Kontrak Jual Beli dan Perlindungan Konsumen

6. Kontrak Jual Beli dan Perlindungan Konsumen

KUHPerdata mendefinisikan kontrak jual beli sebagai kontrak dengan mana penjual mengikatkan diri untuk mengalihkan penguasaan/

25 Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (JakartaKencana, 2009), hal. 93-94.

1.Hukum Kontrak Dalam Perspektif Komparatif

kepemilikan atas kebendaan tertentu kepada pembeli dan sebaliknya pembeli mengikatkan diri untuk membayar pada penjual harga barang yang disepekati. KUHPerdata membedakan antara saat penjualan dan saat pengalihan penguasaan/kepemilikan atas benda. Perjanjian jual- beli dianggap absah dan berkekuatan hukum atas dasar kesepakatan bertimbalbalik dari penjual dan pembeli berkenaan dengan barang dan harga. Pengalihan kepemilikan terjadi pada suatu saat setelah kontrak ditutup. Pengalihan penguasaan/kepemilikan atas kebendaan tersebut harus dilakukan sesuai ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata.

KUHPerdata memberikan dua jaminan/janji dari penjual kepada pembeli sebagai berikut: (a) penjual menjamin bahwa ia adalah pemilik sah dari barang tersebut dan berkuasa untuk menjualnya. Jika setelah penyerahan, alas hak kepemilikan pembeli digugat oleh pihak ketiga, maka pembeli dapat memaksa penjual untuk membela dirinya; (b) penjual menjamin pembeli terhadap cacat tersembunyi, termasuk cacat yang tidak diketahui oleh penjual pada waktu jual beli terjadi.

Meski begitu, pihak-pihak dalam kontrak dapat melepaskan atau mengenyampingkan kewajiban yang dibebankan KUHPerdata terhadap mereka, seperti misalnya menjamin pembeli terhadap cacat tersembunyi. Karena itu jika barang yang dibeli ternyata cacat karena kelalaian pembuat/pabrik, penjual dapat lolos dari tuntutan pertanggungjawaban. Pada lain pihak, jaminan atau janji perihal keabsahan kepemilikan atau penguasaan dan kecakapan menjual tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ketentuan Pasal 1494 KUHPerdata menyatakan bahwa sekalipun dapat disepakati penjual tidak akan memberikan jaminan, penjual dimaksud bagaimanapun juga harus bertanggungjawab atas semua akibat dari tindakan yang dilakukannya sendiri. Perjanjian yang bertentangan dengan kewajiban di atas akan dinyatakan batal demi hukum.

UU 8/1999 tentang perlindungan konsumen kiranya lebih berpihak pada pembeli dan pengguna akhir. Adalah legal atau absah dalam masyarakat pengusaha untuk menutup perjanjian baku dengan konsumen dan menetapkan klausul-klausul baku dalam kontrak konsumen. Meski begitu ketentuan Pasal 18 UU 8/1999 menetapkan bahwa larangan untuk dalam mencantumkan klausula baku sebagai berikut ke dalam kontrak: (a) menyatakan berpindahnya tanggunggugat dari pengusaha ke konsumen; (b) menyatakan pengusaha berhak menolak pengembalian barang oleh konsumen; (c) menyatakan pengusaha memiliki hak untuk menerima pengembalian uang dari konsumen; (d) menyatakan konsumen telah memberikan mandat kepada pengusaha untuk secara sepihak melakukan tindakan tertentu terhadap barang yang dibeli konsumen secara tunai atau dengan cicilan; (e) mengatur beban pembuktian terhadap kehilangan barang atau jasa yang dibeli konsumen; (f) memberikan hak kepada pengusaha untuk mengurangi harta kekayaan konsumen berkaitan

Suharnoko

dengan kontrak jual beli; (g) menyatakan penundukan diri konsumen terhadap perubahan dan penambahan ketentuan yang dirancang/ diberlakukan pengusaha secara sepihak; (h) menyatakan bahwa konsumen telah memberikan mandat kepada pengusaha untuk membebankan gadai, jaminan kebendaan atau personal atau pertanggungan terhadap kebendaan yang dibeli konsumen. Dalam hal pengusaha memberlakukan klausula baku di atas dalam perjanjian jual-beli, maka perjanjian demikian akan dinyatakan batal demi hukum. Lebih lanjut ketentuan Pasal 24 UU 8/1999 menyatakan bahwa pengusaha yang menjual jasa atau barang melalui pengusaha lainnya harus bertanggungjawab terhadap gugatan ganti rugi yang diajukan konsumen sepanjang tidak ada perubahan secara substansial dari barang-jasa yang diterima konsumen melalui pengusaha lain tersebut. Karena itu bilamana prinsipil menjual mobil jadi (build up) melalui agen, penyalur dan toko akhir, maka prinsipal akan tetap bertanggungjawab atas cacat tersembunyi dan tuntutan konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.

KUHPerdata tidak mengatur apapun berkenaan dengan perjanjian sewa beli (hire purchase agreement). Perjanjian demikian sebaliknya berkembang dari praktik. Sewa beli memungkinkan pembeli langsung menikmati kebendaan sekalipun pembayaran dan pengalihan alas hak atas kebendaan tersebut belum dituntaskan. Dalam kontrak sewa beli, pembayaran dilakukan dalam cicilan, sekalipun barang langsung diserahkan dan alas hak penguasaan/pemilikan tetap berada di tangan penjual sampai total harga barang dilunasi. Pembeli tidak dapat menjual kembali atau membebankan benda dengan hutang karena ia belum berkedudukan sebagai pemilik sah/pemegang alas hak yang sah dari kebendaan tersebut. Bila ia melanggar larangan tersebut pembeli dapat dipersalahkan melakukan penggelapan.

Sengketa muncul bilamana penjual secara sepihak menarik/ menyita penguasaan barang dari tangan pembeli tanpa adanya putusan pengadilan untuk itu. Ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat-syarat pemutusan kontrak selalu diimplikasikan terpenuhi dalam perjanjian timbal balik, yakni bila salah satu pihak tidak mematuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya. Selanjutnya di dalam ayat (2) ketentuan di atas menyatakan bahwa pemutusan kontrak tidak terjadi demi hukum namun harus atau dapat dimintakan kepada hakim perdata. Dalam praktiknya para pihak bersepakat di dalam perjanjian untuk mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266(2) KUHPerdata. Sekalipun begitu, jika salah satu pihak mengajukan gugatan, pengadilan akan menerima dan memeriksa perkara yang bersangkutan.

Pada era 1980-an, pengadilan biasanya berpihak kepada pembeli jika penjual secara sepihak mengambil/menarik atau menyita barang dari bawah penguasaan pembeli. Alasannya ialah pertama bahwa maksud-

1.Hukum Kontrak Dalam Perspektif Komparatif

tujuan perjanjian sewa-beli pada akhirnya adalah mengalihkan alas hak kepemilikan/penguasaan dari penjual kepada pembelii, dan kedua perlunya melindungi pembeli karena mereka tidak memiliki daya tawar yang seimbang berhadapan dengan penjual. Sebagai contoh, di dalam kasus Ny. Lie Tjiu Hoa dan Achmad Kartawijaya alias A Liong v. Linda bin

H. Marsan , No. 935/Pdt/1985 tertanggal 30 september 1986, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa adalah tindakan tidak patut untuk mengenyampingkan begitu saja hak pembeli semata-mata karena ia lambat membayar cicilan terakhir tanpa memperhitungkan jumlah uang yang telah dibayarkan dalam cicilan-cicilan sebelumnya. Penjual hanya dapat menuntut pembayaran dan alas hak penguasaan/pemilikan barang tetap harus diserahkan/berada ditangan pembeli. Dalam kasus berbeda, Sie Gie Tiong v. Agus Setiawan, No. 3272K/Pdt/1998 tertanggal 30 mei 1990, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa alas hak penguasaan/ pemilikan barang telah berpindah kepada pembeli sekalipun pembeli baru melunasi dua cicilan pertama. Dengan cara serupa di dalam kasus Arifin Samoga v. La Ode Abdul Latief, No. 1241K/Pdt/1986 tertanggal 30 maret 1986, Mahkamah Agung memutus menghukum pembeli untuk membayar sisa cicilan tertunggak dari mobil yang menjadi objek perjanjian sewa beli sekalipun memutuskan bahwa alas hak penguasaan/pemilikan telah beralih kepada pembeli. 26

Di dalam praktik hukum kita temukan juga bentuk kontrak konsumen lainnya. Penjual menjual barang kepada konsumen dengan fasilitas kredit yang disediakan lembaga keuangan. Lembaga keuangan menutup kontrak pinjaman dengan konsumen dan membayar seluruh harga barang. Barang tersebut dibebani dengan jaminan fidusia. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 UU 42/1999 tentang fidusia, debitur berkewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang ke atasnya dibebani jaminan untuk kepentingan eksekusi.