tokoh didalamya untuk tetap menempatkan perempuan sebagaiwarga kelas dua. Itulah sebabnya tidak pernah ditemukan dalam sejarah adanya perempuan yang
menjadi pemimpin ibadat keagamaan.
4. Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender
Ada hal yang harus diluruskan dalam fungsi dan relasi keberadaan perempuan dan laki-laki. Terutama opini yang seakan mengendap dan mengkristal dalam alam
bawah sadar publik, bahwa eksistensi kaum pria lebih utama dibanding kaum perempuan. Opini ini dengan sendirinya membidani dan membesarkan struktur
ketidakadilan dalam berbagai bentuk. Laki-laki menganggap perempuan sebagai pelengkap dan memiliki kekuasaan absolut atas perempuan. Relasi seperti ini
secara ontologi merupakan modus utama kekerasan terhadap perempuan violence agains women. Sehingga mengiring praktek ketidakadilan dalam berbagai bentuk;
dominasi, marginalisasi, dan eksploitasi yang semakin meraksasa.
Praktek ketidakadilan ini, merupakan suatu bentuk rekayasa sistem yang androsentris. Dalam sistem ini, fungsi dan relasi keberadaan perempuan dan laki-
laki mengalami pengkavlingan dalam hal peran sosial. Pada gilirannya pengkavlingan budaya tersebut, sayangnya menciptakan ruang yang pincang dan
bercorak hirarkis. Laki-laki ditempatkan di sektor publik dan perempuan di sektor domestik yang mobilitasnya senantiasa berputar di sekitar sumur, dapur, dan
kasur. Sebuah fenomena klasik “-meminjam istilah sukidi- untuk semakin melanggengkan rasionalitas sistem patriarkhi di masyarakat.”
38
Laki-laki yang ditempatkan di sektor domestik dengan sendirinya memiliki kemandirian ekonmi.
Sedang perempuan yang berada di sektor domestik menjadi tergantung laki-laki, sehingga kondisi perempuan amat rawan akan tindak ketidakadilan. Hal ini terus
berlangsung dan meraksa secara sistemik. Ringkasnya sistem ini beroperasi dari sudut logika dan kepentingan laki-laki. “Mulai dari institusi yang terkecil bernama
keluarga sampai terbesar bernama negara.”
39
Budaya patriarkhi ini, melata secara sistemik bahkan sampai menerobos ke ruang agama.
Keluarga dan agama, sejatinya, merupkan teritori teraman atau suatu anugrah terindah yang Tuhan berikan untuk manusia. Ironisnya, hal tersebut sering
dilibatkan atau dijadikan “tunggangan” untuk memekarkan dan melestarikan sistem patriarkhi di masyarakat. Pada level keluarga, patriarkhi yang berarti
“kekuasaan yang laki”, digunakan untuk menyebut “suatu jenis keluarga yang dikepalai oleh laki-laki.”
40
Tak jarang pula institusi ini menjadi sarang praktek kekerasan atas wanita. Praktek kekerasan tersebut, ibarat gayung bersambut,
karena dibentangi oleh dalil agama. Agama secara langsung atau tidak, dilibatkan untuk mensyahkan dan menjaga kesinambungan relasi pincang antara pria dan
38
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, Cet. ke-1, h. 101
39
Ibid.
40
Ibid.
wanita. Manurut relasi pincang ini, barangkali berakar dari narasi “drama ketuhanan” di seputar proses penciptaan dan keberadaan pria dan wanita narasi
“drama ketuhanan” ini, dapat kita temui diantaranya dalam Kitab Kejadian pasal 18, sebagai berikut:
“Tuhan Allah berfirman, tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
41
Dalam Al-qur’an pun, khususnya mengenai relasi keberadaan laki-laki dan perempuan dapat kita jumpai dalam Q. S. al-Nisa: 34, yaitu:
“
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum perempuan. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lainnya. Dan karena mereka laki-laki
telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat suami tidak hadir oleh karena Allah telah
memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuz-nya pelanggaran atas kewajiban suami istri nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka. Dan
pukullah mereka kemudian jika mereka mentaati-Mu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesengguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.”
42
Redaksi-redaksi tersebut ketika ditafsirkan, setidaknya, akan menciptakan ruang paradoks tersendiri. Satu ruang penafsiran yang tidak seharusnya berkonotasi
negatif, dan satu ruang lainnya yang seharusnya penuh muatan positif.
Dalam panggung penafsiran untuk konteks Islam, ungkapan laki-laki adalah qawwamun melahirkan rentetan paradoks dikalangan para penafsir. Ungkapan
tersebut diantaranya dimaknakan, bahwa laki-laki adalah penanggung-jawab, pemimpin, dan penjaga kaum perempuan. Dari berbagai pemaknaan itu terkesan,
ada sebahagian para muffasir fuqoha yang berusaha memberikan status yang lebih unggul pada kaum laki-laki. Meskipun secara normatif bisa dikatakan al-
Qur’an memihak pada kesetaraan status atas kedua jenis kelamin. Namun secara “kontekstual al-Qur’an mengakui kelebihan kaum laki-laki dibidang tertentu.”
43
Pada level inilah, para musafir berusaha memukul rata superioritas laki-laki. Dalam konteks ini Ali Asghar, mengatakan, bahwa pemahaman ayat tersebut di
atas harus dilihat setting historis saat ayat tersebut di turunkan. Pada saat itu, ruang gerak perempuan dibatasi hanya di sekitar wilayah rumah, dan laki-laki yang
mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Al-qur’an memperhitungkan kondisi tersebut dan menempatkan posisi laki-laki menjadi superior terhadap perempuan.
Namun, perlu dicatat bahwa al-Qur’an tidak menganggap bahwa suatu struktur sosial bersifat normatif. Sebuah struktur sosial pasti dan memang akan selalu
41
Al-kitab edisi Indonesia
42
Mengikuti pengalihan bahasa Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, 1982
43
Nurul Agustina, Tradisional Islam dan Feminisme, Ulumum Qur’an, No., 5 dan 6, Vol., V, 1994, h. 19
berubah. Bila dalam suatu “struktur sosial perempuanlah yang menjadi pencari nafkah dan memainkan peran yang dominan dalam keluarganya, pastilah posisi
perempuan akan menjadi superior.”
44
Dengan demikian, posisi superior yang ditegaskan al-Qur’an itu bersifat relatif. Secara implisit al-Qur’an menyatakan, bahwa perempuanpun sangat mungkin
memiliki kelebihan atas laki-laki, yaitu dengan ungkapan “Allah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian lain.” Penegasan qawwamun atas
perempuan karena pihak laki-laki memberi nafkah kepada perempuan bima anfaqu min amwalihim. Di sini meninjukan superioritas itu tidaklah bersifat
bawaan dari sananya. Namun, lebih dikarenakan adanya faktor kemandirian ekonomi. Oleh karena itu, menurut Didin Syafruddin superioritas tersebut bersifat
kasbi. Artinya, ditentukan oleh kemampuan dalam bidang ekonomis. Karena “bersifat kasbi, maka perempuan memperoleh peluang sama dengan laki-laki
dalam memperoleh superioritas baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.”
45
Begitu pula dalam menafsirkan pasal 18 dalam Kitab Kejadian tersebut di atas. Idealnya, menafsirkan pasal tersebut tidak seharusnya berkonotasi negatif, yaitu
untuk memecahkan kesunyian Adam lalu dibuatlah ciptaan kedua, yaitu perempuan I lawa sebagai kawan baginya. Di sisi lain penafsiran pasal tersebut,
seharusnya penuh muatan positif, bahwa laki-laki tidak bisa hidup dan berkembangbiak tanpa kehadiran perempuan. Apalagi redaksi tersebut, secara
detail menjelaskan keberadaan wanita sebagai penolong atas pria. Sehingga simplisit posisi superior itu ada di tangan wanita, atau minimal memiliki relasi
yang setara. Masalahnya karakter dasar penafsiran itu bersifat socially conditioned, dibentuk sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang saat itu.
Sehingga yang mengemuka adalah corak penafsiran yang maskulin, karena struktur sosial saat itu amat androsentris. Sehingga superioritas wanita itu
dieliminasi menjadi inferior, sebaliknya posisi ciptaan awal itu bukan berarti superior. Relasi superior-inferior tersebut, merupkan produk budaya saat itu.
Menurut Rebecca Chop relasi superior-inferior terhadap wanita, merupakan sebuah “bentuk pengkerangkengan budaya yang diciptakan untuk perempuan.”
46
Dimana proses pengkrangkengan tersebut, telah “memingit” wanita dalam sektor domestik, terikat dengan kegiatan reproduksi, memelihara anak dan menjaga
rumah. Sehingga pertumbuhan fisik wanita menjadi lebih kecil dibanding pria.
44
Ali Ashgar Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. ke-1, h. 237
45
Didin Syafrudin, Argumen Supremasi atas Perempuan Penafsiran Klasik Q. S. al-Nisa: 34, Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6, Vol. V, 1994, h. 7-8
46
Rebecca Chop, Hawa yang Tahu: Perlawanan Teologi Feminis terhadap Kerangka Kerja Filsafat Ilmu Pengetahuan Aliran Laki-laki, dalam Zakiyuddin Baidhawy ed, Wawancara Teologi
Feminis, h. 176
Dalam tradisi Yahudi posisi perempuan juga terlihat marjinal. Apalagi jika ditarik dalam konteks perceraian, maka terlihat adanya suatu pola relasi superior-inferior
yang cukup kental. Dalam lima kitab pertama Perjanjian Lama disebutkan, suami dapat menjatuhkan cerai apabila menemukan “sesuatu yang buruk,
menjengkelkan, dan keji” tentang isterinya. Namun sebaliknya istri tidak dapat menceraikan suami sekalipun suaminya bermoral bejat, kejam, keji atau
katakanlah tidak bertanggung-jawab. Mishnah menyatakan istri dapat “disisihkan dengan persetujuan atau tanpa persetujuannya” Yebamuth 14:1. Sehingga tak
diperlukan lagi proses pengadilan untuk menceraikannya. Para rabi pun sebagian besar mempunyai sikap yang sama dalam hal ini. Hillel, umpanya, mengatakan
bahwa suami berhak menceraikan istrinya karena suatu sebab “sekalipun si istri Cuma merusak hidangan untuk suaminya” Getting 9:10. Menurut sebagian rabi
lain, boleh saja mencerai apabila istri mencaci, mengomel, atau menghadik begitu keras di dalam rumah sehingga tetangga dapat mendengar suaranya, atau jika istri
pergi dari rumah dengan rambut kusut Khetuboth 7:6. Dalam kondisi seperti inilah Yesus tampil sebagai figur revolusioner untuk mengubah tradisi yang
timpang tersebut.
Menurut William E. Phipp, situasi gender yang timpang itu, menggugah emphati Yesus. Bagi Yesus, bahwa berpegangan hanya kepada hukum Musa, Hillel atau
rabi-rabi lainnya tidak akan cukup, karena hukum perceraian itu sudah melenceng dari sudut prinsip penciptaan. Bagaimana sebuah konsep penciptaan mengarah
pada sebuah bentuk mitra yang sejajar. Seperti halnya kisah di taman Eden yang secara gamblang menjelaskan, bahwa “persahabatan adalah alasan perkawinan.”
47
Lebih dari itu “perkawinan adalah sebuah peristiwa yang merayakan persahabatan yang monogamis.”
48
Sebagaimana yang tertera dalam Kitab Markus 10:8, dimana “keduanya lalu menjadi satu daging.”
B. Pendidikan 1.