Konsekuensi vis-à-vis pihak ketiga

7. Konsekuensi vis-à-vis pihak ketiga

7.1. Kontrak mengikat antara para pihak dan hanya antara para pihak. Ini adalah prinsip yang penting untuk hukum kontrak.

7.2. Prinsip “hanya para pihak” bukan tanpa pengecualian. Dalam beberapa kasus kontrak antara A dan B dapat tampaknya untuk

5. Isi dan konsekuensi dari kontrak

keuntungan, atau bahkan untuk kerugian, dari pihak ketiga C. KUH Perdata Belanda memuat sejumlah ketentuan untuk efek itu. Selain itu, ada beberapa pengecualian tertulis, yang dikembangkan oleh lembaga peradilan.

7.3. Hak-hak kualitatif. Sebuah hak kontraktual yang mampu dialihkan yang sangat terkait erat dengan harta milik kreditur yang mana bahwa hak itu menjadi kepentingannya hanya selama dia mempertahankan harta miliknya, harus disampaikan kepada orang yang memperoleh atau mendapatkan harta itu dengan titel tertentu (misalnya penjualan) (pasal 6:251). Contohnya adalah hak untuk meminta mobil seseorang dilayani secara gratis.

7.4. Kewajiban-kewajiban kualitatif. Dalam kondisi yang parah, kewajiban- kewajiban kontraktual “kualitatif” tertentu bisa dikenakan pada pihak ketiga juga (pasal 6:252). Syarat-syaratnya meniru syarat- syarat dari hukum tentang harta benda atau harta milik, yang juga mengakui kemungkinan pengalihan kewajiban-kewajiban (kualitatif).

7.5. Ketentuan untuk keuntungan orang ketiga. KUH Perdata Belanda berisi empat serangkai pasal tentang subjek ini. Contohnya adalah klausul penerima manfaat dalam kontrak asuransi jiwa. Sebuah kontrak menciptakan hak untuk orang ketiga untuk

mengklaim pelaksanaan dari salah satu pihak, atau sebaliknya menggunakan kontrak terhadap salah satu dari mereka, jika kontrak memang berisi ketentuan untuk efek itu dan jika orang ketiga memang menerimanya (pasal 6:253 ayat 1). Sampai penerimaannya, ketentuan tersebut dapat dicabut oleh stipulator (pembuat ketentuan) (pasal 6:253 ayat 2; hukum yang tidak mengikat (non-mandatory law), pasal 6:250). Setelah orang ketiga menerima ketentuan tersebut, ia dianggap menjadi pihak dalam kontrak (pasal 6:254 ayat 1); dengan demikian kontrak awal yang normal berkembang menjadi kontrak multi-pihak.

7.6. Palang untuk “lompatan kuda”. Misalkan seorang karyawan merusak harta benda orang lain. Korban dapat dan akan menuntut ganti rugi dari majikannya, atas dasar wanprestasi (pasal 6:76) atau tanggung jawab risiko berdasarkan hukum yang mengatur tentang gugatan atas perbuatan melawan hukum (6:170). Sekarang anggaplah majikan dapat meminta klausul pengecualian yang dibuat dalam kontrak dengan korban. Korban kemudian akan menggugat karyawan (tindakan yang melanggar hukum, perbuatan melawan hukum, pasal 6:162), yang tidak memiliki pembelaan seperti ini. Setelah membayar korban, karyawan tersebut dapat memiliki hak untuk meminta bantuan majikannya (terutama ketika kesalahan karyawan itu kecil). Dalam kasus seperti ini, majikan akhirnya akan

Jaap Hijma

menanggung kerusakan, terlepas dari adanya klausul pengecualian yang dibuatnya. Pasal 6:257 menghalangi apa yang disebut sebagai “lompatan

kuda” ini (chess parallel, posisi catur yang sama), yang dipilih oleh pihak ketiga dalam rangka melompati pertahanan majikannya. Dalam kasus seperti ini karyawan dapat, jika digugat, juga memanfaatkan pertahanan majikan – yaitu klausul pengecualian – seolah-olah ia adalah pihak dari kontrak terkait.

7.7. Hoge Raad (Mahkamah Agung) mengembangkan beberapa pengecualian tak tertulis dalam aturan bahwa suatu kontrak hanya mengikat bagi para pihak itu sendiri. Pengecualian ini terutama menyangkut klausul pengecualian. Sebuah kasus pengadilan yang terkenal adalah “bawang yang

disemprot disinfektan”. 4 C, pemilik angkutan pengiriman bawang, ingin agar bawangnya disemprot dengan disinfektan dan mempercayakan

A untuk membuat pengaturan yang diperlukan. A membuat kontrak dengan perusahaan B. B melakukan penyemprotan disinfektan kepada bawang-bawang itu, tetapi menggunakan terlalu banyak bahan; akibatnya bawang-bawang itu menjadi rusak parah. Menurut kontraknya dengan

A, B bebas dari tanggung jawab apa pun. C adalah pihak ketiga vis-à-vis dengan kontrak antara A dan B dan berpendapat bahwa ia tidak terikat oleh klausul pengecualian B. Namun demikian, Mahkamah Agung Belanda berpendapat bahwa “menurut prinsip kewajaran, C harus patuh pada klausul kontrak, meskipun ia bukan pihak dari kontrak yang berisi klausul pengecualian itu.”