Analisis Semiotika LANDASAN TEORI

Pemikiran Barthes tentang semiotika dipengaruhi oleh Saussure. Kalau Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang atau teks dalam suatu paket pesan maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkatan pertama yang bersifat objektif first order yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni mengaitkan secara langsung lambang antara realitas atau gejala yang ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah makna yang dapat diberikan pada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada pada tingkatan kedua second order. Yang menarik berkenaan dengan semiotika Roland Barthes adalah digunakan istilah mitos myth. Yakni rujukan bersifat cultural bersumber dari budaya yang ada yang digunakan untuk menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang penjelasan mana notabene adalah makna konotatif dari lambang-lambang yang ada dengan mengacu sejarah disamping budaya. Dengan kata lain mitos berfungsi sebagai deformasi dari lambang yang kemudian menghadirkan makna- makna tertentu dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah dan budaya masyarakat. 7 Seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan-hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari 7 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h. 163-164. pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. 8 a. Makna Denotasi Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. 9 Kemudian, Groys Keraf menjelaskan mengenai makna donotasi yakni, makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti: makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk denote kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus dari pihak pembicara, dan respon dari pihak pendengar menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra kesadaran dan rasio manusia. Dan makna ini disebut juga makna pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata. Dalam bentuk yang murni, makna denotatif dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan informasi kepada pembaca, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan berkecenderungan untuk mempergunakan kata-kata yang denotatif. Sebab pengarahan yang jelas terhadap fakta yang khusus adalah tujuan utamanya; ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca, dan tidak akan membiarkan interpretasi itu dengan memilih kata-kata yang konotatif. Sebab itu untuk menghindari interpretasi yang 8 Alex Sobur, Analisis Teks Media,h. 127-128. 9 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, Yogyakarta: Jalasutra, 2010, h. 274. mungkin timbul, penulis akan berusaha memilih kata dan konteks yang relatif bebas interpretasi. Setiap kata memiliki denotasi, maka penulis harus mempersoalkan apakah kata yang dipilihnya sudah tepat. Ketepatan pilihan kata itu tampak dari kesanggupannya untuk menuntun pembaca kepada yang ingin disampaikan, yang tidak memungkinkan interpretasi lain selain dari sikap pembicara dan gagasan- gagasan yang akan disampaikan. Memilih sebuah denotasi yang tepat, dengan sendirinya lebih mudah dari memilih konotasi yang tepat. Seandainya ada kesalahan dalam denotasi, maka hal itu mungkin disebabkan oleh kekeliruan atas kata-kata yang mirip bentuknya, kekeliruan tentang antonim, atau kekeliruan karena tidak jelas maksud dan referennya. Makna denotatif dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama, relasi antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya, dan kedua relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya. 10 Jadi dapat dipahami pengertian denotasi adalah suatu makna yang menjelaskan arti yang sebenarnya. Dalam konteks ini biasanya makna tersebut bersifat faktual dan dapat dipahami oleh rasio manusia tanpa melakukan penafsiran yang mendalam terhadap makna dibalik setiap adegan yang terdapat dalam sebuah film. Dengan kata lain, donotasi pada sebuah film adalah segala sesuatu yang nampak dalam suatu adegan yang ditampilkan pada film. 10 Groys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 28-30. b. Makna Konotasi Pengertian konotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008:725 yakni konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata, makna yang ditambahkan pada makna denotasi. Aminuddin 2001:88 berpendapat makna konotatif adalah makna kata yang telah mengalami penambahan terhadap makna dasarnya. Makna konotatif disebut juga dengan makna tambahan. Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau dibaca. Harimurti dalam Aminuddin, 2001:112 berpendapat aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara penulis dan pendengar pembaca. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ―nilai rasa‖, baik positif maupun negatif. Sedangkan makna konotasi atau makna konotatif menurut Groys Keraf disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju - tidak setuju, senang – tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga meredam perasaan yang sama. Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Misalnya kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang memiliki denotasi yang sama yaitu ―peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya‖. Namun kata meninggal, wafat, berpulang mempunyai arti konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai-nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan, sedangkan mangkat mempunyai arti konotasi lain yaitu mengandung nilai ―kebesaran‖, dan gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran. 11 Jadi makna konotatif atau konotasi dapat diartikan sebagai makna yang tidak menunjukan arti yang sebenarnya. Makna konotasi ini, bisa disebut makna tambahan dari makna denotasi. Dalam hal ini, makna konotasi ini timbul karena adanya perasaan atau emosional yang ingin disampaikan dari sutradara kepada penonton melalui cerita yang terdapat dalam sebuah film yang dibuatnya. Oleh karena itu, sutradara berusaha menyampaikan pesan perasaan atau emosionalnya melalui makna konotasi yang dimunculkan pada adegan sebuah film agar mudah tersampaikannya pesan sutradara kepada penonton. c. Mitos Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang membawakan pesan yang tidak ditentukan oleh materinya. Mitos adalah suatu nilai, suatu tuturan yang lebih ditentukan oleh maksudnya daripada bentuknya. 12 Pengertian mitos pada umumnya tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional – melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara. 13 Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos 11 Groys, Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, h. 28-30. 12 Okke Zaimar K.S, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra, Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2008, h. 60. 13 Roland Barthes, Mitologi, Terj. Nurhadi Sihabul Millah, Yogyakarta: Kreasi Wacana,2004, h. 152. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today”, dalam John Storey Ed., timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah ‗mitos‘ diperlawankan dengan ‗kebenaran‘; cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. 14 Barthes dalam Barker, Cultural Studies 2000: 72-74 pun mengemukakan bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem pemaknaan terhadap mitos, yaitu makna denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. Sedangkan konotasi, makna dibangun oleh penanda yang mengaitkan dengan aspek budaya yang lebih luas: keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideolagi suatu bangunan sosial misalnya. Ia mengungkapkan juga bahwa konotasi membawa nilai-nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif urutan secara sintagmatis atau melalui perbandingan dengan alternatif yang tidak ada secara paradigmatis. Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, New York: Harvester Wheatsheet, 1994, h. 107. 14 Anang Hermawan, Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes, artikel ini diakses pada 3 Juli 2013 dari httpabunavis.wordpress.com20071231mitos-dan-bahasa- media-mengenal-semiotika-roland-barthes_ftn21. Ketika konotasi dinaturalisasikan sebagai sesuatu yang hegemonik, ia bertindak sebagai peta makna konseptual di mana seseorang memahami dunianya. Itu semua adalah mitos. Meskipun mitos adalah konstruksi budaya, tetapi ia dapat tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam. Mitos kemudian mirip dengan konsep ideologi, di mana ada tanda, maka di situ ada ideologi. Menurut Barthes, mitos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara historis. Jadi, mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Mitos bertugas memberikan kehendak historis suatu justifikasi alamiah, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi. Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama penanda dan petanda yang membangun makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif. Sementara itu, gunanya mitos bagi studi teks sebagai kebudayaan adalah bahwa semua teks budaya dikonstruksikan dengan tanda, sehingga pembacaan tanda sebagai teks dari segala sesuatu materi yang ada disesuaikan dengan budaya yang melatarbelakanginya. Namun mitos itu sendiri tidak bersifat arbitrer, ia bersifat multidimensional, selalu ada analog untuk memberi makna, sehingga mitos dapat digunakan untuk meneliti teks dalam arti yang lebih luas, baik verbal maupun non verbal. Dalam memahami Barthes, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah merupakan tanda, tanda apapun masuk dalam kategori teks, sehingga segala sesuatu dalam kehidupan ini adalah mitos. Mitos-mitos tersebut berkembang dalam kehidupan budaya masyarakat di mana pun. Oleh sebab itu, untuk memaknai sebuah teks dalam suatu kebudayaan masyarakat tertentu misalnya, dalam bentuk apapun itu, dibutuhkan mitos dari kebudayaan yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat bersangkutan untuk menjelaskan sesuai dari makna teks itu sendiri. 15 Jadi dapat dipahami, mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Arti lainnya bisa disebut juga mitos adalah suatu konotasi yang sudah membudaya. Dalam konteks ini untuk mengetahui mitos yang ada dalam adegan sebuah film, haruslah mengetahui makna konotasinya terlabih dahulu. Hal itu di sebabkan dalam sebuah konotasi itu terdapat mitos dari kebudayaan yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat bersangkutan untuk menjelaskan sesuai dari makna adegan sebuah film itu sendiri.

B. Film

1. Pengertian film Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. 16 Menurut Palapah dan Syamsudin 1986:114 mendefinisikan film sebagai salah satu media yang 15 Suyatna Pamungkas, Bhartez dan Sistem Tanda Sebuah Studi Semiotika artikel ini diakses pada 3 juli 2013 dari http:peloporwriterpreneur.blogspot.com201101bhartez-dan- sistem-tanda-sebuah-studi.html. 16 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, Yogyakarta: Jalasutra, 2010 h. 132. berkarakteristik masal, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar bergerak dan perkataan. Hal ini senada dengan Soegiono 1984: 13, ia mengemukakan bahwa film adalah rekaman segala macam gambar hidup atau bergerak, dengan atau tanpa suara yang dibuat di atas pita seluloid, jalur pita magnetic, piringan audio visual dan benda hasil teknik kimiawi atau elektronik lainnya yang mungkin ditemukan oleh kemajuan teknologi dalam segala bentuk jenis dan ukuran baik hitam maupun putih atau berwarna yang dapat disajikan dan dipertunjukkan kembali sebagai tontonan di atas layar proyeksi atau layar putih atau layar TV dengan menggunakan sarana-sarana mekanis dari segala macam bentuk peralatan proyeksi. Sedangkan menurut UU Perfilman No 8 Tahun 1992, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. 17 Jadi dapat dipahami bahwa pengertian film adalah media gambar bergerak dan berkarakteristik masal, kemudian dipertunjukan kembali sebagai tontonan untuk audiens. 17 UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman Bab 1, Pasal 1 Ayat 1. Departemen Penerangan RI. 2. Jenis-jenis Film Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi, penjelasannya adalah sebagai berikut: 18 a. Film Fitur Film fitur merupaka karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya; bisa juga yang ditulis secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan scenario itu. Tahap terakhir, post-produksi editing ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu. b. Film Dokumenter Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada kamera atau pewawancara. Robert Claherty mendefinisikannya sebagai ―karya ciptaan mengenai kenyataan‖, creative treatment of actuality. 19 Dokumenter seringkali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur. Akan tetapi, film jenis ini 18 Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, Yogyakarta: Jalasutra, 2010 h. 134-135. 19 Elvinaro Ardianto Lukiati Komala, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007, h. 139. sering tampil di televisi. Dokumenter dapat diambil pada lokasi pengambilan apa adanya, atau disusun secara sederhana dari bahan-bahan yang sudah diarsipkan. Dalam kategori dokumenter, selain mengandung fakta, film dokumenter mengandung subyektivitas pembuatnya. Dalam hal ini pemikiranpemikiran, ide- ide, dan sudut pandang idealisme mereka. Dokumenter merekamadegan nyata dan faktual tidak boleh merekayasanya sedikitpun untuk kemudian diubah menjadi sefiksi mungkin menjadi sebuah cerita yang menarik. c. Film Animasi