Awal Gerakan Mahasiswa di Surakarta

A. Awal Gerakan Mahasiswa di Surakarta

Gerakan secara umum memiliki definisi yang sangat luas karena beragamnya ruang lingkup yang dimiliki. Giddens menyatakan bahwa gerakan sosial, termasuk gerakan mahasiswa adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.

Sedangkan Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa-yang bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh-menggalang kekuatan untuk melawan elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan diagungkan oleh resonansi kultural dan simbol- simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan

dengan pihak lawan. 5

Dari dua definisi di atas secara umum dapat dikatakan bahwa hakekat gerakan adalah “perubahan.” Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan untuk digantikan dengan situasi baru yang dianggap memenuhi

harapan. Menurut Albatch, 6 ada dua fungsi gerakan mahasiswa sebagai proses

perubahan. Pertama, evektivitasnya untuk menumbuhkan perubahan sosial karena di dalam masyarakat mereka itu merupakan bagian dari persamaan politik yang konsisten dan penting. Kedua, mendorong bergulirnya perubahan-perubahan politik

5 Fadilllah Putra, dkk., Gerakan Sosial; Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia, (Malang: PLaCID’s Averroes dan KID,

2006), hlm. 57.

6 Philip G.Albatch, Politik dan Mahasiswa Prespektif dan Kecenderungan Masa Kini, (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), hlm. 7-17.

commit to user commit to user

Tradisi gerakan dalam dunia mahasiswa Kota Surakarta belum berusia panjang. Meski dalam perjalanan sejarahnya kota ini menjadi salah satu pusat penting pergerakan nasional. Ada tiga faktor penyebab mengapa gerakan mahasiswa

terlambat hadir di kota ini. 7 Pertama , daya tarik Surakarta sebagai pusat pendidikan

modern terlalu kecil untuk menarik pelajar atau mahasiswa dari luar kota. Dalam hal pendidikan, Surakarta kalah dengan Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Kedua, adalah kurangya golongan kritis dari kalangan akademisi maupun tokoh masyarakat. Golongan kritis di Surakarta sangat terbatas jumlahnya. Bahkan pada akhir periode 1980 hingga 1990 jumlah tokoh di Surakarta, khususnya kalangan akademisi masih kalah dengan Salatiga dengan basisnya Universitas Kristen Satya

Wacana (UKSW). 8 Ketiga adalah keterlambatan perguruan tinggi negeri (PTN) di

Surakarta. Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa selalu muncul pertama kali dari PTN baru kemudian diikuti perguruan tinggi swasta (PTS). Sementara di Surakarta PTN, yakni Universitas Negeri Surakarta (UNS) baru berdiri tahun 1976. Akan tetapi pada momentum 1998 kecenderungan bahwa PTN menjadi yang pertama tidak

7 Kelik Ismunandar, “Konfigurasi Model Atomis Sistem Gerakan Oposan Mahasiswa Era 1998; Studi Kasus Gerakan Mahasiswa di Surakarta 1989-1998,”

(Surakarta: FSSR UNS, Skripsi, 2000), hlm. 69.

8 Arif Budiman, Ariel Heryanto, George J. Aditjondro adalah beberapa nama akademisi kritis UKSW Salatiga yang meletakkan kritik keras terhadap negara tahun-

tahun awal 1990-an. Pada masa mereka salatiga menjadi salah satu kiblat mahasiswa kritis.

commit to user commit to user

dan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama’ (STAINU). 9

Ketiadaan tradisi gerakan dalam dunia mahasiswa Surakarta pada di awal Orba bukan berarti tidak ada organisasi-organisasi mahasiswa baik ekstra maupun intra di perguruan tinggi kota ini. Beberapa organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) telah berkhidmat di kota ini sejak Orde Lama dan di awal Orba. PMII Cabang Kota Surakarta adalah salah satunya. Selain itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonasia (PMKRI). Akan tetapi organisasi-organisasi tersebut cenderung bergerak dalam rutinitas organisatoris sehingga tidak mampu untuk membangun atmosfir gerakan. Gejala tersebut sering mendatangkan cibiran dari para aktivis komite 1998. Misalnya melalui penyebutan terhadap aktivis organisasi ekstra sebagai aktivis formal, sementara untuk menyebut diri mereka sendiri aktivis komite menggunakan istilah

aktivis gerakan. 10 Keberadaan UNS dan UMS memiliki peranan yang sangat besar dalam dunia gerakan mahasiswa Surakarta tahun 1998. Dua universitas ini mengambil peran yang cukup penting di dalam membangun tradisi gerakan mahasiswa di Surakarta. Basis gerakan mahasiswa Surakarta diawali dan dipelopori oleh dua kampus tersebut. Hal tersebut terlihat dalam dinamika pergerakan di Kota Surakarta periode 1998.

9 Pada tahun 2000 Sekolah Tinggi Agama Islam NU (STAINU) Surakarta berubah menjadi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

10 Naeni., op.cit., hlm. 40.

commit to user