Telaah Terhadap Isi Perda Tentang Ketertiban Umum 1. Perda Nomor 11 Tahun 1988

Perkembangan kota yang semakin pesat berjalan seiring dengan berbagai problematika sosial yang mengikutinya. Atas dasar pemikiran tersebut, Pemerintah DKI Jakarta menganggap bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 tidak lagi mampu mengakomodasi dan merespon berbagai persoalan sosial yang berkembang, sehingga membutuhkan penyesuaian. Maka revisi terhadap Perda 11 Tahun 1988 dilakukan dan kemudian muncullah Perda Nomor 8 Tahun 2007. Namun demikian, meski tujuan dari pemberlakuan perda ini dalam rangka mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang tertib dan melindungi seluruh warga kota dan prasarana kota beserta kelengkapannya, dalam praktiknya objek dari perda ini bukanlah seluruh warga Jakarta, melainkan kaum miskin kota dan masyarakat yang termarjinalkan seperti gelandangan, pengemis, asongan, pak ogah, joki three in one, becak, PKL, WTS dan penyandang masalah kesejahteraan sosial PMKS lainnya. Dilihat dari prioritas sasarannya, perda ini sepertinya menjadikan rakyat miskin sebagai sumber terjadinya pelanggaran hukum dan menghalangi ketertiban umum kota Jakarta. B. Telaah Terhadap Isi Perda Tentang Ketertiban Umum B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988 Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang tercatat dalam Lembaran Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 72 tahun 1989 Seri C Nomor 1, tediri atas 16 Bab dan 32 Pasal. Perda ini merupakan penyempurnaan dari Perda Nomor 3 Tahun 1972 yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat kota Jakarta, terutama pada aspek ketertiban dan kebersihan. Di dalam konsideran perda tersebut disebutkan, tujuan diterbitkannya Perda ini adalah dalam rangka mewujudkan kota Jakarta yang tertib, teratur, nyaman dan tenteram, serta untuk menumbuhkan rasa disiplin diri dan berperilaku tertib setiap warga kota. 39 Namun demikian, meski tujuan diterbitkannya Perda untuk mewujudkan rasa aman, nyaman dan tenteram bagi warga, faktanya Perda ini justru oleh sebagian besar warga miskin Jakarta justru dianggap ancaman bagi keamanan, dan pengusik kenyamanan dan ketentraman mereka dalam menjalani kehidupan di Jakarta. Di dalam sub bab ini akan dipaparkan isi dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 bab demi bab yang diikuti dengan analisa terhadap pasal-pasal dari perda tersebut di atas. Bab I dari Perda 11 Tahun 1988 terdiri dari 1 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum terkait dengan definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan di dalam perda tersebut. Di dalam bab ini antara lain didefinisikan konsep; Daerah, Pemerintah Daerah, Gubernur Kepala Daerah, Ketertiban Umum, Kepentingan Dinas, Jalan, Jalur Hijau, Taman dan Badan. Dalam kaitannya dengan pembahasan kajian ini, penting untuk dikemukakan definisi Perda tentang ketertiban umum, yakni “suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib, teratur, nyaman dan tentram ”. 40 Di dalam bab ini, terdapat dua konsep terkait dengan ketertiban umum yang tidak memiliki definisi yang jelas, yakni konsep kepentingan umum dan konsep jalur hijau. Di dalam perda ini, kepentingan umum selalu dijadikan dasar untuk melarang sesuatu aktivitas atau memberikan perkecualian bagi berbagai 39 Lihat, konsideran menimbang pada Perda 11 Tahun 1988. 40 Lihat, pasal 1 Perda 11 Tahun 1988 larangan. Meski demikian Perda ini tidak mendefinisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Tafsir terhadap kepentingan umum selama ini menjadi hak mutlak pemerintah daerah, sehingga dalam praktiknya, istilah kepentingan umum justru banyak digunakan untuk menindas kelompok yang lemah dan terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan politik, untuk kepentingan segelintir elit. Seyogyanya, kepentingan umum didefinisikan secara lebih jelas dengan memasukkan kepentingan mayoritas rakyat miskin dan kelompok- kelompok marjinal perkotaan. Istilah kedua yang tidak jelas definisinya adalah jalur hijau. Definisi dari jalur hijau harus jelas dan menyebutkan kawasan apa saja yang termasuk dalam jalur hijau serta mempertimbangkan aksesibilitas rakyat miskin terhadap pembangunan kota. Bab II tentang Tertib Jalan dan Angkutan Jalan Raya. Bab ini terdiri atas 6 pasal pasal 2-7. Di dalam bab ini antara lain diatur kewajiban pengguna jalan baik pejalan kaki maupun angkutan umum untuk mematuhi ketentuan penggunaan jalan pasal 2 dan larangan bagi pengguna jalan yang dapat mengganggu ketertiban penggunaan jalan raya pasal 3 sampai 6. Di dalam bab ini juga ditegaskan larangan bagi siapapun untuk bertempat tinggal atau tidur di jalan, di atas atau di bawah jembatan dan jembatan penyeberangan, kecuali untuk kepentingan dinas pasal 7. Pengaturan tertib di jalan raya ini menjadi kurang relevan diterapkan karena dalam kenyataannya kondisi tertib di jalan telah berkembang di luar kendali dari pihak aparat sendiri. Pembangunan jalan tidak lagi mendukung orang untuk tertib di jalan, seperti tidak terawatnyaberfungsinya rambu lalu lintas, hilangnya pembatas ruas jalan, terbatasnya halte pemberhentian bis, beralih fungsinya trotoar, halte dan ruas jalan yang hal tersebut di diamkan oleh aparat, bahkan dijadikan sumber pendapatan restribusi dan membuka peluang adanya praktek pungli. Terkait dengan pasal 7, konsekuensi dari Pemda terhadap pelaksanaan pasal ini adalah Pemda harus menjamin tersedianya tempat alternatif perumahan dan lahan usaha, sarana prasarana bagi korban penggusuran berikut kompensasinya. Dalam pasal ini, Pemda DKI tidak memberikan alternatif tempat dan tidak mengatur sarana dan prasarana bagi korban penggusuran, juga kompensasi bagi korban penggusuran. Kepentingan Dinas selalu dijadikan alasan, sehingga memungkinkan terjadinya praktek Pungli jika ada masyarakat yang terpaksa melakukan seperti apa yang disebutkan dalam pasal 7. Bab III mengatur tentang Tertib jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Yang dimaksud dengan jalur hijau adalah setiap jalur yang terbuka sesuai dengan rencana kota, sedangkan taman adalah jalur hijau yang dipergunakan dan diolah untuk pertamanan. Di dalam bab yang hanya terdiri dari 1 pasal ini antara lain ditegaskan larangan warga untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi umum. Selain itu di dalam bab ini juga dicantumkan larangan setiap warga untuk bertempat tinggal dan merusak jalur hijau dan taman-taman pasal 8. Berdasarkan pasal-pasal di dalam bab ini, Pemda DKI sudah membatasi akses rakyat untuk bisa menikmati taman dan jalur hijau karena itu semua merupakan kawasan terlarang bagi masyarakat umum, bahkan untuk memasukinyapun tidak diperbolehkan. Jadi Pemda DKI seperti membuat ‘taman dalam akuarium’, yang hanya bisa dipandangi saja oleh masyarakat. Jika benar- benar Pemda DKI ingin melaksanakan Perda ini, sebelum pemberlakuan, sarana dan prasarana struktur maupun infrastruktur dari Pemda sendiri harus sudah dibentuk dan dipersiapkan. Karena jika Perda ini dilaksanakan dengan sepenuhnya, justru akan menyebabkan konflik horizontal antar masyarakat sendiri. Bab IV mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran Kolam dan Lepas Pantai. Terdiri atas lima pasal pasal 9-13. Di dalam bab ini antara lain diatur larangan bagi setiap orang untuk bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di pinggirkali dan saluran pasal 9. Bukan hanya dilarang untuk tinggal di bantaran sungai, setiap warga juga dilarang untuk mandi, membersihkan angota badan, mencuci pakaian, bahan makanan, binatang, kendaraan atau benda-benda di sungai, saluran dan kolam-kolam serta memanfaatkannya untuk kepentingan usaha. 41 Dalam bab ini, Pemda DKI seperti lepas tangan dengan melarang orang bertempat tinggal di bantaran sungai dan sejenisnya. Padahal di Jakarta, rakyat kecil sudah mengalami marginalisasi diberbagai bidang termasuk pemukiman akibat dikalahkan oleh kepentingan pembangunan yang mengutamakan pembangunan fisik kota dan modernisasi. Rakyat kecil sebenarnya terpaksa tinggal di bantaran sungai karena memang kemampuan mereka hanya sampai disitu saja. Dengan pasal-pasal ini mereka semakin tersisih dari kota dan tidak tahu harus dimana lagi bertempat tinggal karena Pemda DKI tidak memberikan 41 Lebih lengkap lihat pasal 10 Perda 11 tahun 1988 solusi misalnya dengan pembangunan pemukiman sederhana, atau dengan penataan pemukiman. Kebijakan pembangunan pemukiman rakyat yang kemudian justru dibelokkan oleh pengusaha untuk membangun perumahan mewah juga menjadi penyebab mengapa rakyat miskin umumnya berada di pinggiran dan membangun rumah seadanya di lahan-lahan kosong yang masih ada karena harga rumah sudah tidak terjangkau lagi oleh mereka sebagai akibat dari orientasi pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi. Bab ini juga mengatur penggunaan air, tetapi Pemda DKI Jakarta justru belum menyediakan pelayanan umum menyangkut penggunaan air seperti bak mandi umum ataupun pompa air umum MCK umum. Sehingga rakyat kecil yang aksesnya terbatas untuk mendapatkan air bersih terpaksa menggunakan sumber air yang mudah didapat meskipun itu tidak layak seperti air dari sungai ataupun menampung air hujan. Bab V tentang Tertib Lingkungan terdiri atas 2 pasal pasal 14 dan pasal 15. Pasal 14 mengatur larangan setiap orang untuk menangkap, memburu atau membunuh binatang tertentu yang jenisnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan pasal 15 menegaskan larangan bagi setiap warga untuk bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, dipinggir rel kereta api, pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum. Pasal 15 yang melarang orang bermain di tempat-tempat umum ini mengingkari realita yang terjadi di Jakarta bahwa lahan untuk bermain dan refreshing yang terbuka yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak tersedia lagi di Jakarta. Rakyat kecil kembali terpinggirkan dalam hal bermain dan refreshing di kota karena semuanya harus diperoleh dengan uang yang tidak sedikit. Pemda seharusnya tidak bisa melarang sebelum dipenuhinya hak-hak rakyat dengan menyediakan ruang untuk bermain dan refreshing khususnya bagi rakyat yang tidak mampu. Bab VI tentang Tertib Usaha Tertentu terdiri atas 4 pasal pasal 16-19. Di dalam bab inilah larangan bagi pedagang kaki lima di jalur hijau dilarang. Pada pasal 16 disebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan benda-benda dengan maksud melakukan suatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum kecuali atas seizin Gubernur. Setiap orang atau badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau melakukan usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali ditempat yang telah ditetapkan oleh Gubernur ”. Di dalam bab ini pula, larangan tentang becak yang sangat kontroversial itu diatur. Di dalam pasal 18 disebutkan, “Setiap orang atau badan di larang melakukan usaha pembuatan, perakitan, dan penjualan becak di wilayah DKI Jakarta, memasukkan becak ke DKI Jakarta, dan mengusahakan kendaraan bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan ”. Pasal-pasal di dalam bab inilah yang dalam praktiknya sering dijadikan alasan oleh Pemda DKI untuk menggusur usaha kecil yang dilakukan oleh rakyat miskin untuk menyambung hidupnya. Semua usaha rakyat kecil seperti asongan, pedagang kaki lima, pengecer koran, penyemir sepatu dan lainnya bisa terjaring dengan pasal ini. Padahal Pemda seyogyanya dilarangtidak boleh menggusur perekonomian rakyat, sebaliknya wajib melindungi serta mengusahakan hak rakyat atas lahannya yang sudah dibisniskan selama ini. Pelarangan usaha transportasi becak dan sejenisnya juga sangat patut dipertanyakan, karena justru dalam usaha mengurangi dan mengantisipasi pencemaran lingkungan, transportasi semacam itu adalah yang ramah terhadap lingkungan. Tinggal pengaturan dan pembagian wilayah operasinya saja yang perlu diatur lebih lanjut. Jadi dengan mengatur wilayah operasi transportasi yang ramah lingkungan itu, Pemda DKI Jakarta sudah membantu usaha perekonomian rakyat kecil. Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan. Di dalam bab yang hanya terdiri dari 1 pasal ini pasal 20 larangan untuk mendirikan bangunan di pinggiran jalan atau bantaran sungai dan di pinggiran rel kereta api ditegaskan. Di dalam pasal 20 point 2 disebutkan, “Setiap orang atau badan dilarang mendirikan bangunan pada daerah milik jalan danatau saluransungai, kecuali untuk kepentingan dinas ”. Sedangkan di point 3 disebutkan, “Setiap orang atau badan dilarang mendirikan bangunan di pinggir rel kereta api pada jarak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ”. Pasal di dalam bab ini yang selama ini dijadikan dasar oleh aparat untuk menggusur pemukiman warga di bantaran kali dan rel kereta api. Ini merupakan pasal yang semakin meminggirkan rakyat kecil, dimana rakyat yang sudah tidak mampu membeli tanah dan mendirikan bangunan di kota karena harga yang tak terjangkau dan terkena penggusuran, kini harus terpinggirkan dan terusir dari daerah yang selama ini masih bisa dijangkau oleh mereka seperti di pinggiran kota, bantaran sungai, pinggiran rel dan lainnya. Bab VIII tentang Tertib Pemilik, Penghuni Bangunan. Di dalam bab ini diatur kewajiban bagi setiap pemilik dan penghuni bangunan untuk memelihara pagar pekarangan, memelihara dan mencegah perusakan bahu jalan atau trotoar dan memberi penerangan lampu di pekarangan untuk menerangi jalan pasal 21 point 1. Selain itu, di dalam bab ini juga diatur larangan bagi setiap orang untuk memotong dan menebang pohon tanpa seizin Gubernur pasal 21 point 2. Bab IX tentang Tertib Sosial, terdiri dari 4 pasal pasal 22-25. Pasal-pasal di dalam bab ini lebih dikenal sebagai pasal anti-prostitusi. Di dalam pasal 24 disebutkan, setiap orang dilarang bertingkah laku asusila di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Sementara di dalam pasal 25 lebih ditegaskan lagi larangan bagi setiap orang atau badan menyediakan fasilitas prostitusi. Sebenarnya bab ini tidak hanya mengatur tentang prostitusi, melainkan juga larangan bagi mereka yang berpenyakit yang mengganggu pemandangan umum untuk berada di tempat-tempat umum pasal 23, suatu aturan yang oleh banyak kalangan dianggap sangat diskrminatif bagi warga yang justru membutuhkan pertolongan. Bab ini berisi pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Namun jika dicermati isinya, segera nampak bahwa yang diatur hanyalah masyarakat miskin seperti orang cacat, orang miskin, anak jalanan, perempuan dalam prostitusi dan semacamnya. Pelarangan tampil ke muka umum bagi orang yang mengidap penyakit yang mengganggu pandangan umum dan meresahkan masyarakat sangat tidak jelas maksudnya, dan merupakan diskriminasi bagi orang-orang yang menderita penyakit yang masuk kategori tersebut di atas. Definisi dan Kriteria dari penyakit yang mengganggu pandangan dan meresahkan masyarakat tidak jelas. Pemda DKI Jakarta secara tidak langsung telah menutup dan melanggar hak aksesibilitas atas kota bagi penderita cacat dalan arti luas. Padahal sebagai warga negara mereka mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam pembangunan dan aksesibilitas kota. Pasal 24 dan 25 sering dijadikan alat untuk ‘menertibkan’ --sering dengan penggunaan kekerasan-- para perempuan yang terlibat dalam prostitusi. Dengan demikian pasal ini telah membuat kelompok perempuan tertentu rentan terhadap kekerasan. Mereka dipandang secara hitam putih dari sudut moralitas saja dan bahkan dikategorikan sebagai penyakit sosial yang harus dilenyapkan. Bab X tentang Tertib Kesehatan menegaskan larangan bagi setiap orang atau badan untuk menyelenggarakan praktekkegiatan usaha pengobatan dengan cara tradisional dan atau pengobatan yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan tanpa izin tertulis dari Gubernur DKI Jakarta. Bab yang terdiri dari satu pasal yakni pasal 26 ini melarang usaha atau praktek pengobatan tradisional atau alternatif selain kedokteran. Tapi dalam kondisi perekonomian yang buruk dimana subsidi kesehatan belum dapat menjangkau keseluruhan warga miskin kota dan pengobatan dengan kedokteran sangat mahal biayanya, maka pengobatan tradisional dan alternatif lainnya merupakan pilihan terakhir. Apalagi sejarah pengobatan Indonesia adalah merupakan pengobatan tradisional. Yang lebih penting adalah pengelolaan dan pembinaan terhadap masyarakat dan pelaku pengobatan alternatif ini agar mengutamakan mutu dan keselamatan pasien, bukannya langsung melarangnya. Bab XI sampai dengan Bab XVI mengatur tentang Ketentuan Pidana Bab XI, Pembinaan Bab XII, Pengawasan Bab XIII, Penyidikan Bab XIV, Ketentuan Peralihan Bab XV dan Ketentuan Penutup Bab XVI. B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007 Terhitung mulai bulan Januari 2008, Perda Nomor 8 Tahun 2007 resmi diberlakukan. Meski menuai protes banyak kalangan, Pemprov DKI Jakarta tetap berkukuh untuk memberlakukan peraturan yang merupakan revisi atas Perda Nomor 11 Tahun 1988. 42 Menurut keterangan Kepala Dinas Ketentraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat DKI Jakarta, implementasi Perda 82007 akan dilakukan secara bertahap dalam periode 3 bulanan. Pada Bulan Januari-Maret adalah masa sosialisasi. Bulan April-Juni sosialisasi disertai dengan tindakan persuasi. Mulai bulan Juli penerapan secara penuh Perda akan dilakukan. 43 Dari segi isi, secara umum Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan Perda sebelumnya, kecuali terjadi penambahan berbagai detail peraturan di sana-sini. Hal tersebut tercermin dari jumlah pasal pada Perda 82007 yang mencapai 67 pasal, bandingkan dengan Perda 11 Tahun 1988 yang hanya 34 Pasal. Padahal jumlah Bab dalam kedua Perda ini sama yakni 16 bab. Terdapat 42 Pada konsideran menimbang, huruf c Perda 82007 disebutkan bahwa, “Peraturan daerah Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat penyelenggaraan pemerintah daerah serta perubahan dan perkembangan tata nilai kehidupan bermasyarakat warga kota Jakarta” . 43 Kompas, Perda Ketertiban Diberlakukan Januari 2008 Meski Kontroversial, 26 November 2008 dua bab baru dalam Perda 82007 yang tidak tercantum dalam Perda 111988, yakni bab yang mengatur tentang Tertib Tempat Hiburan dan Keramaian bab X dan bab tentang Tertib Peran Serta Masyarakat bab XI. Meski demikian, penambahan bab baru tidak menambah jumlah keseluruhan bab karena beberapa bab pada Perda 111988 dipadatkan hanya menjadi satu bab saja pada Perda 82007. Misalnya, bab tentang Tertib Bangunan, Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan yang pada Perda 111988 dipisah dalam dua bab bab VII dan bab VIII, pada Perda 82007 disatukan hanya dalam satu bab saja, yakni bab tentang Tertib Bangunan bab VII. Demikian juga bab tentang Pembinaan dan Pengawasan yang pada Perda 111988 dipisah menjadi dua bab bab XII dan bab XIII, pada Perda 82007 dijadikan satu bab saja bab XII. Untuk lebih detail mengetahui isi Perda 82007, berikut akan ditelaah bab perbab dari Perda dimaksud di atas. Pada beberapa hal akan diperbandingkan antara Perda 82007 dengan Perda 111988 untuk mengetahui komponen-komponen perubahan ataupun penambahan. Bab I Perda 82007 hanya terdiri atas 1 pasal yang mengatur tentang Ketentuan Umum. Jika dibandingkan dengan Perda 111988 yang hanya mendefinisikan 9 konsep, maka Perda Tibum yang baru mendefinisikan 20 konsep. Beberapa konsep baru yang dijelaskan dalam Perda ini adalah; DPRD, ketentraman masyarakat, kendaraan umum, tempat umum, pedagang kaki lima, parkir, hiburan, ternak potong, pencemaran dan keadaan darurat. Penting untuk dikritisi adalah definisi tentang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dihubungkan dengan sudut pandang penilaian terhadap konsep tersebut. Penilaian tentang keadaan tertib, teratur, tenteram dan nyaman seyogyanya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan juga oleh masyarakat. Artinya, baik pemerintah maupun masyarakat mempunyai tanggungjawab dan hak yang sama untuk merumuskan pemahaman tentang kondisi tertib dan tenteram. Akan menjadi persoalan jika tidak ada pemahaman yang sama antara masyarakat dan pemerintah, atau pemahaman tentang tertib dan tenteram hanya didominasi oleh pemerintah. Karena yang akan terjadi adalah benturan yang tak kunjung habisnya. Bab II mengatur tentang Tertib Jalan, Angkutan Jalan dan Angkutan Sungai, terdiri atas 10 pasal. Bandingkan dengan bab II Perda 111988 yang hanya terdiri atas 6 pasal. Dari segi judul bab, terdapat penambahan aturan tentang angkutan sungai, meskipun pada isinya hanya terdapat satu ayat saja yang secara eksplisit mengatur tentang angkutan sungai, yakni pada pasal 2 ayat 8. 44 Beberapa hal baru yang diatur dalam bab II Perda ini adalah larangan menggunakan atau menawarkan diri menjadi joki three in one pasal 4, larangan bagi pengatur lalu lintas ilegal di persimpangan jalan, lebih dikenal dengan sebutan pak ogah atau polisi cepek pasal 7, larangan memarkir kendaraan atau menyelenggarakan parkir tanpa izin pasal 10 dan 1. Terkait dengan masalah joki three ini one, penggunaan joki di kawasan pengendalian lalu lintas pada waktu-waktu tertentu membuktikan bahwa pengendalian lalu lintas dengan cara ini kurang mencapai tujuan. Semestinya 44 Pasal 2 ayat 8, ”Setiap orang atau badan dilarang membuat rakit, keramba, dan angkutan penyeberangan lainnya di sepanjang jalur kendaraan umum sungaiwater way ”. Pemprov DKI mengkaji hal ini dan menerapkan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif. Proporsi kendaraan pribadi yang mencapai lebih dari 89 perlu dikendalikan dengan cara-cara yang lebih menjawab masalah. Misalnya, meninggikan pajak kendaraan pribadi dan memperbaiki kualitas dan kuantitas sarana angkutan umum. Atau pengendalian dilakukan di semua kawasan, bukan hanya di kawasan-kawasan tertentu. Larangan dan ancaman pidana tidak menjamin efektivitas aturan bila sistemnya masih membuka peluang korupsi bagi aparat penegak hukum. Aturan hukum dalam sistem seperti ini hanya akan membuat hukum semakin tidak berwibawa. Menyangkut pasal 7 yang terkesan kuat mengkriminalkan kerja “polisi cepek” atau “pak ogah”, larangan ini melupakan akar masalah munculnya pak ogah adalah kesemrawutan dan kemacetan. Tanpa menghilangkan kesemrawutan dan kemacetan, orang-orang yang berperan sebagai pak ogah akan selalu muncul karena masyarakat sendiri juga terbantu oleh kehadiran mereka Pada Bab III, mengatur tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Hanya terdiri dari satu pasal, sama seperti dengan Perda Tibum sebelumnya. Secara isi, tidak ada perubahan yang signifikan. Yang penting untuk dikritisi dari bab ini adalah atas nama kepentingan dinas, pasal-pasal di dalam bab ini membuka peluang bagi pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penyelewengan dalam bentuk penyalahgunaan atau pengalihan fungsi jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, seperti yang telah terjadi selama ini. Padahal dengan kondisi Jakarta yang ruang terbukanya hanya 9 dari yang semestinya 30 untuk kota yang sehat, alih fungsi jalur hijau dan taman semestinya dilarang dengan alasan apapun. Bab IV terdiri dri 4 pasal mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran, Kolam dan Lepas pantai. Dibandingkan dengan Perda sebelumnya pada bab ini berkurang 1 pasal, meski tidak merubah isinya secara signifikan. Pasal 13 dan 14 ayat 3 45 merupakan pasal yang paling banyak disorot oleh masyarakat. Catatan kritis Jakarta Center for Street Children JCSC menyatakan bahwa, di berbagai kota di dunia, penataan kawasan sungai, setu, waduk dan danau dilakukan tidak dengan menggusur warga yang ada, tetapi dengan melibatkan mereka sebagai subyek atau pelaku utama yang turut bertanggung jawab dalam melakukan penataan dan menjaga kebersihan dan keberlangsungan layanan alam dari sungai, waduk, setu dan danau. Dalam hal ini semestinya pemerintah bertindak sebaai fasilitator pemberdayaan warga agar warga dapat menjalankan perannya sebagai pelaku utama penataan dan penjaga kebersihan serta keberlangsungan layanan alam di lingkungan sungai, waduk, setu dan danau. Tindakan pengusiran atau penggusuran selama ini terbukti tidak menyelesaikan masalah dan hanya memindahkan masalah di tempat lain. 46 Bab V mengatur tentang Tertib Lingkungan, terdiri dari 7 pasal. Lebih banyak 5 pasal dibanding Perda sebelumnya yang hanya 2 pasal. Beberapa hal 45 Pasal 13, ”Kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang : 1 membangun tempat mandi, cuci, kakus, huniantempat tinggal atau tempat usaha di atas saluran sungai dan bantaran sungai serta di dalam kawasan setu, waduk dan danau; 2 memasangmenempatkan kabel atau pipa di bawah atau melintai saluran sungai serta d dalam kawasan situ, waduk dan danau ”, pasal 14 ayat 3, ”setiap orang dilarang memanfaatkan air sungai dan danau untk kepentingan usaha kecuali atas izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk ”. 46 JCSC, Catatan Kritis Terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007, 8 Oktober 2007. yang ditambahkan pada bab V dalam Perda Tibum yang baru antara lain; larangan merusak hutan mangrove pasal 18, larangan membuat, menyimpan dan menjual petasan pasal 19, melakukan aksi vandalisme dan mengotori lingkungan pasal 21 pengaturan air minum dan air permukaan tanah pasal 22 dan pasal 23. Perubahan terjadi pada pasal 15 Perda 111988 yang menyatakan larangan bermain di bawah jalan layang, jalan tol, pinggiran rel kereta api, jalur hijau, tamn dan tempat umum, menjadi larangan untuk membangun lihat pasal 19. Bab VI mengatur tentang Tertib Tempat dan Usaha Tertentu, terdiri dari 12 pasal. Jauh lebih banyak ketimbang Bab VI Perda sebelumnya yang hanya mencantumkan 4 pasal saja. Sejauh pengamatan peneliti, pasal-pasal pada bab VI ini yang paling banyak memicu protes dan menimbulkan kontroversi di kalangan warga masyarakat. Beberapa pasal yang sangat kontroversial tersebut antara lain; pasal 25 yang bukan hanya melarang pedagang kaki lima untuk berjualan melainkan juga mengancam para pembelinya. Bukan hanya mengancam para pedagang kaki lima dan pembelinya, bab ini juga mengancam para pedagang kecil dan pencari derma yang banyak beroperasi di jalan raya dan tempat-tempat umum pasal 26. Juga menegaskan kembali larangan pengoperasian becak dan kendaraan tak bermotor lainnya ojek sepeda seperti di kota serta menancam para penggunanya pasal 29. Beberapa catatan kritis yang diberikan oleh kalangan LSM terhadap pasal- pasal ini antara lain; 47 Pertama, perda ini tidak mengatur ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal 25 ayat 1. Jadi kalau gubernur tidak menjalankan 47 Lihat, JCSC, op.cit. kewajibannya menetapkan tempat usaha untuk pedagang kaki lima, gubernur tidak dikenai ancaman pidana. Kedua, berdasarkan pasal 25 ayat 1 bisa dilihat bahwa ruang untuk PKL adalah “ruang-ruang sisa”, di mana ada atau tidaknya ruang tersebut sangat bergantung pada “selera” gubernur dan tidak didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan warga. Tidak ada mekanisme partisipasi publik dalam menentukan lokasi usaha untuk PKL. Ketiga, sikap diskriminatif Pemprov DKI terhadap kelompok miskin dan sektor informal terlihat dari alokasi ruang usaha bagi usaha kecil menengah, termasuk PKL. Berbeda dengan alokasi ruang komersial untuk usaha besar macam pusat perbelanjaanmall, pemberian tempat untuk usaha kecil menengah tidak dieksplisitkan dalam rencana tata ruang, tetapi lebih didasarkan pada “belas kasih” gubernur. Keempat, alokasi ruang usaha untuk usaha kecil menengah, termasuk PKL tidak pernah transparan dan terbuka sehingga dapat diketahui lokasi-lokasi mana saja yang bisa diakses oleh para PKL. Tiadanya transparansi ini membuka peluang terjadinya KKN. Kelima, mayoritas warga Jakarta yang berdaya beli lemah, di manapun mereka berada, termasuk yang bekerja di sektor formal sekalipun, pada kenyataannya bergantung pada keberadaan sektor informal. Larangan terhadap setiap orang untuk membeli barang dari PKL akan menyengsarakan warga yang hanya mampu membeli barang dari PKL, termasuk dalam memenuhi kebutuhan dasarnya untuk makan. Keenam, pemerintah DKI Jakarta benar-benar menutup mata terhadap realitas bahwa menghapus sektor informal dari Jakarta tidak pernah berhasil. Pemprov DKI juga menutup mata terhadap sumbangan sektor informal bagi pengembangan kota. Kota-kota besar di dunia, khususnya di Asia, telah belajar banyak dari kegagalan mereka untuk menghapus informalitas dengan kebijakan yang lebih partisipatif, yaitu penataan, baik lokasi di tempat-tempat tertentu, waktu berdagang maupun integrasinya dengan sektor formal. Bandingkan dengan pengalaman Bangkok dan Singapura, yang memilih kebijakan menata dan bukan menggusur sektor informal macam PKL. Baik Singapura maupun Bangkok mampu mewujudkan kota yang bersih sekaligus menjadikan PKL sebagai daya tarik industri pariwisata mereka. Sementara Jakarta cenderung melihat sektor informal macam PKL sebagai musuh kota. Toh dengan anggaran milyaran rupiah Jakarta tetap tak mampu mengusir PKL. Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan, terdiri dari 3 pasal. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bab VII pada Perda 82007 menggabungkan dua bab tentang bangunan dan pemilik bangunan pada Perda 111988. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam bab ini kecuali adanya penambahan pasal khusus yang mengatur larangan untuk membangun menaratower komunikasi, dan keharusan pegelolanya melakukan perawatan pasal 37. Bab VIII mengatur tentang Tertib Sosial, terdiri atas 8 pasal, atau lebih banyak 4 pasal jika dibandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya mencantumkan 4 pasal. Beberapa pasal dalam bab ini juga menjadi sumber kontroversi terus berlangsung sampai saat ini. Pada bab ini misalnya ditegaskan larangan bagi individu maupun badan untuk meminta bantuan dan sumbangan di jalan, pemukiman dan tempat-tempat umum pasal 39, larangan untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil ataupun membeli dan memberi kepada kelompok masyarakat tersebut di atas pasal 40, larangan bagi PSK untuk beroperasi di tempat umum pasal 42. Beberapa catatan yang dapat diberikan untuk pasal-pasal ini adalah Pertama, pemprov memiliki asumsi bahwa ada mafia yang mengorganisir kaum miskin yang dipekerjakan sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Pasal ini juga didasarkan pada stigma bahwa para pengemis itu adalah orang-orang yang malas dan tidak mau bekerja. Pemda DKI menutup mata pada realitas bahwa mereka menjadi pengemis karena desakan kebutuhan hidup dan minimnya peluang kerja. Kedua, dengan aturan ini Pemprov DKI benar-benar hendak menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih dari orang miskin. Karena seluruh jenis kegiatan dan pekerjaan yang masih mungkin dilakukan kaum miskin untuk dapat bertahan hidup seperti pedagang asongan, pengamen dan pengelap mobil dikriminalkan dan dikenai ancaman pidana. Menjadi pengemis diancam pidana, tetapi bekerja secara halal dengan kekuatan dan modal sendiri pun juga dikriminalkan. Bukan hanya itu. Warga yang membeli barang dari mereka atau sekedar memberi sedikit uang recehan pun dikenakan ancaman pidana. Ketiga, Perda ini mengajak seluruh warga masyarakat untuk bersama-sama menghukum orang miskin, sebab dengan Perda Tibum ini orang miskin di wilayah DKI ini telah ditetapkan sebagai makhluk ilegal yang mengancam kehidupan kota, sehingga membeli barang dari mereka atau sekedar bersimpati pada mereka dengan sedikit uang recehan dianggap sebagai tindakan ilegal dan bersekutu dengan musuh kota dan karenanya pantas dikenakan ancaman pidana.Yang mengherankan adalah premanisme tidak disentuh dalam Perda ini. Barangkali di wilayah Jakarta status dan peran preman lebih baik dari PKL, pedagang asongan, pengelap mobil, tukang ojek, tukang becak, apalagi pemulung dan pengemis. Sebab dalam menggusur orang miskin, Pemprov DKI selama ini sering menggunakan preman. Bab IX mengatur tentang Tertib Kesehatan yang terdiri hanya atas 1 pasal. Tidak ada perubahan pada bab ini dari Perda sebelumnya. Seterusnya pada bab X sampai dengan bab XVI tidak terlalu banyak terjadi perubahan yang mendasar kecuali menyangkut 2 hal saja. Pertama, ditambahkannya aturan yang mengatur Tertib Hiburan, Keramaian dan Tertib Peran Serta Masyarakat. Kedua, diaturnya Penyidikan dan Ketentuan Pidana secara lebih rinci. Perda Tibum yang baru mencantumkan 4 pasal dan 12 ayat untuk mengatur ketentuan pidana. Bandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya mencantumkan 1 pasal dan 3 ayat saja. Dari segi isi, ketentuan pidana dari Perda Tibum yang baru juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan diragukan dapat dijalankan dengan baik. Pada aspek Penyidikan terdapat beberapa hal yang patut untuk diperhatikan, yakni; Pertama, pada pasal 60 ayat 2 butir i memberi peluang pada aparat Pemprov DKI untuk melakukan tindakan sewenang-wenang karena aparat Pemprov DKI mendapat wewenang untuk melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus penggusuran dan pengusiran kaum miskin, selama ini aparat Pemprov DKI banyak melakukan tindakan kekerasan dan juga pembakaran tanpa mendapatkan sanksi. Karenanya tindakan kekerasan oleh aparat Pemprov dianggap sebagai tindakan yang sah dan bukan pelanggaran. Kedua, Perda ini tidak berbicara tentang pelanggaran dalam hal penyidikan, khususnya pelanggaran terhadap pasal 60 ayat 3 tidak ada ketentuan tentang sanksi pidana bagi PPNS yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini adalah melakukan tindakan penangkapan danatau penahanan. Ketiga, tidak adanya ketentuan pidana bagi pelanggaran yang dilakukan aparatpejabat Pemprov DKI menunjukkan bahwa Perda ini mempunyai peluang besar untuk gagal karena Perda ini membuka peluang bagi Pemprov DKI untuk melanggar ketertiban tanpa ancaman sanksi pidana. Kalau aparat penegak, pembina dan pengendali ketertiban sendiri sudah tidak tertib, tidak masuk akal kalau kemudian Pemprov DKI menuntut warganya untuk tertib. Kajian terhadap isi Perda Tentang Ketertiban Umum yang dilakukan Komnas HAM menyimpulkan bahwa sejumlah pasal di dalam perda ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh negara Republik Indonesia dan juga kalangan internasional. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh definisi ketertiban umum yang tercantum dalam Perda tidak secara eksplisit memasukkan penghormatan terhadap HAM sebagai bagian dari definisi ketertiban umum danatau penghormatan HAM bukan merupakan bagian penting dalam definisi ketertiban umum dalam Perda. Menurut kajian Komnas HAM, isi perda yang bermasalah adalah sebagai berikut; 1 Pasal 2 ayat 1, pasal 2 ayat 2 dan pasal 33 bermasalah karena sulit untuk dilaksanakan; 2 Pasal 47 ayat 1 a dan b dan pasal 14 ayat 2, pasal 47 ayat 1c dan pasal 46, bermasalah karena perumusan yang tidak jelas terhada berbagai konsep, seperti praktik pengobatan tradisional dan kebatinan, dan lain-lain; 3 pasal 12 e, f dan h kecuali membuang permen karet, pasal 25 ayat 3, pasal 29 ayat 3 seharusnya tidak ada kriminalisasi; 4 pasal 42 a, pasal 49 dan pasal 51 sudah diatur dalam KUHP dan undang-undang mengenai unjuk rasa. Pasal dalam Perda Tibum juga merupakan kemunduran karena mengatur perijinan yang sudah menjadi wilayah kewenangan aparat kepolisian. B.3. Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa secara substansi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara isi Perda 11 Tahun 1988 dengan isi Perda 8 Tahun 2007, kecuali berbagai penambahan dan perincian aturan pada Perda 8 Tahun 2007 yang pada mulanya tidak diatur secara detail pada Perda 11 Tahun 1988. Untuk memudahkan memahami aspek apa saja yang ditambahkan pada Perda 8 Tahun 2007 dari Perda sebelumnya, penulis menuangkannya dalam matrik berikut : Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda Nomor 11 Tahun 2007 Aspek Perda 111988 Perda 82007 Keterangan Umum Terdiri dari 16 bab dan 34 pasal Terdiri dari 16 bab dan 67 pasal Terdapat dua bab baru dalam Perda 82007, yakni bab tentang Tertib Tempat Hiburan dan Keramaian bab X dan bab tentang Tertib Peran Serta masyarakat. Penambahan dua bab ini tidak mempegaruhi jumlah keserluruhan bab karena pemadatan isi pada Perda 82007, yakni bab tentang Tertib Bangunan, Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan yang pada Perda 111988 dipisah dalam dua bab bab VII dan bab VIII, pada Perda 82007 disatukan hanya dalam satu bab saja, yakni bab tentang Tertib Bangunan bab VII. Demikian juga bab tentang Pembinaan dan Pengawasan yang pada Perda 111988 dipisah menjadi dua bab bab XII dan bab XIII, pada Perda 82007 dijadikan satu bab saja bab XII. Bab I Membahas tentang Ketentuan Umum, tediri atas 1 pasal yang mendefinisikan 9 konsep kunci yang digunakan dalam Perda. Membahas ketentuan yang sama. Terjadi penambahan konsep yang didefinisikan dalam ketentuan umum menjadi 20 konsep. Konsep-konsep yang ditambahkan dalam ketentuan umum pada Perda 8 Tahun 2007 adalah pengertian tentang; DPRD, ketentraman masyarakat, kendaraan umum, tempat umum, pedagang kaki lima, parkir, hiburan, ternak potong, pencemaran dan keadaan darurat. Bab II Tentang Tertib Jalan dan Angkutan Jalan Raya. Terdiri atas 6 pasal. Tentang Tertib Jalan, Angkutan Jalan dan Angkutan Sungai. Terdiri atas 10 pasal. Pada perda 82007 ditambahkan aturan tentang angkutan sungai pasal 2 ayat 3. Beberapa hal baru yang diatur dalam bab II Perda ini adalah larangan menggunakan atau menawarkan diri menjadi joki three in one pasal 4, larangan bagi pengatur lalu lintas ilegal di persimpangan jalan, lebih dikenal dengan sebutan pak ogah atau polisi cepek pasal 7, larangan memarkir kendaraan atau menyelenggarakan parkir tanpa izin pasal 10 dan 1. Bab III Tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Terdiri dari 1 pasal. Tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Terdiri dari 1 pasal. Tidak ada perubahan isi pada bab ini dari Perda 111988 ke Perda 82007. Bab IV Tentang Tertib Tentang Tertib Dibandingkan dengan Perda 11 Tahun Sungai, Saluran, Kolam dan Lepas Pantai. Terdiri atas 5 pasal. Sungai, Saluran, Kolam dan Lepas Pantai. Terdiri atas 4 pasal. 1988 terjadi pengurangan 1 pasal pada Perda 8 tahun 2007. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan diantara keduanya. Bab V Tentang Tertib Lingkungan. Terdiri 2 pasal. Tentang Tertib Lingkungan. Terdiri dari 7 pasal. Terdapat penambahan 5 pasal pada Perda 8 Tahun 2007. Beberapa hal yang ditambahkan antara lain; larangan merusak hutan mangrove pasal 18, larangan membuat, menyimpan dan menjual petasan pasal 19, melakukan aksi vandalisme dan mengotori lingkungan pasal 21 pengaturan air minum dan air permukaan tanah pasal 22 dan pasal 23. Bab VI Tentang Tertib Usaha Tertentu. Terdiri atas 4 pasal. Tentang Tertib Tempat dan Usaha Tertentu. Terdiri atas 12 pasal. Terdapat penambahan 8 pasal pada Perda 8 Tahun 2007. Penambahan paling krusial dan kontroversial adalah pada pengaturan masalah PKL dimana bukan hanya pedagang saja yang diancam dengan pidana melainkan juga meraka yang membeli barang dari PKL. Bab VII Tentang Tertib Bangunan. Terdiri atas 1 pasal. Tentang Tertib Bangunan. Terdiri atas 3 pasal. Perda 82007 menggabungkan 2 bab pada Perda 111988, yakni bab VII tentang tertib bangunan dan bab VIII tentang Pemilik Bangunan. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam bab ini pada Perda 82007 kecuali adanya penambahan pasal khusus yang mengatur larangan untuk membangun menaratower komunikasi, dan keharusan pegelolanya melakukan perawatan pasal 37. Bab VIII Tentang Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan. Tentang Tertib Sosial. Bab VIII pada Perda 111988 telah dipadatkan dalam bab VII Perda 82007. Karenanya pada bab VIII ini terjadi perbedaan signifikan karena adanya pemadatan sebagaimana disebut diatas. Dibandingkan dengan bab tentang Tertib Sosial pada Perda 111988, terdapat penambahan 4 pasal dari sebelumnya 4 pasal. Hal paling kontroversial dari Perda 82007 pada bab ini adalah larangan bukan hanya menjadi pengemis melainkan juga memberi pengemis. Bab IX Tentang Tertib Sosial. Terdiri dari 4 pasal. Tentang Tertib Kesehatan. Terdiri dari 1 pasal. Disesuaikan Bab X Tentang Tertib Kesehatan Tertib Hiburan, Keramaian dan Peran Serta Masyarakat Seiring dengan semakin menjamurnya tempat-tempat hiburan dan berbagai aktivitas yang mengundang keramaian, Perda Nomor 8 Tahun 2007 menambahkan masalah tertib hiburan, yang tidak terdapat dalam Perda 11 Tahun 1988. Bab XI Tentang Ketentuan Pidana Tentang Ketentuan Pidana Bab XII Tentang Ketentuan Pembinaan Tentang Ketentuan Pembinaan Bab XIII Tentang Pengawasan Tentang Pengawasan Bab XIV Tentang Penyidikan Tentang Penyidikan Bab XV Tentang Ketentuan Peralihan Tentang Ketentuan Peralihan Bab XVI Tentang Ketentuan Penutup Tentang Ketentuan Penutup Tidak terjadi perubahan signifikan dari Perda 111988 ke Perda 82007 tentang ketentuan Pidana sampai ke ketentuan penutup, kecuali Perda 82007 lebih memerinci tentang ketentuan pidana seiring dengan semakin banyaknya klausul tambahan yang diatur dala perda dimaksud di atas.

C. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum