Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum

yang tidak terdapat dalam Perda 11 Tahun 1988. Bab XI Tentang Ketentuan Pidana Tentang Ketentuan Pidana Bab XII Tentang Ketentuan Pembinaan Tentang Ketentuan Pembinaan Bab XIII Tentang Pengawasan Tentang Pengawasan Bab XIV Tentang Penyidikan Tentang Penyidikan Bab XV Tentang Ketentuan Peralihan Tentang Ketentuan Peralihan Bab XVI Tentang Ketentuan Penutup Tentang Ketentuan Penutup Tidak terjadi perubahan signifikan dari Perda 111988 ke Perda 82007 tentang ketentuan Pidana sampai ke ketentuan penutup, kecuali Perda 82007 lebih memerinci tentang ketentuan pidana seiring dengan semakin banyaknya klausul tambahan yang diatur dala perda dimaksud di atas.

C. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum

Untuk dapat menilai implementasi Perda tentang Ketertiban Umum, penulis menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai pijakan, mengingat Perda yang baru, yakni Perda 8 tahun 2007 baru diberlakukan pada awal Januari 2008. Menjadikan implementasi Perda 8 Tahun 2007 sebagai dasar penilaian dalam kajian ini tidak mungkin dilakukan dan rentan menjadikan penelitian ini bias dalm penilaian mengingat masih sangat terbatasnya waktu pelaksanaan. Berdasarkan hasil riset LBH APIK Jakarta, 48 implementasi Perda yang seharusnya diberlakukan pada semua warga Jakarta dalam pelaksanaannya hanya mengatur masyarakat miskin saja, karena faktanya semua pasal dalam Perda ini ditujukan pada rakyat miskin kota. Perda ini memuat larangan-larangan orang berada ditempat umum yang sekiranya dapat mengganggu pandangan umum dan meresahkan masyarakat tanpa melihat latar belakang keberadaan rakyat miskin kota yang tidak mempunyai akses ke tempat-tempat yang dianjurkan yang 48 Lebih lengkap lihat, LBH APIK, Kajian Terhadap Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta , 2005.. notabene mesti mengeluarkan uang ekstra. Tak heran jika Perda ini – meskipun berjudul perda ketertiban umum - namun di kalangan rakyat miskin Jakarta lebih dikenal sebagai ‘Perda Penggusuran’. Faktanya, Perda 11 tahun 1988 selama ini memang selalu dijadikan dasar justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penertiban berupa penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap properti warga yang dianggap menyalahi ketentuan yang diatur di dalam Perda ini. Sejak diundangkannya Perda ini tahun 1988, tak terhitung lagi jumlah warga miskin Jakarta yang digusur dengan dalih ketertiban umum ataupun kepentingan dinas. Tidak terhitung pula jumlah becak yang dijaring dalam razia untuk kemudian dimusnahkan, padahal itu menjadi gantungan hidup para pemiliknya. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’ yang dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin tinggi. Data yang dilansir oleh Forum Keprihatinan Akademisi FKA 49 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 saja tercatat 45 kasus penggusuran pemukiman dengan 6588 rumah dan 5 sekolah dihancurkan, 6774 kepala keluarga dan 34.514 jiwa kehilangan tampat tinggal. Penggusuran yang tak jarang disertai dengan tindakan kekerasan membuat 19 orang meninggal, 67 orang luka, 50 orang sakit, 1000 orang depresi dan 4525 orang kehilangan pekerjaan. Selain penggusuran pemukiman, pada tahun itu juga tercatat 54 kasus penggusuran terhadap pedagang kaki lima PKL. Sebanyak 2700 PKL 49 Forum Keprihatinan Akademisi beranggotakan Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr. Sayogyo, Prof. Dr.Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dan banyak tokoh akademisi dan LSM lainnya. Keprihatinan mereka akan akan penggusuran dan model penerapan Perda 11 Tahun 1988dituangkan dalam petisi berjudul “Menata Kembali Hak Warga Negara ”, 11 Nopember 2003. kehilangan tempat usaha dan barang dagangannya dengan kerugian mencapai Rp. 540 juta akibat penggusuran disertai dengan kekerasan, perampasan dan penjarahan oleh aparat. Padahal, selama berdagang, secara rutin PKL dipungut retribusi. Pada tahun ini juga dilakukan penggarukan becak secara besar-besaran. Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan setidaknya Rp. 1,24 milyar untuk menggusur becak dari bumi Jakarta. Akibatnya 6000 jiwa kehilangan pekerjaan dan 3000 becak dirampas. Pada tahun 2002, data FKA mencatat setidaknya terjadi 26 kasus penggusuran pemukiman dengan sedikitnya 4908 rumah dihancurkan, 18.732 jiwa kehilangan tempat tinggal, 15 orang terluka, 11 orang ditangkap dan ditahan. Selain itu, juga terjadi 20 kasus penggusuran terhadap pedagang kaki lima PKL, dimana sedikitnya 7770 lapak kios PKL dihancurkan. Pada tahun 2003 Hasil investigasi Forum Warga Jakarta FAKTA dan Institut Sosial Jakarta ISJ mencatat setidaknya terjadi 15 kasus penggusuran pemukiman warga. Sedikitnya 7280 keluarga kehilangan tempat tinggal. Sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan ganti rugi, dan hanya sebagian kecil saja yang mendapatkan uang kerohiman. Pada tahun 2005, dengan alasan melanggar jalur hijau sebagaimana diatur dalam Perda111988, belasan aktivis Falun Gong ditangkap saat berunjuk rasa memprotes Presiden Hu Jin Tao yang sedang berkunjung ke Jakarta. Pada tahun 2006 ratusan pedagang kaki lima di depan pasar Bendungan Hilir Jakarta Pusat yang mendapatkan giliran penertiban. Terakhir, pada awal tahun 2007, kasus penggusuran 700-an rumah di kolong tol Kalijodo Pejagalan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara yang berujung bentrok antara warga dengan Satpol PP mengakibatkan tak kurang dari 3000 warga terusir dan kehilangan tempat tinggal. 50 Kesemua aktivitas penertiban dan penggusuran tersebut di atas selalau menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum. Dengan alasan pemukiman berada di jalur hijau, bantaran kali, pinggir rel kereta api, atau lahan usaha berada di trotoar, dengan serta merta Pemda DKI Jakarta merasa berwenang untuk menghilangkan hak warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ironisnya, sebelum digusur baik pemukiman maupun pedagang kaki lima umumnya secara rutin ditarik retribusi oleh aparat pemerintah daerah. Dan setelah digusur, tidak sedikit dari lahan yang mereka tempati dibangun Mal, apartemen, dan berbagai kepentingan usaha bagi kelompok elit. Di sisi lain, banyak perumahan mewah, mal-mal dan berbagai tempat usaha menengah atas yang dibangun di lahan-lahan hijau tidak tersentuh penertiban oleh Pemda DKI Jakarta. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang seharusnya mengatur ketertiban umum seluruh warga Jakarta, dalam implementasinya hanya menjadikan warga miskin dan termarjinalkan sebagai objek dari pemberlakuan Perda. Di dalam banyak kasus, implementasi Perda 11 Tahun 1988 juga ditengarai sarat dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia warga miskin kota Jakarta. 50 Laporan Koran Tempo, 26 Januari 2007

BAB IV PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA