Isi; penafsiran

2. Isi; penafsiran

2.1. Kata-kata tidak pernah jelas. Untuk menetapkan konsekuensi juridis para pihak telah – secara eksplisit atau implisit – bersepakat (jadi: isi kontrak), bahwa kontrak akan membutuhkan penafsiran. KUH Perdata Belanda tidak memberikan aturan khusus tentang masalah penafsiran. Keterarahan adalah kepercayaan timbal balik dari para pihak yang berkontrak (pasal 3:35), dengan mempertimbangkan kewajaran dan kesetaraan (itikad baik dan penanganan yang adil) (pasal 6:248 ayat 2). Penafsiran sangat penting dalam praktik hukum. Banyak gugatan

hukum dalam bidang hukum kontrak (juga) menangani masalah penafsiran kontrak. Dalam praktik hukum Belanda, Hoge Raad (Mahkamah Agung) telah membentuk dua rezim penafsiran.

2.2. “Rezim-Haviltex”. Mengenai penafsiran kontrak obligatoir (yang mengikat para pihak) yang biasa (misalnya penjualan atau sewa) Mahkamah Agung Belanda memutuskan sebagai berikut.

1 Kecuali kalau dinyatakan lain, semua pasal yang disebutkan dalam tulisan ini diambil dari KUH Perdata Belanda yang baru (1992).

Jaap Hijma

(a) Penafsiran linguistik atau gramatikal tidak pernah cukup. Di sisi lain jelas bahwa dengan kontrak tertulis kata-kata yang digunakan para pihak sering kali akan sangat penting.

(b) Tegas berarti: (i) makna yang oleh para pihak, dengan mengingat keadaan kasus ini, cukup bisa dilekatkan pada perjanjian mereka, dan (ii) perbuatan yang diharapkan untuk dilakukan satu sama lain sebagai hasil dari kesepakatan. Rezim penafsiran ini memiliki karakter lebih fleksibel. Rezim ini

dikenal sebagai “norma-Haviltex”, karena keputusan Mahkamah Agung

di mana norma ini pertama kali diperkenalkan. 2

2.3. Rezim kedua untuk beberapa tindakan juridis tertentu. Penafsiran tidak hanya penting menyangkut kontrak yang mengikat (kontrak obligatoir), tapi juga tentang jenis lain tindakan juridis. Untuk beberapa jenis lainnya, rezim fleksibel yang disebutkan di atas tidak tepat. Mahkamah Agung Belanda membentuk tipe penafsiran yang kedua, di mana kata-kata dalam ketentuan-ketentuannya – dalam konteks kontrak secara keseluruhan – biasanya akan menentukan. Jenis tafsiran kedua agak langka. Ini digunakan untuk sejumlah

tindakan juridis yang juga menyangkut pihak ketiga. Keamanan hukum dari pihak ketiga ini mungkin tidak terancam oleh rezim penafsiran yang terlalu fleksibel. Hal ini terutama berlaku untuk: (i) yang disebut sebagai kontrak kerja kolektif, yang diciptakan antara organisasi pekerja dan pengusaha (poin 7.11), dan (ii) pengalihan harta milik yang tidak bergerak, dengan menggunakan akta notaris yang dimasukkan dalam register publik (pasal 3:89).

2.4. Secara tradisional, hukum tertulis menyatakan aturan praktis yang khusus mengenai penafsiran terhadap isu-isu tertentu, misalnya ketentuan bahwa suatu klausul kontrak yang secara khusus dibahas dan disepakati oleh para pihak, akan berlaku atas suatu persyaratan yang umum. KUH Perdata Belanda yang terdahulu mengandung sejumlah aturan tersebut (pasal 1378 dst.), sebagaimana halnya dalam KUH Perdata Indonesia (pasal 1342 dst.). Namun demikian, para legislator baru mengeluarkan ketentuan- ketentuan ini, dengan alasan bahwa ketentuan-ketentuan itu sudah jelas dengan sendirinya atau terlalu umum. Akibatnya, seluruh doktrin penafsiran diserahkan pada prinsip-prinsip umum tentang kepercayaan timbal balik dan perlindungan terhadapnya (pasal 3:35 KUH Perdata Belanda yang baru).

2.5. Namun demikian, KUH Perdata Belanda tersebut (KUH Perdata yang baru) mengungkapkan apa yang disebut sebagai penafsiran

2 HR 13-3-1981, NJ 1981, 635 (Haviltex).

5. Isi dan konsekuensi dari kontrak

contra proferentem (“untuk kerugian dia yang membawanya dalam klausul” – maksudnya, istilah yang ambigu akan ditafsirkan untuk menentang atau melawan kepentingan pihak yang memasukkan istilah itu dalam kontrak – tambahan penjelasan dari penerjemah), setidaknya sejauh penggunaan syarat-syarat umum vis-à-vis konsumen menjadi hal yang diperhatikan. Jika ada keraguan tentang makna suatu ketentuan, penafsiran yang paling menguntungkan bagi pihak lain harus berlaku (pasal 6:248 ayat 2). Hal yang sama akan berlaku untuk kontrak-kontrak antara dua pihak profesional.

Kasus 1 A menjual mesin pemotong kepada B dengan harga € 5.000. Kontrak memuat klausul berikut: “Sampai akhir tahun ini, pembeli berhak untuk mengembalikan mesin kepada penjual”.

a) Apakah B berhak untuk mengembalikan mesin tanpa menyatakan alasannya? b) Apakah makna juridis dari ungkapan “mengembalikan (mesin)”?

Kasus 2 A menjual seekor kuda pacuan kepada B dengan harga € 10.000. Sebagai tambahan biaya, B juga akan membayar kepada A 50% dari uang hadiah yang didapatkan B dari menggunakan kuda itu. Kontrak berisi klausul berikut: “Pembeli selalu berhak untuk membatalkan kontrak, tanpa menyatakan alasannya”. Beberapa hari setelah penjualan terjadi, B mengangkat klausul tersebut. B menyatakan ia akan menahan kuda sampai A membayar kembali € 10.000. Satu minggu kemudian, kuda pacuan itu memenangkan hadiah sebesar € 8.000.

a) Apakah B berhak untuk mengangkat klausul pembatal an? b) Kriteria manakah yang menentukan apakah masalah uang

harga penjualan (price money) adalah sebuah “kesenjangan” atau tidak dalam kontrak tersebut?

c) Apakah B wajib membayar uang hadiah (prize money) yang berjumlah € 8.000 itu kepada A, seluruhnya atau sebagian?