Bidang Politik

1. Bidang Politik

Memasuki pertengahan tahun 1997 beberapa negara Asia terlanda krisis moneter, termasuk juga Indonesia. Nilai mata uang terus mengalami kemerosotan

tajam. 11 Kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan meminta bantuan International Monetary Fund (IMF). Bantuan IMF ternyata tidak mudah didapatkan. Untuk mendapatkan bantuan, IMF menyaratkan Indonesia melakukan perubahan kebijakan ekonomi, keuangan, dan anggaran yang cukup fundamental. Dalam istilah mereka, Indonesia harus melakukan reformasi ekonomi. Tuntuan IMF yang berat terpaksa diikuti demi turunnya bantuan. Akibatnya popularitas pemerintah di mata rakyat semakin merosot. Kata “reformasi” menjadi populer dengan pengertian yang

lebih luas dari sekadar reformasi tuntuan dari IMF. 12

Banyaknya aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh mahasiswa maupun masyarakat menunjukkan bahwa negara sedang dalam keadaan lemah. Lemahnya negara terkait dengan beberapa peristiwa yang mendahului krisis ekonomi 1998

antara lain: 13 Pertama , berakhirnya perang dingin pada tahun 1988 dan keruntuhan Uni Soviet sebagai negara komunis terdepan pada tahun 1991. Sepanjang Perang Dingin, Indonesia memiliki niat strategis secara geopolitik bagi kepentingan kapitalisme

11 Bulan Juli 1997 nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp

2.575,- menjadi Rp 2.603,-. Bulan berikutnya turun menjadi Rp 3.000,- per dolar. Pada bulan Mei 1998 mencapai Rp 10.000,- dan sepekan setelahnya menjadi Rp 12.600,-. Kompas, edisi 30 Juni 1998.

12 Muhammad Hisyam (peny), Krisis Masa Kini dan Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor, 2003), hlm. 57.

13 Hasyim Wahid, Telikugan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. (Yogyakarta: Lkis, 1999).

commit to user

internasional yakni sebagai dinding penangkal penyebaran komunisme di wilayah Asia Tenggara. Maka ketika Perang Dingin selesai dan Uni Soviet menyatakan bubar, berakhir pula situasi yang memberikan nilai strategis bagi Indonesia di hadapan sistem kapitalisme internasional. Indonesia dalam konteks internasional, pasca berakhirnya Perang Dingin dan keruntuhan serta pecahnya Uni Soviet mengartikan bahwa pemerintahan demokratis Barat tidak begitu lagi melihat perlunya kerja sama dengan rezim-rezim Dunia Ketiga. Pada saat yang sama, perkembangan- perkembangan tersebut mengarahkan pemerintah Indonesia dan militer untuk meningkatkan kekerasan, karena mereka khawatir Indonesia dengan segala potensi

kekerasan etnisnya juga akan runtuh seperti Soviet. 14

Kedua , terjadi perubahan signifikan konsep negara bersama perkembangannya pasar bebas (free market) atau pasar global. Setelah kekuatan komunis hancur dan sistem ekonomi pasar bebas menjadi satu-satunya sistem dominan, konsep negara-bagsa (nation state) menjadi kehilangan relevansinya. Nation-state seperti kehilangan konsumen memasuki abad ke-21 setelah sebagai komoditas mengalami kejayaan pada era kolonialisme. Melalui sistem moneter internasional yang didukung organisasi perdagangan utama (WTO) dan perkembangan teknologi informasi, sistem pasar bebas mampu memasuki sekat-sekat teritorial dan administratif negara bangsa. Dengan pasar bebas maka model produk Perang Dingin yakni negara kesejahteraan (welfare state) maupun negara pembangunan (developmental state) yang masih memprasyaratkan campur tangan

14 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 624.

commit to user commit to user

Ketiga , gerakan pro-demokrasi semakin menguat di Indonesia memasuki tahun 1990. Gerakan ini mendapatkan perhatian internasional ketika terjadi insiden

Santa Cruz, Timor-Timur bulan November 1992 dan disusul kasus terbunuhnya Marsinah dua tahun kemudian. Dari dua kasus tersebut, isu HAM dan demokratisasi bergelombang menekan pemerintah. Beberapa perwira tinggi militer diindikasikan terlibat dalam kasus-kasus tersebut dan diusulkan untuk dibawa ke Mahkamah

Internasional. Pembredelan tiga media massa nasional, 15 yakni Tempo, Detik, dan Editor pada bulan April 1994 dan puncaknya peristiwa 27 Juli 1996 semakin menurunkan popularitas pemerintahan Orba di hadapan publik dalam negeri dan dunia internasional.

15 Dalam GBHN tahun 1978 kebijakan pembinaan pers diarahkan untuk memperkuat ideologi Pancasila dan menyukseskan pembangunan nasional serta

pembangunan masyarakat Pancasila. Tempo dibredel dengan alasan tidak menyelenggarakan kehidupan Pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab. Sedangkan Editor dan Detik dibredel karena keduanya menurut pemerintah keduanya melakukan pelanggaran administratif SIUPP. Selengkapnya baca Sukri Abdurrachman, Pers di Masa Orde Baru, (Jakarta: Yayasa Obor Indonesia), hlm. 388-423.

commit to user

Tiga rangkaian peristiwa di atas beserta peristiwa-peristiwa penting lain secara stimulan memperlemah ketahanan Indonesia ketika krisis menyerang Asia tahun 1997. Tentu bukan kebetulan apabila pukulan keras yang dirasakan Indonesia dari krisis tersebut diakibatkan praktek-praktek kebijakan Orba yang nepotis dan berpihak pada kroni. Akan tetapi situasi tersebut juga diperparah oleh desakan pasar global yang membuat sistem yang berlaku di Indonesia dan banyak negara dunia ketiga lainnya sudah tidak mungkin dipertahankan. Dengan demikian lemahnya negara dalam krisis 1998 sesungguhnya bukan semata-mata faktor dalam negeri. Perkembangan internasional pasca Perang Dingin dan banyaknya kekuatan pasar global yang menghendaki struktur negara yang lebih fleksibel, menjadikan konvensional model negara pembangunan yang dipicu Indonesia sejak 1966. Artinya, negara Orba lemah karena kekuatan topangnya semakin kecil setelah selesainya Perang Dingin dan hancurnya komunisme.

Krisis ekonomi mengkristal menjadi ketidakpuasan politik terhadap Orba yang identik dengan Soeharto. Mahasiswa dan masyarakat bergerak menuntut penurunan harga barang kebutuhan pokok. Isu yang bergulir kemudian beralih menjadi agar Presiden Soeharto mundur. Ketika itu pemerintahan Soeharto dihadapi oleh dua musuh sekaligus, yaitu sistem pasar bebas yang diwakili lembaga moneter internasional (IMF) dan mahasiswa. Bagi lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, Soeharto dan kepemimpinan berbasis militer di sebuah negara dunia ketiga memang sedang tidak dibutuhkan. Sementara bagi mahasiswa, Soeharto adalah rezim yang telah mematikan hak-hak politik warga negara dan mengabaikan nasib ekonomi rakyat selama 32 tahun. Di lapangan keduanya bergerak dengan cara

commit to user commit to user

mendesak Soeharto turun. 16

a. Tuntutan Reformasi

Kemunculan aksi PMII di Surakarta sebagaimana elemen-elemen gerakan mahasiswa di Surakarta tidak terlepas dari krisis moneter yang terjadi di pertengahan tahun 1997 yang secara cepat berkembang menjadi krisis ekonomi. Krisis ini juga menjadi momentum munculnya kembali gerakan mahasiswa setelah NKK/BKK yang secara akumulatif mengalami ketidakpuasan dan kekecewaan politik selama puluhan tahun. Kemunculan gerakan mahasiswa pada umumnya secara jelas menyampaikan pesan ketidakpercayaannya kepada pemerintah terhadap sistem politik yang ada.

Keberpihakan kepada nasib rakyat banyak yang mengalami ketidakpastian hidup inilah yang menggerakkan PMII Cabang Surakarta melakukan aksi-aksi keprihatinan. Sebutan “gerakan moral” atas aksi-aksi yang dilakukan adalah tepat, mengingat aksi-aksi mahasiswa digelar di dalam kampus dengan tema pembelaan terhadap nasib rakyat. Inilah tema paling awal gerakan PMII dan mahasiswa pada umumnya, yaitu keprihatinan atas nasib rakyat yang menderita akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut. Tuntutan awal gerakan mahasiswa yakni turunkan harga-harga dan sediakan sembako yang cukup.

Memasuki pertengahan Februari 1998, kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok mulai dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Kota Surakarta. Langkanya sembilan bahan pokok (Sembako) menjelang Sidang Umum (SU) MPR 1998

16 Naeni., op.cit., hlm. 47.

commit to user commit to user

kebutuhan pokok, kenaikan harga juga terjadi pada kebutuhan lain seperti bahan bangunan, obat-obatan, onderdil motor dan mobil. Pasar Klitihikan yang menjual barang-barang bekas menjadi alternatif untuk menanggulangi naiknya barang-barang kebutuhan. Hal ini disebabkan daya beli masyarakat sangat rendah terhadap barang-

barang yang baru. 18

Dampak krisis juga dialami oleh mahasiswa di Kota Surakarta. Naiknya harga kertas sejak pertengahan tahun 1997 menjadikan penerbitan kampus diperkecil jumlahnya. Alasannya adalah untuk menghemat biaya produksi. Untuk menyaisati kondisi krisis tersebut, tugas akhir mahasiswa diperbolehkan oleh dosen hanya dengan menggunakan disket dan catatan tangan. Tugas tidak harus menggunakan print out dengan tanpa coretan. Hal tersebut diberlakukan di UNS dan UMS. Akibat dari mahalnya biaya foto copy, biaya rental dan perangkat lain, ribuan tugas akhir

mahasiswa Kota Surakarta terabaikan. 19

Bersamaan dengan itu bergulir berbagai isu akan terjadinya kerusuhan senantiasa dihembuskan oleh oknum-oknum aparat keamanan, sehingga membuat banyak kekhawatiran kepada orang-orang kaya, terutama di kalangan etnis Cina. Sebagai upaya pencegahan timbulnya kerusuhan menjelang SU MPR yang dilaksanakan tanggal 1 sampai 11 Maret 1998, para pengusaha kaya etnis Cina yang dikordinir oleh Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) mengadakan pertemuan

17 Untuk menyiasati langkanya Sembako, penjual memberlakukan pembatasan pembelian sembako. Solopos, 6 Februari 1998.

18 Solopos, 5 Februari 1998.

19 Ibid.

commit to user commit to user

masyarakat krisis krisis moneter yang melanda Kota Surakarta dan sekitarnya. 20

Kegiatan serupa juga dilakukan etnis Cina di Semarang dan berbagai kota besar

lainnya. 21 Melihat situasi yang semakin memperihatinkan, PMII Cabang Kota Surakarta bersama organisasi kemahasiswaan lainnya mendirikan organ taktis 22 yaitu

Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR). Wadah ini didirikan pada tanggal 27 Februari 1998 bertempat di Sekretariat PMII Cabang Kota Surakarta Jalan Honggowongso Nomor 3 Surakarta. Organ ini merupakan komite aksi terbesar di Surakarta sepanjang aksi 1998 yang berbasis di kampus UNS. Pembentukan organ taktis ini kemudian diikuti dengan pembentukan Keluarga Mahasiswa (KM) UNS, Solidaritas Mahasiswa Pecinta Tanah Air (SMPTA) yang berbasis di kampus UMS dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) UMS.

20 Solopos, 28 Februari 1998.

21 M. Hari Mulyadi, dkk., Tuntuhnya Kekuasaan Keraton: Studi Radikaslisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, (Surakarta:

LPTP, 1999), hlm. 485.

22 Istilah organ “taktis” menunjukkan hanya untuk jangka pendek saja.

Biasanya aliansi ini terbentuk untuk menyikapi isu yang sedang ramai dibicarakan. Sedangkan organ strategis adalah aliansi yang dibentuk dengan tujuan jangka panjang.

commit to user

Seperti halnya di kota-kota lainnya, di Surakarta respon atas isu ekonomi nasional yang terpuruk pada awal 1998 dimulai SMPR dari dalam kampus UNS. Beberapa kader PMII yang tergabung dalam SMPR antara lain Sekretaris Umum PMII, Anwar, Wiji Lestari, dan Slamet Abidin berkampanye dari satu fakultas ke fakultas lain untuk mencari dukungan dari mahasiswa. Pada awalnya aksi belum

dilakukan di luar kampus karena dilarang oleh pihak keamanan. 23 Isu pertama yang

diangkat antara lain, penurunan harga, pencabutan 5 Paket UU Politik (UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, serta DPD, UU

Anti Monopoli, dan UU Anti Korupsi), dan Pencabutan Dwi Fungsi ABRI. 24 Puncak aksi SMPR terjadi pada saat Dies Natalis UNS ke-22 pada tanggal

11 Maret 1998. Para aktivis SMPR mendesak melakukan aksi demonstrasi keluar kampus. Akan tetapi aparat keamanan lebih dulu berada di gerbang kampus untuk menghalangi para demonstran. Melihat adanya aparat keamanan yang menghalangi di gerbang kampus, para demonstran kemudian melemparinya dengan batu. Awalnya tidak ada reaksi dari pihak aparat kemanan. Akan tetapi mengetahui tindakan massa yang semakin keras, pihak keamanan kemudian melakukan lemparan balasan. Insiden saling melempar antara petugas keamanan dan mahasiswa mengubah suasana aksi yang sejak pukul 10.30 WIB berlangsung damai menjadi panas. Sejumlah aktivis SMPR menjadi tidak terkendali setelah menerima balasan dari aparat pihak

23 Wawancara dengan Slamet Abidin pada 19 Oktober 2011.

24 “Rekam Lensa Peristiwa Mei 1998 di Solo,” (Surakarta: Aksara Solopos, 1998), hlm. 11.

commit to user commit to user

Situasi politik nasional yang belum juga membaik semakin menambah intensitas jumlah aksi demonstrasi di Kota Surakarta. Bahkan, demonstrasi tidak lagi diikuti mahasiswa atau sivitas akademika saja. Pelajar dan masyarakat pun mulai ikut tergabung di dalamnya. Bersatunya mahasiswa, pelajar, dan masyarakat terlihat dalam aksi-aksi yang dilakukan oleh SMPR di bulevar kampus UNS. Ikut bergabungnya masyarakat dalam aksi karena isu yang diangkat mahasiswa bersifat populis atau merakyat. Populisme merupakan suatu cara pandang yang menekankan keberpihakan kepada nasib rakyat kecil atau visi kerakyatan. Tetapi lebih dari itu, dalam proses formasinya, populisme di kalangan mahasiswa adalah juga tindakan yang dapat dilihat misalnya dalam aktivitas pendampingan buruh, pengorganisiran pedangang kaki lima (PKL), petani atau korban penggusuran. Populisme menjadi sebuah nilai apakah mahasiswa berpihak kepada nasib dan penderitaan rakyat atau

tidak. 26 Selanjutnya, aksi SMPR pada tanggal 16 Maret 1998, ribuan rakyat dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Surakarta bersatu dan berunjuk rasa. Tuntutannya tidak sekadar turunkan harga atau reformasi ekonomi, tetapi mengarah

pada penolakan pencalonan Soeharto sebagai Presiden RI periode 1998-2003. 27 Aksi

protes yang dinamai “Rapat Akbar” tersebut melibatkan massa dari semua perguruan

25 Solopos, 12 Maret 1998.

26 Naeni., op.cit., hlm. 19-20.

27 Rekam Lensa., loc.cit.

commit to user commit to user

diblokade massa. Akibatnya, jalur ke arah Surabaya dialihkan ke jalur lain. 28 Memasuki bulan Mei tuntutan mahasiswa di Surakarta semakin berani. Keberanian mereka dipicu oleh dua isu yang tidak populer, yakni reformasi setelah 2003 dan kenaikan harga BBM. Terjadinya peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998 semakin memperkeruh suasana. Pada malam harinya, PMII Cabang Kota Surakarta bersama aktivis mahasiswa lainnya merencanakan aksi solidaritas terhadap tragedi tersebut. Disepakati bahwa bentuk aksi solidaritas adalah menggelar shalat gaib dan do’a bersama (tahlil) bagi para korban tragedi Trisakti dengan mengambil tempat di kampus UNS Kentingan. Aksi dilaksanakan pada tanggal 14 Mei 1998.

Pada tanggal 13 Mei 1998 malam, sekitar pukul 19.30 WIB pusat pertokoan di Singosaren dan Secoyudan serentak ditutup lebih awal. Hal yang sama juga diikuti pertokoan lain di sekitar Triwindu serta hampir di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Dalam suasana demikian terdengar kabar bahwa toko sepatu di Singosaren dilempari batu oleh sekelompok penduduk. Kabar tersebut kemudian cepat menyebar dengan beragam versi yang berbeda. Situasi inilah yang menjadi alasan mengapa para pemilik toko di Kota Surakarta menutup lebih awal. Kepanikan ini dapat dipahami karena siang hari sebelumnya tersiar kabar bahwa Jakarta dilanda amuk massa di wilayah Jakarta Barat. Kerusuhan yang dimulai dari terbakarnya depot oli di Jalan Kiai Tapa dan amuk massa yang membakar dua mobil tangki minyak, sedan,

28 “Ribuan Mahasiswa Solo Blokade Jalan Ir Sutami, Solopos, 17 Maret 1998.

commit to user commit to user

Plasa Singosaren. 29

(1) Kerusuhan 14 Mei 1998 Api kerusuhan di Kota Surakarta terjadi bersamaan dengan aksi mahasiswa UMS di kampus Pabelan tanggal 14 Mei 1998. Aksi dimulai pukul 09.30 WIB. Mahasiswa melakukan long march menuju depan kampus I UMS sambil berorasi mengangkat isu penolakan pencalonan kembali Soeharto dan tuntutan menurunkan harga. Sekitar pukul 10.20 WIB rombongan mahasiswa demonstran mengenakan pita hitam di lengan sebagai tanda berkabung. Sambil meneriakkan yel-yel massa menuju ke gerbang Kampus UMS. Di lokasi tersebut telah menunggu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Kota Surakarta bersama masyarakat umum yang jumlahnya mencapai ribuan. Di tempat itu kemudian sebagian massa aksi melaksanakan shalat ghaib untuk mahasiswa Trisakti yang gugur pada tanggal 12 Mei 1998.

Berkumpulnya mahasiswa di UMS juga diwarnai bentrok dengan petugas keamanan. Bentrokan dengan aparat keamanan sempat berhenti ketika memasuki waktu Dzuhur. Setelah itu, bentrokkan kecil kembali terjadi. Bentrokan atau ketegangan yang terjadi antara mahasiswa dan aparat keamanan di pusat aksi dapat berhenti sekitar pukul 17.00 WIB atas bantuan dari Rektor UMS, Prof. Drs. Dochak

29 Ibid., hlm. 488.

commit to user

Latif. Setelah selesai, para aktivis mahasiswa kembali ke kampus. 30 Setelah bentrok

dengan aparat keamanan, ada kekhawatiran dari para aktivis jika diculik oleh aparat. Sebagian para aktivis mahasiswa sejak tanggal 14 sampai 20 Mei berada di kampus UMS untuk mengamankan diri. Selama tinggal di kampus muncul berbagai isu yang arahnya meneror mental para aktivis.

Memasuki puncak kerusuhan, PMII Cabang Kota Surakarta bersama dengan organ gerakan mahasiswa lainnya lebih memilih tiarap atau tidak menampakkan diri. Hal ini dilakukan mereka untuk menjaga gerakan dari fitnah. Pilihan untuk tiarap

sebelumnya sudah dikordinasikan dengan organisasi mahasiswa lainnya. 31 Sebelum

kerusuhan terjadi, saat gerakan mahasiswa berkumpul di Kampus UMS, di luar pusat aksi terdapat dua massa di sebelah timur dan barat. Massa yang berjumlah ribuan, baik di sebelah timur di sekitar Rumah Sakit Islam (RSI) maupun di sebelah barat di sekitar SPBU Pabelan berteriak mengecam dan menghujat perilaku aparat keamanan yang dianggap telah melampaui batas. Massa dari barat yang tidak dapat menembus pagar betis dari pihak keamanan akhirnya memutuskan untuk kembali menuju ke arah barat, yaitu ke Kartasura. Massa yang melakukan long march ke Kartasura ternyata kemudian mengalihkan sasarannya dalam bentuk amuk massa. Sasaran pertama kali adalah showroom Sumber Motor. Selanjutnya massa juga merusak showroom Sun Motor Gembongan dan PT Citra Furniture.

30 PMII Cabang Surakarta, baik secara organ maupun individu selalu

mengikuti aksi-aksi yang dilaksanakan di UMS dan UNS. hal ini dilakukan sebagai bagian dari strategi. Wawancara dengan Slamet Abidin, aktivis PMII 1998 pada 27 juli 2011.

31 Hasil wawancara dengan Slamet Abidin.

commit to user

Massa terus berjalan ke arah barat tanpa hambatan atau pencegahan dari siapapun termasuk aparat keamanan. Setiap menjumpai pertokoan milik etnis Cina, massa berhenti sejenak kemudian melemparinya dengan batu. Pasar Kartasura yang baru diresmikan beberapa tahun sebelumnya, dapat terselamatkan karena dijaga dengan ketat. Tetapi bangunan yang ada di sekitar pasar justru menjadi sasaran massa. Hampir secara bersamaan beberapa bangunan pertokoan, kantor, bank dirusak dan kemudian dibakar. Jalur transportasi di segitiga bundaran Kartasura menuju ke arah Kota Surakarta, Semarang, dan Yogyakarta ditutup, dialihkan melalui jalur jalan-jalan pedesaan. Sementara itu, massa yang sudah pada puncak kemarahan, dari arah barat kemudian bergerak menuju ke arah timur menuju Kota Surakarta melalui Jalan Slamet Riyadi. Kejadian ini bersamaan dengan dengan aksi massa yang ada di sebelah barat lokasi aksi UMS Pabelan. Massa aksi berjalan cepat dan hampir setiap bangunan yang menggunakan kaca dihancurkan dengan lemparan batu. Pembakaran pertama terjadi saat massa tiba di depan kantor Bank Centeral Asia (BCA) Gladak. Sebuah mobil yang diparkir di depan bank tersebut dibakar massa. Menyusul kemudian mobil yang ada di depan Bank Danamon dan Bank Indonesia.

Massa yang gagal memasuki Balaikota Surakarta akhirnya terpecah menjadi dua kelompok besar. Sebagian kembali ke arah Selatan menuju pertokoan komplek Benteng, sebagian lagi bergerak menuju utara ke Jalan Urip Sumoharjo. Massa yang menyebar itulah kemudian menghancurkan sebagian besar infrastuktur kota dalam waktu yang relatif singkat.

commit to user

(2). Kerusuhan 15 Mei 1998 Keesokan harinya, Jum’at 15 Mei 1998, aksi massa terus berlanjut. Setelah Toserba Luwes Baru Gading dibakar, sekitar pukul 05.00 WIB Benteng Plaza ikut dibakar. Sebelumnya massa terlebih dahulu menjarah barang-barang yang ada di komplek pertokoan tersebut. Selanjutnya, sekitar pukul 10.00 WIB Toserba Ratu Luwes Pasar Legi dibakar. Sejak pukul 07.00 WIB massa melakukan penjarahan yang ada di dalamnya.

Peristiwa kerusuhan sepanjang hari Kamis dan Jum’at, 14-15 Mei 1998 berlangsung sangat cepat. Berawal dari Kleco melalui Purwosari aksi massa masuk ke pusat kota dan dengan cepat kerusuhan menyebar ke seluruh Kota Surakarta. Ada

beberapa catatcan penting terkait dengan kerusuhan terjadi. 32 Pertama, massa yang

terlibat dalam kerusuhan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu “kelompok utama aksi” yang jumlahnya hanya puluhan orang. Mereka sangat agresif dan mengambil inisiatif melakukan perusakan. Kemudian “kelompok massa umum” yang terdiri dari sebuah kelompok dalam jumlah kecil yang ikut terlibat melakukan perusakan. Dalam kelompok massa umum ini ada kelompok lagi yang jumlahnya jauh lebih besar. Mereka ini hanya berkerumun dan melihat perilaku amuk massa, serta hanya menonton berbagai akibat yang ditimbulkannya. Kedua, adanya pembakaran ban di tengah jalan untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat. Pembakaran ban dilakukan oleh remaja atau massa yang menggunakan kendaraan bermotor. Pembakaran ban tersebut kemudian ditemukan di beberapa tempat strategis lainnya. Ketiga, kelompok yang jumlahnya puluhan setelah di pusat kota kemudian

32 M. Hari Mulyadi, dkk., op.cit., hlm. 525.

commit to user

bergerak sangat cepat. Mereka mengambil inisiatif perusakan sebuah sasaran. Setelah massa yang ada di sekitar lokasi mengambil bagian, massa utama kemudian meninggalkan sasaran dan melanjutkan ke sasaran lain. Keempat, di dalam kelompok massa utama ada beberapa yang mengendarai kendaraan bermotor. Mereka ini kemudian memberikan isyarat-isyarat tertentu kepada beberapa orang yang berada di tengah-tengah kerumunan massa aksi. Kelima, sebuah kelompok berkendaraan sepeda motor menggunakan penutup muka dan tanpa ada plat nomor kendaraan. Pengemudi kendaraan terlihat sangat cekatan, terus berjalan mengarah pada sasaran yang sepertinya sudah terencana. Keenam, kelompok berkendaraan sepeda motor ini pergerakannya cepat dan muncul dari berbagai arah. Ketujuh, menjelang sore hari, setelah Plasa Singosaren dibakar, menandai pembakaran dan penjarahan hampir di seluruh wilayah Kota Surakarta. Secara umum sasaran yang dirusak semula adala kantor bank, pusat perkantoran, plasa, dan bangunan yang menggunakan kaca. Kedelapan, melihat fakta di lapangan, yang menjadi sasaran kerusuhan dan mengalami kehancuran total adalah kelompok bisnis milik Cina.

Untuk menetralisir keadaan, pihak mahasiswa melakukan siaran pers pada tanggal 18 Mei 1998. Intinya mahasiswa menjelaskan bahwa mereka bukan pemicu dan pelaku kerusuhan di Kota Surakarta yang terjadi tanggal 14-15 Mei 1998. Hal ini ditunjukkan dengan utuhnya bangunan yang ada di sekitar kampus UMS. Kerusuhan yang terjadi di Surakarta terjadi karena adanya provokator dan pihak yang tidak bertanggung jawab.

Akibat kerusuhan pada tanggal 14-15 Mei 1998 menimbulkan banyak korban jiwa. Sebagian besar korban adalah dari masyarakat pribumi sebanyak 40

commit to user commit to user

Tidak ada lagi pusat-pusat perbelanjaan kecuali hanya pasar-pasar tradisional. 33

(3). Runtuhnya Orde Baru di Surakarta Ketika mahasiswa dan rakyat Indonesia berjuang menurunkan Soeharto, cara yang ditempuh adalah reformasi. Reformasi damai yang didengungkan para mahasiswa yang dimulai sekitar bulan Februari sampai Mei 1998 berhasil dengan baik. Kekerasan dan bentrok yang terjadi antara mahasiswa dengan aparat karena kedua berada pada dua posisi yang berbeda. Mahasiswa menginginakan adanya perubahan, sedangkan aparat keamanan yang sesungguhnya netral tetapi menjadi bagian dari birokrasi yang berusahan mempertahankan status quo.

Gerakan mahasiswa dalam menuntut total reformasi di Kota Surakarta melalui demonstrasi selama dua bulan, sejak pertengahan Maret sampai pertengahan Mei 1998 telah berlangsung lebih dari 25 kali. Hampir setiap dua hari sekali terjadi aksi di Surakarta terutama di kampus UNS dan UMS. Dan memasuki bulan Mei 1998 lokasi aksi mahasiswa telah muncul di berbagai perguruan tinggi lainnya di

33 Ibid., hlm. 528-532.

commit to user

Kota Surakarta. Aksi yang dilakukan PMII Cabang Kota Surakarta melalui pembentukan organ taktis SMPR pada waktu adalah langkah strategis untuk melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru (Orba). Alasannya jika menggunakan nama organisasi akan sangat berisiko terhadap nasib organisasi, yakni pembekuan terhadap organisasi. Kebijakan Orba adalah stabilitas nasional yang serba pemberitahuan. Apabila melanggar atau tidak melakukan apa yang telah ditetapkan

oleh pemerintah, organisasi akan dituduh melakukan subversif terhadap pemerintah. 34

Aksi-aksi yang dilakukan organisasi kemahasiswaan pada saat itu menyatu dalam isu yang sama, yaitu menurunkan Soeharto. Adanya kesamaan tujuan itulah yang menyebabkan aksi yang dilakukan dapat terkordinasi dengan baik. Dalam aksi-aksi yang terjadi di Kota Surakarta, baik secara organ maupun individu, PMII Cabang Kota Surakarta senantiasa ikut mewarnai, terutama adalah di kampus UMS dan UNS.

Sebelum mundur sebenarnya Presiden Seharto masih mencoba mencari jalan untuk mempertahankan kekuasaannya. Pertama, Presiden akan mengambil langkah dengan kewenangan yang ada untuk menyelamatkan bangsa dan negara, melindungi hak hidup warga negara, mengamankan harta dan hak milik rakyat, mengamankan pembangunan dan aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, reformasi akan terus dijelankan di segala bidang. Ketiga, presiden akan segera mengadakan resufle Kabinet Pembangunan VII. Alasannya karena dalam memikul tugas dan tanggung jawab pembangunan nasional yang sungguh amat berat diperlukan kabinet yang kuat dan tangguh.

34 Wawancara dengan Sholahuddin Aly, pada 24 Oktober 2011.

commit to user

Upaya melakukan resufle kabinet yang tidak ditanggapi positif menjadikan Soeharto memberikan konsensi lebih banyak. Tanggal 19 Mei 1998, setelah bermusyawarah dengan ulama dan tokoh masyarakat, 35 Soeharto mengumumkan

akan melakukan langkah-langkah baru, yaitu membentuk Komite Reformasi, resufle kabinet, menyelenggarakan Pemilu secepatnya, dan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai presiden. Namun upaya itu tidak banyak mengurangi desakan Soeharto mundur. Bahkan dari 45 nama yang didaftar oleh Sekneg, hanya tiga orang saja yang bersedia duduk dalam Komite Reformasi. Pada tanggal 20 Mei itu, Presiden Soeharto juga menerima surat dari Pimpinan DPR. Isinya merupakan hasil kesepakatan Pimpinan DPR dengan demonstran, menyatakan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri selambat-lambatnya hari Jum’at 22 Mei. Apabila pada hari yang ditentukan belum mundur, maka pimpinan DPR/MPR akan menyiapkan Sidang Istimewa tanggal 25 Mei. Berbagai desakan yang tidak hanya dari rakyatnya, tetapi juga dari orang-orang terdekatnya membuat Presiden Soeharto harus mengundurkan diri. Pernyataan pengunduran diri dibacakan pada hari Kamis, 21 Mei 1998 pagi di

Istana Merdeka. 36 Turunnya Soeharto menandai keberhasilan seluruh elemen masyarakat, termasuk gerakan mahasiswa untuk mendorong terjadi perubahan yang lebih baik di segala bidang. Di Surakarta, pada malam hari sejak diumumkannya Soeharto turun, seluruh elemen gerakan mahasiswa, termasuk PMII berkumpul di halaman Keraton

35 Sembilan tokoh masyarakat yang diundang Soeharto antara lain, Nurcholis

Madjid, Yusril Ihza Mahhendra, Emha Ainun Najib, Gus Dur, KH. Ali Yafie, Ahmad Bagja, Ma’ruf Amin, KH. Cholil Badawi, Malik Fajar, dan Sumarsono.

36 Muhammad Hisyam, op.cit., hlm. 84-85.

commit to user

Kasunanan. Malam itu juga mereka berpawai menggunakan mobil mengelilingi Kota

Surakarta sambil meneriakkan yel-yel untuk merayakan kemenangan. 37 Sejak saat itu, Indonesia memasuki tahapan penting dari tahapan politiknya, yaitu transisi demokrasi. Setelah Soeharto turun, elemen-elemen mahasiswa kehilangan musuh bersama (common enemy) yang telah menyatukan perjuangan mereka. Sejak saat itu gerakan mahasiswa mengalami gelombang pasang surut.

Pasca turunnya Soeharto, PMII Surakarta tidak lagi banyak berkontribusi dalam organ SMPR. Alasannya karena PMII selain organisasi yang membangun kepedulian sosial juga merupakan organisasi kader. Klaim sebagai organisasi kader inilah yang menjadikan PMII tidak hanya beraktivitas dalam organ gabungan, melainkan juga membangun kapabilitas kader yang ada.

Pasca turunnya Soeharto, Indonesia memasuki masa baru, yakni masa transisi demokrasi. Jika dilihat dari teori transisim rute transisi Indonesia cenderung berada di antara model replacement dan model transplacment seperti dalam

kategorisasi yang diperkenalkan Huntington. 38 Penyebutan di antara itu menunjukkan bahwa transisi yang terjadi di Indonesia merupakan kombinasi dari dua model tersebut. Ia adalah prototipe tidak sempurna dari model relacment maupun transplacment. Pada model transplacment, demokratisasi merupakan hasil aksi bersama antara kelompok pemerintah dan kelompok pembaharu. Di dalam model itu terdapat keseimbangan sedemikian rupa antara kelompok konservatif status quo dengan kelompok pembaharu, sehingga rezim yang berkuasa bersedia merundingkan

37 Wawancara dengan Slamet Abidin pada 19 Oktober 2011.

38 Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).

commit to user commit to user

Umumnya model replacement dapat terjadi apabila pihak oposisi berada dalam posisi yang lebih kuat daripada rezim otoritarian yang sedang berkuasa. Pihak oposisi mampu mengikis habis kekuasaan rezim lama dan menggeser perimbangan kekuatan ke arah yang menguntungkan mereka. Dalam model replacment, pemimpin- pemimpin otoritarian yang kehilangan kekuasaannya mengalami nasib yang menyedihkan.

Pada model transplacement, pada mulanya pihak pembaharu biasanya percaya bahwa kekuatannya mampu menjatuhkan pemerintah dalam waktu yang tidak lama. Sebaliknya, pada tahap awal pemerintah biasanya percaya bahwa ia dapat mengendalikan dan menindas kekuatan pembaharu dengan efektif tanpa harus menanggung risiko yang tidak bisa diterima. Model transplacement terjadi ketika masing-msing keyakinan ini mulai mengendur, karena berdasarkan kalkulasi kekuatan masing-masing keyakinan seperti itu sama-sama tidak realistis. Dalam keadaan ini, risiko perundingan dan kompromi tampak lebih kecil bila dibandingkan dengan risiko konfrontasi.

commit to user commit to user

Turunnya Soeharto menandai dimulainya babak baru sejarah Indonesia, yaitu sebuah era transisi. Dalam transisi menuju demokrasi menyusul turunnya rezim otoriter, penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) merupakan agenda yang sangat penting dan menentukan arah demokrasi yang dicita-citakan. Pemilu semacam menjadi simpang jalan, apakah proses politik itu terus setia pada jalur demokratisasi, berbelok jalan, atau bahkan berbalik arah sama sekali. Dalam momentum pemilu “perintis” ini, partai-partai yang lama maupun yang baru dibentuk, mendapatkan peluang untuk menjalankan peran heroiknya, baik menjelang, selama, dan segera

setelahnya. 39 Sebagai pengganti Soeharto, Habibie tidak mempunyai dukungan politik yang luas. Habibie mempunyai track record yang justru ditentang banyak pihak. Di kubu militer, Habibie kurang disukai karena pernah membuat marah dengan rencananya membeli beberapa kapal bekas dari Jerman tanpa konsultasi dengan elit ABRI. Habibie kurang begitu diterima karena proyek teknologi hightech mercusuarnya menghambur-hamburkan uang negara. Habibie juga merisaukan kelompok Islam tradisional dan modernis, karena mempolitisir simbol-simbol Islam demi mencari dukungan politik. Mahasiswa dan barisan kontara Orba menolak Habibie. Bukan sekadar lantaran bagian dari Orba, tetapi juga karena figurnya

sebagai pembantu dan loyalis kesayangan Soeharto. 40

39 Hairus Salim, dkk, Tujuh Mesin Pndulan Suara, Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999, (Yogyakarta: LKis,1999), hlm. 1.

40 Munafrizal, op.cit,. hlm. 108.

commit to user

Pada tanggal 10 - 13 November 1998, MPR menggelar Sidang Istimewa (SI) yang salah satu menjadi agenda adalah menetapkan jadwal pelaksanaan Pemilu paling lambat bulan Juni 1999. Di bawah tekanan publik yang kuat, Habibie dan DPR bersepakat Pemilu diselenggarakan pada 7 Juni 1999. Pemilu merupakan langkah awal menuju terwujudnya tatanan politik demokratis yang dicita-citakan oleh gerakan reformasi. Langkah-langkah liberasi politik telah menyediakan sejumlah perangkat yang dibutuhkan bagi pemilu demokratis. Di antaranya, hak politik untuk mendirikan partai, adanya penyelenggara Pemilu yang independen, kebebasan pers, kebebasan melakukan pengawasan pemilu, birokrasi sipil dan militer yang netral, kehadiran pemantau asing, serta keberanian rakyat melakukan protes terhadap penyimpangan- penyimpangan yang terjadi. Pemilu dipandang sebagai solusi politik yang paling realistis dan demokratis demi menciptakan pemerintahan yang memiliki legitimasi

dari rakyat. 41 Dalam penyelenggaraan Pemilu, PMII Cabang Kota Surakarta ikut terlibat di dalamnya. Keterlibatan dalam kegiatan pemantauan Pemilu 1999 dan 2004 merupakan suatu bentuk perjuangan nyata dalam menegakkan dan mendorong kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kegiatan pemantauan ini melibatkan seluruh kader PMII yang tersebar di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Kota Surakarta. Progam pemantauan ini merupakan kerja sama dengan Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (Jamppi). Pembentukan progam ini berdasarkan hasil Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Pengurus Besar (PB) PMII yang diberikan mandat kepada organisasi untuk melaksanakan progam

41 Munafrizal., op.cit., hlm. 106.

commit to user commit to user

Pemantau Pemilu (KIPP). 42

Hasil dari 48 partai peserta Pemilu 1999, terdapat lima partai besar yang memiliki suara signifikan, yaitu PDI-P (33,8%), Golkar (22,5%), PKB (12,5%), PPP (10,7%), dan PAN (7,1%). Total suara yang dijaring oleh kelima partai ini ialah 91.626.665 suara (86,7%) atau 419 kursi (90,7%) dari 462 kursi DPR yang diperebutkan. Selain itu, hasil dari Pemilu 1999 juga menetapkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden.

Pasangan keduanya merupakan peralihan kepemimpinan era transisi di Indonesia. 43

c. Gerakan Anti Orde Baru

Gerakan mahasiswa pasca pemilu 1999 diwarnai perdebatan seputar pokok persoalan nasional yang dihadapi ketika itu. Perdebatan tersebut biasa terjadi dalam forum diskusi maupun melalui persaingan isu dan jumlah massa aksi di lapangan. Di Surakarta, perbedaan seputar pokok persoalan politik nasional mengakibatkan muncul kelompok mahasiswa Aliansi Anti-Orde Baru (AAO). Kelompok ini diwakili oleh PMII Cabang Kota Surakarta yang menjadi arus utama gerak mahasiswa Surakarta.

Pembentukan AAO dilakukan di Sekretariat PMII Cabang Kota Surakarta pada awal Mei 2001. Aksi pertama AAO dilakukan dalam acara peringatan tiga tahun

42 Memorandum of Understanding (MoU) Jamppi 2004.

43 Munafrizal, op.cit., hlm. 108-125

commit to user commit to user

2001. 44 Selain PMII Cabang Kota Surakarta, baik secara mandiri maupun dalam organ, banyak organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus di Surakarta yang tergabung dalam AAO. Beberapa di antaranya adalah PMKRI, GMNI, LMND, PRD,FNBI, FPPI, Forum BEM Surakarta (FBS), Aliansi Anti-Orba Dewan Penegak Kedaulatan Rakyat (AAO-DPKR), serta satu aliansi antara LSM, Ormas dan mahasiswa dalam Front Demokratik Rakyat Tertindas (FDRT). Aksi-aksi mereka secara lantang menyerukan pembubaran Golkar dan Parlemen serta pembersihan parlemen dari unsur-unsur Orba.

Argumentasi pokok dari isu yang diusung AAO adalah tiga hal utama. Pertama, masih kuatnya sisa-sisa Orba dalam tubuh parlemen. Gerakan 1998 meski

mengklaim telah berhasil menurunkan Soeharto, namun tidak banyak merubah realitas politik Indonesia. Orba telah menjadi sistem yang sangat kuat menentukan perilaku politik siapa pun yang masuk ke tubuh kekuasaan atau pun ketika bersentuhan dengan wilayah ekonomi. Berbagai kasus kerakyatan (populisme) seperti penggusuran tanah yang juga diperjuangkan mahasiswa terbengkalai akibat pandangan birokrasi yang masih bisa Orba. Dalam konteks ini, meskipun kelompok mahasiwa ini menyebut juga keberadaan orang-orang Orba, namun sesungguhnya mereka tidak memaksudkan Orba sebagai sebuah corak struktural yang telah

44 LPJ PMII Cabang Kota Surakarta bidang Jaringan Kerja Masyarakat dan Kemahasiswaan. Periode 2000-2001.

commit to user commit to user

manuver parlemen, selain representasi unsur Orba juga bagian dari kompetisi dan kekecewaan politik dari koalisi Poros Tengah. Mereka lebih mewakili kehendak partai untuk berkuasa daripada mewakili kehendak rakyat. Sementara parlemen sibuk mempersoalkan Bruneigate, Buloggate, bahkan kasus Aryanti. Mereka sama sekali tidak memikirkan proses legislasi yang menjadi tanggung jawab parlemen. Ketiga, kelompok ini menganggap bahwa Gus Dur pada waktu itu adalah pertaruhan terakhir dari pemimpin nasional yang masih tersisa, untuk menjaga agar Indonesia tidak terperosok jauh dalam gelombang neoliberalisme. Lebih lanjut, Gus Dur adalah

simbol demokrasi Indonesia. 46 Ide-ide besar Gus Dur seperti poros kerja sama

Jakarta-New Delhi-Beijing lebih mereka apresiasai sebagai alternatif jawaban atas operasional atas ancaman globalisasi.

Sejarah mencatat, Gus Dur adalah satu-satunya simbol perlawanan kelompok pro demokrasi terhadap rezim otoritarianisme Orba. Gus Dur kurang lebih adalah gabungan dari kualitas agamawan, negarawan, politisi, dan intelektual yang senantiasa memberikan sumbangan pemikiran dan peranan untuk menyemaikan nilai- nilai demokratisasi di bawah tekanan-tekanan politik Orba. Dalam waktu yang cukup panjang, sulit untuk menyangkal kepeloporan Gus Dur dalam memperjuangkan

45 Naeni., op.cit., hlm. 64.

46 Wawancara dengan Sholahudin Aly, Ketua PMII Cabang Surakarta tahun 2001-2002. Wawancara dilakukan tanggal 18 Juli 2011.

commit to user commit to user

Sebagian besar berita media massa, baik lingkup nasional maupun lokal sepanjang tahun 2001 mengesankan keberpihakan yang lebih terhadap ragam isu dari kelompok anti Gus Dur. Desakan agar Gus Dur mundur sebagai presiden digemakan dan digandakan kekuatannya oleh media massa. Kesan bahwa pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah berpangkal pada persoalan mempertahankan atau menjatuhkan Gus Dur. Publik ketika itu tidak memiliki cukup ruang untuk melihat persoalan bangsa Indonesia yang jauh lebih kompleks dari sekadar mengganti pemerintahan. Akibat pertarungan isu nasional tersebut, aksi-aksi mahasiswa dengan mengangkat isu lokal relatif tidak mendapatkan ruang.

Pers secara terus-menerus memberitakan Gus Dur dengan menyajikan analisis-analisis tentang ketidakberesan pemerintahan dan gaya kepemimpinannya. Hampir setiap hari media massa menyajikan laporan-laporan tajam dan kritis tentang realitas-realitas di sekitar Gus Dur. Permasalahan Boluggate, BI-gate, Bruneigate, dan KKN di seputar Gus Dur menjadi menu utama pemberitaan media massa. Konfrontasi media terhadap Gus Dur ini mencapai puncaknya pada akhir Juli 2001,

ketika SI MPR dilaksanakan untuk menjatuhkan Gus Dur. 48

Ruang media pada saat itu terbatas untuk isu-isu populis. Misalnya aksi penolakan rencana pembangunan kembali Pasar Gede oleh DPRD Kota Surakarta pada bulan Desember tahun 2000. PMII Cabang Kota Surakarta bersama dengan

47 Khamami Zada (Ed), Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), hlm. 224.

48 Ibid., hlm. 227.

commit to user

PMKRI dan GMNI menuntut agar Pasar Gede tetap dibangun sesuai arsitektur sebelum terbakar. Alasannya, dari segi kultural, Pasar Gede adalah momentum sejarah yang dibangun Karsten tahun 1929 dengan memadukan arsitektur Jawa dan Belanda. Selain itu, Pasar Gede juga merupakan salah satu pilar dari segitiga wisata, yakni Keraton Kasunanan, Pasar Gede, dan Pura Mangkunegaran. Secara sosiologis, Pasar Gede merupakan tempat interaksi sosial yang menyatukan berbagai kelas masyarakat. Secara ekonomis, Pasar Gede merupakan lahan penghidupan bagi ribuan masyarakat kecil. Aksi sepanjang akhir Desember tahun 2000 hingga pertengahan

Januari 2001 tidak cukup mendapatkan perhatian. 49