Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara filosofis, salah satu tujuan dari keberadaan negara adalah melindungi hak-hak warganya dan mewujudkan serta menjaga ketertiban umum. Melalui mekanisme kontraktual, penyelenggara Negara ‘diberi’ kewenangan oleh warganya untuk membentuk aparatus negara yang bertugas melindungi hak-hak warga dan menjaga ketertiban umum. Sayangnya, di banyak negara, kewenangan untuk menjaga ketertiban umum seringkali disalahgunakan justru untuk melanggar dan menindas hak-hak warga. Dengan dalih mendahulukan kepentingan negara dan menegakkan ketertiban umum, penyelenggara Negara merasa berhak dan absah untuk melakukan penggusuran, pengusiran dan pencabutan akan hak-hak warga, termasuk hak asasi manusianya. Di sini terjadi ketidakseimbangan negara di dalam meletakkan secara proporsional kewajibannya untuk melindungi hak-hak warganya dengan kewenangannya untuk mewujudkan ketertiban umum. Padahal keduanya harus diletakkan dalam posisi yang berimbang dan proporsional. Melulu mementingkan hak warga dapat memicu anarki dan instabilitas sosial. Terlalu berpihak pada penegakan ketertiban umum rentan memunculkan tirani. Itulah sebabnya negara harus memiliki regulasi yang mengatur dua hal tersebut secara adil, berimbang dan proporsional. Sejak reformasi bergulir, Indonesia merupakan negara yang tergolong sangat progresif dalam regulasi dan ratifikasi berbagai peraturan tentang HAM. Meski demikian, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau tak kunjung terselesaikan hingga kini. 1 Bahkan belakangan muncul berbagai kasus baru yang terindikasi kuat merupakan bentuk pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya, seperti penggusuran, penganiayaan dan perusakan properti milik warga oleh aparat negara. Celakanya, dalam banyak kasus penggusuran, perusakan dan penganiayaan, berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara seringkali dianggap sah karena didasarkan atas berbagai peraturan yang diduga kuat bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan umumnya terbit pada era Orde Baru. Salah satu peraturan yang sampai saat ini tidak pernah sepi dari kontroversi adalah Peraturan Daerah Perda Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perda yang dibuat pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto dan masih berlaku sampai saat ini, dinilai banyak kalangan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang telah diakomodasi dalam berbagai peraturan dan perundangan yang lebih tinggi dan berlaku sekarang ini. 2 Perda 111988 selama ini selalu dijadikan dasar justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan ‘penertiban’ berupa 1 Diantara kasus pelanggaran HAM yang menyita perhatian public adalah penculikan para aktivis pada era Orde Baru dan kasus Trisakti, kasus Semanggi I, Kasus Semanggi II dan kasus tewasnya aktivis HAM Munir. 2 Kalangan LSM yang kritis terhadap Perda ini antara lain LBH Jakarta, LBH APIK, Elsham, dll. Selain itu, sejumlah kalangan akademisi juga prihatin dengan Perda ini, diantaranya; Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr. Sayogjo, Prof. Dr. Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno dan banyak tokoh lagi. Keprihatinan mereka dituangkan dalam petisi Forum Keprihatinan Akademisi berjudul “Menata Kembali Hak Warga Negara”, 11 Nopember 2003. penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap properti warga yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Perda. Faktanya, dalam kurun enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’ yang dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin tinggi, dengan dampak dan cakupan ‘korban’ yang semakin luas. 3 Yang penting untuk dicatat adalah Pemerintah DKI Jakarta selalu menjadikan Perda Nomor 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum untuk melakukan semua aktivitas ‘penertiban’ tersebut di atas. Dengan alasan pemukiman berada di jalur hijau, pemukiman berada di bantara kali, pemukiman berada di bantaran rel kereta api, atau lahan usaha berada di taman dan trotoar, dengan serta merta Pemda DKI Jakarta merasa berwenang untuk menghilangkan hak warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak yang ironisnya telah diakui dan dijamin dalam berbagai peraturan perundangan yang lebih tinggi. Upaya untuk menghapus Perda ini bukan tidak dilakukan. Berbagai kalangan LSM aktif melakukan demonstrasi menuntut agar Perda 111988 dicabut. 4 Demikian juga telah ditempuh langkah-langkah hukum, namun hasilnya masih nihil. Terakhir, setelah gugatan citizen law suit yang dilakukan oleh gabungan Urban Poor Consortium UPC, Lembaga Bantuan Hukum LBH Jakarta dan LBH APIK di tolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta 3 Koran Tempo, 26 Januari 2007, Data detail penggusuran dan berbagai pelanggaran hak warga lihat dokumen Forum Keprihatinan Akademisi, ibid. 4 Ribuan pedagang kaki lima korban gusuran yang tergabung dalam Pedagang Kaki Lima Bersatu pada bulan Januari lalu berunjuk rasa di Balaikota DKI menuntut pencabutan Perda 111988. Lihat Warta Kota dan Indopos 17 Januari 2007. Pusat, Mereka kemudian berupaya melakukan judicial review terhadap Perda ini ke Mahkamah Agung, yang hasilnya sampai saat ini juga juga tidak menentu. 5 Perkembangan terakhir, justru menunjukkan gejala yang semakin meresahkan kalangan LSM dan warga miskin kota. Pemerintah DKI Jakarta, mulai 1 Januari 2008 resmi memberlakukan Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan penyempurnaan terhadap Perda 11 Tahun 1988. Oleh banyak kalangan Perda baru ini dianggap lebih represif dan anti rakyat miskin kota. 6 Secara faktual harus diakui bahwa persoalan penegakan ketertiban melalui Perda ini adalah masalah yang rumit. Pihak Pemerintah DKI sering berargumen, sebagai Ibu Kota dan sekaligus ‘etalase’ Negara, Jakarta dituntut untuk menghadirkan suasana yang tertib, teratur, aman, sehat, bersih dan nyaman bagi warga dan tamu-tamunya. Sehingga untuk itu, regulasi yang tepat dan penegakan hukum secara konsekwen mutlak dibutuhkan. Di sisi lain, kompleksitas persoalan yang ada di Jakarta, sejak dari himpitan ekonomi sampai keterbatasan lahan membuat banyak dari warganya tidak memiliki pilihan lain selain tinggal atau mencari nafkah di lokasi-lokasi yang menurut Perda di larang. Padahal menurut Pemda DKI, jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, Jakarta tentu akan menjadi semakin semrawut, dan bukan tidak mungkin dapat mengganggu kepentingan dan hak-hak publik yang lebih besar. 7 5 Lihat di situs www.hukumonline.com , tanggal 27 Februari 2007. 6 Lihat, www.hukumonline.com , Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tidak Didukung Kemampuan , 6 januari 2008. 7 PKL yang berjualan di trotoar dan bahu jalan raya seringkali menjadi sumber kemacetan. Tinggal di bantara rel kereta api, bukan saja membahayakan mereka yang tinggal, melainkan juga membahayakan penumpang kereta dan mempengaruhi keawetan rel kereta, dst. Secara filosofis, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggungjawab bersama antara individu, pemerintah aparatur pemerintah baik sipil maupun militer bahkan Negara. Jadi di dalam memenuhi dan menuntut hak, tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak kepentingan umum. Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti pemenuhan terhadap KAM kewajiban asasi manusia dan TAM Tanggungjawab Asasi Manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. 8 Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara hak, kewajiban dan tanggungjawab yang berlangsung secara sinergis dan berimbang. Bila ketiga unsur asasi yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan secara seimbang, dapat dipastikan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan umat manusia. Di dalam Islam, hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Tidak seorangpun manusia yang boleh dibiarkan menyisihkan 8 Mansour Fakih dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM , Yogyakarta : Insist Press, 2003 hal. 78 hak istimewa untuk dirinya sehingga terbebas dari kewajibannya. Hak dan kewajiban setiap pribadi warga Negara adalah sama. Hak seseorang terhadap yang lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain adalah hak orang yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan masalah kekuasaan negara, menurut Nurcholis Madjid, dalam masyarakat secara minimal harus ditegakkan hak-hak yang tak terpisahkan dari perikehidupan yang sentosa. Yaitu, hak-hak pribadi untuk hidup dan memperoleh jaminan keamaan atas hidupnya; hak-hak pribadi untuk tidak disiksa baik fisik mapun mental; hak-hak pribadi untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair; hak-hak pribadi untuk tidak mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. 9 Pelanggaran atas hak pribadi tersebut, menurut Nurcholis, akan merupakan pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran atas hak-hak itu juga merupakan penyelewengan paling gawat dari dasar dan falsafah kenegaraan. Dan karena hak-hak itu ada dalam konteks kekuasaan, maka usaha melindungi dan menegakkannya memerlukan sistem dan tatanan kekuasaan yang adil dan tidak memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan. Di dalam Al Qur’an ditegaskan bahwa menjalankan kekuasaan harus dengan tujuan menegakkan keadilan, tanpa perasaan suka atau tidak suka , dan meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua maupun sanak kerabat. Quran surat Al Maidah5:8, “Wahai sekalian orang yang beriman, jadilah kamu orang yang adil karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu 9 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius : Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat , Jakarta : Paramadina, cet II, 2000, hal 50 golongan membuatmu tidak adil. Tegakkanlah keadilan, itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apapun yangkamu kerjakan” . Atas dasar fakta-fakta dan pemikiran tersebut di atas, penulis merasa penting untuk mengkaji isi Perda Nomor 11 tahun 1988 yang meskipun tidak lagi berlaku namun penting untuk dijadikan pijakan analisis karena Perda yang baru belum dapat dilihat dampak implementasinya dan Perda Nomor 8 Tahun 1988 dilihat dari perspektif Islam dan HAM terkhusus hak-hak sipil, ekonomi dan sosial warga. Karena jika selama ini pemerintah daerah DKI Jakarta selalu berargumen bahwa Perda ini merupakan instrument hukum yang penting bagi penegakan ketertiban umum yang sesungguhnya di dalamnya juga terkandung hak publik dan hak asasi warga, maka fakta bahwa Perda ini juga selalu menjadi dasar justifikasi hukum bagi terjadinya serangkaian penggusuran, pengusiran dan perusakan warga oleh aparat Negara menunjukkan bahwa ada yang bermasalah dari isi Perda ini sendiri. Untuk itu, telaah terhadap isi content analysis Perda, dikaitkan dengan Islam dan berbagai produk hukum lainnya yang mengatur tentang HAM menjadi penting untuk dilakukan.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah