Sedangkan gender penulis simpulkan suatu konsep yang digunakan untuk mendefinisikan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin, sehingga nantinya berdampak pada posisi dan peran laki-laki dan
perempuan dalam kehidupannya. Dari definisi aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan yang telah diuraikan di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan penerapan atau penggunaan peluang dan kesempatan antara laki-laki
dan perempuan dalam mendapatkan bimbingan baik itu pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui
bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan dicurahkan dalam rangka mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat
kedewasaan, dan hal ini dilakukan baik di dalam maupun diluar sekolah yang berlangsung seumur hidup, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-
tingginya.
Hal ini sejalan dengan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1 yang menyebutkan
bahwa: “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan mnejunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.”
21
1. Landasan Teoritis Studi Gender
Dalam studi gender di kenal beberapa teori dasar yang sangat mempengaruhi proses studi ini. Teori-teori tersebut adalah :
a. Teori feminisme liberal
Dalam pemikiran kelompok ini adalah: “semua manusia laki-laki dan perempuan di ciptakan seimbang dan serasi, dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu
dengan lainnya.”
22
Feminisme liberal memberikan teoritis akan kesaman wanita dalam potensi rasionalitasnya. Namun berhubung wanita di tempatkan pada
potensi tergantung pada suami dan kiprahnya dalam sektor domestik, maka yang lebih dominan timbul pada diri wanita adalah aspek emosiaonal ketimbang
21
Umaedi, M. Ed, Manajemen Mutu Berbasis SekolahMadrasah MMBSM, Jakarta: CEQM, 2004, Cet. ke-1. h. 345
22
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, selanjutnya dibaca Argumn, Cet. ke-2, Jakarta: Paramadina, 2001, h. 64
rasional. “Apabila tidak bergantung pada suami dan tidak berkiprah di sektor domestik, maka wanita akan menjadi makhluk rasional seperti kaum pria.”
23
Kelompok ini pada intinya mendasarkan asumsinya pada penghargaan terhadap penghargaan, bahwa: “setiap manusia mempunyai hak asasi manusia yaitu untuk
hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan.”
24
Karenanya kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghindari agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua
peran termasuk bekerja di luar rumah. “Dengan demikian tidak ada lagi kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.”
25
b. Feminisme Marxis – Sosialis
Kelompok aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyrakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa, ketimpangan peran antara
kedua jenis kelamin ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. “Teori kebudayaan nature sebenarnya merupakan bantahan terhadap teori kodrat
alam nurture.”
26
Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog tentang “status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, karena faktor biologis dan latar
belakang sejarah.”
27
Para penganut teori ini beranggapan, ketimpangan gender dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja
tanpa upah gaji perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Struktur ekonomi akan kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status
perempuan. Karena itu, untuk mengangkat harkat martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan penunjangan kembali secara mendasar,
terutama dengan “menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.”
28
c. Teori Sosio-Biologis
23
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, 1999, h. 119
24
Ibid., h. 118
25
Nasarudin Umar, op. cit., h. 65
26
Ahmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2001, Cet. ke-1, h. 25
27
Ibid.
28
Ibid., h. 66
Teori ini mencoba menggabungkan antara nature dan nurture laki-laki dan perempuan. Teori ini beranggapan, faktor biologi dan faktor sosial-budaya
menyebabkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Fungsi reproduksi perempuan yang lebih rumit dianggap sebagai faktor penghambat untuk
mengakses ke dunia publik, berbeda dengan laki-laki yang tidak mengalami faktor tersebut.
Perbedaan fisik laki-laki dan perempuan sangat jelas terlihat; rata-rata pria mempunyai fisik dan otot yang lebih besar dari pada perempuan, perempuan
mempunyai struktur tulang pelik yang lebih besar, yang memang sesuai untuk menyokong kehamilan-kehamilan semua ini dapat menghambat perempuan untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan otot-otot besar. Perbedaan hormon juga mempengaruhi tingkat agresifitas, dimana laki-laki lebih agresif
dibandingkan perempuan, sedangkan perubahan hormon pada perempuan serasa siklus menstruasi, menyusui, dan kehamilan adalah sifat khusus feminim.
Perbedaan fisik ini memberikan “implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibandingkan laki-laki.”
29
Secara sosial pun laki-laki dominan secara politik dalam semua masyarakat. Hal ini dikarenakan faktor biologis bawaan mereka, sehingga hal ini memberikan
pada masing-masing jenis kelamin dan pengaruh jenis kelamin dalam perkembangan prilaku manusia. Semuanya memperkuat kesimpulan bahwa biologi
manusia adalah suatu komponen penting dalam prilaku yang berbeda antara jenis- jenis kelamin. “Teori sosio-biologis ini juga tetap berkeinginan melanggengkan
sistem patriarhi.”
30
2. Landasan Hukum Gender