Solusi Atas Masalah Isi Dan Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum Di DKI Jakarta

C. Solusi Atas Masalah Isi Dan Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum Di DKI Jakarta

Hasil kajian menunjukkan bahwa Perda Nomor 11 tahun 1988 bermasalah setidaknya pada dua ranah, yaitu ranah materi peraturan dan ranah implementasi. Pada ranah materi peraturan, isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 diduga kuat banyak bertentangan dengan isi UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang terbit belakangan. Mengingat Perda dalam hirarki system perundang-undangan kita lebih rendah status hukumnya jika dibandingkan dengan Undang-undang, maka sudah sepatutnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 ditinjau ulang untuk kemudian diselaraskan dengan isi dan semangat dari peraturan perundangan yang berada di atasnya. Bukan hanya bertentangan dengan UU 11 dan 12 tahun 2005, isi Perda 11 Tahun 1988 juga banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan umum dalam Islam yang dalam penegakannya harus tetap berpijak pada pemeliharaan maqasid al-syari’ah dan al-dharuriyat al-khamsah. Sementara pada ranah implementasi, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab terdahulu, Perda 11 Tahun 1988 ditengarai menjadi sumber legitimasi bagi aparat trantib untuk melakukan berbagai pelanggaran HAM atas nama kepentingan umum. Akan halnya Perda Nomor 8 tahun 2007, mengingat isinya yang tidak jauh berbeda –atau bahkan terindikasi lebih represif- meskipun belum diuji pelaksanaanya, namun dapat dikatakan akan memunculkan persoalan-persoalan yang tidak jauh berbeda dengan Perda 11 Tahun 1988. Sebagian kalangan masyarakat bahkan meyakini Perda ini akan menjadi lebih represif terhadap masyarakat miskin Jakarta dan lebih berpeluang membuka terjadinya pelanggaran HAM. Terhadap dua persoalan tersebut, terdapat dua pendekatan yang dapat ditempuh sebagai solusi. Pertama, solusi teknis jangka pendek. Kedua, solusi strategis jangka panjang. Solusi teknis jangka pendek dilakukan dengan melakukan pembenahan langsung pada sumber masalah, yakni pembatalan atau revisi terhadap Perda 8 Tahun 2007 agar lebih selaras dengan semangat berbagai peraturan perundangan tentang HAM. Bagaimanapun situasi social, politik, dan ekonomi Jakarta khususnya dan Indonesi umumnya telah berubah sangat jauh dari situasi social politik ketika Perda itu dibuat. Padahal peraturan harus senantiasa diletakkan dalam ruang yang kontekstual. Oleh karenanya, mempertahankan Perda dalam situasi yang telah berubah merupakan sikap konyol yang tidak perlu. Dalam hal ini, Menteri Dalam Negeri diharapkan dapat lebih arif dalam melihat dan menyikapi berbagai keberatan yang diajukan oleh kalangan masyarakat terhadap pemberlakuan Perda 8 tahun 2007 dengan jalan membatalkan atau memerintahkan revisi terhadap isi Perda agar lebih sensitif terhadap HAM. Solusi strategis jangka panjang, merupakan solusi yang harus diupayakan baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat kota, yaitu kebijakan pemerintah yang lebih pro terhadap rakyat. Bagaimanapun harus disadari bahwa masalah penegakan ketertiban umum terkait erat dengan masalah pemenuhan hak-hak social dan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat miskin yang selalu terpinggirkan. Menegakkan ketertiban umum, tanpa terlebih dahulu memenuhi hak-hak social ekonomi warga miskin kota ibarat ‘membedaki wajah bopeng’. Bedak hanya mampu menutupi sementara, namun tidak dapat menghilangkan bopeng itu sendiri. Kebijakan pemerintah daerah yang pro rakyat dan berorientasi pada pemenuhan hak-hak warga miskin kota, dipastikan akan menjamin terpeliharanya ketertiban umum secara lebih hakiki dan sutainabel. Yang penting untuk dicatat adalah ternyata Jakarta mempunyai pengalaman tentang itu. Tahun 1980, pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, Jakarta mendapatkan Aga Khan Award for Architecture AKAA atas Program Perbaikan Kampung yang dirintis dan digalakkan oleh Gubernur yang legendaris ini. Sebagaimana diketahui, di dalam memberikan penghargaan, AKAA sangat mempertimbangkan dan memberikan penekanan yang kuat pada proses pembangunan, yang menempatkan manusia bukan sebagai obyek yang digusur- gusur dan dipinggirkan dari pembangunan kota. AKAA merupakan bentuk rangsangan terhadap upaya menciptakan arsitektur dan tata kota yang sanggup memberikan vitalitas kepada permukiman- permukiman warganya, tak terkecuali pemukiman warga miskin yang terpinggirkan. Melalui Program Perbaikan Kampung, Jakarta sempat dijadikan model oleh kota-kota berbagai negara Asia dan Amerika Selatan dalam hal penataan kota yang peduli terhadap rakyat miskin. Program Perbaikan Kampung sebenarnya terkait erat dengan konsep desa kota yang dikemukakan Terry McGee 1987, yakni sebuah kawasan yang semula merupakan kawasan pertanian yang berpadu dengan permukiman, kemudian diperluas fungsinya melalui berbagai kegiatan ekonomi, terdiri dari pertanian, industri, perumahan, dan lain-lain. 57 Dengan model seperti ini Jakarta terbukti menjadi lebih tertib dan bebas dari penggusuran. Dan itu dapat dicapai ketika pemerintah memiliki kebijakan yang jelas, tegas dan berpihak pada kepentingan rakyat. 57 Kompas, 2222003, “Jakarta Pernah Menjadi Model Partisipasi Rakyat”.

BAB V PENUTUP