan kemudian dipertimbangkan konstitusionalnya (Untung Wahono, 2003: 168).

Pada tanggal 25 Oktober 1999, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian menegaskan kepada 16 duta besar Negara-negara Arab bahwa posisi Indonesia tidak akan berubah mengenai hubungan dengan Israel (tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan sepenuhnya melalui berdirinya Negara Palestina dengan Ibu kota Jerusalem dan juga Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel dikembalikan termasuk Dataran Tinggi Golan, dan semua tawanan Palestina oleh Israel dibebaskan)

(Solopos, 26 Oktober 1999: 1 samb. 9 kol 1). Abdurrahman Wahid tidak dapat memaksakan kehendak ketika usulannya ditolak oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Di sini terlihat bahwa Abdurrahman Wahid lebih memilih menjaga umat Islam Indonesia demi keutuhan bangsa daripada bersikeras menjaga hubungan dagang dengan Israel (Muhaimin Iskandar, 2004: 18).

Kepemimpinan Abdurrahman Wahid tidak hanya meninggalkan permasalahan tentang hubungan dagang dengan Israel dan pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966, tetapi masih banyak lagi seperti Abdurrahman Wahid sering mengganti menteri atau memecat menteri yang dianggapnya bersalah sebagai bahan utama interpelasi, dalam konflik Maluku Abdurrahman Wahid dianggap tidak terlalu mempedulikan dan cenderung meremehkan informasi-informasi yang beredar di media massa. Konflik domestik yang terjadi di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid tidak hanya konflik Maluku, tetapi juga konflik-konflik yang terjadi di daerah lain seperti Aceh, Papua, Poso serta kerusuhan etnis di Sampit (A. Malik Haramain, 2004: 332).

Permasalahan yang lain dari kepemimpinan Abdurrahman Wahid adalah karena Abdurrahman Wahid terlalu sering berpergian ke luar negeri, padahal orang- orang yang mengkritiknya menganggap banyak persoalan di dalam negeri yang mendesak. Abdurrahman Wahid menyebut bahwa terlalu seringnya berpergian ke luar negeri merupakan salah satu dari perilaku politik yaitu diplomasi luar negeri yang sangat intensif. Selama kurun tempo tiga bulan, hampir semua mitra ekonomi Indonesia di empat benua telah dikunjungi oleh Abdurrahman Wahid (Abdul Munir Mulkhan, 2010: 100).

Permasalahan lain juga bermunculan seperti Abdurrahman Wahid dianggap sering tidak konsisten akan sikap-sikapnya, Abdurrahman Wahid dianggap terlalu cepat menumbuh-suburkan KKN, dan Abdurrahman Wahid sering dinilai berkata bohong dan tidak jujur (Untung Wahono, 2003: 169). Sementara Mudrick SM Sangidoe dalam Solopos (22 Mei 2000: 1) menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terlalu banyak mengeluarkan pernyataan yang justru membingungkan dan Permasalahan lain juga bermunculan seperti Abdurrahman Wahid dianggap sering tidak konsisten akan sikap-sikapnya, Abdurrahman Wahid dianggap terlalu cepat menumbuh-suburkan KKN, dan Abdurrahman Wahid sering dinilai berkata bohong dan tidak jujur (Untung Wahono, 2003: 169). Sementara Mudrick SM Sangidoe dalam Solopos (22 Mei 2000: 1) menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terlalu banyak mengeluarkan pernyataan yang justru membingungkan dan

Poros Tengah pada akhir bulan April 2000 sempat mengusulkan untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR (SI MPR) karena Poros Tengah semakin gerah dengan berbagai lontaran ide maupun manuver Abdurrahman Wahid yang dirasakan terus-menerus memojokkan dan merugikan umat Islam. Respon yang baik terlihat pada usulan untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR (SI MPR) atas Presiden Abdurrahman Wahid tersebut. Ide Poros Tengah untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR tersebut telah menjadi pukulan balik bagi Abdurrahman Wahid yang sering melontarkan gagasan-gagasan yang dianggap oleh sebagian kalangan adalah gagasan yang kontroversial. Usulan Sidang Istimewa MPR ini menghantam barisan pendukung Abdurrahman Wahid. PKB sebagai basis politik Abdurrahman Wahid kemudian balik melakukan manuver dengan usulan untuk mengganti kepemimpinan Amien Rais sebagai Ketua MPR. Amien Rais yang merupakan tokoh utama Poros Tengah yang sangat aktif memasarkan gagasan tentang kemungkinan adanya Sidang Istimewa untuk memberi pelajaran Abdurrahman Wahid, sehingga Amien Rais menjadi sasaran balik dari kubu Abdurrahman Wahid (Aidul Fitriciada Azhar, Solopos 1 Mei 2000: 4).

Pencopotan menteri-menteri yang menjadi sebuah fenomena tersendiri dari kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada tanggal 26 Oktober 1999 sebanyak 35 orang menteri dilantik Presiden Abdurrahman Wahid, tetapi pada tanggal 26 Agustus 2000 kabinet Abdurrahman Wahid mengalami reshuffle dan dilantik kabinet baru (Kabinet Persatuan Nasional II) yang beranggotakan 26 orang menteri. Akan tetapi, sebelum terjadi reshuffle kabinet, Abdurrahman Wahid telah mencopot jabatan 4 orang menteri, yaitu Hamzah Haz (Menko Kesra dan Taskin),

Wiranto (Menko Polkam), Jusuf Kalla (Menteri Perindustrian dan Perdagangan) serta Laksamana Sukardi (Menteri Negara Investasi dan Pemberdayaan BUMN). Pencopotan Hamzah Haz membuat kubu Poros Tengah gusar dan tindakan Abdurrahman Wahid ini mendapat kritikan dari Poros Tengah (Untung Wahono, 2003: 170-171). Sejak pencopotan menteri itulah, hubungan antara Presiden dan DPR semakin memanas. Interpelasi pun dilayangkan DPR kepada Presiden untuk mempertanyakan alasan pencopotan tersebut tanpa dapat ditahan oleh anggota Fraksi- PKB (Mahrus Ali & MF. Nurhuda, 2008: 388). Yusril Ihza Mahendra juga diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman pada 7 Februari 2001 karena berulang- ulang menyatakan di depan umum agar Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari kursi kepresidenan, selain itu juga dianggap gagal dalam mereformasi bidang hukum, tidak beres mengurus kantor imigrasi dan banyak desakan dari para menteri agar Yusril mundur (Greg Barton, 2008: 467).

Tiga hari setelah pemberhentian Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan penjelasan tertutup kepada DPR. Abdurrahman Wahid menyampaikan alasan tentang pergantian kedua menteri tersebut dengan mengatakan bahwa kedua menteri tersebut terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di bidangnya. Ketidakpuasan atas jawaban Presiden menyebabkan beberapa anggota DPR mempersiapkan diri untuk menggunakan hak interpelasi (hak bertanya dan meminta keterangan pada Presiden). Isu tentang kemungkinan terjadinya koalisi menentang pemerintahan Abdurrahman Wahid mulai merebak. Jika terdapat upaya yang disebut koalisi, hal itu dalam pengertian upaya bersama mengajukan hak interpelasi dari Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar DPR menyangkut keputusan Presiden memberhentikan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla.

Melalui voting terbuka pada sidang DPR RI tanggal 29 Juni 2000 yang dihadiri 431 dari 482 anggota akhirnya DPR menyetujui penggunaan hak interpelasi atau hak meminta keterangan Presiden berkaitan dengan pemberhentian Menteri Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Hasil voting menunjukkan, 332 anggota setuju,

63 menolak, dan 36 abstain. Persetujuan 332 anggota ini lebih banyak dari penanda tangan hak interpelasi yang berjumlah 277. Kalangan DPR mengancam jika interpelasi ini tidak memuaskan, maka DPR kembali akan mengajukan hak menyatakan pendapat atau bahkan penyelidikan. Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR di Gedung DPR Jakarta, akhirnya menyetujui jawaban Presiden Abdurrahman Wahid atas pertanyaan Dewan mengenai pemberhentian Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla dari jabatan menteri pada tanggal 20 Juli 2000 (Untung Wahono, 2003:176).

Sidang Tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000 membahas berbagai agenda baik yang terkait dengan amandemen UUD 1945 maupun laporan lembaga- lembaga tinggi Negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif). Sorotan terhadap kelemahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam memerintah menimbulkan upaya untuk melakukan mengurangi hak dan wewenang Presiden. Salah satu inti Sidang Tahunan tersebut adalah membahas laporan perkembangan pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selama setahun dimana hasilnya sangat memprihatinkan yang berakibat munculnya usulan akan adanya pelimpahan kekuasaan dari Presiden ke wakil Presiden melalui ketetapan MPR tentang pelimpahan wewenang yang diusulkan oleh Poros Tengah.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian melakukan lobi-lobi politik ke MPR di tengah gonjang-ganjing dan serangan lawan politiknya, termasuk kepada Ketua MPR, Amien Rais. Akan tetapi, usaha politik tersebut gagal sehingga ketakutan akan pelimpahan wewenang kekuasaan tersebut benar-benar terjadi. Di tengah serangan dari oposisi, pada tanggal 30 Agustus 2000, Abdurrahman Wahid meyakinkan anggota partainya bahwa Sidang Tahunan MPR akan berakhir baik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sudah menerima “isyarat langit” yang mengenai kabar lolosnya Abdurrahman Wahid dari serangan lawan-lawan politik Abdurrahman Wahid. Hal ini terbukti perlawanan kubu Poros Tengah akhirnya terpatahkan saat Sub komisi C1 menyetujui diterimanya usulan pemberian tugas kepada Wakil Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian melakukan lobi-lobi politik ke MPR di tengah gonjang-ganjing dan serangan lawan politiknya, termasuk kepada Ketua MPR, Amien Rais. Akan tetapi, usaha politik tersebut gagal sehingga ketakutan akan pelimpahan wewenang kekuasaan tersebut benar-benar terjadi. Di tengah serangan dari oposisi, pada tanggal 30 Agustus 2000, Abdurrahman Wahid meyakinkan anggota partainya bahwa Sidang Tahunan MPR akan berakhir baik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sudah menerima “isyarat langit” yang mengenai kabar lolosnya Abdurrahman Wahid dari serangan lawan-lawan politik Abdurrahman Wahid. Hal ini terbukti perlawanan kubu Poros Tengah akhirnya terpatahkan saat Sub komisi C1 menyetujui diterimanya usulan pemberian tugas kepada Wakil Presiden