Representasi Moral Budaya Masyarakat Tiom (Papua) dalam Film di Timur Matahari

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)

Oleh:

Nurul Rizki Salam

NIM: 109051000154

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i Nurul Rizki Salam

Representasi Moral Budaya Masyarakat Tiom (Papua) dalam Film Di Timur Matahari

Film Di Timur Matahari adalah salah satu film yang sarat menampilkan

kebudayaan Indonesia. Film Di Timur Matahari yang disutradarai oleh Ari

Sihasale ini, berusaha menampilkan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Papua pegunungan tengah khusunya daerah Tiom, kabupaten Lanny jaya. Film ini mengajak penonton untuk melihat realita yang kini terjadi di Papua dan mengenal

Papua secara lebih dekat. Dalam film ini juga banyak menampilkan apa yang

terjadi di Papua seperti minimnya pendidikan, kesehatan, ketentraman dan kedamaian. Diceritakan dalam film bahwa minimnya pengetahuan masyarakat berimplikasi pada kehidupan mereka saat dewasa. Kehidupan orang dewasa seperti yang diceritakan dalam film tak pernah lepas dari kekerasan, dendam dan perperangan antar suku. Kehidupan anak-anak yang menginginkan hidup yang damai dan tentram jauh dari realisasi mengingat masih adanya kebiasaan yang tidak baik untuk masyarakat di sana serta masih dipertahankan hingga kini.

Adegan-adegan yang ditampilkan dalam film ini terdapat makna yang menarik untuk diketahui. Oleh karena itu penulis merumuskan masalah penelitian

sebagai berikut: Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos dari film Di

Timur Matahari? Serta bagaimana pesan moral yang terdapat dalam film Di TimurMatahari dalam pandangan Islam?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penulis menggunakan

metodologi penelitian kualitatif. Subjek penelitian ini adalah film Di Timur

Matahari, sedangkan unit analisisnya adalah potongan adegan dalam film tersebut yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data melalui observasi, wawancara (dalam hal ini

penulis mewawancarai guide anjungan provinsi Papua di TMII), dan dokumentasi

yang dianalisis menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Dimana tanda dilihat dari denotasi, konotasi, dan mitos.

Hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa represantasi moral budaya di Papua khususnya daerah pegunungan Tiom ini berupa ajaran untuk menanamkan semangat untuk belajar dan berjuang untuk meraih cita-cita. Selain itu terdapat juga nilai kasih sayang, memaafkan kepada sesama serta kesetiakawanan yang tinggi. Semangat untuk terus belajar sangat menonjol dalam film ini di tengah segala keterbatasan yang ada. Cinta kasih juga berperan dalam menuju perdamaian.


(6)

ii

Dengan mengucapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya.

Sekalipun skripsi yang berjudul “Representasi Moral Budaya Masyarakat Tiom

(Papua) dalam Film Di Timur Matahari” ini masih jauh dari sempurna, namun ini

merupakan suatu usaha yang maksimal, karena dalam proses penyelesaiannya tidak sedikit kesulitan dan hambatan dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan nikmat-Nya dan kesungguhan kepada penulis serta bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

2. Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Suprapto, M.Ed selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.si, selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Dr. Sunandar, M.A selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama.


(7)

iii

Penyiaran Islam, Ibu Umi Musyarrofah, M.A selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

4. Ibu Siti Napsiyah, M.SW, sebagai Dosen Penasehat Akademik KPI E

angkatan 2009, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi.

5. Dr. Suhaimi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan

waktunya serta memberi arahan dan masukan dalam membantu penulisan skripsi ini.

6. Bapak Adolov Standly Jarangga Tumengkol selaku Guide Anjungan Provinsi

Papua di Taman Mini Indonesia Indah yang bersedia saya wawancara, Bang Macho selaku bagian Penata Anjungan Provinsi Papua, Bapak Oken selaku Guide bagian Pegunungan bersedia membantu saya dalam proses wawancara di Anjungan Provinsi Papua Taman Mini Indonesia Indah.

7. Seluruh dosen yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis dari semester I

hingga semester VIII. Semoga ilmu yang diberikan menjadi amal baik di akhirat kelak, Amin.

8. Para staf Tata Usaha (TU) yang telah membantu surat menyurat untuk

penelitian skripsi ini, dan para staf perpustakaan yang telah memberikan pelayanan dan fasilitas buku-buku referensi.


(8)

iv

Samono, terimakasih telah banyak memberikan banyak motivasinya kepada penulis

10. Keluarga besar penulis, yang mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi

ini. Kakak-kakakku Ridho Akbar, mas Yudhi, mba Windi terima kasih semua atas dukungannya.

11. Teman-teman seperjuangan yang memberikan banyak motivasi untuk penulis,

yang selalu menjadi teman sharing untuk penulis, berbagi suka dan duka,

Dede, Ipul, Ziah dan Dado kalian semua adalah sahabat sampai kapan pun.

12. Listiana Wahyuningsih yang telah memberikan semangatnya kepada penulis.

13. Teman-teman KPI E 2009 yang telah memberikan dukungannya untuk penulis

Dava, Fauzi, Adi, Sita, Isni, Ela, Enis dan kawan-kawan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu, kalian semua adalah sahabat sampai kapan pun.

14. Kawan-kawan KKN PENA dan warga gunung Seureuh, terima kasih atas

dukungannya.

15. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Walau tak

tertulis, Insya Allah perbuatan kalian menjadi sebuah amal yang baik tertulis “di lembaran lain”. Amin.


(9)

v

dalam penyusunan skripsi ini. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi kajian ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang komunikasi dan penyiaran Islam.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 27 Maret 2014


(10)

vi

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metodologi Penelitian ... 7

1. Metode Penelitian ... 7

2. Objek Tempat dan Waktu Penelitian ... 7

3. Purposive Sampling ... 7

4. Teknik Pengumpulan Data ... 8

5. Teknik Analisa Data ... 9

F. Tinjauan Kepustakaan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Analisis Semiotika ... 13

1. Pengertian Semiotika ... 13

2. Semiotika Roland Barthes ... 15

B. Film ... 24

1. Pengertian Film ... 24

2. Jenis-jenis Film ... 25

3. Unsur-unsur Film ... 26

4. Struktur Film ... 31

C. Film dalam Kajian Semiotika ... 31

D. Pengertian Representasi ... 33

E. Pesan Moral ... 34

1 BAB III GAMBARAN UMUM FILM DI TIMUR MATAHARI A. Sekilas tentang Film Di Timur Matahari ... 37

B. Tim Produksi Film DI Timur Matahati ... 40

C. Profil Sutradara Film Di Timur Matahari ... 41

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Narasi Adegan Film ... 42


(11)

vii

4. Waktu ... 45

B. Makna Denotasi Konotasi dan Mitos ... 47

1. Adegan tentang Semangat Belajar ... 47

2. Adegan Awal Konflik ... 52

3. Adegan tentang Cinta Kasih... 58

4. Adegan tentang Penyelesaian Konflik ... 63

C. Pesan Moral Film dalam Pandangan Islam ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

viii

Tabel 4.1 Adegan Tentang Semangat Belajar ... 47

Tabel 4.2 Adegan Awal Konflik ... 52

Tabel 4.3 Adegan Cinta Kasih ... 58


(13)

ix

Lampiran 2 Surat Pengajuan Dosen Pembimbing Lampiran 3 Surat Permohonan Penelitian/wawancara Lampiran 4 Cover Film Di Timur Matahari

Lampiran 5 Wawancara Pribadi dengan Guide Anjungan Provinsi Papua di TMII Lampiran 6 Dokumentasi Hasil Penelitian


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dunia perfilman di Indonesia saat ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini diketahui dari bermunculan beragam film dengan tema yang bermacam-macam jenisnya. Mulai dari tema umum seperti percintaan, horor,

komedi, action, pendidikan hingga tema bernuansa nasionalisme, dan

kebudayaan. Selain itu, kemajuan perfilman Indonesia tidak lepas karena ketertarikan masyarakat terhadap film itu sendiri.

Dunia perfilman saat ini telah mampu merebut perhatian masyarakat. Terlebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan sarana bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek khusus bagi para penontonya. Dari puluhan sampai ratusan penelitian itu semua berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia, sehingga begitu kuatnya media

mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penonton.1 Namun dampak yang perlu

diantisipasi adalah di samping memberi dampak positif, film tentu juga memiliki dampak negatif. Seperti terjadi pada beberapa film yang dibuat hanya untuk mencari keuntungan rumah produksi tersebut tanpa memperhatikan efek dari film yang dibuatnya.

Sebagaimana diketahui, film merupakan salah satu media komunikasi

massa.2 Oleh karena itu film adalah medium komunikasi yang ampuh bukan saja

1

Miftah Faridl, Dakwah Kontemporer Pola Alternative Dakwah Melalui Televisi, (Bandung: Pusdai Press: 200) h. 96.

2

Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat: Sebuah pengantar, (Jakarta: DP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1999), h. 11.


(15)

untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan pendidikan (edukatif) secara penuh

(media yang komplit).3 Film merupakan gambaran dari realitas, baik realitas

budaya atau kehidupan masyarakat di sekitarnya. Film mencoba mengangkat persoalan yang ada di masyarakat maupun kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, terdapat beranekaragam jenis kebudayaan di dalamnya. Tentu banyak hal yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film jika bertema kebudayaan. Namun, film yang muncul kebanyakan menampilkan Indonesia dari sisi gaya perkotaan tanpa mengangkat keanekaragaman di Indonesia. Banyak hal yang perlu diketahui masyarakat luas mengenai kebudayaan yang dimiliki Indonesia ini. Sehingga sudah seharusnya, perfilman di Indonesia menitikberatkan dengan tema kebudayaan yang ada di Indonesia.

Dari beberapa judul film yang mengangkat tema kebudayaan, film Di

Timur Matahari salah satu film yang sarat menampilkan kebudayaan Indonesia.

Film Di Timur Matahari yang disutradarai oleh Ari Sihasale ini, berusaha

menampilkan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Papua pegunungan tengah khusunya daerah Tiom, kabupaten Lanny jaya. Film ini mengajak penonton untuk melihat realita yang kini terjadi di Papua dan mengenal Papua secara lebih dekat. Dalam hal ini penulis melihat upaya sutradara untuk mengenalkan masyarakat Papua kepada khalayak lainnya untuk tidak membeda-bedakan sesama manusia. Karena Allah memerintahkan kepada hambanya untuk saling kenal-mengenal tanpa membedakan suku, ras, agama, dan bangsa. Seperti dalam surat Al-Hujurât ayat 13:

3

Onong Uchaja Effendi, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Cipta Aditya Bakti, 2003), h. 207.


(16)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Allah Ta‘ala berfirman ―saling mengenal” maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal sebagian yang lain, bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan.

Di dalam film ini juga banyak ditampilkan apa yang terjadi di Papua seperti minimnya pendidikan, kesehatan, dan kedamaian. Cerita dalam film bahwa minimnya pengetahuan masyarakat berimplikasi pada kehidupan mereka saat dewasa. Kehidupan orang dewasa dalam film tak pernah lepas dari kekerasan, dendam dan perperangan antar suku. Kehidupan anak-anak yang ingin hidup damai dan tentram jauh dari harapan mengingat masih adanya adat kebiasaan kurang baik yang masyarakat di sana masih dipertahankan hingga saat ini.

Film ini penting dianalisis karena pesan yang didapat dari film ini adalah mengajak anak-anak untuk terus semangat belajar, pentingnya kedamaian, mengajarkan cinta kasih kepada sesama dan menghilangkan sebuah dendam. Peperangan antar suku yang terjadi di Tiom Papua hingga kini terjadi karena kebiasaan masyarakat di sana yang masih mempertahankan adatnya yakni ―mata


(17)

Matahari. Kebiasaan balas dendam itulah membuat peperangan tidak pernah selesai.

Meskipun latar belakang film ini mayoritas adalah penganut Nasrani. Tetapi film ini juga mempunyai sisi dakwah Islam yakni cinta perdamaian yang sesuai dengan tujuan agama Islam, yaitu membawa kedamaian di muka bumi. Agama Islam menghendaki umatnya agar selalu berpegang teguh pada tali agama Allah dan janganlah kalian bercerai berai.

Seperti dalam firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 103:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)

Jika dicermati dari sisi makna, film ini juga menarik untuk dianalisis. Karena dalam film ini mengandung beberapa makna pesan berbentuk simbol-simbol atau tanda yang ditampilkan oleh sutradara. Ada beberapa adegan di dalam film yang mengandung tanda dan perlu ditelaah lebih dalam lagi. Film pada dasarnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu digabungkan untuk mencapai efek yang diinginkan. Karena film merupakan produk visual dan audio, maka tanda-tanda ini berupa gambar dan suara. Tanda-tanda tersebut adalah sebuah gambaran tentang suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara.


(18)

Namun, untuk mengetahui gambaran itu semua dapat menelitinya melalui pendekatan semiotik. Karena tanda tidak pernah benar-benar mengatakan suatu

kebenaran secara keseluruhan.4

Jadi, untuk menemukan makna dari pesan yang ada pada film Di Timur

Matahari, digunakanlah metode semiotika yang merupakan bidang ilmu yang mempelajari tentang sistem tanda. Mulai dari bagaimana tanda itu diartikan, dipengaruhi oleh persepsi dan budaya, serta bagaimana tanda membantu manusia memaknai keadaan sekitarnya.

Atas dasar inilah, penelitian ini dilakukan semata – mata untuk mengetahui

makna apa yang terkandung pada simbol atau tanda yang muncul di film Di Timur

Matahari. Dari latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik melakukan

penelitian dengan judul “Representasi Moral Budaya Masyarakat Tiom

(Papua) dalam Film Di Timur Matahari B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah rangkaian gambar (adegan)

dalam film Di Timur Indonesia yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat

Papua. Oleh karena itu dimulai dari keseluruhan alur cerita yang dominan terkait dengan budaya Papua.

2. Rumusan Masalah

Untuk memfokuskan penelitian, maka masalah dalam penelitian ini mengacu pada model semiotika yang peneliti gunakan yakni semiotika Roland Barthes, sehingga rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

4

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jala Sutra, 2010), h. 21.


(19)

1. Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos moral budaya masyarakat

Tiom (Papua) yang direpresentasikan film Di Timur Matahari?

2. Bagaimana pesan moral menurut pandangan Islam moral budaya

masyarakat Tiom (Papua) yang direpresentasikan dalam film Di Timur

Matahari? C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan penelitian di atas, maka tujuan penelitiannya adalah:

1. Untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos moral budaya

masyarakat Tiom (Papua) yang direpresentasikan film Di Timur Matahari

2. Untuk mengetahui pesan moral menurut pandangan Islam dalam film Di

Timur Matahari

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitiannya adalah:

1. Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian ilmu teori komunikasi khususnya teori semiotika Roland Barthes.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh praktisi dalam bidang komunikasi sebagai referensi tambahan terkait dengan data analisis yang sama. Selain itu, dari segi praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi praktisi perfilman terutama untuk memberikan rujukan bagaimana membuat film yang sarat muatan budaya dan memberi pencerahan.


(20)

E. Metode Penelitian

1. Metode

Sebagai penelitian yang berlandaskan pada paradigma konstruksitivisme maka kecenderungan penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian dengan jenis kualitatif ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan kuantitatif yang berbasis pada paradigma positivistik (positivisme-empiris).

Pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman bersifat umum yang diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian, kemudian ditarik kesimpulan berupa

pemahaman umum tentang kenyataan-kenyataan tersebut.5

2. Objek, Waktu dan Tempat Penelitian

Objek penelitian ini adalah rangkaian gambar film Di Timur Matahari.

Penelitian ini berlangsung pada bulan Januari 2014 hingga bulan Februari dan dilakukan di kediaman pribadi penulis di Bambu Apus, Cipayung serta anjungan provinsi Papua di Taman Mini Indonesia Indah.

3. Purposive Sampling

Pemilihan objek penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan maksud dan tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2005:53) menjelaskan yang dimaksud dengan Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.

Ada beberapa alasan penulis yang menjadi dasar penelitian mengenai

pemilihan film Di Timur Matahari sebagai objek penelitian adalah karena

5

Rosady Ruslan, Metodologi Penelitian Publik Relation dan Komunikasi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), h. 215.


(21)

kentalnya budaya yang ada dalam film tersebut. Film tersebut begitu banyak menampilkan kebudayaan Papua, selain itu juga banyak menampilkan mirisnya pendidikan serta kurangnya perhatian dari pemerintahan pusat. Sehingga ini menjadi alasan penulis untuk mengangkat film tesebut sebagai penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang digunakan periset untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data dibedakan dengan metodologi dari riset yang digunakan para periset, yakni riset kualitatif dan kuantitatif. Pada riset kualitatif yang penulis pakai pada riset ini adalah observasi, wawancara, dan juga dokumentasi. Ide penelitian kualitatif adalah dengan sengaja memilih informan (atau dokumen atau bahan-bahan visual

lain) yang dapat memberikan jawaban terbaik pertanyaan penelitian.6

Satu-satunya instrumen terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti atau penulis itu sendiri. Hal ini dikarenakan penulis dalam proses penelitian dapat langsung melihat, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi pada subjek yang ditelitinya.

Teknik dan pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:

1. Observasi

Observasi yaitu pengamatan secara langsung kondisi yang terjadi dilapangan yang memiliki relevansi terhadap permasalahan yang dikaji. Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik pengumpulan data

yang sering digunakan untuk jenis penelitian kualitatif.7

6

John W. Creswell, Desain penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: KIK Press, 2003) h. 143.

7

Antonious Birowo, Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004) h.186.


(22)

2. Wawancara

Wawancara dalam riset kualitatif yang disebut sebagai wawancara

mendalam atau wawancara intensif dan kebanyakan tak berstruktur.8 Dengan

tujuan mendapatkan data yang mendalam.

3. Dokumentasi

Dokumentasi, yaitu pengumpulan data-data yang bersangkutan dengan penelitian ini atau sumber-sumber tertulis dari bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian yang dimaksud.

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes, membuat sebuah model sitematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap. Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara

signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Sedangkan signifikasi kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui

mitos (myth).9

8

Rachmat Kriantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), Cet ke-2 h. 96.

9

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosda Karya , cet. Keempat April 2006) h. 128.


(23)

F. Tinjauan Kepustakaan

Untuk mempermudah proses pelaksanaan penelitian maka penulis akan menjadikan beberapa hasil penelitian yang telah pernah dilakukan sebagai acuan dan perbandingan sehingga penelitian yang akan penulis lakukan akan menjadi lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Tinjauan kepustakaan yang penulis pilih antara lain :

1. “Analisis Semiotika Film Negeri 5 Menara” Amin Rois

NIM : 10851000036

Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Jakarta

Dalam skripsi tersebut penulis menganalisis makna ukhuwah islamiyah

dalam Film Negeri 5 Menara secara denotasi dan konotasi. Penulis menggunakan model analisis semiotika Roland Barthes. Kesamaan metode yang digunakan yaitu analisis semiotika model Roland Barthes menjadi alasan penulis mengambil skripsi tersebut sebagai acuan. Tetapi tentu saja terdapat perbedaan dengan skripsi penulis, yaitu dari segi kasus yang diteliti dan media yang menjadi objek penelitiannya.

2. “Analisis Semiotik Film Apa itu Islam?” Reza Rizqi Aminullah

NIM : 208051000032

Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Jakarta

Skripsi tersebut penulis membahas tentang makna semiotika dalam adegan adegan dan teks dalam film Apa itu Islam menurut Roland Barthes. Kesamaan metode yang digunakan yaitu analisis semiotika model Roland Barthes menjadi alasan penulis mengambil skripsi tersebut sebagai acuan. Tetapi tentu saja


(24)

terdapat perbedaan dengan skripsi penulis, yaitu dari segi kasus yang diteliti dan media yang menjadi objek penelitiannya.

3. “Analisis Semiotik Terhadap Film In The Name of God” Hani Taqiyya

NIM : 107051002739 Mahasiswa UIN Jakarta

Skripsi tersebut penulis membahas mengenai analisis semiotika yang ada di dalam adegan film In The Name of God menggunakan metode pendekatan semiotika Roland Barthes. Tetapi tentu saja terdapat perbedaan dengan skripsi penulis, yaitu dari segi kasus yang diteliti dan media yang menjadi objek penelitiannya.

4. “Semiotika Perlawanan Korupsi Film Aku Padamu Agus Riyanto

NIM : 108051000188

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Pada skripsi tersebut penulis membahas mengenai analisis semiotika yang

ada di dalam adegan film Aku Padamu dengan menggunakan metode pendekatan

semiotika. Dalam skripsi tersebut, penulis skripsi menguraikan analisis mengenai semiotika secara naratif sehingga membuat penulis menjadikan referensi dalam menulis analisis dan temuan di bab IV.


(25)

G. Sistematika Penulisan

BAB I: Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Pada bab ini penulis akan menguraikan konsep analisis semiotika Roland Barthes, film, unsur dalam film, semiotika dalam film, pengertian representasi, dan pesan moral.

BAB III: Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai sejarah gambaran Film Di Timur Matahari.

BAB IV: Dalam bab ini, penulis membahas tentang temuan dan analisis semiotika simbol atau tanda mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos yang

ada dalam Film Di Timur Matahari secara naratif yang menampilkan

adegan per adegan.

BAB V: Bab terakhir ini, penulis memberikan kesimpulan dan saran terhadap apa yang telah diangkat dan diteliti oleh penulis dan juga beberapa lampiran yang didapat oleh penulis.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Analisis Semiotika

1. Pengertian Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang

berarti ―tanda‖. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Semiotika sebagai sesuatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ―tanda‖. Dengan demikian, semiotika mempelajari hakikat tentang

keberadaan suatu tanda.1

Dalam buku Penelitian Komunikasi Kualitatif, Pawito menjelaskan bahwa semiotika merupakan metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks disini dapat diartikan sebagai segala sesuatu bentuk serta sistem

lambang (signs) baik terdapat pada media massa (televisi, karikatur media cetak,

film, sandiwara radio dan iklan) ataupun yang terdapat di luar media massa

(lukisan, patung, candi, monumen, fashion show, dan menu masakan pada suatu

food festival).2 Dan fungsi dari semiotika inilah untuk mengungkap suatu makna yang terdapat pada teks ataupun lambang.

1

Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 4, h.87-95.

2


(27)

Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika

mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang

memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.3

Fedinand de Saussure, seorang ahli bahasa dari Swiss yang dianggap telah berjasa dalam upaya pengembangan analisis semiotika. Dalam hal ini, Saussure

menggunakan istilah semiologi dengan makna science that studies the life of signs

whitin society (ilmu yang mempelajari seluk-beluk lambang-lambang yang ada atau digunakan dalam masyarakat). Ferdinand de Saussure mengelompokan

lambang menjadi dua jenis, yakni: Signifier (the concept) dan Signified (the

sound-image). Signifier menunjuk dari aspek fisik dari lambang, misalnya ucapan, gambar, lukisan. Sedangkan signified menunjuk pada aspek mental dari lambang, yakni pemikiran bersifat asosiasif tentang lambang. Kedua jenis lambang ini

saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.4

Lain halnya dengan Saussure, tokoh semiotika lainnya ialah Charles Sanders Pierce, ia seorang ahli matematika dari AS yang sangat tertarik pada persoalan lambang-lambang. Bagi Pierce lambang memiliki cakupan yang luas, termasuk pahatan, gambar, ucapan, lisan, isyarat bahasa tubuh, musik, dan tulisan. Semiotika menurut Charles Sanders Pierce yakni membedakan lambang

menjadi tiga kategori pokok: ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Di

sini, yang dimaksud dengan ikon adalah a sign which is determined by its dynamic

object by vitue of its own internal nature (suatu lambang yang ditentukan [cara pemaknaannya] oleh objek yang dinamis karena sifat internal yang ada). Istilah indeks menunjuk pada lambang yang cara pemaknaannya lebih ditentukan oleh

3

Rahmat Krisyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006), ed. 1, h. 261-262.

4


(28)

objek dinamis dengan cara being in a real relation to it (keterkaitan yang nyata dengannya). Proses pemaknaan lambang-lambang bersifat indeks tidak dapat bersifat langsung, tetapi dengan cara memikirkan serta mengkait-kaitkannya.

Sedangkan simbol dalam konteks semiotika, biasanya dipahami sebagai a sign

which is determined by its dynamic object only in the sense that it will be so interpreted (suatu lambang yang ditentukan oleh objek-objek dinamisnya dalam arti ia harus benar-benar diinterpretasi). Dalam hal ini, interpretasi dalam upaya pemaknaan terhadap lambang-lambang simbolik melibatkan unsur dari proses belajar dan tumbuh atau berkembangnya pengalaman serta

kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat.5

2. Semiotika Roland Barthes

Selain Pierce dan Saussure masih terdapat nama tokoh lain yang telah memberikan kontribusi bagi perkembangan analisis semiotik, yaitu Roland Barthes. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol (dalam KBBI edisi keempat Departemen Pendidikan Nasional hal. 450: rajin, tekun, dalam mencari) mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussure. Roland Barthes juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik disebelah barat daya Prancis. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan

asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.6

5

Ibid, h. 157-158.

6


(29)

Pemikiran Barthes tentang semiotika dipengaruhi oleh Saussure. Kalau Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang atau teks dalam suatu paket pesan maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan makna. Makna

denotasi adalah makna tingkatan pertama yang bersifat objektif (first order) yang

dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni mengaitkan secara langsung lambang antara realitas atau gejala yang ditunjuk. Kemudian makna konotasi adalah makna yang dapat diberikan pada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang

karenanya berada pada tingkatan kedua (second order). Yang menarik berkenaan

dengan semiotika Roland Barthes adalah digunakan istilah mitos (myth). Yakni

rujukan bersifat cultural (bersumber dari budaya yang ada) yang digunakan untuk

menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang penjelasan mana notabene adalah makna konotatif dari lambang-lambang yang ada dengan mengacu sejarah (disamping budaya). Dengan kata lain mitos berfungsi sebagai deformasi dari lambang yang kemudian menghadirkan

makna-makna tertentu dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah dan budaya masyarakat.7

Seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan

hubungan-hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap

realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari

7


(30)

pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikasi tahap kedua yang

berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.8

a. Makna Denotasi

Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan

sebagainya.9 Kemudian, Groys Keraf menjelaskan mengenai makna donotasi

yakni, makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti: makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional. Disebut makna denotasional, referensial,

konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu

referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara), dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini disebut juga makna pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.

Dalam bentuk yang murni, makna denotatif dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan informasi kepada pembaca, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan berkecenderungan untuk mempergunakan kata-kata yang denotatif. Sebab pengarahan yang jelas terhadap fakta yang khusus adalah tujuan utamanya; ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca, dan tidak akan membiarkan interpretasi itu dengan memilih kata-kata yang konotatif. Sebab itu untuk menghindari interpretasi yang

8

Alex Sobur, Analisis Teks Media,h. 127-128.

9

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 274.


(31)

mungkin timbul, penulis akan berusaha memilih kata dan konteks yang relatif bebas interpretasi.

Setiap kata memiliki denotasi, maka penulis harus mempersoalkan apakah kata yang dipilihnya sudah tepat. Ketepatan pilihan kata itu tampak dari kesanggupannya untuk menuntun pembaca kepada yang ingin disampaikan, yang tidak memungkinkan interpretasi lain selain dari sikap pembicara dan gagasan-gagasan yang akan disampaikan. Memilih sebuah denotasi yang tepat, dengan sendirinya lebih mudah dari memilih konotasi yang tepat. Seandainya ada kesalahan dalam denotasi, maka hal itu mungkin disebabkan oleh kekeliruan atas kata-kata yang mirip bentuknya, kekeliruan tentang antonim, atau kekeliruan karena tidak jelas maksud dan referennya.

Makna denotatif dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama, relasi antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya, dan kedua relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang

diwakilinya.10

Jadi dapat dipahami pengertian denotasi adalah suatu makna yang menjelaskan arti yang sebenarnya. Dalam konteks ini biasanya makna tersebut bersifat faktual dan dapat dipahami oleh rasio manusia tanpa melakukan penafsiran yang mendalam terhadap makna dibalik setiap adegan yang terdapat dalam sebuah film. Dengan kata lain, donotasi pada sebuah film adalah segala sesuatu yang nampak dalam suatu adegan yang ditampilkan pada film.

10


(32)

b. Makna Konotasi

Pengertian konotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:725) yakni konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata, makna yang ditambahkan pada makna denotasi.

Aminuddin (2001:88) berpendapat makna konotatif adalah makna kata yang telah mengalami penambahan terhadap makna dasarnya. Makna konotatif disebut juga dengan makna tambahan. Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau dibaca. Harimurti (dalam Aminuddin, 2001:112) berpendapat aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ―nilai rasa‖, baik positif maupun negatif.

Sedangkan makna konotasi atau makna konotatif menurut Groys Keraf disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin

menimbulkan perasaan setuju - tidak setuju, senang – tidak senang dan sebagainya

pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga meredam perasaan yang sama.

Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif.


(33)

Misalnya kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang memiliki denotasi yang sama yaitu ―peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya‖. Namun kata meninggal, wafat, berpulang mempunyai arti konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai-nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan,

sedangkan mangkat mempunyai arti konotasi lain yaitu mengandung nilai

―kebesaran‖, dan gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran.11

Jadi makna konotatif atau konotasi dapat diartikan sebagai makna yang tidak menunjukan arti yang sebenarnya. Makna konotasi ini, bisa disebut makna tambahan dari makna denotasi. Dalam hal ini, makna konotasi ini timbul karena adanya perasaan atau emosional yang ingin disampaikan dari sutradara kepada penonton melalui cerita yang terdapat dalam sebuah film yang dibuatnya. Oleh karena itu, sutradara berusaha menyampaikan pesan perasaan atau emosionalnya melalui makna konotasi yang dimunculkan pada adegan sebuah film agar mudah tersampaikannya pesan sutradara kepada penonton.

c. Mitos

Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang membawakan pesan yang tidak ditentukan oleh materinya. Mitos adalah suatu nilai, suatu tuturan yang lebih

ditentukan oleh maksudnya daripada bentuknya.12 Pengertian mitos pada

umumnya tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti

halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa

Barthes: tipe wicara.13 Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos

11

Groys, Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, h. 28-30.

12

Okke Zaimar K.S, Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra, (Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 60.

13

Roland Barthes, Mitologi, (Terj. Nurhadi & Sihabul Millah), (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2004), h. 152. Lihat juga Roland Barthes: “Myth Today”, dalam John Storey (Ed.),


(34)

timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‗mitos‘ diperlawankan dengan ‗kebenaran‘); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima

apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.14

Barthes dalam Barker, Cultural Studies (2000: 72-74) pun mengemukakan bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem pemaknaan terhadap mitos, yaitu makna denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. Sedangkan konotasi, makna dibangun oleh penanda yang mengaitkan dengan aspek budaya yang lebih luas: keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideolagi suatu bangunan sosial misalnya. Ia mengungkapkan juga bahwa konotasi membawa nilai-nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif urutan (secara sintagmatis) atau melalui perbandingan dengan alternatif yang tidak ada (secara paradigmatis).

Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, (New York: Harvester Wheatsheet, 1994), h. 107.

14

Anang Hermawan, Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland Barthes, artikel ini diakses pada 3 Juli 2013 dari httpabunavis.wordpress.com20071231mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes#_ftn21.


(35)

Ketika konotasi dinaturalisasikan sebagai sesuatu yang hegemonik, ia bertindak sebagai peta makna konseptual di mana seseorang memahami dunianya. Itu semua adalah mitos. Meskipun mitos adalah konstruksi budaya, tetapi ia dapat tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam. Mitos kemudian mirip dengan konsep ideologi, di mana ada tanda, maka di situ ada ideologi.

Menurut Barthes, mitos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara historis. Jadi, mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Mitos bertugas memberikan kehendak historis suatu justifikasi alamiah, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi.

Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membangun makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif.

Sementara itu, gunanya mitos bagi studi teks sebagai kebudayaan adalah bahwa semua teks budaya dikonstruksikan dengan tanda, sehingga pembacaan tanda sebagai teks dari segala sesuatu materi yang ada disesuaikan dengan budaya yang melatarbelakanginya. Namun mitos itu sendiri tidak bersifat arbitrer, ia bersifat multidimensional, selalu ada analog untuk memberi makna, sehingga mitos dapat digunakan untuk meneliti teks dalam arti yang lebih luas, baik verbal maupun non verbal.


(36)

Dalam memahami Barthes, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah merupakan tanda, tanda apapun masuk dalam kategori teks, sehingga segala sesuatu dalam kehidupan ini adalah mitos. Mitos-mitos tersebut berkembang dalam kehidupan budaya masyarakat di mana pun. Oleh sebab itu, untuk memaknai sebuah teks dalam suatu kebudayaan masyarakat tertentu misalnya, dalam bentuk apapun itu, dibutuhkan mitos dari kebudayaan yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat bersangkutan untuk menjelaskan sesuai

dari makna teks itu sendiri.15

Jadi dapat dipahami, mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Arti lainnya bisa disebut juga mitos adalah suatu konotasi yang sudah membudaya. Dalam konteks ini untuk mengetahui mitos yang ada dalam adegan sebuah film, haruslah mengetahui makna konotasinya terlabih dahulu. Hal itu di sebabkan dalam sebuah konotasi itu terdapat mitos dari kebudayaan yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat bersangkutan untuk menjelaskan sesuai dari makna adegan sebuah film itu sendiri.

B. Film

1. Pengertian film

Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya,

film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil

pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor.16 Menurut Palapah dan

Syamsudin (1986:114) mendefinisikan film sebagai salah satu media yang

15

Suyatna Pamungkas, Bhartez dan Sistem Tanda (Sebuah Studi Semiotika) artikel ini diakses pada 3 juli 2013 dari http://peloporwriterpreneur.blogspot.com/2011/01/bhartez-dan-sistem-tanda-sebuah-studi.html.

16

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 132.


(37)

berkarakteristik masal, yang merupakan kombinasi antara gambar-gambar bergerak dan perkataan. Hal ini senada dengan Soegiono (1984: 13), ia mengemukakan bahwa film adalah rekaman segala macam gambar hidup atau bergerak, dengan atau tanpa suara yang dibuat di atas pita seluloid, jalur pita magnetic, piringan audio visual dan benda hasil teknik kimiawi atau elektronik lainnya yang mungkin ditemukan oleh kemajuan teknologi dalam segala bentuk jenis dan ukuran baik hitam maupun putih atau berwarna yang dapat disajikan dan dipertunjukkan kembali sebagai tontonan di atas layar proyeksi atau layar putih atau layar TV dengan menggunakan sarana-sarana mekanis dari segala macam bentuk peralatan proyeksi.

Sedangkan menurut UU Perfilman No 8 Tahun 1992, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan

sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya.17

Jadi dapat dipahami bahwa pengertian film adalah media gambar bergerak dan berkarakteristik masal, kemudian dipertunjukan kembali sebagai tontonan untuk audiens.

17

UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman Bab 1, Pasal 1 Ayat 1. Departemen Penerangan RI.


(38)

2. Jenis-jenis Film

Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi,

penjelasannya adalah sebagai berikut:18

a. Film Fitur

Film fitur merupaka karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya; bisa juga yang ditulis secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan scenario

itu. Tahap terakhir, post-produksi (editing) ketika semua bagian film yang

pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

b. Film Dokumenter

Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada kamera atau pewawancara. Robert Claherty mendefinisikannya sebagai ―karya ciptaan mengenai kenyataan‖, creative treatment of actuality.19

Dokumenter seringkali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur. Akan tetapi, film jenis ini

18

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 134-135.

19

Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 139.


(39)

sering tampil di televisi. Dokumenter dapat diambil pada lokasi pengambilan apa adanya, atau disusun secara sederhana dari bahan-bahan yang sudah diarsipkan. Dalam kategori dokumenter, selain mengandung fakta, film dokumenter mengandung subyektivitas pembuatnya. Dalam hal ini pemikiranpemikiran, ide-ide, dan sudut pandang idealisme mereka. Dokumenter merekamadegan nyata dan faktual (tidak boleh merekayasanya sedikitpun) untuk kemudian diubah menjadi sefiksi mungkin menjadi sebuah cerita yang menarik.

c. Film Animasi

Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan

penyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian

penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya. Pada masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer. Salah satu tokohnya yang legendaris adalah Walt Disney dengan film-film kartunnya seperti Donal duck, Snow White, dan Mickey Mouse.

3. Unsur-unsur dalam Film

Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik, dua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain:

1) Unsur Naratif

Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal ini unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu.


(40)

a. Tokoh

Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yaitu utama dan pendukung. Tokoh utama sering diistilahkan dengan tokoh protagonist, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan tokoh antagonis yang biasanya bertindak sebagai pemicu konflik.

b. Masalah dan Konflik

Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang dihadapi tokoh protagonist dalam meraih tujuannya. Permasalahan ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin dari luar diri tokoh protagonist

ataupun dari dalam diri tokoh protagonist (konflik batin).20

c. Lokasi

Tempat/lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai pendukung narasi di dalam scenario. Pemilihan lokasi dapat membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis.

d. Waktu

Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting dalam membangun cerita. Pagi, siang, sore, dan malam dalam film memiliki makna sendiri sebagai pembangun suasana narasi film.

Unsur lainnya yang tidak lepas dalam film yaitu narasi. Dalam kajian sastra, kajian narasi atau cerita di dalam suatu karya disebut juga dengan kajian naratologi. Teori naratif cenderung erat kaitannya dengan naratorologi, yakni proses menyampaikan suatu cerita. Naratif juga berasal dari kata narasi yaitu suatu cerita tentang peristiwa atau kejadian dengan adanya paragraf narasi yang

20


(41)

disusun dengan merangkaikan peristiwa-peristiwa yang berurutan atau secara

kronologis.21 Naratologi berasal dari kata narration dan logos (bahasa latin).

Narration berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat; logos berarti ilmu. Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistic, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita. Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian juga dengan wacana dan teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna, 2004: 128) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan bahwa pembaca membaca wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut

21 Moulidvi Rizki Permita,

Teori Naratif, artikel ini diakses pada 7 Maret 2014 dari http://moulidvi-r-p-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-81023-Umum-Teori%20Naratif.html.


(42)

melalui teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan

melalui bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang.22

Dari beberapa penjelasan di atas, narasi adalah gambaran cerita dalam sebuah peristiwa atau kejadian kemudian dirangkai secara kronologis peristiwa yang terjadi. Tujuan dari narasi sendiri adalah mengajak pembaca seolah-olah mengalaminya sendiri peristiwa yang diceritakan, dengan begitu pembaca berkesempatan untuk menciptakan imajinasi mereka mengenai kebenaran dalam cerita tersebut.

2) Unsur Sinematik

Senematik atau language of film berguna untuk menganalisi textual dari beberapa rangkaian pendek film, video, atau televisi. Bordwell dan Thompson membagi bahasa film menjadi empat element, yaitu mise-en-scene, cinematography, editing dan sound. Semua rangkaian ini saling membantu satu

sama lainnya.23 Adapun definisi mise en adegan (scene), Sinematografi, Editing

dan Suara sebagai berikut:24

a. Mise en Scene: Segala hal yang berada di depan kamera. Empat

elemen pokok Mise en Scene yaitu, setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make-up, serta akting dan pergerakan pemain.

22

Asep Yusup Hudayat, Modul „Metode Penelitian Sastra‟ (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 2007), h. 72. Melalui web:

Resource.unpad.ac.id/unpad-content/unpad/publikasi_dosen/metode_penelitian_sastra.PDF diakses pada 23 Januari 2014.

23Micheal O‗Shaughnessy and Jane Stadler, Media and So

ciety,(Oxford Universiy, Oxford University Press, 2005), h. 219.

24


(43)

b. Sinematografi: Perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil.

c. Editing: Transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya.

d. Suara: Segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera

pendengaran.

Penjelasan film ini bermanfaat sekali bagi penulis dalam menganalisis gaya sinematik film. Untuk beberapa rangkaian analisis yang lebih detailnya diperlukan mencatat apa saja yang terjadi dalam setiap kejadian dan pengambilan sudut gambar kamera. Untuk mentranscribe setiap rangkaian diperlukan menonton lebih dari satu kali rangkaian yang ada dalam film, pause suara film untuk mencatat. Ini akan sangan membantu mengnalisis film tanpa menggunakan suara sehingga kamu dapat lebih fokus kepada mise-en-scene (conten of the shot), cinematography (how content is filmed), dan editing. Kemudian dengarkan soundtrack tanpa melihat gambar sehinga kamu dapat focus kepada suara. Selanjutnya perhatikan dengan seksama dengan suara kencang dan catatlah hubungan antara suara dan gambar. Kemudian, masukan kedalam catatan eksra detail mengenai durasi sebuah adegan, dan buat juga catatan tentang tata lampu (lighting), pertunjukan (performance), serta pendapatmu setiap adegan. Dengan

pengamatan yang detail dapat diketahui bagaimana mise-en-scene,

cinematography, editing dan sound dalam sebuah film memiliki makna dan

pengaruh yang kuat.25

4. Struktur Film

1) Shot

25Micheal O‘Shaughnessy and Jane Stadler,

Media and Society,(Oxford University, Oxford University Press, 2005), h. 219-220.


(44)

Shot adalah a consecutive series of pictures that constitutes a unit of action in a film, satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang

hanyadirekam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan

mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.26

2) Scene

Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa

shot yang saling berhubungan.

3) Sequence

Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diartikan seperti sebuah bab atau

sekumpulan bab.27

C. Film dalam Kajian Analisis Semiotik

Film merupakan bidang yang amat relevan bagi analisis semiotik. Seperti yang dikemukakan Art Van Zoest, film dibangun dengan tanda-tanda semata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan tanda-tanda fotografi statis, rangkaian tanda dalam film menciptakan imajinasi atau sistem penandaan. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis yaitu tanda-tanda yang menggambarkan

26

Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman, (Yogyakarta: Interprebook, 2010), h. 97.

27


(45)

seseuatu. Gambar yang dinamis pada sebuah film merupakan ikonis bagi realitas

yang dinotasikannya.28

Semiotika Barthes adalah mengenai konotasi dan denotasi. Barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem tanda yang di dalamnya

mengansung unsur ekspresi (E) dalam hubungannya (R) dengan isi (C).29

Analisis semiotik pada film berlangsung pada teks yang merupakan struktur dari produksi tanda. Bagian struktur penandaan dalam film biasanya terdapat dalam unsur tanda paling kecil, dalam film disebut scene. Scene dalam film merupakan satuan terkecil dari struktur cerita film atau biasa disebut alur. Alur sendiri merupakan sejumlah motif satuan-satuan fiksional terkecil yang terstruktur sedemikian rupa sehingga mampu mengembangkan tema serta melibatkan emosi-emosi. Sebuah alur biasanya mempunyai fungsi estetik pula, yakni menuntun dan mengarahkan perhatian penonton ke dalam susunan

motif-motif tersebut.30

Di dalam teori semiotika, proses pemaknaan gagasan, pengetahuan atau pesan secara fisik disebut representasi. Secara lebih tepat ini didefinisikan sebagai penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan ulang sesuatu yang dicerap, diindra,

dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik.31

Penjelasan di atas mengambarkan bahwa terdapat sisi yang khas dari film yang dapat dikaji dengan semiotika, yakni adegan, percakapan dan pesan teatrikal. Cerita pada film tidak saja berupa gambaran dari realitas kehidupan masyarakat

28

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 263.

29

Indiwan, Semiotika Komunikasi, (Jakarta, Mitra Wacana Media, 2011), h. 16.

30

Film Sebagai Objek Analisis Semiotik, artikel ini diakses pada 18 Februari 2014 dari http://rossidrowmaens.blogspot.com/2012/05/film-sebagai-objek-analisis-semiotik.html.

31


(46)

yang dipindahkan ke dalam seluloid semata, film juga menjadi media representasi dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini film menghadirkan dan membentuk kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi melalui gambaran sebuah film.

D. Pengertian Representasi

Representasi adalah sebuah cara memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep ini digambarkan pada premis bahwa ada sebuah representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh

representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan.32

Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi. Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seoarang pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku

bahasa dalam representasi.33 Sementara secara diakronik analisis Barthes

memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitos digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang

32

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta:LKiS), 2009, h. 113

33

Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982, hal. 30.


(47)

sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos baru yang

akan menjadi ―founding prospective history‖.34

Sementara menurut Noviani dalam bukunya menjelaskan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media (termasuk iklan dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Secara semantik, representasi bisa diartikan to depict, to be a picture of atau to act or speak for (in the place of, in the

name of) somebody.35

Jadi representasi adalah sebuah cara untuk memberikan sebuah gambaran yang berupa fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan kepada seseorang. Dalam penelitian ini, representasi moral budaya masyarakat

Papua dalam film Di Timur Matahari merupakan film yang menggambarkan

budaya masyarakat Papua khususnya di daerah pegunungan Tiom, film ini mempunyai pesan moral tentang semangat belajar, cinta kasih, dan perdamaian. E. Pesan Moral

Istilah pesan diartikan gagasan atau ide yang disampaikan komunikator

kepada komunikan untuk tujuan tertentu.36 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

―pesan diartikan sebagai perintah, nasihat, permintaan, amanat, yang harus

dilakukan atau disampaikan kepada orang lain.37 Akan tetapi pengertian pesan

yang dipaparkan di atas bersifat mendasar, dalam arti kata bahwa pesan itu adalah suatu kata-kata itu menyediakan suatu alat pengantar yang dapat menyampaikan ide-ide dan informasi, tapi juga persuasif yaitu pesan-pesan berjalan dengan

34

St. Sunardi, Semiotika Negativ (Yogyakarta:Buku Baik), 2004, hal. 116

35

Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan, Antara Realitas, Representasi, dan Simulasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002, h. 61.

36

Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 25.

37


(48)

struktur yang melalui komunikator dan diterima oleh komunikan agar orang lain bersedia menerima suatu paham dan keyakinan melakukan suatu perbuatan atau

kegiatan dan lain-lain.38

Dalam komunikasi, pesan menjadi salah satu unsur penentu efektifitas suatu tindakan komunikasi. Pesan menjadi unsur utama selain komunikator dan komunikan, terjadi komunikasi antar manusia. Tanpa adanya komunikasi pesan,

maka tidak pernah terjadi komunikasi yang jelas antar manusia.39

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, moral adalah penentuan baik-buruk

terhadap perbuatan dan kelakuan.40 Kata moral dari sego bahasa berasal dari

bahasa latin yaitu mores jamaknya dari kara mos yang berarti adat kebiasaan.

Secara etimologi moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas dari sifat, perangai, kehendak pendapat, atau perbuatan secara layak dapat

dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.41 Secara umum moral mengarah pada

pengertian (ajaran tentang) baik dan buruk yang diterima umum mengenai

perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, dan susila.42

Moral merupakan ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan, dan ketetapan lisan atau tertulis tentang bagaimana harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik.

38

James G. Robinson, Komunikasi Yang Efektif, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), cet. Ke-3, h. 35.

39

M. Jamaluddin Piktoringa, Tipologi Pesan Persuasif, (Jakarta: PT Indeks, 2005), cet. Ke-1, h 1.

40

W. J. S Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet ke XXI, h. 278

41

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Press, 2003), cet. Ke-5, h. 94

42

H. A. W. Widaja, Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), cet. Ke-5, h. 94.


(49)

Sumber dasar ajaran-ajaran moral adalah tradisi, adat istiadat, ajaran agama dan

ideologi-ideologi tertentu.43

Sedangkan menurut Zakiah Darajat, moral adalah kelakuan sesuai dengan ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa tanggung kawab atas kelakuan tersebut. Ajaran moral membuat pandangan tentang nilai dan norma yang terdapat di antara sekelompok manusia.44

Adapun kategori berdasarkan pesan moral ada tiga macam.

1. Kategori hubungan manusia dengan Tuhan

2. Kategori hubungan manusia dengan diri sendiri. Menjadi sub: ambisi

harga diri, takut, dan lain lain.

3. Kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan social

termasuk hubungan dengan alam.45

Melalui berbagai pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa film merupakan media komunikasi penyampai pesan yang memberikan sekaligus bujukan yang memberikan kesadaran bagi penontonnya melalui pesan-pesan yang terdapat pada film tersebut. Pesan yang ingin disampaikan pada khalayak adalah pesan yang mengandung pesan moral. Pesan moral merupakan suatu materi atau gagasan mengenai ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan yang ingin disampaikan oleh pembuat film kepada penontonnya. Dalam penelitian ini,

pesan yang ingin disampaikan dalam film Di Timur Matahari ini adalah semangat

belajar, cinta kasih, dan perdamaian.

43

Sudirman Teba, Etika dan Tasawuf Jawa (Jakarta: pustaka Irvan, 2007) h. 11-12.

44

Zakiyah Darajat, Peranan Agama Islam dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Haji Masagung, 1993), h. 6.

45

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1998), h.323.


(50)

BAB III

GAMBARAN UMUM FILM DI TIMUR MATAHARI A. Sekilas tentang Film Di Timur Matahri

Film berjudul Di Timur Matahari adalah sebuah film keluarga, karya Ari

Sihasale lewat rumah produksi Alenia Pictures dengan produser eksekutif Nia Sihasale Zulkarnaen. Film ―Di Timur Matahari (2012) ini bercerita soal perdamaian dan hausnya anak-anak akan pendidikan, dengan latar belakang keindahan alam di Tiom, kabupaten Lanny Jaya, Papua. Latar belakang Ari Sihasale dengan tanah Papua turut berperan dalam pembuatan film ini. Kedekatan emosional antara Ari dengan Papua inilah yang agaknya mendorong suami dari Nia Zulkarnaen ini membuat film pendidikan dengan latar belakang konflik perang suku dan uniknya budaya Papua. "Saya lahir di Papua, dan melihat realita yang kini terjadi di Papua, saya pun terdorong untuk mengajak masyarakat agar mengenal Papua lebih dekat melalui film ini," ujar Ari Sihasale saat jumpa pers lauching film 'Di Timur Matahari', di Jakarta beberapa waktu lalu. ‖Film ini agak berbeda dengan (produksi) Alenia sebelumnya karena kami ingin menampilkan sesuatu yang lain.

Persiapan film ini merupakan yang terberat karena Lanny Jaya adalah kabupaten baru. Jadi, bisa dibayangkan kondisinya seperti apa, pasti akan sulit bagi semuanya,‖ ujar Nia sebelum memulai pembuatan film.. Nia mengatakan, Di Timur Matahari berawal dari keprihatinan Ale dan Nia akan kerapnya mereka menyaksikan berita kerusuhan di sejumlah tempat di Indonesia, termasuk Papua. (Kompas.com edisi 28 februari 2012). ‖Apakah gambaran Indonesia seperti ini yang akan kita berikan kepada anak-anak kita? Melalui film ini kami ingin


(51)

memberikan kedamaian,‖ ujar Nia. Di Timur Matahari adalah film keenam yang diproduksi Alenia Pictures. Sebelumnya, mereka telah menggarap Denias, Tanah

Air Beta, King, Liburan Seru, dan Serdadu Kumbang. Film Di Timur Matahari ini

menguak peran anak-anak yang identik dengan kepolosan, keluguan dan keceriaan di tengah konflik orang dewasa yang tak berujungpangkal dan sudah membudaya yakni perang suku. Keluguan anak-anak Papua yang haus pendidikan direpresentasikan melalui lima karakter anak Papua. Lima sekawan itu adalah Mazmur, Thomas, Suryani, Agnes, dan Yoakim. Mereka anak-anak yang haus akan pendidikan dan berusaha untuk menggapai cita-cita, namun harus terbentur

dalam kondisi dan situasi yang sangat sulit.1

Film ini bercita tentang kepolosan dan keluguan anak-anak Papua yang menginginkan perdamaian serta pendidikan. Karakter kepolosan dan keluguan anak-anak Papua ini mampu direprentasikan oleh lima sekawan yaitu Mazmur, Thomas, Suryani, Agnes, dan Yoakim. Di awal film ini, tokoh Mazmur yang diperankan oleh Simson Sikoway sedang menunggu kedatangan guru pengganti di sebuah lapangan tempat biasa pesawat perintis mendarat. Sementara teman-teman lainya menunggu di dalam kelas. Ketika ia telah lama menunggu, guru pengganti pun tak kunjung datang. Lalu ia berlari menuju kelas dan mengabarkan kepada teman-temannya. "Temen-teman, guru pengganti belum datang", ujar Mazmur. Kemudian teman-temannya pun temenung mendengar kabar dari Mazmur. Meskipun guru penggantinya belum datang, Mazmur tidak kehilangan semangat belajar. Semangatnya tersebut ditunjukan ketika ia mengajak teman-temannya untuk belajar bernyanyi saja, ajakan Mazmur disambut antusias oleh

1

Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Representasi Kearifan Lokal Dalam Film di Timur Matahari (Jurnal Menggagas Pencitraaan Berbasis Kearifan Lokal: Universitas Multimedia Nusantara), h.1069


(52)

temannya. Akhirnya mereka bersama-sama menyanyikan lagu Hymne Guru. Mungkin lagu tersebut sebagai bentuk kerinduan anak-anak Papua yang ingin memperoleh pendidikan yang layak. Sungguh ironis, ketika melihat apa yang terjadi di Papua jika dibandingkan dengan pendidikan di kota besar Indonesia lainnya.

Film ini tidak hanya bercerita tentang pendidikan. Tetapi, film ini pun bercerita tentang hausnya akan perdamaian di bumi Papua. Di dalam film awal mula terjadinya konflik peperangan ini berasal dari ayah Mazmur dengan ayah yoakim, ketika ayah Mazmur yaitu Blasius menjual burung merpati kepada seseorang kerabat dari ayahnya Yoakim. Saat itu Blasius merasa sangat senang ketika mendapatkan uang hasil jual burung merpatinya. Kemudian Blasius mengajak anaknya serta keponakannya yaitu Mazmur dan Thomas untuk membeli baju tim sepak bola. Lalu Blasius merasa tak percaya ketika ia membayar baju yang ingin dibeli untuk Mazmur dan Thomas ternyata uang hasil penjualan burung merpati adalah uang palsu. Kekesalan Blasius sudah tak terbendung lagi, ia merasa telah tertipu. Kemudian Blasius pun meluapkan kekesalannya dengan memukuli ayah yoakim. Ini lah awal mula dari konflik yang menimbulkan kematian Blasius, perang suku, pembakaran honai, permasalahan adat yang keras sehingga sulit untuk diselesaikan, menjadi warna yang kontras bila dibandingkan dengan keceriaan anak-anak yang tergambar pada awal film. Dan juga perseteruan di antara kakak beradik Mikael dan Alex. Alex yang ingin membalas dendam atas kematian Blasius, yang dibunuh oleh penduduk dari suku lain. "Mikael, ini bukan masalah dendam, tapi ini masalah adat yang sudah ribuan tahun sebelum kamu


(53)

ada! Mata ganti mata, Gigi ganti gigi," ujar Alex kepada kakaknya itu saat mereka berdiskusi usai memakamkan Blasius.

B. Tim Produksi Film Di Timur Matahari

Sebuah film sebagus apapun dan sesukses apapun tidak luput dari

tangan-tangan dingin para crew dan pihak-pihak yang terlibat dalam penggarapan film.

Begitu juga dengan film Di Timur Matahari yang juga sukses berkat orang-orang

yang terlibat didalamnya. Dan inilah orang-orang yang menjadikan film Di Timur

Matahari sukses dan meraih beberapa penghargaan. Tabel 3.1

No Jabatan Nama

1 Producer dan Director Ari Sihasale

2 Executive Producer Nia Sihasale Zulkarnain

3 Line Produser Bengky Mulyono

4 Screenplay Jeremias Nyangoen

5 Director of Photography Nur Hidayat

6 Art Director Frans XR Paat

7 Film Editor Robby Barus

8 Sound Designer Khikmawan Santosa

9 Sound Recordist Dwi Budi Priyanto

10 Musik Ilustrator Dian HP, Bembi Gusti, Aghi Narottama

11 First Assistant Director Azhar ―Kinoi‖ Lubis

12 Second Assistant Director Hadrah Daeng Ratu

13 Third Assistant Director Hari Saputra

14 Production Coordinator Ario P. Nugroho

15 Distribusi Alenia Pictures

16 Pemain Laura Basuki, Ririn Ekawati, Lukman

Sardi, Ringgo Agus Rahman, Michael

Jakarimilena, Putri Nere, Abetnego

Yogibalom, Lucky Martin, Simson

Sikoway, Razz Manobi, Yullex Sawaki, Friska Machwi, Maria Resubun, Paul Korwa


(54)

C. Profil Ari Sihasale sebagai Sutradara Film Di Timur Matahari

Ari Sihasale yang bernama lengkap Juharson Estrella Sihasale, lahir di Tembagapura, Papua pada 5 Oktober 1973, bukanlah orang baru dalam industri perfilman di Indonesia. Awal karirnya Ale adalah sebagai penyanyi yang pernah tergabung dengan grup band Cool Colours, bersama Ari Wibowo, Surya Saputra, dan Johandy Yahya. Kemudian ia merambah di dunia akting dan memulai

debutnya di film Cinta Selembut Awan pada tahun 2000. Kemampuan Ari

Sihasale dalam berakting pun sudah tidak diragukan lagi. Ditandai dengan perannya di sejumlah judul sinetron antara lain Ali Topan, Anak Jalanan, Andini, Di Sini Cinta Pertama kali Bersemi, Camelia, Antara Jakarta-Perth, dan Heart (series 1) sebagai Adam

Setelah menikah dengan Nia Zulkarnaen yang juga seorang aktris, Ari dan Nia mencoba melebarkan pengalaman di bidang film untuk bermain di balakang layar dengan menyutradarai dan memproduseri beberapa judul film. Melalui rumah produksi yang mereka namai Alenia Production, sudah beberapa judul film

yang mereka telurkan. Film tersebut diantaranya Denias, Senandung di Atas Awan

(2006), Liburan Seru! (2008), King (2009), Serdadu Kumbang (2011), dan

terakhir Di Timur Matahari (2012).2

Di beberapa film yang ia produseri dan sutradarai, Ale menampilkan latar belakang suasana di Indonesia bagian Timur. Hal itu menurut Ale, karena selain ingin mengangkat budaya Timur yang belum banyak diketahui orang, faktor kedekatan emosional Ale dengan suasana Timur turut berperan di dalamnya. Ale sendiri lahir dan pernah tinggal di Papua.

2

Profil Ari Sihasale, artikel diakses pada 29 Januari 2014 dari http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/a/ari_sihasale/berita/dan


(1)

Disana itu beda. Ada ketua adat, ketua panglima perang. Ketua adat hanya melakukan adat yang berlaku dalam perkampungan itu. Tetapi panglima perang, dia yang nanti berkuasa dalam peperangan itu. Seperti zaman sekarang ada presiden, ada jendral.

10.Tanya: Apa penyelesaian yang biasa dilakukan jika peperangan itu terjadi? Jawab: Biasa disana penyelesaian peperangan itu, dikompromikan dulu

11.Apa makna lagu dalam film tersebut dalam adegan terakhir ketika mereka semua bergandengan tangan?

Kekurangan dalam film itu seharusnya kan ada teks di bawahnya, karena Papua sendiri kn memiliki 300 suku dan 200 bahasa lebih ya, satu kabupaten saja ada beberapa suku, dan itu bahasanya beda. Jadi kami menonton film itu mengartikan lagu itu adalah tentang perdamaian. Menurut bapak Oken yang tinggal di Papua khususnya pegunungan, bahwa dahulu penduduk Papua banyak yang ateis. Tetapi sejak masuknya Belanda yang mayoritas beragama Kristen membawa perubahan bagi masyarakat Papua, yakni mereka sudah mempunyai agama. Untuk itu, biasanya jika mereka berperang didamaikan melalui sebuah lagu. Mungkin lagu yang ada di film itu adalah lagu perdamaian.

12.Tanya: Apakah pendidikan di Papua seperti yang diceritakan dalam film? Sesulit itukah anak Papua ketika ingin memperoleh pendidikan? Bisa diceritakan?

Jawab: Yang saya alami di Sorong, Papua Barat, kalau untuk pribadi saya khususnya pendidikan di daerah Sorong itu sih sudah sedikit maju. Tetapi kalau yang ada di film itu memang benar, karena pemerintah itu sendiri belum


(2)

sanggup untuk sampai kesana. Karena masyarakat disana masih sedikit yang mau menerima tetapi ada juga yang tidak mau menerima. Untuk zaman sekarang, sudah mau menerima. Cuma ya itu, guru mana yang sanggup dengan keadaan seperti itu. Memang kenyataan yang ditampilkan dalam film itu sebagian besar seperti itu, ada juga yang tidak seperti itu. Kalau untuk sekolahnya sendiri mungkin, kalau kita disini kan berangkat naik angkot dan kalau mereka mungkin jalan naik turun gunung. Jangankan di daerah Wamena sana, di daerah saya sendiri di daerah Jayapura saya pernah alami seperti itu, mau sekolah pasti naik gunung turun gunung dulu. Karena kembali lagi ke masalah biaya, dulu saya dan teman-teman sekolah saja tidak pernah pegang biaya untuk naik angkot serta di tambah lagi angkutan pun pilih-pilih penumpang, karena misalkan anak sekolah bayar 1000 dan orang dewasa 3000 pasti dia pilih orang dewasa. Ada juga masalah transportasi umumnya yaitu adalah pesawat, antar kecamatan, kabupaten mau tak mau harus naik pesawat. Tapi kalau namanya anak sekolah ya mau tidak mau harus jalan kaki lah. 13.Tanya: Kenapa masyarakat di sana tentang pendidikan ada yang mau dan ada

yang tidak? Apa penyebabnya bisa jadi seperti itu?

Jawab: Ya, dari yang saya pernah dengar dan saya pernah lihat. Mungkin dari orang tuanya sendiri, bisa ada yang di tuntut untuk pekerjaan dan bisa juga tidak. Kalau di tempat saya yang saya alami sendiri, saya untuk apa kerja, untuk apa sekolah. Ada pemikiran seperti ini, dalam zamannya ditindas. Kita sekolah, sokolah, sekolah kita tetap ditindas juga, ditindas oleh pemerintah. Dulu masih zamannya orde baru, ibarat kata kita tidak bisa berbicara. Jangankan di sana, di sini saja kita berbicara hilang. Yang kedua, ada yang


(3)

lebih senang bermain, ada yang lebih senang kehidupannya dimanja oleh orang tua kita. Jujur orang tua kita dulu itu. Contohnya seperti ini, orang belum pernah menyentuh namanya roti, kornet. Makanya di sini pokoknya untuk zamanya orang tua kita di zaman dulu itu tiap bulan itu ada. Jadi dari pemerintah belanda itu ada seperti susu, kornet, indomie itu semuanya sudah pernah mereka dari zaman dulu orang Papua sudah terima seperti itu. Makanya dari yang saya pernah dengar orang Papua itu lebih dekat dengan pemerintahan Belanda, tapi ada juga yang bertolak belakang.

14.Tanya: Jadi dari kebanyakan anak-anak di sana itu lebih senang sekolah atau tidak?

Jawab: Banyak, sangat senang sekolah. Tapi yaitu, dulu mungkin kalau di daerah pegunungan yak jauh, dan ada juga yang sekolah mungkin orang-orang yang atas. Tapi untuk sekarang sudah tidak kepakai. Yang mau sekolah ayo sekolah, apalagi sekarang suda ada pendidikan sekolah geratis kan dari pemerintah.

15.Tanya: Program sekolah gratis sampai di sana juga pak?

Jawab: Sampai di sana, Cuma sampai di sana kebanyakan sekolah swasta, jadi seperti itu bisa dihitung lah. Tapi zaman sekarang ini sudah banyak sekali sekolah negeri. Kalau sekolah swasta itu seperti Don Bosco, Misi itu kan sekolah-sekolah belanda. Pada zaman saya sekolah dulu, sekolah negeri banyak, tapi yang berkualitas Don Bosco, Misi, dan memang sekolah Don Bosco dan Misi itu benar-benar tertata diatur, dan memang biaya sekolah yang saya alami sangat mahal.


(4)

16.Tanya: Berarti dalam tayangan film ini benar kenyataannya? Seperti menunggu guru, meminta kepada siapa saja untuk mengajar?

Jawab: Benar, itu mamang nyata. Jadi sebelum datangnya guru, kita semua masing-masing. Siapa yang bisa untuk memimpin? Contohnya seperti ketua kelas, ada tugas dari guru diberikan kepada ketua kelas, lalu ketua kelas akan tunjuki siap anak yang berpotensi, tolong bantu teman-temannya, jadi dia yang ngajar depan. Ia mengajar seperti guru, dia catat juga dari buku cetak. Karena dulu buku cetak itu sangat susah, kalo sekarang kan kita dibagi sama guru dan dijaga sampai kalian kenaikan kelas, dan dikembalikan. Kalau dulu kan tidak, dulu kita sekolah 1 buku kita gulung kita masukan di kantong. Jadi itu kita cari buku pelajaran itu sangat sulit. Jadi yang punya itu guru sama anak orang yang ada yang mampu beli.

17.Tanya: Memang pemerintah tidak mensortir buku ke sana?

Jawab: Pada zaman saya memang mensortir, tapi ya terbatas. Di daerah sorong saja terbatas, apalagi di daerah pegunungan sana? Mungkin mereka lebih parah lagi, bisa-bisa di saya sembilan mungkin di sana masih nol, ibarat kata seperti itu. Jadi saya cerita ini yang saya alami. Di zaman saya sudah parah, mungkin di zaman dahulu lebih parah lagi.

18.Tanya: Dari keseluruhan yang ditampilkan dalam film, apakah Bapak merasa Papua sudah terwakili dalam film tersebut?

Jawab: Sedikitnya mewakili Papua. Kami sebagai orang Papua merasa sangat senang karena bisa melihat kondisi sekolah yang mereka lihat. Bangunan sekolah saja masih begitu. Bukan hanya orang-orang besar yang ingin sekolah,


(5)

Kita juga nonton film itu juga ada yang membuat kita mengelus dada, dan ada juga yang sedikit menyimpang. Seperti cerita dalam film yang menampilkan sedikit-sedikit perang!! Sedikit-sedikit perang!! Disana tidak sama seperti itu, seperti di berita, mereka tidak tahu. Mereka hanya bilang di cerita itu hanya dikasih tahu soal perang, perang, dan perang. Kalau memang mereka ingin tahu, harusnya mereka turun dan mereka saksikan sendiri makanya saya sebagai orang Papua kalau nonton berita itu rasa sedih dengan berita seperti itu. Karena mereka tidak tahu yang mereka beritakan ini benar atau tidak, masalah suku atau bukan.

Selain itu ada hal yang menyimpang dalam film seperti adegan saat Mikael berbicara dengan Alex saat berkata "Saya tidak makan beras Jawa" yang bagi masyarakat Papua tidaklah seperti itu. Karena hal itu mereka anggap sebagai provokasi.

19.Tanya: Seperti pesan dalam film yang mengatakan "yang baik diteruskan yang tidak baik diperbaiki" setujukah Bapak dengan hal itu?

Jawab: Setuju setuju, mudah-mudahan adanya film ini juga bisa mengurangi penyebab peperangan itu terjadi. Dengan adanya film tersebut, dapat mengurangi pemberitaan yang memojokkan Papua.


(6)

Lampiran 6: Foto dengan Guide Anjungan Provinsi Papua di TMII