BAB IV PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA
DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM
A. Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum Di DKI Jakarta
Islam sangat menghargai dan melindungi hak-hak dasar setiap manusia. Pentingnya perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia ini ditegaskan oleh Al-
Maududi. Menurutnya, dalam suatu kelompok hak-hak seseorang ditetapkan dan dijamin oleh kewajiban anggota-anggota kelompok yang lain, baik secara
individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip di dalam Al-Qur’an tentang keadilan, kejujuran, dan solidaritas kemanusiaan menimbulkan kewajiban bagi
setiap anggota masyarakat Islam, orang perorangan. Prinsip-prinsip tersebut menimbulkan iklim saling hormat menghormati, dan jaga menjaga yang terjadi
secara timbal balik. Tetapi dasar dari filsafat Islam menurut Mawardi tetap, yakni otonomi pribadi seseorang, yang menekankan hak-hak dasar manusia.
51
Menurut Al-Maududi, Islam seperti halnya semua sistem politik, menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Tetapi jika pun
kepentingan umum harus ditegakkan, negara tidak diperbolehkan melanggar sifat kemanusiaan warganya atau menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan hak
dasarnya.
52
Apa saja sifat kemanusiaan dan hak dasar yang tidak dapat dilanggar oleh negara meskipun sedang menegakkan kepentingan umum tersebut?, ialah
prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan oleh Nabi ketika menyampaikan pidato
51
Abul A’la Al Maududi, Esensi Al Qur’an : Filsafat Politik, Ekonomi, Etika, Bandung : Mizan, 1987, hal 87.
52
Ibid, hl. 88.
perpisahan di padang Arafah. Prinsip-prinsip tersebut adalah hak dasar setiap manusia untuk hidup al-dima, hak dasar setiap manusia untuk bebas memiliki
sesuatu al-amwal, dan hak dasar setiap manusia mendapatkan pengakuan dan kehormatan al-a’rad.
Dengan demikian, didalam Islam, setiap manusia, baik muslim maupun tidak harus dijamin hal-haknya dan negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi warganya terhadap segala jenis pelanggaran yang dapat mengancam hak-hak tersebut. Adapun hak-hak warga yang harus dilindungi tersebut antara
lain; a Hak untuk mendapatkan jaminan keamanan jiwa QS 49 : 11-1; b Perlindungan terhadap hak milik QS 24 : 27, QS 49 : 12; c Hak mendapatkan
kehormatan diri QS 4 : 148; d Hak kerahasiaan QS 3 : 110, 5 : 78-79, 7 : 165; e Hak untuk melakukan protes terhadap ketidakadilan QS 3 : 11; f Hak
melakukan kritik, menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan QS 8 : 61, g Kemerdekaan untuk berserikat, h Perlakuan yang sama bagi setiap warga tanpa
diskriminasi.
53
Di dalam perkembangannya, umat Islam mengembangkan dan mengakui hak-hak yang menjadi hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar yang
kemudian disahkan dalam Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam OKI pada Agustus 1991. Hak-hak
asasi manusia yang diadopsi dalam Deklarasi Kairo tersebut meliputi; a Hak persamaan dan kebebasan, b Hak hidup, c Hak perlindungan diri, d Hak
kehormatan pribadi, e Hak berkeluarga, f Hak kesetaraan wanita dengan pria, g
53
Teguh Prasetyo, Hak Asasi Manusia Dalam Tradisi Islam, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10 Nomor 1, Maret 2007, hal 49-50
Hak anak dari orang tua, h Hak mendapatkan pendidikan, i Hak kebebasan beragama, j Hak kebebasan mencari suaka, k Hak memperoleh perlakuan sama,
l Hak kepemilikan.
54
Jika Islam sedemikian menghormati kepentingan kemaslahatan umum namun sekaligus juga menjadikan hak dasar manusia sebagai tujuan dari syariat
agama maqasid syariah, bagaimana perspektif Islam terhadap Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang oleh pemerintah di klaim mewakili kepentingan ketertiban dan
kemaslahatan umum, sementara oleh sebagian masyarakat dituding melanggar hak-hak dasar manusia yang menjadi tujuan dari syariat agama.
Sebelum memberikan justifikasi perspektif Islam tentang Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, tentu penting untuk dilihat dan
ditelaah terlebih dahulu, aspek-aspek apa saja dalam perda tersebut yang diklaim oleh pemerintah mewakili kepentingan dan kemaslahatan umum, dan aspek apa
saja yang dituding oleh masyarakat melanggar hak dasar manusia. Berdasarkan hasil bacaan dan telaah penulis terhadap materi Perda 11
Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, setidaknya terdapat dua persoalan yang selama ini menjadi pokok perdebatan antara Pemerintah DKI dengan warga
masyarakat. Kedua persoalan tersebut adalah; masalah akses ke tempat-tempat umum dan masalah pekerjaan dan mendapatkan penghidupan yang layak bagi
warga Jakarta.
54
Sebelum Cairo Declaration of Human Rights in Islam disahkan pada 1991,satu dasawarsa sebelumnya umat Islam yang tergabung dalam Islamic Council Eropa telah menyusun
deklarasi HAM yang bernama The Universal Islamic Declaration of Human Rights, yang dirumuskan pada tahun 1981.Lihat, Ahmad Ali Nurdin, Islam dan Hak Asasi Manusia, dalam
Kompas 2172005
Untuk masalah yang pertama, yakni persoalan akses masyarakat ke tempat-tempat umum, pada Perda 11 Tahun 1988 setidaknya terdapat empat pasal
di dalam Perda yang mengaturnya, yaitu pasal 8, 9, 10, dan 15. Pasal 8 melarang setiap orang untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang bukan
untuk umum, termasuk juga tidur dan bertempat tinggal di dalamnya. Pasal 9 melarang setiap orang bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di
pinggir kali dan saluran. Pasal 10 melarang setiap orang untuk mandi, membersihkan anggota badan, mencuci pakaian, bahan makanan, binatang,
kendaraan dan benda-benda di sungai, saluran dan kolam, termasuk juga dilarang memanfaatkan air sungai untuk kepentingan usaha. Sementara pasal 15 melarang
setiap orang untuk bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, di pinggir rel kereta api, pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum
lainnya. Pada Perda Nomor 8 tahun 2007 persoalan akses ke tempat umum diatur
dalam pasal 6, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 20, dan pasal 39. Secara umum isi dari pasal-pasal pada Perda 8 tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan isi Perda
sebelumnya yang melarang warga untuk tinggal atau memanfaatkan beberapa kawasan seperti sungai, waduk, situ danau, pinggiran rel kereta dan seterusnya.
Pemerintah DKI selalu berargumen bahwa peraturan untuk menjaga jalur hijau, sungai dan tempat-tempat umum merupakan bagian dari upaya untuk
memelihara ketertiban umum. Itulah sebabnya, berbagai penggusuran yang dilakukan oleh aparat trantib, baik di pada pemukiman warga di kolong-kolong
jembatan, bantaran rel kereta api, bantaran sungai atau tempat-tempat yang oleh
Pemda DKI di kategorikan sebagai jalur hijau, Pemda DKI merasa absah untuk melakukannya. Di sisi lain, bagi sebagian masyarakat, berbagai pasal yang
termuat dalam Perda tersebut di atas sangatlah mengada-ada. Larangan untuk tinggal di bantaran sungai, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lahan
yang terjangkau dan layak bagi kaum miskin. Larangan untuk memanfaatkan air sungai ketika air bersih sedemikian mahal, dan larangan untuk bermain di
berbagai tempat umum ketika masyarakat tidak lagi memiliki ruang bermain akibat ketiakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas publik, adalah bentuk-
bentuk pengebirian dan pelanggaran hak-hak dasar warga untuk mendapatkan jaminan perlindungan dan kehidupan yang layak dari Negara. Dan ketika
Pemerintah melakukan penggusuran atas nama ketertiban umum, maka bertambah pula hak-hak dasar warga yang dilanggarnya, yakni; hak untuk mendapatkan
jaminan keamanan jiwa QS 49 : 11-1; hak mendapatkan perlindungan terhadap hak milik QS 24 : 27, QS 49 : 12; dan hak mendapatkan kehormatan diri.
Untuk masalah yang kedua, yaitu persoalan akses warga terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak, terdapat beberapa pasal di dalam Perda 11
Tahun 1988 yang mengaturnya, yakni pasal 16, pasal 18, pasal 19 dan pasal 26. Pasal 16 melarang setiap untuk melakukan kegiatan usaha di jalan, pinggir rel
kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Pasal 18 melarang setiap orang untuk melakukan usaha pembuatan, perakitan dan penjualan becak,
memasukkan becak ke wilayah DKI Jakarta dan mengusahakan kendaraan bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak termasuk
dalam pola angkutan umum yang ditetapkan. Pasal 19 melarang setiap orang atau
badan melakukan usaha pengumpulan, penyaluran pembantu rumah tangga. Sementara
pasal 26
melarang setiap
orangbadan menyelenggarakan
praktekkegiatan usaha pengobatan dengan cara tradisional dan atau pengobatan yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada hubungannya dengan bidang
kesehatan. Pada Perda Nomor 8 tahun 2007, masalah akses terhadap pekerjaan diatur
dalam pasal 4 larangan menjadi joki three in one, pasal 7 larangan bagi ”pak ogahpolisis cepek”, pasal 10 larangan menyelenggarakan parkir, pasal 25
laangan bagi pedagang kaki lima, pasal 27 larangan usaha kecil, pasal 28 larangan menjadi calo, pasal 29 larangan menarik becak, pasal 39 larangan
mengemis dan meminta sumbanganderma, pasal 40 larangan menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil dan pasal 47
larangan menjalankan praktik pengobatan tradisional. Pasal-pasal di atas adalah pasal-pasal yang selama ini digunakan oleh
Pemerintah DKI Jakarta untuk menertibkan para pedagang kaki lima, melakukan razia becak atau menutup berbagai usaha pengobatan tradisional, tanpa diikuti
oleh solusi yang memadai. Kebijakan yang selama ini amat ditentang oleh sebagian besar warga miskin Jakarta, terutama yang menjadi korban. Menurut
mereka, memberikan penghidupan dan pekerjaan yang layak adalah kewajiban negara dan adalah hak warganya untuk mendapatkan jaminan penghidupan dari
negara. Namun ironisnya, bukan hanya tidak memenuhi kewajibannya, Pemerintah DKI dengan dalih ketertiban dan keindahan kota justru melanggar hak
warganya untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak QS 24 : 27, QS 49 : 12.
Jika isi dan implementasi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 ternyata banyak mengundang perdebatan seputar konflik antara hak-hak
perseorangan dengan apa yang oleh Pemerintah DKI dianggap sebagai kepentingan umum, bagaimana Islam menanggapi persoalan ini. Sebagaimana
telah diulas dalam bab terdahulu, Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di
saat terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi dan umum maka yang didahulukan adalah kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum
tetap harus selaras dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia al dharuriyat al khamsah yang meliputi;
keselamatan jiwa hifdzu al nafs, keselamatan akal hifdzu al aql, keselamatan keturunan hifdzu al nasl, keselamatan harta benda hifdzu al maal, dan
keselamatan agama hifdzu al din. Itu berarti, apapun upaya yang dilakukan – baik oleh individu maupun lembaga tertentu - dalam rangka menegakkan
kemaslahatan dan ketertiban umum tidak dibenarkan melanggar hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan data-data yang selama ini terekam dalam
berbagai media dan laporan penelitian, pelaksanaan Perda Nomor 11 Tahun 1988 dalam rangka penertiban umum telah terbukti membahayakan setidaknya dua dari
lima jaminan dasar manusia al-dharuriyat al khamsah, yakni keselamatan jiwa hifdzu al-nafs dan keselamatan harta benda hifdzu al-maal. Dengan demikian,
dalam perspektif Islam, penghapusan ataupun revisi terhadap peraturan yang
selama ini menjadi sumber ancaman bagi jaminan dasar keselamatan manusia al- dharuriyat al-khamsah
telah menjadi suatu keharusan.
B. Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Keteriban Umum Di DKI Jakarta