Konsep Ham Dan Perkembangannya Di Indonesia

HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM

A. Konsep Ham Dan Perkembangannya Di Indonesia

Apa yang disebut hak-hak asasi manusia adalah konsep yang mempunyai riwayat yang panjang, terolah dan tersempurnakan dalam sejarah sosial politik bangsa-bangsa di dunia. Jika kini konsep dan masalah-masalah HAM telah menjadi wacana global, harus diakui bahwa menilik riwayatnya, konsep ini berkecambah dan berkembang di negara-negara barat. Secara konseptual, HAM didefinisikan secara beragam. Menurut Jan Matterson, sebagaimana dikutip Baharudin Lopa, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. 15 Menurut John Locke, seperti terdapat dalam buku Masyhur Effendi, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati, yang karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia dapat mencabutnya. 16 Sedangkan di dalam Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 disebutkan bahwa, “Hak Asasi Manusia HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. 15 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hal. 17 16 Ibid. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto HAM -lebih tepat disebut hak-hak manusia human rights 17 saja- adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak itu dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaannya. Sementara dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki siapapun manusia karena kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian suatu organisasi atau kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘melekat’ inilah, maka hak-hak ini tidak sesaatpun dapat dicabut atau dirampas. 18 Menurut Soetandjo, pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan – secara moral maupun demi hukum - kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia. Berabad-abad lamanya manusia dalam jumlah missal hidup tanpa pengakuan atas hak-haknya. Jutaan manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai hamba- hamba. Banyak pula yang harus hidup sebagai tawanan yang dapat diperjual belikan oleh para majikannya. Dalam keadaan seperti itu, berabad-abad lamanya 17 Sebelum istilah ‘human rights’ pada mulanya Barat menggunakan istilah ‘right of man’ yang menggantikan istilah ‘natural right’. Istilah ‘right of man’ ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi ‘right of woman’. Karenanya istilah itu kemudian diganti oleh Eleanor Roosevelt dengan istilah ‘human rights’ yang dipandang lebih netral dan universal. 18 Soetandjo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia : Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa ke Masa , Jakarta : ELSAM, 2005. hal. 2 manusia dalam jumlah massal harus hidup dalam kondisi yang amat tak bermartabat, tak mempunyai harta milik sebagai bekal hidup yang layak, dan bahkan tidak memiliki diri dan kepribadiannya sendiri. 19 Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa cirri pokok dari HAM, yakni; 1. HAM tidak data diberikan, dibeli maupun diwarisi. HAM merupakan bagian dari manusia secara otomatis; 2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik dan asal-usul sosial dan bangsa; 3. HAM tidak bias dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Bagir Manan membagi perkembangan pemahaman HAM di Indonesia dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode paska kemerdekaan. Pemikiran HAM pra-kemerdekaan mulai bersemai dalam organisasi-organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Syarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia dan perdebatan dalam BPUPKI. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM di dominasi oleh gagasan-gagasan tentang hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri the right of selfdetermination , hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial, hak sosial untuk mengakses alat produksi, 19 Ibid. hak mendapatkan perlakuan yang sama dan kemerdekaan, hak persamaan dimuka hukum dan hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. 20 Setelah merdeka, pada masa-masa awal kemerdekaan gagasan tentang HAM masih lebih terfokus pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik, serta hak untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM telah mendapatkan legitimasi formal dalam UUD 1945. Pemikiran tentang HAM semakin berkembang ketika demokrasi parlementer diterapkan pada 1950-1959. Dalam istilah Bagir Manan, pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang diikuti dengan kebijakan restriktif pembatasan yang ketat oleh kekuasaan terhadap hak sipil dan politik warga, HAM layu dengan seketika sampai masa kekuasaan Soekarno berakhir pada 1966 dan lahirnya Orde Baru. 21 Pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, muncul gejala di kalangan parlemen untuk kembali menyuburkan pemikirn tentang HAM. MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warga negara. Namun niat ini tidak pernah tercapai. Seiring dengan semakin kuatnya konsolidasi kekuasaan oleh Soeharto, atas nama stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, pemerintah sejak awal tahun 1970-an mulai menerapkan kebijakan yang bersifat defensive dan represif yang dicerminkan oleh produk hukum yang umumnya 20 Lebih lengkap lihat Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia , Bandung : PT. Alumni, 2001. 21 Ibid restriktif terhadap HAM. Meski demikian, dalam situasi yang restriktif, pemikiran tentang HAM justru tumbuh subur di kalangan LSM dan akademisi yang terus bergerak membentuk jejaring dan lobi-lobi internasional. 22 Upaya yang dilakukan oleh kalangan LSM dan akademisi mulai menampakkan hasil pada periode 1990-an ketika pemerintah mulai menggeser kebijakan yang defensive dan represif terhadap HAM menjadi kebijakan yang lebih akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Bentuk paling nyata sikap akomodatif pemerintah adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM berdasar Kepres Nomor 50 tahun 1993. Meski upaya penegakan HAM pada masa ini oleh banyak pihak dinilai masih setengah hati, namun hal penting yang patut dicatat menurut Manan adalah sikap akomodatif pemerintah terhadap HAM juga menggeser paradigma pemerintah terhadap HAM yang partikularistik menjadi universalistik. Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 memberi dampak yang besar pada upaya pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Era keterbukaan telah memungkinkan berbagai elemen bangsa untuk melakukan pengkajian terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Masa pemerintahan Habibie merupakan periode awal yang cukup siginifikan bagi perkembangan dan pemajuan HAM di Indonesia. Pada masa ini, TAP MPR Nomor XVIIMPR1998 tentang HAM disahkan, dan sejumlah konvensi tentang 22 Ibid HAM diratifikasi, antara lain; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU Nomor 29 Tahun 1998; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan untuk Berorganisasi dengan Kepres Nomor 83 tahun 1998; dan lain-lain. 23 Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling progresif menerbitkan berbagai peraturan perundangan dan meratifikasi konvensi tentang HAM. Dikukuhkannya Makarim Wibisono sebagai Ketua Komisi HAM PBB beberapa waktu lalu menunjukkan pengakuan dunia akan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan HAM.

B. Ham Dalam Sistem Perundangan Di Indonesia