Perjanjian Pada Umumnya Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

63 BAB III PRINSIP-PRINSIP PERJANJIAN

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian Perjanjian Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak untuk menunaikan prestasi. 125 Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum rechtsbetrekking yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang person atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 126 Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang biasa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga dengan sendirinya timbul hubungan antara anak dengan kekayaan Kalau demikian perjanjian verbintenis adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh karena hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. 125 M.Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung:Alumni,1986, hal 32. 126 Ibid, hal 33. orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian, hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hokum rechtshandeling. Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. 127 Seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga familie vermogensrechtelijke adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang- undang. Hukum kekayaan Vermogenrecht yang bersifat pribadi dalam Jadi satu pihak memperoleh hak recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban plicht menyerahkanmenunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek voorwep dari perjanjian verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai sebagai kreditor schuldeiser. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai debitor schuldenaar. Karakter hukum kekayaan harta benda ini bukan hanya terdapat dalam hukum perjanjian. Walaupun dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak. 127 Ibid , hal 40. perjanjian verbintenis bisa tercipta jika ada tindakan hokum rechtshandeling. 128 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “Satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja belah pihak seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”. Pengertian lain tentang perjanjian yaitu pada Pasal 1313 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal ini, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti diuraikan berikut ini : 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwaarneming , tindakan melawan hukum onrechtmatige daad yang tidak mengandung satu konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUH 128 Ibid , hal 42. Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal. 4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikat diri tidak jelas untuk apa. 129 Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian law of contract . Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang akan dibicarakan kemudian. Dalam defenisi yang dikemukan di atas, secara jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak. Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu, kendatipun pelaksanaan itu datang dari satu pihak, asalnya dalam perjanjian pemberian hadiah hibah. Dengan perbuatan memberi hadiah itu, pihak yang diberi hadiah setuju untuk menerimanya, jadi ada konsensus yang saling mengikat. 130 Pelaksanakan itu terletak dalam lapangan harta kekayaan yang selalu dapat dinilai dengan uang. Perjanjian melaksanakan perkawinan misalnya, 129 Sudargo Gautama, Contoh-Contoh Kontrak Rekes dan Surat Resmi Sehari-Hari, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1990, hal 29. 130 Ibid , hal 30. tidak dapat dinilai dengan uang karena perkawinan itu terletak dalam bidang moral persol, hubungan perkawinan itu bukan hubungan antara debitor dan kreditor. Kewajiban alimentasi memberi nafkah terletak dalam bidang moral walaupun nafkah itu sendiri bisa berupa sejumlah uang. Perjanjian yang dibuat itu dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk tertulis berupa satu akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis akta biasanya untuk kepentingan pembuktian, misalnya polis pertanggungan. Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut di atas tadi, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian tersebut seperti berikut ini: 1. Ada pihak-pihak, sedikit-dikitnya dua orang 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu 3. Ada tujuan yang akan dicapai 4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan 6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian 131 2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang sehingga diakui oleh hukum legally concluded contract . Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat- syarat sah perjanjian adalah : 131 I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Bekasi:Megapoin, 2004, hal 10. 1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian consensus 2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian capacity 3. Ada suatu hal tertentu a certain subject matter 4. Ada suatu sebab yang halal legal cause. 132 Syarat-syarat ini sudah pernah dibicarakan secara singkat sehubungan unsur bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut undang-undang diakui oleh hukum. Sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat yang tidak diakui oleh hukum walaupun diakui pihak-pihak yang bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal. a. Persetujuan Kehendak Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seiya sekata antara pihak-pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat- syarat perjanjian. Persetujuan disini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perudingan. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari 132 Ibid , hal 12. pihak manapun. Dalam pengertian persetujuan kehendak itu juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan Pasal 1321, 1322, dan 1328 KUH Perdata. Sebelum ada persetujuan, pihak-pihak mengadakan perundingan negotiation , yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu sehingga tercapai persetujuan yang mantap. Kadang-kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki pihak lain itu. 133 Persetujuan kehendak dapat dinyatakan secara lisan dan dapat pula secara tertulis, misalnya dengan surat, telegram. Persetujuan itu harus bebas, tidak ada paksaan. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya yang bersifat menakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu Pasal 1324 KUH Perdata. Menurut putusan Mahkamah Agung Belanda Hoge Raad 6 Mei 1926, persetujuan kehendak itu dapat pernyataan dari tingkat laku berhubung dengan kebutuhan-kebutuhan lalu lintas masyarakat dan kepercayaan yang oleh karena itu ditimbulkan pada pihak lainnya. 134 133 Ibid , hal 14. 134 Ibid , hal 16. Dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal itu ia tidak akan menyetujui. Terakhir ialah tidak ada penipuan. Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan menipu menurut undang-undang Pasal 378 KUH Perdata. Dikatakan menipu menurut pengertian undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui Pasal 1328 KUH Perdata. 135 Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak karena paksaan, kekhilafan, penipuan ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim voidable. Menurut ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima; dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal ada kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu. Menurut yurisprudensi, tidak cukup dikatakan ada penipuan apabila hanya berupa kebohongan belaka mengenai suatu hal. Baru ada penipuan kalau disitu ada tipu muslihat yang memperdayakan. 136 b. Kecakapan Pihak-Pihak Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun 135 Mariam Darus Badrul, Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan , Bandung:Alumni, 1996, hal 27. 136 Ibid , hal 29. atau sudah kawin walaupun belum 21 tahun. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampunan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri ada izin suaminya. Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan hukum jadi tidak perlu lagi izin suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan istri itu sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim. Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan melakukan perbuatan hukum, kewenangan membuat perjanjian. Dikatakan ada kewenangan apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan apabila tidak mendapat kuasa untuk itu. Akibat hukum ketidakcakapanketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalan kepada hakim voidable. Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak. 137 c. Suatu Hal Tertentu 137 Ibid , hal 30. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum void, nietig. d. Suatu Sebab Yang Halal causa Kata “causa” berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah isi perjanjian itu yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah pertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. Menurut undang-undang, sebab causa itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 KUH Perdata. Perjanjian yang berisi causa atau sebab yang tidak halal, tidak diperbolehkan. 138 3. Asas-Asas Perjanjian Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum void, nietig. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Dengan demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab ia dianggap tidak pernah ada Pasal 1335 KUH Perdata. Di dalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar dan fundamen. Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan sesama anggota masyarakat. Adapun Paul Scholten memberikan defenisi mengenai asas hukum ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan- keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. 139 138 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus,Jakarta:Kencana, 2004, hal 131. 139 Ibid , hal 132. Setiap peraturan perudangan-undangan diperlukan adanya suatu asas karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut maksud dan tujuan peraturan menjadi jelas. Sri Soemantri Martosuwignjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan “beginsel” Belanda atau “principle” Inggris sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. Asas hukum adalah normatif untuk membedakan antara daya ikat normatif dan keniscayaan yang memaksa. Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada harus juga memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya. 140 a. Asas Kebebasan Berkontrak Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah: Hukum benda menganut sistem tertutup sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum perlengkapan optional law yang berarti bahwa pasal-pasal itu 140 Ibid , hal 133. boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat kententuan- ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak contractvrijheid. Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Ketentuan itu berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak contractvrijheid berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai Pasal 1320 KUH Perdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia. 141 b. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya 141 Ibid , hal 134. tegas dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya will, yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungan dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Menurut A.Qirom Syamsudin M, asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. 142 c. Asas Itikad Baik Dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya sepakat consensus dari para pihak yang membuatnya. Dengan demikian dalam perjanjian ini harus didasari kesepakatan untuk mengadakan kerjasama usaha. Dalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat 3 asas itikad baik ini diatur. Asas itikad ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seorang, yaitu apa 142 H. Salim, Perancang Kontrak dan Memorandum Of Understanding MOU, Mataram:Sinar Grafika, 2007, hal 84. yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Menurut Munir Fuadli, rumusan dari Pasal 1338 ayat 3 tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratan dalam hal pelaksanaan dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pebuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut. 143 d. Asas Kepercayaan Vertrouwensbeginsel Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikat dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan sebagai undang-undang. e. Asas Kekuatan Mengikat Pacta Sunservanda 143 Ibid , hal 85. Dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan yang mengikat para pihak. Asas kekuatan mengikat facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Semua persetujuan ynag dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya ”. Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang. 4. Pelaksanaan Perjanjian Pelaksanaan di sini ialah realisasi atau pemenuhan hak dan tujuannya. Tujuan tidak akan terwujud tanpa ada pelaksanaan perjanjian itu. Masing- masing pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat apa yang telah disetujui untuk dilakukan. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang, atau sebaliknya penyerahan barang lebih dahulu kemudian disusul dengan pembayaran. 144 144 Ibid , hal 86. a. Pembayaran Betaling Pengertian pembayaran betaling dalam hal ini harus dipahami secara luas. Tidak hanya dalam ruang lingkup yang sempit seperti yang diartikan oleh orang yakni terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang semata. Hal tersebut tidak selamanya benar karena ditinjau dari segi yuridis teknis bahwa pembayaran tidak selamanya mesti berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu. Dapat pula berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu, bisa saja dengan pemenuhan jasa atau dengan bentuk yang tidak berwujud immaterial. Pembayaran prestasi juga dapat dilakukan dengan melaksanakan sesuatu te doen. 145 b. Penyerahan levering Penyerahan lavering adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Levering ini mengikuti perjanjian obligator, karena menurut sistem KUH Perdata kita, perjanjian obligator itu baru dalam taraf melahirkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik. Supaya hak milik berpindah perlu diikuti dengan penyerahan barangnya. 146 Seperti telah dikemukan di atas, bahwa penyerahan levering transfer dapat mempunyai dua arti yaitu perbuatan yang serupa penyerahan kekuasaan belaka transfer of possession dan perbuatan 145 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT Intermasa, 1986, hal 94. 146 Ibid , hal 95. hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain, yang disebut penyerahan yuridis transfer of ownership. Dalam penyerahan hak milik atas barang bergerak, kedua penyerahan ini berjalan serentak sedangkan dalam penyerahan barang tidak bergerak kedua pengertian penyerahan ini jelas kelihatan sebab pemindahan hak milik itu tidak cukup dengan pengoperan kekuasaan belaka melainkan harus dengan pembuatan akta penyerahan resmi yang disebut akta penyerahan hak milik yang otentik authentic act.

B. Perjanjian Sewa Menyewa

Dokumen yang terkait

Tugas dan Wewenang Pengurus PKPU Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

10 159 93

Analisis Yuridis Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Bank Oleh Bank Indonesia Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

3 72 165

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

24 183 81

Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik

4 98 92

Dampak Pemberi Waralaba (Franchisor) Asing yang Dipailitkan Terhadap Penerima Waralaba (Franchisee) Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

0 0 2

PERMOHONAN PKPU YANG DIAJUKAN KEPADA DEBITOR SERTA PARA GUARANTORNYA DITINJAU BERDASARKAN HUKUM PERJANJIAN DAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTA.

0 0 1

Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Timbal Balik

0 0 7

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan - Ubharajaya Repository

0 0 17

JURNAL ILMIAH RENVOI DALAM KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

0 0 16