harus membersihkan semua kotoran yang melekat pada badannya baik yang bersifat najis atau tidak.
2. Pemahaman masyarakat mengenai najis
Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab
beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Jika tidak diterima
Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-siaan. Adapun bersuci dari najis adalah bagian dari thaharah, yakni bersihnya tubuh, pakaian, dan tempat dari kotoran yang
memiliki unsur-unsur najis baik dari sifatnya maupun dari hukumnya. Dalam teori yang diungkapkan dalam berbagai literatur kitab fiqih, najis
diartikan sebagai kotoran yang wajib bagi semua umat islam untuk menyucikannya dan menyucikan apa yang dikenainya.
Pemahaman masyarakat Pulo Gebang dalam hal najis masih beragam, ada yang memahami secara detail, tetapi lebih banyak yang yang memahaminya
sederhana saja, masyarakat yang memahami najis secara mendetail adalah dari kelompok tokoh agama. Mereka memahami najis bukan hanya mengetahui jenis-jenis
badannya, tetapi juga dari hukum-hukumnya seperti najis menurut tingkatannya, serta tata cara membersihkannya.
Tetapi lebih banyak masyarakat biasa yang memang tidak berkecimpung dalam masalah keagamaan. Penjelasan mengenai najis ini pun masih kurang
mendalam. Pembahasan yang mereka ungkapkan hanya sebatas jenis-jenis najis tidak sampai pada hukum dan tata cara membersihkan yang sesuai dengan kitab fiqih.
Mereka mengetahui jenis najis sebatas pada sesuatu yang sering mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari seperti yang diungkapkan oleh Ibu Yati umur 30 Tahun latar
belakang pendidikannya SMA yang hanya mendapatkan pendidikan agama hanya dibangku sekolah saja menjadi salah satu narasumber. Menurutnya najis itu adalah
benda yang kotor dan harus bersihkan, yaitu darah, kotoran manusia dan binatang, air kencing, anjing, babi.
4
Dalam pemahaman jenis najis serta jenis tingkatannya secara umum masyarakat di Pulo Gebang masih belum memahaminya dengan jelas. Masih banyak
diantara mereka yang memandang suatu najis dari pemahaman sendiri dan tidak sesuai dengan penjelasan yang ada dalam kitab-kitab fiqih. Misalnya, dalam masalah
najis dari kencing bayi. Banyak di antara mereka yang memahaminya tidak sesuai dengan penjelasan dalam kitab fiqih. Hal tersebut dapat tergambar dari pendapat
beberapa narasumber mengenai air kencing bayi sebagai berikut: a.
Air kencing itu najis, baik air kencing bayi laki-laki maupun perempuan yang belum makan apa-apa selain ASI dua-duanya harus dibasuh.
5
b. Air kencing bayi laki-laki dan air kencing perempuan itu cara basuhnya sama-
sama diciprati saja, asalkan bayi itu belum makan apa-apa selain ASI.
6
4
Wawancara pribadi dengan Ibu Yati, pada hari minggu 27 Februari 2011 pukul 08.45 WIB
5
Wawancara pribadi dengan Ibu Dini 26 Tahun latar belakang pendidikannya SMA dan mendapatkan pendidikan agama dari sekolah,
pada hari jum’at, 25 februari 2011 pukul 08.30 WIB
c. Air kencing bayi di bawah umur 3 atau 2 bulan tidak dihukumi najis, baik
bayi laki-laki maupun perempuan, karena bayi tersebut belum makan apa-apa selain ASI dan air kencingnya belum begitu bau pesing. Cara mensucikannya
harus dibasuhdicuci.
7
d. Air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan apa-apa kecuali ASI itu
hukumnya najis mukhaffafah, yaitu cara mensucikannya cukup diciprati saja. Sedangkan bayi perempuan baik yang sudah beri makan atau belum kecuali
ASI, air kencing tersebut dihukumi najis mutawassitah, yaitu cara mensucikannya harus dicuci sebagaimana mencuci air kencing orang dewasa.
8
Dari keempat pendapat tersebut hanya jawaban keempat yang dapat dikatakan sesuai dengan kitab fiqih. Kebanyakan masyarakat menjawab pada jawaban yang
pertama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat Pulo Gebang masih sangat kurang. Pemahaman mereka masih didasarkan atas
pengetahuan sendiri, bukan dari pemahaman literarur fiqih. Berdaarkan hasil observasi yang penulis lakukan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
keterbatasan pemahaman masyarakat Pulo Gebang mengenai najis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, lingkungan, dan pengalaman. Serta pemahaman
6
Wawancara pribadi dengan Ibu Mamay umur 51 Tahun latar belakang pendidikannya SD dan mendapatkan pendidikan agama dari orang tua, pada hari senin, 28 Februari 2011 pukul 11.00
WIB
7
Wawancara pribadi dengan Ibu Rohmah 55 tahun latar belakang pendidikannya SD, dan mendapat pendidikan agama dari orang tua, pada hari minggu, 27 Februari 2011 pukul 20.00 WIB
8
Wawancara pribadi dengan Ibu Rofi 30 Tahun latar belakang pendidikannya S1, dan sering mengikuti pengajian majlis taklim, pada hari sabtu, 26 Februari 2011 pukul 17.30 WIB
mereka mengenai najis, apakah pemahaman mereka ini didapatkan melalui proses pembelajaran dari pendidikan formal atau keagamaan, ataukah hanya dari proses
melihat atau mencontoh orang tua tanpa ada penjelasan. Pemahaman ini akan berimplikasi pada pelaksanaan thaharah yang tidak tepatmelenceng.
Dalam kitab-kitab fiqih hukum mengenai air kencing bayi ada perbedaan. Air kencing bayi laki-laki berbeda dengan air kencing bayi perempuan karena
kecendrungan air kencing bayi laki-laki lebih encer dari pada air kencing bayi perempuan, sehingga kekuatan air kencing bayi laki-laki untuk melekat pada tempat
yang dikenainya tidak sebesar kekuatan air kencing bayi perempuan. Sehingga air kencing bayi laki-laki dihukumi najis mukhaffafah dan cara membersihkannya cukup
dengan diperciki air. Sedangkan air kencing bayi perempuan sama seperti air kencing orang dewasa, sehingga cara membersihkannya harus dengan dibasuh.
3. Kedudukan thaharah dalam ibadah