Kebutuhan gender praktis berkaitan dengan peranan gender yang ada, sementara kebutuhan gender strategis berkaitan dengan peningkatan peranan gender yang
adil untuk perempuan. Kebutuhan gender strategis dimulai dengan asumsi bahwa “perempuan tersub-ordinasi oleh laki-laki sebagai konsekuensi diskriminasi
institusi dan sosial terhadap perempuan.”
61
Dalam praktek, pendekatan yang menekankan kebutuhan gender praktis mungkin akan mengenalkan dan memberi pertimbangan akan adanya kebutuhan gender
strategis. Tetapi pada sisi lain, memuaskan kebutuhan gender praktis menguatkan adanya pembagian kerja dalam rumah tangga, yang mensub-ordinasi perempuan,
membuat air lebih mudah diperboleh, bagi perempuan tidak merubah posisi hubungannaya dengan laki-laki. Pendekatan yang menekankan kebutuhan gender
strategis sering digunakan oleh aktifis perempuan untuk melawan keberadaan struktur dan sosial yang memperlakukan perempuan secara tidak adil.
Gender mainstreaming diberbagai instansi pemerintah, mengharapkan proses identifikasi dan analisis isu gender serta mengenali faktor-faktor penyebab
terjadinya kesenjangan gender pada setiap rumusan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Rumusan itu kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan
kebutuhan laki-laki dan perempuan secara adil dan setara.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan gender mainstreaming adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi atas kebijakan, dan program pembangunan nasional yang mempunyai tujuan kesetaraan peran,
dan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi atas kebijakan, dan program pembangunan nasional yang berspektif
gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming
Pada mulanya kondisi gender mainstreaming di negara Indonesia tidak terlepas dari usaha-usaha peran aktif perempuan. Sebelum perempuan belum pernah atau
bahkan tidak pernah menjadi prioritas dalam pembangunan. Pada kenyataannya perempuan banyak mengalami masalah dalam kehidupannya; baik itu berkaitan
dengan dirinya, keluarganya anak, suami, orang tua, mertua, keluarga batih, lingkungan sosial maupun dunia sekitarnya sepanjang kehidupannya dengan
tujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif
gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
61
Ibid.
Pembicaraan mengenai perempuan merupakan pembicaraan yang mengemuka dan menarik setidaknya sejak adanya Konfrensi Wanita di Nairobi 1975 yang
dijadikan sebagai tonggak Tahun Wanita Internasional. Kemudian dilanjutkan dengan John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam bukunya “Megatrend 2000”
yang meramalkan kepemimpinan wanita Decade of Women in Leadership sesuai yang terbukti.
Menurut Waiten 1992, pemahaman tentang peran gender terbentuk melalui tiga proses, operant conditioning, abservational learning, self-socialization. Self-
socialization
62
berkembang melalui tiga tahap, yaitu a anak belajar mengklasifikasikan dirinya sebagai pria atau wanita dan memahami jenis
kelmainnya sebagai sesuatu yang permanen, b anak melakukan penilaian terhadap karakteristik dan prilaku yang berkaitan dengan jenis kelmainnya, c
mereka mengusahakan perilaku yang tetap sesuai dengan peran gender yang dianggap tepat dalam budayanya.
Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kenyataan perlunya
pengarusutamaan gender dalam pembangunan Gender Mainstreaming belumlah menjadi kenyataan.
Peran gender menjadi sangat bervariasi dalam pola kehidupan tiap orang, tiap keluarga, juga tiap budaya maupun negara. Namun budaya yang cenderung
merugikan kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam hal-hal berikut yang mengakibatkan pengarusutamaan gender menjadi sangat perlu. Adapun
sebab-sebab terjadi pengarusutamaan gender dikarenakan oleh:
Pertama, marginalisasi. Pemingitan peran kaum perempuan; kaum perempuan dianggap sebagai warga masyarakat kelas dua. “Perempuan sendiri cenderung
enggan menjadi nomor satu, karena takut dijauhi atau dicela kaum laki-laki cinderella complex, perempuan lebih memilih jadi subordinat laki-laki.”
63
Kedua, stereotip. Masyarakat mempunyai norma tertentu tentang perempuan yang ideal yaitu feminim, sementara laki-laki adalah maskulin, padahal terjadi pada
kenyataannya setiap orang memilki dua karakteristik sekaligus androgin, yaitu feminim sekaligus maskulin. Dalam kehidupannya sebagai suatu streotip,
perempuan diharapkan menjadi figur yang feminim, yaitu lembut, halus, teliti, rajin, patuh, taat, cantik, cermat dan sebagainya. Sementara laki-laki diharapkan
menjadi figur yang maskulin: gagah, perkasa, gentlemen, kuat cerdas, kasar, memimpin, macho dan sebagainya. Padahal secara psikologis orang yang
62
Weiten, W., Psychology: Themes and Variations, California: BrooksCole Publishing Company, 1992
63
Ibid.
androgen secara seimbang memilki banyak kelebihan seperti harga diri yang lebih tinggi, kemampuan komunikasi yang lebih efektif, dan lebih fleksibel. Dalam
setiap individu besarnya kadar feminitas maupun maskulinitas sangat variatif antara satu orang dengan orang lain. Meskipun kemudian ada yang lebih
memperdalam lagi menjadi “feminitas positif dan feminitas negatif, serta maskulin positif dan maskulin negatif.”
64
Ketiga, beban ganda. Pembagian kerja di dunia domestik untuk perempuan, sementara laki-laki di sektor publik, sehingga ketika perempuan pergi ke sektor
publik ada beban ganda yang disandangnya. Beban ganda ini sebagian besar dijalani kaum perempuan sementara semestinya ada juga beban ganda juga untuk
kaum laki-laki, karena memang pekerjaan domestik bukanlah kodrat perempuan.
Keempat, kekerasan. Perempuan dengan fungsi reproduksinya sering mengalami kekerasan di tempat kerja atau bahkan di dalam rumah tangga sendiri. Mulai dari
kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Juga kekarasan yang dilakukan oleh individu, institusi maupun negara. Dalam rumah tangga perempuan dianggap tidak
produktif, sehingga harus menuruti kemauan laki-laki si pencari nafkah utama, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam dunia publik, di tempat kerja
perempuan yang haid, mengandung, melahirkan, menyusui, sering tidak memperoleh haknya secara wajar. Bahkan sering mengalami intimidasi untuk
dikeluarkan. Sementara dalam tingkat negara, kadang kekerasan yang diderita perempuan sering tidak tampak di mata publik karena terjadi di sektor domestik.
“Kadang perempuan yang mengalami tindak kekerasan dipersalahkan publik, karena perempuan tersebut berdandan menor ataupun sebab lainnya yang lebih
disebabkan karena ia berjenis kelamin perempuan.”
65
Terjadinya gender mainstreaming tidak hanya dikarenakan sebab-sebab diatas, tetapi adapula faktor-faktor pendukung pengarusutamaan gender diatas, melainkan
untuk mengidentifikasi apakah laki-laki dan perempuan:
1. memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan
2. berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses
pengambilan keputusan 3.
memilki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan 4.
memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.
64
Ibid.
65
Ibid.
Dengan demikian Gender Mainstreaming menjadi bahan perbincangan perempuan aktivis, LSM, dan lain sebagainya yang bergerak di masalah perempuan, wal hasil,
Gender Mainstreaming menjadi salah satu Instruksi Presiden nomor sembilan tahun dua ribu Inpres No. 9 Th. 2000 dengan tujuan meningkatkan kedudukan,
peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara. Gender
Mianstreaming merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan Lembaga Pemerintah di Pusat dan Daerah.
E. Kerangka Berfikir