HAM diratifikasi, antara lain; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU Nomor 29 Tahun 1998; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan untuk Berorganisasi
dengan Kepres Nomor 83 tahun 1998; dan lain-lain.
23
Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling progresif menerbitkan berbagai peraturan
perundangan dan meratifikasi konvensi tentang HAM. Dikukuhkannya Makarim Wibisono sebagai Ketua Komisi HAM PBB beberapa waktu lalu menunjukkan
pengakuan dunia akan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan HAM.
B. Ham Dalam Sistem Perundangan Di Indonesia
Secara legal formal, dalam kurun satu dasawarsa terakhir, Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam hal legalisasi berbagai
peraturan dan perundangan yang terkait dengan penegakan HAM. Hal tersebut tidak lepas dari akibat pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 yang
dengan cepat membangkitkan kesadaran berbagai kalangan masyarakat akan pentingnya penegakan HAM melalui berbagai regulasi. Euforia reformasi dan
tekanan politik yang kuat dari berbagai elemen pro-demokrasi mencatatkan masa- masa awal era reformasi pada 1998-1999 sebagai saat paling penting dalam
perkembangan legalisasi HAM di Indonesia. Pada kurun ini dihasilkan berbagai produk perundang-undangan yang mengadopsi ataupun meratifikasi instrument
23
Suparman Marzuki Sobirin Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM, Yogyakarta : UII Press, 2002, hal 67.
HAM internasional dalam berbagai UU, TAP MPR, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden.
Beberapa produk perundangan tentang HAM yang dihasilkan pada masa ini antara lain; TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap
Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional; UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan dan
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU Nomor 26
Tahun 1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi; UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi dan yang paling penting adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dilanjutkan dengan UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM.
24
Selain di tingkat TAP MPR dan Undang-undang, regulasi tentang HAM juga telah diakomodasi dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden. Misalnya; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM; Keputusan Presiden Kepres
Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi
manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta tindak lanjutnya; Kepres Nomor 31 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar; dan
24
Ibid.
Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan.
25
Terakhir, melalui UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia meratifikasi dua kovenan penting tentang HAM. UU Nomor 11 tahun
2005 meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights
. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas, maka Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang Internasional
Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan sebelumnya. Karenanya, Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi dari ketiga
undang-undang tersebut di atas, terutama isi yang terdapat di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Komitmen yang kuat tersebut, tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang
mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut. Penegakan hukum dan pembenahan hukum yang mendukung penegakan
hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut, merupakan arti penting dari ratifikasi dua kovenan HAM tersebut. Pembenahan hukum juga diartikan sebagai
menyesuaikan atau mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur mengenai HAM, mulai dari tingkat undang-undang hingga
peraturan di bawah nya, dengan kovenan-kovenan tersebut.
26
25
Ibid, hal. 69
26
Lihat release Komisi Hukum Nasional, 17 Maret 2006, “Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum”
Ada beberapa poin penting yang secara mutatis terdapat dalam kedua kovenan tersebut dan hak-hak khusus dalam bidang sipil dan politik, serta
ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu; Pertama, kewajiban pihak negara untuk mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-
hak yang diakui dalam kovenan, memastikan pelaksanaan hak-hak itu tanpa diskriminasi apapun yang berkenaan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin,
agama, bahasa, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya; Kedua. Persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan; Ketiga, Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara,
kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini.
Keempat, Khusus di bidang sipil dan politik setiap manusia mempunyai
hak melekat untuk hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wewenang
sebagaimana bunyi pasal 6. Tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, atau perlakuan, atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat dilanjutkan dalam pasal 7. Tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh
diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib diperkuat dalam pasal 8. Tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-
wenang ditegaskan dalam pasal 10. Tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya
atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya bunyi pasal 11.
Kelima, Khusus di bidang, ekonomi, sosial, dan budaya, setiap manusia
dijamin haknya atas pekerjaan, pasal 6. Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, pasal 7. Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh,
pasal 8. Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, pasal 9. Hak atas perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluarga, ibu, dan anak, dan orang
muda, pasal 10. Hak atas standar hidup yang memadai, pasal 11. Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai,
pasal 12. Hak atas pendidikan, pasal 13 dan 14. Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, pasal 15.
27
C. Negara, Ham Dan Ketertiban Umum