Perbuatan melawan hukum dan perlindungan konsumen

9. Perbuatan melawan hukum dan perlindungan konsumen

Penerapan Pasal 1365 KUH Perdata mengalami perkembangan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sebelum undang-undang tersebut lahir, ketentuan yang diterapkan dalam sengketa antara produsen dan konsumen adalah ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Namun dengan lahirnya undang-undang tersebut maka telah terjadi perubahan penerapan dalam praktek beracara pada gugatan perbuatan melawan hukum.

Perkara antara Leo Junatan dan Ny. Trianawati sebagai penggugat melawan BMW AG dan PT. Astra Internasional Tbk. sebagai tergugat berikut ini menunjukkan perubahan penerapan tersebut dalam sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Perkara bermula dari pembelian mobil jenis BMW 318i yang dilakukan oleh penggugat, menurut tergugat salah satu kecanggihan mobil BMW adalah sistem elektroniknya akan

Rosa Agustina

memberi keamanan dan kunci elektroniknya tidak mungkin dipalsukan. Pada suatu hari penggugat pergi mengantarkan istri penggugat untuk mengurut kakinya ke suatu tempat dengan mengendarai mobil BMW. Sesampainya di rumah penggugat tidak bisa menahan buang air kecil karena menderita suatu penyakit sehingga terburu-buru masuk ke toilet yang terletak di dalam rumah sambil menutup pintu mobil yang menggunakan remote control sebagaimana yang sering dilakukan oleh penggugat ketika mengendarai jenis mobil yang lainnya karena sekalipun dikunci dari luar penumpang yang masih berada di dalam mobil tetap bisa keluar dari mobil dengan cara membuka pintu dari dalam.

Karena kondisi kaki istri penggugat masih terasa nyeri, maka tidak bisa keluar mobil bersamaan dengan penggugat dan ketika hendak keluar, istri penggugat lalu membuka pintu mobil dari dalam, namun tidak berhasil sehingga merasa ketakutan karena terperangkap di dalam mobil.

Istri penggugat langsung menekan tombol klakson mobil BMW untuk minta pertolongan tetapi klakson tidak berfungsi karena seluruh sistem elektroniknya mati, lalu ia berusaha mencopot panel yang ada di dalam mobil namun tidak berhasil memecahkannya. Akhirnya istri penggugat berteriak sekeras-kerasnya dengan harapan ada yang mendengarkan dan bisa membantu keluar dari mobil. Harapan istri penggugat ternyata juga sia-sia karena tidak seorangpun mendengarkan teriakannya karena ia berada dalam ruangan kedap suara (dalam mobil BMW yang terkunci) sehingga pada saat itu kondisi istri penggugat sangat lemah dan mengenaskan akibat banyaknya mengeluarkan tenaga serta kehabisan oksigen.

Setelah 40 menit berjuang akhirnya istri penggugat berhasil meretakkan kaca mobil dengan sebuah benda yang berhasil ditemukan di dalam mobil BMW. Tanpa pikir panjang istri penggugat merobek kaca mobil yang sudah retak dengan tangannya dan berhasil membentuk lobang angin, tanpa disadari tangan istri penggugat terluka dan berlumur an darah. Setelah itu barulah ia dapat menghirup udara segar yang masuk dari lobang kaca mobil. Istri penggugat kembali berteriak untuk minta tolong yang ternyata dapat didengar oleh penggugat yang sebelumnya beranggapan bahwa istri penggugat sudah masuk ke dalam rumah. Akhir nya jiwa istri penggugat dapat diselamatkan meskipun dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

Berdasarkan kejadian tersebut penggugat menggugat BMW AG yang berkedudukan di Jerman sebagai Tergugat I, BMW Group Indonesia sebagai Tergugat II dan PT. Astra Internasional Tbk. Sebagai Tergugat III dengan dalil perbuatan melawan hukum. Menurut penggugat tindakan tergugat I dan tergugat II memproduksi mobil BMW dengan menggunakan sistem double lock serta tindakan tergugat III yang tidak memberikan

1. Perbuatan Melawan Hukum

informasi yang jelas tentang kondisi mobil serta cara pemakaiannya kepada penggugat, sangat berakibat fatal dan hampir merenggut nyawa serta menimbulkan kerugian yang besar bagi penggugat dan menurut penggugat hal ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum.

Lebih lanjut penggugat juga mendalilkan bahwa para tergugat yang telah memproduksi mobil BMW dengan sistem penguncian double lock tersebut juga telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999.

Undang-Undang Perlinduangan Konsumen dalam pasal 4 mengatur tentang konsumen antara lain sebagai berikut:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.

2. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan dan/atau jasa.

3. Hak didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

4. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Menurut penggugat sistem penguncian double lock yang diproduksi tergugat I dan tergugat II tidak menjamin keamanan dan keselamatan konsumen di dalam memakai produksi tersebut.

Tergugat dalam jawabannya mendalilkan bahwa karena penggugat telah mengajukan tuntutan pelanggaran Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di samping perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) maka sesuai dengan asas hukum lex specialis derogate legi generalis dan asas hukum lex posteriori derogat legi priori, hukum yang berlaku dalam perkara ini adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No.385/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. berpendapat bahwa pasal 1365 KUH Perdata adalah suatu aturan umum/generalis dalam hal mengajukan gugatan terhadap suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat sedangkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 adalah merupakan suatu aturan khusus/specialis yang meng- atur mengenai tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumen bila terjadi suatu kesalahan atau suatu perbuatan melawan hukum dari pelaku usaha tersebut terhadap konsumennya. Menurut Majelis Hakim dalam hal gugatan mengenai tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumennya yang berlaku adalah Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai aturan khusus/spesialis (lex specialis derogate legi generali ). Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 23

Rosa Agustina

maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri di mana konsumen/ penggugat bertempat tinggal bukan ke Pengadilan Negeri di mana salah satu tergugat bertempat tinggal sebagaimana di atur dalam pasal 118 (2) HIR, hal tersebut karena adanya aturan khusus (pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen) yang didahulukan dari aturan-aturan umum (Pasal 118 ayat (2) HIR) Lex specialis derogate legi generali.

Dalam amar putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan No.210/ Pdt./2004/PT.DKI.

Mahkamah Agung melalui putusan No.1560 K/Pdt/2006 tanggal 17 Juli 2007 menguatkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tersebut.