Negara, Ham Dan Ketertiban Umum

atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya bunyi pasal 11. Kelima, Khusus di bidang, ekonomi, sosial, dan budaya, setiap manusia dijamin haknya atas pekerjaan, pasal 6. Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, pasal 7. Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh, pasal 8. Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, pasal 9. Hak atas perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluarga, ibu, dan anak, dan orang muda, pasal 10. Hak atas standar hidup yang memadai, pasal 11. Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai, pasal 12. Hak atas pendidikan, pasal 13 dan 14. Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, pasal 15. 27

C. Negara, Ham Dan Ketertiban Umum

Mendiskusikan peran negara dalam penegakan HAM dan ketertiban umum harus kembali pada perdebatan seputar posisi dan hakikat hubungan kekuasaan dengan warga negaranya. Teori dan filsafat tentang terbentuknya negara sebagai pihak yang menerima delegasi wewenang dari rakyat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan sekaligus juga kewajiban untuk menjamin dan melindungi hak- haknya dapat dijadikan pijakan untuk memahami persoalan ini. Konsep tentang hubungan negara, HAM dan ketertiban umum berkembang tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang tercerahkan pada paruh kedua abad 18 mulai mempertanyakan keabsahan kekuasaan dan monarkhi yang absolut berikut wawasan tradisionalnya amat diskriminatif dan memperbudak. 27 Selengkapnya lihat UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Ketika gagasan-gagasan baru tersebut semakin berpengaruh luas dan menguat, cita-cita kebebasan dan egalitarianisme menjadi tak terbendung lagi. Komunitas- komunitas warga sebangsa diorganisir dalam wujud institusi politik baru yang memproklamasikan diri sebagai negara republik yang demokratik. Di dalam sistem kenegaraan yang baru, rakyat dapat berartikulasi untuk menuntut pengakuan atas statusnya yang baru sebagai warga pengemban hak kodrati, atas dasar gagasan bahwa kekuasaan kolektif mereka adalah sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, vox dei. Penguasa tidak lagi memiliki kekuasaan tak terbatas yang diklaim sebagai representasi kekuasaan Tuhan, melainkan dibatasi oleh dan berdasarkan perjanjian dengan rakyat. Inilah yang oleh Rousseau disebut sebagai kontrak sosial. Di dalam kontrak sosial itu, apparatur negara menerima delegasi wewenang rakyat untuk mengatrur dan menciptakan ketertiban diantara warga masyarakat, termasuk menjatuhkan punishment kepada warga yang melanggar perjanjian bersama dan pada saat bersamaan juga berkewajiban melindungi hak- hak warganya tanpa terkecuali. 28 Berdasarkan paradigma ini, menjadi jelas negaralah yang bertanggungjawab menjaga dan menjamin HAM setiap warga terpenuhi. Bukan hanya menjaga, negara juga mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk menegakkan respection, memajukan promotion, melindungi protection, dan memenuhi fulfill HAM. Itulah sebabnya adalah kewajiban negara juga untuk memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan HAM bagi rakyatnya. Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti negara telah 28 Soetandjo, op.cit, hal. 4 mengabaikan amanat rakyat. Oleh karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang dikenal dengan Piagam HAM Dunia, Beberapa Kovenan, Hukum Perjanjian Internasional, Piagam Madinah, Deklarasi Kairo dan sebagainya harus diletakkan sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di dunia menjamin hak-hak individualnya. Dalam perkembangan pengkajian tentang HAM, dikenal dua jenis HAM, yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun non- derogable rights dan hak asasi yang dapat dibatasi oleh negara dengan alasan dan tujuan tertentu. Di dalam konstitusi kita, hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun derogable rights diatur dalam pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak tersebut adalah; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 29 Terkait dengan hak yang tidak termasuk dalam non-derogable rights, konstitusi kita menyatakan diperbolehkannya pembatasan dan pengurangan hak- hak dalam kondisi tertentu. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Perubahan Kedua Pasal 28 J yang menyatakan : 1 Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2 Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang engan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai 29 Lihat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 4. dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis . Lebih lanjut, UU Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa kebebasan dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. 30 Lebih terperinci, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya menetapkan beberapa klausul pembatasan terhadap HAM sebagai berikut; diatur berdasarkan hukum prescribed by lawconformity with the law, dalam masyarakat yang demokratis in a democratic society, ketertiban umum public orderordre public, kesehatan publik public health, moral publik public moral, keamanan nasional national security dan keamanan publik public safety, hak dan kebebasan orang lain rights and freedom of others dan hak atau reputasi orang lain rights and reputations of others , serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain the interest of private lives of parties yang berkaitan dengan pembatasan terhadap Pers dan publik pada pengadilan restriction on public trial. 31 Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik diterjemahkan secara lebih detil di dalam Prinsip-prinsip Siracusa Siracusa Principles. Di dalam prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua 30 Ibid, pasal 73. 31 Lihat Laporan Kajian Terhadap Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum , Komnas HAM, 2008, hal. 10. Lebih lanjut lihat UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005. klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait, artinya pembatasan hak tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. 32 Di dalam berbagai peraturan perudangan tersebut di atas, disebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar oleh negara untuk melakukan pembatasan dan pengurangan hak adalah pertimbangan untuk menjamin ketertiban umum public order. Berdasarkan siracusa principles –sebagaimana dikutip dalam laporan Kajian Komnas HAM-, dinyatakan bahwa ungkapan ketertiban umum public orderordre public yang digunakan dalam kovenan hak sipil dan politik harus diartikan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau serangkaian prinsip-prinsip mendasar yang mendari berdirinya masyarakat. Penghormatan hak asasi merupakan bagian dari ketertiban umum public orderordre public. Siracusa principles juga menyatakan bahwa organ negara atau agen negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dkontrol dalam pelaksanaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan- badan yang kompeten lainnya. Selain itu, ketertiban umum harus ditafsirkan dalam konteks maksud dari hak asasi manusia tertentu yang dibatasi berdasarkan 32 Siracusa principles merupakan prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam kovenan Interasional Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip ni dihasilkan oleh seelmpok ahli hkum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. Lihat Ibid, hal, 11. ketertiban umum tersebut. Dengan demikian, pembatasan hak yang didasarkan atas alasan ketertiban umum harus dilihat kasus perkasus. 33 Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut datas, kajian Komnas HAM menyimpulkan bahwa pembatasan hak tertentu yang didasarkan pada alasan ketertiban umum haruslah sesuai dengan persyaratan ketertiban untuk kasus-kasus khusus. Hal itu hanya dapat dibenarkan dalam situasi atau tindakan seseorang yang merupakan ancaman yang cukup serius terhadap ketertiban umum. Oleh karena itu, kontrol dari badan mandiri, apakah itu lembaga politik parlemen, badan peradilan pengadilan atau badan apapun lainya amatlah penting. 34

D. Ketertiban Umum Dalam Islam