Perilaku bersuci masyarakat Islam: etika membersihkan najis (studi sosiologi hukum di masyarakat pulo Gebang Jakarta Timur)

(1)

PERILAKU BERSUCI MASYARAKAT ISLAM; ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS

(Studi di Masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur) Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

OLEH:

USWATUN HASANAH NIM: 104043101300

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan HukumUntuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

USWATUN HASANAH 104043101300

Di Bawah Bimbingan: Pembimbing

Drs. Noryamin Aini, MA NIP: 19630351 99101002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

Jakarta Timur) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (Perbandingan Madzhab Fiqih).

Jakarta, 7 April 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031021

PANITIA UJIAN :

1. Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag

NIP. 196511191998031002

2. Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002

3. Pembimbing : Drs. Noryamin Aini, MA NIP: 19630351 99101002

4. Penguji I : Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM NIP. 195505051982031021

5. Penguji II : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si


(4)

Dengan ini saya menyatakan, bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Februari 2011


(5)

i

Alhamdulillah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kita masih dapat merasakan nikamt sehat, iman dan Islam. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada pembawa rahmat Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya yang tetap setia hingga akhir zaman. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan serta kemampuan yang ada pada penulis, akhirnya skripsi dengan judul “PERILAKU BERSUCI MASYARAKAT ISLAM; ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS (Studi Sosiologi Hukum Masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur)” dapat terselesaikan.

Selama proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

2. Ketua Program Studi Pebandingan Madzhab Fiqih. Dr. H. Muhammad Taufiqi, M. Ag, dan Sekretasis Jururusan Fahmi Muhammad Ahmadi, S. Ag, M. Si


(6)

ii

4. Seluruh staff pengajar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepad penulis selama di bangku kuliah

5. Pimpinan dan staff Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh staff Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu menyaediakan fasilitas perpustakaan

6. K.a Kelurahan Pulo Gebang Jakarta Timur beserta staffnya, yang telah mengizinkan penulis untuk mengambil data-data guna melengkapi penyelesaian penulisan skripsi ini

7. Warga masyarakat Pulo Gebang yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam memberikan komentarnya

8. Untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Narman dan Ibunda Hj. Romlah yang telah dengan sabar mengasuh, mendidik dan membesarkanku, serta takkan pernah terhenti mendoakan demi keberhasilan penulis mengarungi kehidupan ini. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kasih sayang-Nya untuk mereka dan mengampuni segala dosa-dosa mereka. Amin.

9. Kakak-kakaku tersayang, terutama ka’ Karnali yang telah meluangkan waktu dan pengorbanannya serta motivasi kepada penulis, ka’ Rofi’atul Adawiyah,


(7)

iii

tercinta Lidza, Adib, Ananda Ghalib semoga menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Amin

10.Untuk mas Abdul Rohman seseorang yang selalu memberikan semangat dan menemani hari-hari penulis selama ini, terima kasih atas segala cinta, perhatian, kasih sayang juga pengorbanan inspirasi dan kesabarannya.

11.Seluruh rekan-rekan PMF satu angkatan 2004 yang tidak pernah bosan memberikan spirit dan motivasi kepada penulis, terutama kepada Ulfa, Fitri, Dede, Siha, imuz kau adalah teman terbaikku, thanks to all.

Semoga dengan kebaikan yang sudah mereka berikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Jakarta, 24 Maret 2011 M 19 Rabiul Akhir 1432 H


(8)

iv

DAFTAR TABEL...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...4

C. Tujuan Penelitian...5

D. Review Studi Terdahulu...6

E. Metode Penelitian...7

F. Sistematika Penulisan...9

BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG ETIKA BERSUCI DAN PERILAKU HUKUM MASYARAKAT A. Pemahaman Tentang Thaharah dan Hubungannya Dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan ...12

1. Pengertian Thaharah dan Dasar Hukum Thaharah...15

2. Macam-macam Air dan Pembagian Air...17

3. Macam-macam Najis dan Tingkatannya...23

4. Cara Menghilangkan dan membersihkan Najis...24

B. Memahami Etika dan Perilaku Hukum Masyarakat...28

1. Hukum dan Perilaku Manusia...28


(9)

v

BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN PULO GEBANG JAKARTA TIMUR

A. Keadaan Letak Geografis dan Demografis...42

B. Keadaan Sosiologis………...49

1. Bidang Pendidikan………....49

2. Bidang Agama………...50

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PERILAKU BERSUCI DAN ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS DI MASYARAKAT PULO GEBANG JAKARTA TIMUR A. Identifikasi Sumber Data...54

B. Pemahaman Dan Pelaksanaan di Masyarakat Pulo Gebang Terhadap Perilaku Bersuci...62

C. Perilaku Masyarakat Muslim Pulo Gebang terhadap Etika Membersihkan Najis (Bersuci)...76

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan...87

B. Saran...88

DAFTAR PUSTAKA...89 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

vi

Tabel 3.2 Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia………44

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Lapangan Kerja……….45

Tabel 3.4 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan………...46

Tabel 3.5 Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut……….47

Tabel 3.6 Jumlah sarana pendidikan………50

Tabel 3.7 Jumlah sarana peribadatan………...52

Tabel 4.1 Narasumber berdasarkan segmen usia...55

Tabel 4.2 Data narasumber Berdasarkan Pendidikan (jenis pendidikan)...57

Tabel 4.3 Data narasumber berdasarkan pendidikan (tingkat pendidikan)...59

Tabel 4.4 Data narasumber berpengalaman dalam mengikuti pendidikan agama...60

Tabel 4.5 Data narasumber menurut peran sosial keagamaan...62

Tabel 4.6 Data narasumber berdasarkan pemahaman tentang thaharah...65

Tabel 4.7 Data narasumber dalam mendapatkan pengetahuan tentang thaharah………80


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu aspek terpenting bagi manusia guna menjalin hubungan yang terbaik kepada Allah Swt dan manusia serta alam sekitarnya adalah kebersihan. Dalam kehidupan makhluk bernyawa, kebersihan merupakan salah pokok dalam memelihara kelangsungan eksistensinya, sehingga tidak ada satupun makhluk kecuali berusaha untuk membersihkan dirinya, walaupun makhluk tersebut dinilai kotor.

Dalam ajaran Islam, bersuci memainkan peranan yang sangat penting dalam ibadah. Tidak hanya dalam kasus shalat, kesucian diri, tubuh, pakaian dan tempat juga sangat mempengaruhi kesahihan ibadah haji. Bersuci sangat mampengaruhi kesahihan ibadah orang tersebut. Dengan begitu, tujuan dari ibadah terpenuhi dengan sempurna. Kesalahan sedikit dalam bersuci akan berakibat fatal terhadap ibadah.

Alih-alih mendapatkan pahala justru dosa yang diperoleh. Akan tetapi banyak sekali orang yang kurang memperhatikan masalah bersuci tersebut. Hal ini terjadi bisa saja karena ketidakpahaman mereka tentang bersuci atau memang mereka paham tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau lebih parahnya lagi mereka menganggap enteng masalah bersuci tersebut.

Dari sini dapat dipahami bahwa bersuci dalam Islam begitu penting sekali. Bersuci juga ada hubungannya dengan soal-soal batin. Persoalan iman dan persoalan


(12)

shalat berhubungan erat dengan perkara kebatinan. Jadi dengan demikian, bersuci berkaitan langsung dengan iman dan shalat.

Seperti hal yang telah tertulis di atas, maka jika bersuci dilakukan dengan benar, maka ibadah kita akan sempurna. Namun, jika salah melakukan bersuci, maka ibadah kita rusak. Jadi, perkara yang pertama yang dapat kita pahami tentang bersuci ini adalah bahwa Allah sama sekali tidak bertujuan untuk menyusahkan kita, tetapi semata-mata hendak membersihkan kita baik dari hadas, najis dan kotoran yang lainnya ataupun membersihkan kita dari segala dosa.

Dengan memelihara kesucian badan, berarti juga menjaga kesucian pakaian. Jika memelihara kesucian badan dan pakaian, maka sekaligus akan memelihara kebersihan badan dan dengan sendirinya akan terfikirkan untuk memelihara kesucian dan kebersihan rumah. Apabila kesucian dan kebersihan rumah diperhatikan, dengan sendirinya akan diperhatikan kesucian alat-alat dan perabotan rumah tangga. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan dikhususkan tempat shalat di rumah, sebagai bukti perhatian terhadap masalah kesucian. Kamar mandi dan WC pun akan menjadi perhatian penting dalam rangka menjaga kesucian dan kebersihan. Seiring dengan diperhatikan seluruh isi rumah, maka akan memperhatikan kebersihan di sekitar rumah.

Satu contoh ketika akan melaksanakan shalat, pertama yang perlu diperhatikan adalah kesucian badan, juga perlu diperhatikan pula kebersihan dan kesucian pakaian. Kedua, diperhatikan tentang kesucian tempat atau ruangan khusus untuk melaksanakan shalat (musholla dalam rumah). Kemudian diperhatikan pula


(13)

jalan yang menghubungkan tempat wudlu menuju tempat sholat, karena dikhawatirkan ada bekas najis yang tidak terlihat seperti bekas air kencing bayi atau anak-anak.

Adapun alat yang digunakan untuk bersuci tersebut ada yang menggunakan air dan tanah. Akibat teknologi yang lebih maju maka bagi manusia, cara membersihkan diri tersebut dapat dilakukan dengan tanah dan air, dan ditambah dengan menggunakan sabun mandi. Bahkan untuk pembersih wajah ada sabun khusus dan lain sebagainya. Banyak masyarakat muslim pada umumnya belum bisa membedakan antara najis dan hadas. Najis adalah materi dari suatu kotoran. Sedangkan hadats adalah kondisi dimana seseorang dianggap tidak bersuci karena telah mengeluarkan kotoran atau sebab-sebab lain yang dianggap membatalkan kesuciannya. Contohnya: kalau seseorang telah buang air, maka dia berhadats. Setelah najisnya dibersihkan, dia masih tetap berhadats jika dia belum berwudhu.1 Ketidaktahuan mereka sebenarnya akan tertutup dengan kesadaran nurani untuk mau belajar dan bertanya kepada yang lebih tahu, baik ulama atau ustadz.

Kesadaran nurani, pengertian akan perilaku yang benar, adalah suara batin yang biasa menjadi tolak ukur. Hal itu memang amat pribadi sifatnya. Tetapi manusia tumbuh dalam masyarakat, dan kesadaran nurani merepresentasikan secara utuh


(14)

kaidah sosial mengenai benar dan salah. Dalam keadaan apapun, nurani yang buruk akan menyakitkan manusia, sementara kebajikan akan membawa kepuasan batin.2

Nurani yang buruk tercermin kepada sikap dan perilaku buruk seperti; pakaian najis tidak disucikan, anggota tubuh yang tidak dibersihkan, rumah dan lingkungan yang tidak dipeliharan kebersihan dan keindahannya. Sedangkan kebajikan yang membawa kepuasan batin seperti; membersihkan dan mensucikan pakaian yang kotor dan najis, anggota tubuh selalu dibersihkan, merawat dan memelihara kebersihan, keindahan rumah dan halaman.

Berangkat dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas maka penulis bermaksud menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul ”Perilaku Bersuci

Masyarakat Islam: Etika Membersihkan Najis (Studi Sosiologi Hukum di Masyarakat Pulogebang Jakarta Timur)”

B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasikan seputar perilaku bersuci di masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur. Hal-hal yang muncul dalam penelitian ini adalah bagaimana aplikasi thaharah dan etika3 bersuci di masyarakat dalam pengembangan teori pada praktek sehari-hari

2

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, diterjemahkan oleh: M.

Khozim, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009) h. 82 3

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,


(15)

ketika membersihkan najis, misalnya membersihkan pakaian, tempat sholat, dan membersihkan atau menghilangkan najis dikaitkan dengan hukum Islam dalam bab thaharah.

Mengingat luasnya persoalan thaharah, dalam pembahasan skripsi ini, penulis ingin membatasi diri untuk mengkaji lebih dalam tentang bersuci dan etika membersihkan najis dalam perilaku masyarakat muslim di Pulo Gebang Jakarta Timur. Pembahasan dalam skripsi ini meliputi pemahaman dan perilaku masyarakat terkait dengan masalah thaharah.

Untuk menjawab masalah pokok di atas, pertanyaan-pertanyaan khusus

(minor research question) di bawah ini, merupakan masalah-masalah yang akan dicarikan jawabannya lewat penelitian ini di masyarakat Pulo Gebang. Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan masyarakat Pulo Gebang tentang fiqih thaharah? 2. Bagaimana aplikasi fiqih thaharah di masyarakat pulogebang?

3. Apakah masyarakat muslim dalam membersihkan najis sesuai dengan etika yang diajarkan dalam Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini, antara lain adalah:


(16)

1. Ingin mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat muslim Pulo Gebang mengenai fiqih thaharah

2. Ingin menganalisis secara lebih jauh dan mendalam tentang perilaku masyarakat muslim ketika bersuci khususnya etika membersihkan najis. 3. Mengetahui sebagian kasus-kasus atau permasalahan tentang cara-cara

membersihkan najis yang terjadi di masyarakat. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumbangan informasi ilmiah bagi para peminat dan pemerhati hukum Islam khususnya para praktisi hukum.

2. Ikut melengkapi dan memperkaya khazanah perpustakaan Islam, sehingga dapat membantu masyarakat dalam memperluas wawasan tentang hukum Islam.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Sejauh pengamatan penulis, karya tulis Perilaku bersuci dan etika membersihkan najis di masyarakat ini, secara khusus belum disinggung oleh para penulis.

Ada skripsi yang telah membahas ataupun yang secara umum berkaitan dengan masalah thaharah. Akan tetapi, penulis belum menemukan karya tulis seperti judul yang diangkat penulis. Penulis berkesimpulan bahwa judul yang diangkat ini adalah baru. Adapun karya tulis yang mempunyai korelasi dengan permasalahan yang


(17)

diangkat oleh penulis adalah; Skripsi Muhson (0043119151) Tahun 2005 dengan

judul ”Studi Comparativ tentang najis yang dimaafkan menurut empat mazhab

(Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali)”. Fakultas Syari’ah dan hukum Jurusan PMH/2005 M. Skripsi ini membahas tentang thaharah pada umumnya dan hanya menfokuskan pada najis yang dimaafkan menurut empat mazhab. Karya tersebut dikaji dalam bentuk pustaka saja. Berbeda halnya dengan penulis yang menggunakan kajian empiris yang berkembang dilapangan. Skripsi yang dibahas oleh penulis adalah skripsi yang berhubungan dengan realitas sosial dan keadaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu penulis mengkajinya dengan menggunakan perspektif sosiologi hukum. Dengan menggunakan teori perilaku dan etika masyarakat, penulis berharap akan mandapatkan gambaran yang obyektif serta penilaian perilaku dan etika tersebut terhadap peranan-peranan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dari hasil penilaian tersebut dari segi hukum akan terlihat obyektif.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah menggunakan studi kasus (case study) yaitu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci masalah atau kasus yang dihadapi.

1. Tehnik Pengumpulan Data

pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penulisan ini dengan cara sebagai berikut:


(18)

a. Observasi

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data empiris dari responden dan informan tentang peristiwa yang terjadi dengan sesungguhnya, yaitu dengan melakukan pengamatan secara sistematis mengenai perilaku individu atau kelompok masyarakat dan kehidupannya. Dengan hal ini, penulis menggunakan metode observasi partisipan dan metode penelitian sosiologis. Observasi ini pada hakikatnya merupakan metode untuk menemukan secara khusus dan relistis apa yang terjadi pada suatu saat di lapangan. Observasi ini dilakukan selama 4 bulan, mulai dari bulan Oktober 2010 hingga bulan Februari 2011.

b. Interview (wawancara)

Penulis melakukan wawancara kepada 25 orang narasumber dari sejumlah orang yang ada di daerah tersebut. Mereka adalah masyarakat setempat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Dalam hal ini penulis menggunakan metode interview terpimpin dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai acuan agar proses wawancara terfokus pada permasalah pokok yang dimaksud.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data yang primer dan sumber data yang skunder.


(19)

a. Sumber data primer adalah:

i. Narasumber, yakni orang atau keluarga yang dijadikan fokus penulisan, dalam hal ini adalah masyarakat setempat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan mereka yang sudah baliqh (dewasa), sudah berkeluarga dari berbagai latar belakang baik kaya maupun miskin dimintai keterangan

ii. Informan, yakni orang yang memberikan informasi tentang situasi dan kondsi obyektif wilayah daerah yang diteliti oleh masyarakat setempat dan sebagainya.

b. Sumber data skunder adalah buku-buku yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dan mengenai fiqih thaharah dan buku-buku yang berkaitan dengan sosiologi hukum, dan juga buku-buku tambahan lainnya.

Disamping itu, penulis juga menggunakan metode content analisa dan

comparative yaitu data-data yang terhimpun akan penulis analisa dengan seksama dan teliti lalu dikomperasikan antara data-data tersebut sehingga menemukan suatu kesimpulan yang dimaksud.

F. Sistematika Penulisan

Searah dengan masalah yang akan dibahas, keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab:


(20)

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dikemukakan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG BERSUCI DAN PERILAKU HUKUM MASYARAKAT

Pada bab ini terdiri dari Pemahaman tentang Thaharah dan Hubungannya dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan, Pengertian Thaharah dan Dasar Hukum Thaharah, Macam-macam Air Dan Pembagian Air, Pembagian Najis dan Tingkatannya, Cara Menghilangkan dan Membersihkan Najis, Memahami Etika dan Perilaku Hukum Masyarakat, Hukum dan Perilaku Manusia, Etika dan Norma Hukum, Motivasi dan Perilaku Hukum, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum

BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN PULO GEBANG JAKARTA TIMUR

Pada bab ini Penulis memaparkan tentang gambaran umum masyarakat di Pulo Gebang meliputi; Keadaan Letak Geografis, Demografis dan Keadaan Sosiologis Masyarakat.


(21)

BAB IV : ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU BERSUCI DAN ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS DI MASYARAKAT PULO GEBANG JAKARTA TIMUR

Pada bab ini, penulis mendiskripsikan temuan penelitian tentang Pemahaman Dan Pelaksanaan di Masyarakat Pulo Gebang Terhadap Perilaku Bersuci, Analisa Kesadaran dan Perilaku Masyarakat Muslim Pulo Gebang terhadap Etika Membersihkan Najis (Bersuci)

BAB V : PENUTUP

Sebagai pemungkas penulisan skripsi ini, penulis akhiri sebagai penutup meliputi; Pertama, kesimpulan umum dari kajian skripsi secara keseluruhan yang merupakan penegasan sebagai jawaban atas perumusan dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan dimuka, Kedua, saran-saran dari penulis kepada pemerintah yang mengurusi masalah-masalah keagamaan yaitu Departemen Agama dan masyarakat muslim Indonesia pada umumnya.


(22)

12

DAN PERILAKU HUKUM MASYARAKAT

A. Pemahaman tentang Thaharah dan Hubungannya dengan Kebersihan Kesehatan dan Keindahan Lingkungan

Sebagian ulama fiqh dalam menyusun kitabnya bab thaharah menduduki pada bab pertama sebelum membahas bab lainnya seperti bab sholat, bab zakat, bab haji dan seterusnya. Karena menurut ulama fiqih lebih mengutamakan urusan akhirat daripada dunia, disamping thaharah adalah kunci sholat yang merupakan ibadah yang sangat penting. Ada ungkapan bahwa kunci surga adalah sholat sedang kunci sholat adalah thaharah (kesucian)1

Kebersihan dalam Islam merupakan konsekusensi dari keimanan seseorang kepada Allah, dan sebagai upaya menjadikan dirinya suci/bersih berpeluang mendekat kepada-Nya. Kebersihan itu bersumber dari iman dan merupakan bagian dari iman. Dengan demikian kebersihan dalam Islam mempunyai aspek ibadah dan aspek iman. Oleh karena itu, untuk menjelaskan thaharah sering juga dipakai kata

“bersuci” sebagai padanan kata “membersihkan/ melakukan kebersihan”.

1

Ibrahim Al-Bajuri, hasyiyah al-Bajuri ‘Ala Ibn Qasim al-Ghazi, (t.tp:Syirkah Nur Asia, t.t),


(23)

Ajaran kebersihan tidak hanya merupakan slogan atau teori belaka, tetapi harus dijadikan pola hidup praktis, yang mendidik manusia hidup bersih, indah dan sehat sepanjang masa, bahkan dikembangkan dalam hukum Islam. Karena antara kebersihan dan kesehatan sangat erat hubungannya. Dalam suatu pepatah dikatakan

bahwa “kebersihan pangkal kesehatan”. Dalam rangka inilah dikenal sarana-sarana kebersihan yang termasuk kelompok ibadah, seperti : wudhlu, tayamum, mandi (ghusl), pembersihan gigi (siwak).

Menurut bahasa, bersih adalah terjemahan dari kata thaharah. Kegiatannya disebut dengan bersuci. Menurut istilah fuqoha, thaharah berarti membersihkan diri dari hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Thaharah atau bersuci ada dua bagian, yaitu bersuci dari hadas dan bersuci dari najis. Bersuci dari hadas adalah membersihkan bagian tertentu dari badan, dilakukan dengan berwudhu, tayamum dan mandi, sedangkan bersuci dari najis adalah membersihkan najis pada badan, pakaian dan tempat. Sering pula dikatakan bahwa thaharah (bersuci) diartikan membersihkan diri dari najis dan hadas dengan alat-alat yang ditentukan oleh syari’at Islam. Dengan demikian, thaharah seperti dikatakan oleh syekh Ali bin Muhammad al-Jurjani adalah suatu kata yang berkaitan tentang membasuh beberapa anggota tertentu dengan sifat (air/cara) tertentu. 2

Thaharah juga mempunyai implikasi terhadap keindahan lingkungan. Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan pisik,

2

Syekh Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,


(24)

lingkungan manusia dan lingkungan keluarga. Lingkungan fisik yang terdiri dari alam yang berada di sekitar kita. Lingkungan manusia adalah orang-orang yang interaksi dengan kita baik langsung maupun tidak langsung. Secara lebih kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang terutama pada masa-masa awal dari kehidupannya. Dalam hubungannya dengan hukum Islam kebersihan dan keindahan lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran

thaharah. Sebagai contoh, menurut syara’ seseorang dilarang melakukan buang air

besar atau kecil di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah pohon tempat orang berteduh, ke dalam saluran air, di tengah jalan dan lobang-lobang binatang yang terdapat di dalam tanah. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan.3

1. Pengertian Thaharah dan Dasar Hukum Thaharah

Kata thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi terambil dari kata

ةراهط

-

ارهط

-

رهطي

-

رهط

yang berarti suci, bersih.4 Pengertian

رهط

kata ini terambil dari firman Allah SWT berikut ini:









Jika kamu junub (berhadas besar), maka bersucilah... (QS. 5:6)

3

A. Rahaman Ritonga dan Zainudin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. II, h. 26

4

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:


(25)

Thaharah menurut Raghib al-Ashfahani, mencakup dua macam, yaitu thaharah jism (badan) dan thaharah nafs (jiwa).5

Sedangkan menurut istilah fiqh, thaharah ialah

“Menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi (kesahihan) shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadas dan najis) dengan tanah”.6

Para fuqaha secara sepakat mengatakan tentang dasar hukum thaharah bahwa

thaharah telah disyari’atkan di dalam Islam. Pendapat ini didasarkan antara lain atas firman Allah SWT:

























“Hai orang yang berkmul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa

(menyembah berhala) tinggakanlah” (QS. 74:1-5)

2. Macam-macam Air dan Pembagian Air

Adapun macam-macam air yang boleh dipergunakan untuk bersuci itu ada tujuh macam, yaitu: 1. air langit (hujan), 2. air laut, 3. air sungai, 4. air sumur, 5. air

5

Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat al-Fadzh al-Qur’an, (Bairut: Dar Fikr, t.th), h. 318

6 Abu Jayb, Sa’dy,

Al-Qamus al- Fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, (Dar al-Fikr, 1988), h. 233


(26)

sumber, 6. air salju(es), 7. air embun.7 Kemudian macam-macam air itu terbagi empat bagian, yaitu: 8

a. Air suci dan mensucikan, yaitu air mutlak. Air mutlak adalah air yang terpancar dari bumi atau turun dari langit. Allah SWT berfirman:











”....dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (QS. Al- Furqan: 48).

b. Air suci lagi menyucikan tetapi makruh penggunaanya, yaitu air yang terjemur matahari, Air ini boleh digunakan untuk mengangkatkan hadas, akan tetapi hukumnya makruh, dan malah makruh tanzih bilamana ada air yang lain.9 Hukum makruh menggunakan air yang terjemur matahari ini menurut mazhab

imam Syafi’i, sedangkan tiga imam mazhab yang lainnya (Hanafi, Maliki dan Hanbali) mengatakan tidak ada kemakruhan menggunakan air yang terjemur matahari.10

c. Air suci tetapi tidak mensucikan, yaitu air musta’mal. Air ini boleh diminum dan dipakai untuk memasak, tetapi tidak sah untuk mengangkat hadas

7

Muhammad bin Qasim al-Ghuzi, Fathul Qarib al-Mujib, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th), h. 3

8

Al-Imam Taqiyyuddin, Kifayah al-Akhyar fi halli Ghayah al-Ikhtishar, (Surabaya: Dar Ihya al „Arabiyah, t.th), Juz 1, h. 6

9

Rahaman Ritonga dan Zainudin, h. 20 10


(27)

(bersuci) dan menghilangkan najis.11 Hal yang dimaksud dengan air

musta’mal ini adalah air bekas yang pernah digunakan untuk bersuci atau air sedikit yang terkena air bekas untuk bersuci atau air yang tercampur dengan barang yang suci, misalnya tercampurnya itu dengan sabun, kiambang, tepung, dan lain-lain yang biasa terpisah dari air. Dan apabila air tersebut digunakan untuk bersuci maka hukumnya makruh.12

d. Air yang bernajis (mutanajjis), yaitu air yang kemasukan najis, sedang air itu kurang dari dua kullah atau dua kullah tetapi telah berubah (warna, bau, dan rasanya karena kemasukan najis tersebut). Dua kullah adalah kurang lebih 500 kati Baghdad menurut pendapat yang paling shahih,13 sebanding dengan ukuran 175 liter air. Para ulama madzhab berkata, bahwa apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya najis. Kalau air itu terpisah tidak bersama najis, maka status hukum bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jika tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa

11

Abul Qadir Ar-Rahbawi, Ash-Sholah ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, Penerjemah Abu Firly

Bassam Taqiy, Fikih Shalat Empat Madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007), cet. ke X, h. 43

12

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Muassasah al-Risalah), Jilid 1, h. 16 13

Untuk lebih jelasnya mengenai berapa banyaknya air dua kullah ada beberapa pendapat diantaranya; menurut ukuran kati baghdad : 245,325 liter atau 62,4 cm x 62,4 x 62,4 cm; menurut Imam Rafi’i: 176,245 liter atau 56,1 cm x 56,1 cmx 56,1 cm; menurut Imam Nawawi: 174,580 liter

atau 55,9 cm x 55,9 cm x 55,9 cm. A. Ma’ruf Asrori, Ringkasan Fikih Islam, (Surabaya: Al-Miftah,


(28)

tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis.14

3. Pembagian Najis dan Tingkatannya

Macam-macam najis banyak dibicarakan dalam Islam, mulai dari pembagian najis dan bagaimana tata cara menghilangkannya. Najis menurut bahasa artinya sesuatu yang dianggap kotor. Sedang menurut syara’ adalah sesuatu yang dianggap kotor yang menghalangi kesahihan sholat.15 Dengan demikian, najis adalah sesuatu yang kotor yang harus dihindarkan atau disucikan ketika hendak mengerjakan ibadah terhadap pakaian, badan dan tempat agar ibadah tersebut menjadi sah dan diterima oleh Allah Swt16.

Najis dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yakni:17

1. Najis mukhaffafah; ialah najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.

14

Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjemah

Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,

Hambali, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), cet. II, h. 4

15

Muhammad Syatha al-Dimyathy, I’Anah al-Thalibin, (Surabaya: al Hidayah, t.th), Juz 1, h.

82 16

M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-2, h. 246

17

Nawawi al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi in, (Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera, t.th), h. 45


(29)

2. Najis mughalladzah yaitu najis yang berat; yakni najis anjing dan babi serta keturunan dari keduanya.

3. Najis mutawassithah (sedang), yaitu kotoran seperti kotoran manusia atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai (selain bangkai ikan, belalang, mayat manusia) dan najis-najis yang lain selain yang tersebut dalam najis ringan dan berat.

Najis mutawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian: a. Najis „ainiyah : yaitu najis yang bendanya berwujud. b. Najis hukmiyah : yaitu najis yang tidak berwujud. 4. Najis yang dapat dimaafkan; yaitu antara lain:

a. Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti nyamuk, kutu-busuk dan sebagainya.

b. Najis yang sedikit sekali

c. Nanah atau darah dari kudis atau bisulnya sendiri yang belum sembuh d. Debu yang bercampur dengan najis dan lain-lainnya yang sukar

dihindarkan.

4. Cara Menghilangkan dan Membersihkan Najis

Thaharah memiliki empat sarana untuk bersuci, yaitu air, debu, sesuatu (kulit binatang) yang bisa disamak dan bebatuan untuk beristinja. Sedangkan tujuan


(30)

thaharah adalah untuk berwudhu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.18 Air dapat dipergunakan untuk berwudhu atau mandi. Debu dapat digunakan untuk bertayamum, sebagai ganti air dalam berwudhu atau mandi. Bangkai Kulit binatang bisa disamak (dibersikan menjadi suci) kecuali kulit babi dan anjing serta hewan keturunan dari keduanya. Bebatuan digunakan untuk bersuci setelah buang air kecil dan air besar.

Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung jenis najisnya. Cara yang lebih banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air, meskipun telah bersuci menggunakan tiga batu setelah istinja misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air setelah menggunakan tiga batu tersebut, maka menjadi lebih baik (afdlal). Bila ingin meringkas dengan salah satu dari air atau batu, maka bersuci dengan menggunakan air lebih utama. Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan bekasnya.19

Cara melakukan thaharah (membersihkan najis) tergantung pada jenis najis yang mengenai suatu benda, antara lain sebagai berikut:

1. Najis mughalazah yaitu najis yang berat, yakni najis yang timbul dari anjing dan babi atau dari keturunan keduanya. Cara mensucikannya, lebih dahulu dihilangkan wujud najisnya, kemudian dibasuh dengan air bersih sebanyak

18 Abdurrahman bin Muhammad Ba „Alawi,

Bughyah al-Mustarysidin fi Talhish Fatawa

ba’dh al-Aimmah min ‘Ulama al-Mutaakhirin, (Bandung: Syirkah Ma’arif lithab’ wa al-Nashr, t.th) h. 10

19 Qalyubi wa „Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah

, (Bairut: Dar al-Kutub al-al-Ilmiyyah, 1997), Juz 1, Cet ke-1, h. 63


(31)

tujuh kali, dan salah satunya dicampur dengan tanah yang suci. Sabda Nabi saw.:20

.

21

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin harb, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin dari Abu Huraiarah berkata: bersabda Rasulullah Saw:”Suci bejana salah seorang diantara kamu bila dijilat anjing, hendaklah mencucinya tujuh

kali, permulaanya hendaklah dicampur dengan tanah/debu.” (Riwayat

Muslim).

Hadits tersebut menurut Muhammad bin Isma’il al-Shan’any menunjukkan tiga hukum, yaitu; mulut anjing najis, wajib tujuh kali basuhan dan wajib menggunakan debu.22

2. Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain daripada kedua macam tersebut di atas. Najis pertengahan ini ada terbagi atas dua bagian : a. Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak terlihat (tidak nampak). Cara

mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang

20

Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Surabaya: Dar Ihya al-Arabiyah, t.th), Juz I, h. 132

21

Muslim, Shahih Muslim, (t.t, Dar Ihya al- Arabiah, t.th), juz I, h. 132 22Muhammad bin Isma’il al


(32)

terkena najis tersebut. Apabila rupa najis ini tidak mau hilang setelah digosok-gosok, maka dimaafkan. 23

b. Najis ’ainiyah, yaitu yang terlihat (masih ada zat, warna, dan baunya), maka Cara mencuci najis ini hendaklah dengan dihilangkan zat, rasa, warna, dan baunya. Adanya bau dan warna pada benda menunjukkan adanya najis di benda tersebut, kecuali bila setelah dihilangkan dengan cara digosok dan dikucek, maka dimaafkan.

3. Najis mukhaffah (ringan), misalnya kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. cara untuk menghilangkan najis pada kencing bayi yaitu cukup memercikan air pada pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan (najis mukhaffafah), jika bayi laki-laki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci (najis mutawassitah). Sedangkan jika bayi itu perempuan maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik ia sudah mengkonsumsi makanan atau belum (najis mutawassitah). 24

Dengan demikian cara menghilangkan dan membersihkan najis adalah bisa dengan mencuci, membasuh, menyiram, menyiprati, dan mengusap dengan air. Cara-cara tersebut berdasarkan ketetapan syara’ yang dirinci dalam beberapa hadis shahih.

23

Abi Hamid bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Bairut:Dar Kutub

al-Ilmiyyah, Cet. Ke-1, 2002, h. 186 24

Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Al-Fatwa Al-Jami’ah Lil Mar’ah


(33)

Cara mencuci dan menyiram dapat dilakukan bagi semua jenis dan macam najis bagi semua tempat, sedang mengusap dengan menggunakan dengan beberapa batu diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur (istinja).

B. Memahami Etika dan Perilaku Hukum Masyarakat 1. Hukum dan Perilaku Manusia

Suatu kaidah hukum merupakan patokan untuk bertingkah laku sebagaimana diharapkan. Orang-orang akan memilih dan melakukan suatu perbuatan, oleh karena adanya kepercayaan bahwa mereka menghayati perilaku yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak-pihak-pihak lain terhadap perilakunya. Kaidah-kaidah menghubungkan segi batiniyah dari pribadi-pribadi yang memilih dengan masyarakat sekelilingnya.25

Hukum sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Analisa ini berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam perilaku-perilaku tersebut. Sering dikatakan bahwa salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut dengan sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial, dan sanksi digunakan sebagai alat untuk

25

Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia


(34)

mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti agar orang tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan.

Sudah tentu mungkin ada orang-orang yang tunduk hukum bukannya karena takut, melainkan ada alasan-alasan lain, dan selain itu tidak cukup bagi kita untuk mengukur sampai sejauh mana fungsi kontrol dari hukum dapat berjalan dengan hanya melihat banyaknya orang yang patuh kepada aturan-aturan hukum yang telah ditentukan. Sesungguhnya rasa takut terhadap hukum dalam arti yang positif mungkin hanya merupakan sebagian dari alasan orang-orang untuk selalu patuh kepada aturan-aturan hukum. 26

Di dalam hubungan antara hukum dengan perilaku masyarakat, terdapat adanya unsur pervasive socially (penyerapan sosial). Artinya, bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan saling relevant atau memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila aturan-aturan hukum dengan sanksi-sanksinya atau dengan perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan (polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya) sudah diketahui atau dipahami arti dan kegunaannya oleh individu atau masyarakat yang terlibat dengan hukum itu. 27

26

David N. Schiff, Hukum sebagai Fenomena Sosial, dalam Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum, Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, eds, Jakarta: Bina Aksara, 1987, h. 253

27


(35)

2. Etika dan Norma Hukum

Etika adalah bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi manusia yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup bermasyarakat.

Kata “etika” menunjuk dua hal. Yang pertama, aspek disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku. Kedua hal ini berpadu dalam kenyataan bahwa bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum, adat dan harapan-harapan yang kompleks dan terus berubah. Akibatnya berdampak kepada perenungan tingkah laku dan sikap, membenarkannya dan kadang-kadang memperbaikinya.28

Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka dirumuskannlah norma-norma masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Namun lama-kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Misalnya dahulu di dalam jual beli, seorang perantara tidak harus diberi bagian dari keuntungan. Akan tetapi lama-kelamaan terjadi kebiasaan bahwa perantara harus mendapat bagiannya, dimana sekaligus ditetapkan siapa yang menanggung itu, yaitu pembeli ataukah penjual.29

Norma atau kaidah-kaidah adalah ketentuan atau peraturan-peraturan yang memberi batasan dan kebebasan kepada anggota masyarakat dan bagaimana

28

R. Andre Karo-karo, Pengantar ke Etika, (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 2 29

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), Cet. 25, h. 220


(36)

hubungan antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya dalam pergaulan hidup sesamanya. Norma atau peraturan hidup itu mulai tumbuh sejak manusia mengenal hidup bermasyarakat, pertumbuhan dan perkembangannya akan melahirkan beberapa macam norma sesuai dengan sumbernya.30

Ajaran agama atau aliran kepercayaan yang masuk atau timbul dalam masyarakat sangat menunjang tegaknya tata tertib kehidupan dalam masyarakat itu. Perintah dan larangan yang dikembangkan oleh ajarannya akan menebalkan iman setiap penganutnya mematuhi segala perintah dan larangannya seperti yang diajarkan oleh agama demi keselamatan hidup manusia.31

Socrates sebagaimana dikutip oleh Dr. Ahmad Mahmud Shubhi mengatakan tidak memisahkan antara etika dan agama. Kehidupan etika, bagi Socrates bertumpu pada dua sendi: hukum negara yang tertulis dan hukum tuhan yang tidak tertulis. Ia mengisyaratkan pentingnya kepercayaan atas kekekalan jiwa dalam tema etika. Kekekalan jiwa adalah masalah metafisika, atau lebih tepanya agama. Socrates menjelaskan bahwa adanya kehidupan lain menampakkan kepada jiwa adanya keadilan yang dapat mengurai segala kepelikan, dan menerangi jalan, sehingga banyak jiwa dapat menelusurinya secara nyaman.32

30

Rien G. Kartasapoetra, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), cet. I, h. 5

31

Ibid., h. 6 32

Ahmad Mahmud shubhi, Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis

Islam, Penerjemah Yunan Askaruzzaman Ahmad, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet. Ke 1, h. 23


(37)

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari pertumbuhan dan perkembangan etika di masyarakat yang terikat dengan norma hukum, kaidah hukum dan norma masyarakat. Norma hukum adalah hasil dari keseluruhan tingkah laku dari orang-orang yang hidup dalam ikatan kemasyarakatan yang harus ditaati. Kaidah hukum adalah kaidah yang diciptakan oleh lembaga masyarakat atau negara yang sedapat mungkin memenuhi segala kepentingan hidup para anggota masyarakat seluruhnya. Kalau norma agama hanya berlaku bagi penganut agama itu, maka norma hukum berlaku lebih luas, bagi seluruh anggota masyarakat dan organ-organ masyarakatnya. Norma atau kaidah hukum bertujuan mengadakan tata tertib dalam pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat, sehingga keamanan, ketertiban, serta keadilan dalam masyarakat/negara dapat terpelihara atau terjamin dengan sebaik-baiknya.33

33


(38)

3. Motivasi dan Perilaku Hukum

Motivasi dapat diartikan suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan organnya. Sedangkan kata motif adalah suatu alasan/dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu/melakukan tindakan tertentu. Dalam suatu motif umumnya terdapat dua unsur pokok, yaitu unsur dorongan/kebutuhan, dan unsur tujuan. Proses interaksi timbal balik antara kedua unsur di atas terjadi di dalam diri manusia, misalnya keadaan cuaca, kondisi lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu dapat saja terjadi suatu perubahan motivasi yang pertama mendapat hambatan atau tidak mungkin dipengaruhi. 34

Menurut Soejono Soekanto mengutip pendapat Talcott Parsons35, aksi

(”action”) mempunyai empat karakteristik, yakni: Suatu tujuan, suatu motivasi yang menyangkut penggunaan energi, suatu situasi, dan pengaturan normatif.

Soerjono menjelaskan bahwa Parsons mengadakan klasifikasi terhadap sistem-sistem aksi, ke dalam dua hal, yakni: 1. sistem kepribadian (”personality

systems”), 2. sistem-sistem sosial (”social systems”). Sistem kepribadian mencakup motivasi-motivasi dan tujuan-tujuan dari pribadi-pribadi. Artinya, hal itu mencakup isi dan cara integrasi dari motivasi-motivasi serta tujuan-tujuan. Sistem sosial mencakup interaksi antara aktor-aktor dengan norma-norma situasional yang

34

Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku, (Yogyakarta: Kanisus, 1992), h. 10

35


(39)

mengatur proses interaksi tersebut. Dengan demikian, maka tempat karakteristik dari sistem-sistem aksi diterapkan pada sistem kepribadian dan sistem sosial; kedua sistem tersebut saling pengaruh mempengaruhi.36

Adapun pengertian perilaku dalam kamus ilmiah adalah tindakan,perbuatan,

atau sikap.37 Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar.

Lawrence M. Friedman menjelaskan ada tiga model Perilaku Hukum.38Pertama, model cost-benefit (model biaya-manfaat atau untung-rugi). Sebelum seseorang bertindak ia menghitung-hitung apa untung ruginya. Ia hanya akan bertindak jika dalam pendapatnya ia akan mendapatkan untung dari perilakunya. Bagi aktor ini, sanksi amat penting artinya. Ia melihat perilakunya dari kacamata imbalan dan hukuman.

Kedua, model peer group didasarkan bahwa tentu saja tidak seorang ahli pun yang akan mencoba memangkas semua perilaku hukum menjadi hitung-hitungan seperti ini. Jelas terlihat bahwa faktor-faktor sosial, ”hubungan-hubungan sosial” - kultur sekeliling dan kelompok sebaya (peer Group)- berpengaruh terhadap perilaku hukum, dengan ancaman pengucilan, misalnya, atau dengan pujian dan celaan.

36 Ibid.

37

Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Yogyakarta: Absolut, 2004), h. 394 38

Lawrence M. Friedman, Sitem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim,


(40)

Ketiga, model perilaku yang menjelaskan atas dasar norma-norma yang tertanam dalam diri aktor. Untuk singkatnya M. Friedman menamakan model ini sebagai kesadaran nurani. Dalam masyarakat-masyarakat yang tak bernegara, sarana penegak hukumnya mungkin hanya kelompok sebaya –sebagai opini publik- dan kesadaran nurani.39

Semua model perilaku hukum ini secara keseluruhan tidak bertentangan dengan yang lainnya. Sebagai tindakan hukum lebih menghasilkan dampak dalam satu tipe daripada yang lainnya. Imbalan dan hukuman ada di mana-mana di dalam hukum. Para pembuat hukum jelas berasumsi bahwa orang-orang akan berpikir dua kali sebelum mengambil risiko masuk penjara atau dikenai denda dan bahwa mereka akan tergugah untuk memperoleh umpan uang dan lainnya.

Propaganda pemerintah jelas berpijak pada kekuatan kesadaran nurani dan opini publik. Segenap sistem hukum mengandalkan munculnya tindakan sukarela. Uang yang dikeluarkan dan yang tidak dikeluarkan untuk inspektor, detektif, polisi dan pengadilan mengasumsikan bahwa masyarakat menghendaki kepatuhan tanpa paksaan. 40

4. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum

Di dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan dan atau ketentuan-ketentuan. Ketentuan dan aturan dimaksud dapat berbentuk Undang-undang Dasar

39

Ibid., h. 81 40


(41)

dan Aturan-aturan Dasar. Aturan-aturan dasar merupakan sadar kehendak yang dirasakan pengekangan dari dalam di mana dirasakan sebagai suatu kesadaran untuk berbuat demikian. Tidak didasarkan sebagai suatu paksaan. Ini terjelma di dalam adat dan kebiasaan dalam masyarakat dan diakui kemanfaatannya baik oleh manusia pribadi maupun oleh masyarakat secara keseluruhan.

Sedangkan Undang-undang Dasar merupakan sadar hukum yang dirasakan sebagai penekangan dari luar diri (ekstern) dimana dirasakan sebagai suatu kesadaran untuk berbuat demikian seolah-olah dipaksakan untuk menyenangkan pihak lain. Ini terjadi dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat secara formal, walaupun secara pribadi kurang berkenan, tetapi harus dilaksanakan untuk menyenangkan orang lain dalam masyarakat tersebut. 41

Berbicara mengenai sadar dan kesadaran dikaitkan dengan manusia dan masyarakat adalah sadar (kesadaran) kehendak dan sadar (kesadaran) hukum. Sadar diartikan merasa, tahu, ingat kepada keadaan yang sebenarnya, atau ingat (tahu) akan keadaan dirinya. Kesadaran diartikan keadaan tahu, mengerti dan merasa. Misalnya tentang harga diri, kehendak, (karsa) hukum dan lain-lainnya.

Kesadaran hukum menurut Dr. Saifullah, mengutip pendapat Paul Scholten bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau hukum yang diharapkan ada, sebenarnya

41

Ibid. Aw. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, (Jakarta: CV. Era Swasta, 1984), cet. I, h. 14


(42)

ditekannkan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.42

Faham kesadaran hukum menurut Soejono Soekanto sebenarnya berkisar pada diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi kesahihan hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan dari pada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidak sesuaian antara dasar kesahihan hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif.43

Munculnya kesadaran hukum didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang menurut Saifullah mengutip Biersted didasari oleh: indoctrination, habituation, utility, dan group identification . Proses itu terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum. 44

42

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. Ke-1, h. 105 43

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali,

1982), cet ke-1, h. 145 44


(43)

Soekanto mengutip pendapat Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:45

1. Seseorang berperilakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya halmana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang.

2. Seseorang berperilakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan. 3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan

kaidah-kaidah tersebut maupun pada nilai-nilai penguasa.

4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang. 5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun tidak

patuh pada hukum (melakukan protes).

Soerjono Soekanto menyimpulkan bahwa kesadaran hukum merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu: pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. 46

45

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, h. 234 46


(44)

Dalam hukum Islam kepatuhan hukum hanya diberlakukan bagi manusia yang sudah mukallaf. Pengertian hukum Islam menurut Amir Syarifuddin, adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah termasuk tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.47

Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum , baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Seluruh sikap dan tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah SWT, maka ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.48 Dalam kajian ushul fiqh, istilah mukallah disebut juga al-mahkum ’alaih (subjek hukum), yaitu

seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’.49

Seseorang belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, ulama ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Menurut Jalaluddin al-Suyuti mengutip pendapat Abu

47

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, cet. Ke-1, h. 5 48

Abdul Aziz Dahlan, Ed. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1996), cet. III, h. 1219 49


(45)

Ishaq akal adalah sifat yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.50 Pertumbuhan akal merupakan hal yang abstrak, dan berproses sejalan dengan perkembangan waktu sampai batas kesempurnaanya. Sebagai tanda yang kongkrit adalah umur baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku.51

Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Oleh karena mereka tidak atau belum berakal, sehingga mereka dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, orang mabuk, dan orang pelupa, tidak dikenai taklif karena ia sedang tidak sadar (hilang akal).

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw yang mengatakan:”

Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai dia baligh dan orang gila sampai ia sembuh”. (HR Bukhari )

Berdasarkan hadis tersebut disimpulkan bahwa kepatuhan hukum diberlakukan kepada orang yang sadar dengan hukum. Karena kepatuhan hukum akan mendapat pahala, sedangkan ketidakpatuhan hukum akan berdampak kepada dosa. Sadar yang dikehendaki dalam Islam adalah orang yang sudah baligh (dewasa) dengan ditandai bermimpi keluar sperma, bagi laki-laki dan sudah datang haid bagi perempuan.

50

Jalaluddin al-Suyuti, al-asybah wa al-Nazhair, (Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsiqafah,

1994), cet I, h. 270 51

Muhammad abu Zahrah, Ushul Fiqih, Penerjemah Saefullah Ma’sum, (Jakarta: Pustaka


(46)

36

JAKARTA TIMUR

A. Keadaan Letak Geografis dan Demografis

Kelurahan Pulo Gebang mempunyai luas wilayah 685.81 Ha, yang dibagi menjadi 16 RW dan 180 RT di Kecamatan Cakung Kota Administrasi Jakarta Timur, dengan batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Kelurahan Ujung Menteng - Sebelah Timur : Kota Bekasi

- Sebelah Selatan : Kelurahan Pondok Kopi - Sebelah Barat : Kelurahan Penggilingan

Adapun luas wilayah Kelurahan Pulo Gebang tersebut dengan perincian peruntukkan tanah sebagai berikut:

1. Status Tanah1

- Tanah Negara : 45,84 Ha

- Tanah Milik Adat : 311 Ha

- Tanah Wakaf : 6 Ha

- Lain-lain : 290 Ha

1


(47)

2. Jenis Tanah

- Darat/Kering : 369,5 Ha

- Sawah/Basah : 296,5 Ha

3. Peruntukkan Tanah

- Untuk Perumahan : 374,5 Ha

- Untuk Industri : 6 Ha

- Untuk Fasilitas Umum : 33,5 Ha

- Untuk Pemakaman (Wakaf) : 6 Ha - Tanah lain-lain : 254 Ha

Tabel 3.1

Jumlah Penduduk berdasarkan status kewarganegaraan

No Status Kewarganegaraan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 WNI 44562 38333 82895

2 WNA 2 2 4

Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang, 2010

Berdasarkan tabel tersebut, penduduk Kelurahan Pulo Gebang mayoritas asli Indonesia atau masyarakat Pribumi. Perbedaan jumlah warga Indonesia yang berasal dari keturunan sangat sedikit, jumlahnya tidak seimbang. Jadi warga Kelurahan Pulo Gebang dihuni oleh warga asli dari warga keturunan yaitu yang berasal dari Cina.

Berikut ini adalah tabel data mengenai jumlah jiwa berdasarkan klasifikasi usia, yaitu:


(48)

Tabel 3.2

Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia

No Klasifikasi Usia

Jumlah jiwa WNI

% Jumlah jiwa WNA

%

1 0-4 11113 16,8 - -

2 5-9 8884 13,4 - -

3 10-14 6237 9,4 - -

4 15-19 5606 8,5 - -

5 20-24 4324 6,5 - -

6 25-29 5341 8,1 - -

7 30-34 5221 7,9 - -

8 35-39 4285 6,5 - -

9 40-44 4141 6,3 - -

10 45-49 3202 4,8 - -

11 50-54 2075 3,1 2 50

12 55-59 1609 2,4 - -

13 60-64 1343 2 - -

14 65-69 932 1,4 - -

15 70-74 1154 1,7 - -

16 75+ 735 1,1 2 50

Jumlah 66.202 100 4 100


(49)

Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Lapangan Kerja

No Jenis Lapangan Kerja Laki-laki Perempuan Jumlah %

1 Tani - - - -

2 Karyawan Swasta/ Pemerintah/ABRI

24.186 24.364 48.550 74,7

3 Pedagang 5.044 2.266 7.310 11,25

4 Nelayan - - - -

5 Buruh Tani - - - -

6 Pensiunan 3.668 1.321 4.989 7,7

7 Pertukangan 633 - 633 0,95

8 Pengangguran 144 2.960 3.184 4,9

9 Fakir Miskin 155 147 302 0,5

10 Lain-lain - - - -

Jumlah 33.830 31.058 64.968 100

Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang, 2010

Dari tabel ini dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kelurahan Pulo Gebang berdasarkan jenis lapangan kerja sangat beragam dan jumlahnya bervariatif, yaitu karyawan Swasta, Pemerintah, TNI dan pedagang. Sebagian besar warga memiliki lapangan kerja sebagai pedagang. Pedagang tersebut mencakup pedagang buah-buahan, sayur-sayuran, dan lain sebagainya.


(50)

Tabel 3.4

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah %

1 Tidak Sekolah 221 243 464 0,7

2 Tidak Tamat SD - - - -

3 Tamat SD 11.614 12.969 24.583 37,7

4 Tamat SLTP 8.730 9.287 18.017 27,6

5 Tamat SLTA 8.008 6.572 14.580 22,4

6 Tamat Akademi/PT 5.500 2.036 7.536 11,6

Jumlah 34.073 31.107 65.180 100

Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang, 2010

Rata-rata warga Kelurahan Pulo Gebang sesuai dengan Kartu Keluarga (KK) adalah tamatan SD dan tamat SLTP, tetapi masih terdapat warga yang tidak sekolah, tamat SLTA dan Akademi (Perguruan Tinggi). Sementara warga yang tidak tamat SD masih jarang bahkan belum ada sesuai data yang yang ada pada laporan bulan Agustus samapi Desember 2010.


(51)

Tabel 3.5

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut

No Agama Jumlah %

1 Islam 51.915 83,5

2 Katolik 5.110 8,2

3 Kristen Protestan 4.325 7,0

4 Hindu 502 0,8

5 Budha 315 0,5

6 Aliran kepercayaan lain - -

Jumlah 62.167 100

Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang 2010

Jumlah terbesar penduduk beragama Islam, dan diurutan selanjutnya Kristen Protestan, Katolik, dan Hindu. Sedangkan warga yang beragama Budha sangat sedikit.

Sedangkan dalam pelaksanaan kegiatan, Kelurahan Pulo Gebang berpedoman kepada Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 147 Tahun 2009 Tentang Bentuk dan susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Sebagaimana dimaksud dalam SK Gubernur Nomor 147 Tahun 2009, Pemerintah Kelurahan mempunyai tugas-tugas dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan masyarakat yang terjadi kewenangan, penyusunan dan penetapan kebijakan dan pemberdayaan masyarakat yang tumbuh atas inisiatif masyarakat,


(52)

memelihara terciptanya ketentraman dan ketertiban serta pelaksanaan program Kesejahteraan Masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jumlah susunan pegawai atau staf organisasi Pemerintah Kelurahan Pulo Gebang sebanyak 26 orang berdasarkan pelaksanaan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 147 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta. Yaitu:

1. Lurah : 1 orang

2. Wakil Lurah : 1 orang

3. Sekretaris : 1 orang

4. Kasie Pemerintahan dan Trantib : 1 orang 5. Kasie Kasatgas POL PP : 1 orang 6. Kasie Kesejahteraan Masyarakat : 2 orang

7. Kasie Pelayanan Umum : 1 orang

8. Kebersihan Lingkungan Hidup : 1 orang 9. Kasie Pra Sarana dan Sarana : 10 orang 10. Kasie Kependudukan : 7 orang


(53)

B. Keadaan Sosiologis Masyarakat

Kelurahan Pulo Gebang, masyarakatnya beranekaragam baik agama maupun status negara dan ekonomi, karena di Kelurahan Pulo Gebang ini tidak hanya dihuni oleh masyarakat asli yang mayoritas agama Islam, tetapi banyak para pendatang yang bermukim di tempat tersebut. Para pendatang berasal dari berbagai suku, agama, dan budaya. Sehingga jumlah antara warga asli dengan para pendatang seimbang.

1. Bidang Pendidikan

Umumnya penduduk Kelurahan Pulo Gebang tingkat pendidikannya rata-rata tamatan SD yang jumlahnya 24.583 orang, lalu tamat SLTP 18.017 orang. Selain itu juga masih terdapat penduduk yang tamat SLTA yang berjumlah 14.580 orang, dan tamat Akademi/perguruan tinggi sebanyak 7.536 orang. Selain itu masih terdapat warga yang tidak sekolah sebanyak 464 orang, bahkan yang tidak Tamat SD sampai sekrang pun belum terdata atau masih jarang.

Pendidikan merupakan salah satu usaha mencerdaskan bangsa sesuai dengan UUD 1945. Hal ini dapat berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Oleh karena itu Pemerintah DKI Jakarta senantiasa berusaha terus untuk dapat memenuhi apa yang menhjadi kebutuhan masyarakat khususnya masalah pendidikan. Adapun jumlah falilitas tempat pendidikan yang ada di Kelurahan Pulo Gebang sebagai berikut:


(54)

Tabel 3.6

Jumlah sarana pendidikan

No Sarana Pendidikan Jumlah

1 Taman Kanak-kanak (TK) 14

2 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 25

3 Sekolah Dasar Swasta 13

4 SLTP Negeri 4

5 SLTP Swasta 6

6 SLTA Negeri 1

7 SLTA Swasta 4

Jumlah 67

Sumber: Data Monografi 2010

2. Bidang Agama

Masyarakat Kelurahan Pulo Gebang sebagian besar penduduknya beragama Islam, yaitu sebanyak 51.915 orang, baik itu berasal dari penduduk asli, maupun penduduk yang bersal dari pendatang yang bertempat tinggal di Kelurahan tersebut. Kemudian ada juga warga yang beragama Kristen, yaitu Katolik sebanyak 5.110 orang, dan Protestan sebanyak 4.325 orang. Masyarakat yang beragama Hindu sebanyak 502 orang, selain itu juga ada warga yang memeluk agama Budha sekitar 315 orang. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakt Kelurahan Pulo Gebang itu beragama Islam.


(55)

Kemudian di daerah Kelurahan Pulo Gebang diadakan Kegiatan Pembinaan Rohani yang sudah berjalan cukup baik, dimana dari pembinaan tersebut diharapkan adanya peningkatan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Khusus bagi karyawan/karyawati Kelurahan Pulo Gebang pembinaan diadakan oleh Tim Banpiroh Tingkat Kecamatan Cakung yang diadakan setiap bulan sekali, sedangkan bagi masyarakt Kelurahan Pulo Gebang kegiatan pembinaan rohani tersebut antara lain:

- Melalui Lembaga Pendidikan - Melalui Majelis Taklim

- Melalui Ceramah-ceramah Agama

- Melalui Peningkatan Keagamaan, dan Hari-hari Besar Agama.

Dalam hal ini, usaha membina dan untuk lebih meningkatkan keyakinan antara umat beragama menurut paham dan keyakinan masing-masing, maka fasilitas tempat peribadatan yang telah dibuat secara swadaya terus ditingkatkan, adanya pertambahan setiap Tahun maka sarana tersebut diharapkan menampung para jemah khususnya bagi umat Islam.

Jumlah Sarana Peribadatan yang ada di Kelurahan Pulo Gebang sebagai berikut:


(56)

Tabel 3.7

Jumlah sarana peribadatan

No Sarana keperibadatan Jumlah

1 Masjid 20

2 Mushalla 45

3 Gereja 2

4 Vihara -

5 Pura -

Jumlah 67

Sumber: Monografi Kelurahan Pulo Gebang 2010

Dari sini dapat kita lihat, bahwasanya di daerah Pulo Gebang tidak ada sarana peribadatan bagi masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha, yaitu fasilitas Pura dan Vihara, karena mayoritas penduduk yang menganut agama tersebut sangat sedikit dan jarang sekali. Dalam hal ini, sebagian besar penduduk masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur mayoritas beragam Islam, baik masyarakat asli (betawi) maupun pendatang yang bertempat tinggal di daerah Pulo Gebang Jakarta Timur.


(57)

47

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU BERSUCI

DAN ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS DI MASYARAKAT PULO GEBANG JAKARTA TIMUR

A. Identifikasi Sumber Data

Dalam penelitian skripsi ini, berdasarkan hasil wawancara dengan 25 narasumber dari masyarakat muslim Pulo Gebang, 23 orang dari masing-masing keluarga yang terpilih menjadi narasumber, dan 2 orang tokoh agama. Data yang diperoleh penulis berdasarkan narasumber dari berbagai latar belakang pendidikan terakhir dan pengalaman belajar tentang agama. Latar belakang pendidikan yang penulis maksud adalah maulai dari lulus SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Sedangkan pengalaman belajar tentang agama mulai dari orang tua, bangku sekolah,

pengajian majlis ta’lim dan dari buku-buku. Data yang diperoleh penulis berdasarkan narasumber yang ada pada kelurahan Pulo Gebang, yang secara langsung diberikan oleh pihak kelurahan setempat.

Penulis mengawali pada bagian pertama ini, terlebih dahulu memaparkan identifikasi sumber data yang terdiri dari usia, pendidikan formal (jenjang pendidikan dan jenis pendidikan), pendidikan non formal misalnya pengalaman mengikuti pendidikan agama secara khusus dan peran sosial keagamaan. Pengetahuan tentang identitas sumber data diharapkan dapat menjadi satu bahan pertimbangan dalam


(58)

menarik kesimpulan nanti, karena pengetahuan identifikasi sumber data dapat mempermudah penulis dalam menganalisis permasalan yang terjadi. Misalnya: faktor jenjang pendidikan akan berpengaruh terhadap pemahaman narasumber mengenai bersuci dan etika membersihkan najis atau faktor lain seperti karena aktif mengikuti pengajian di daerah setempat.

1. Data narasumber berdasarkan segmen usia

Faktor usia dapat menentukan pola fikir dan proses pemahaman seseorang dalam berfikir dan berprilaku. Oleh karena itu, mengetahui usia narasumber adalah suatu hal yang sangat penting. Pemahaman mengenai thaharah mereka bisa diperoleh melalui tingkat pendidikan formal ataupun non formal, misalnya dengan proses melihat, mengamati, meniru, pengetahuan dari orang tua mereka atau hasil bacaan mereka yang diperoleh dari majalah Islam, kitab fiqih.

Berikut ini adalah tabel narasumber berdasarkan segmen usia.

Tabel 4.1

No Usia f %

1 15-25 Tahun 5 20

2 26-35 Tahun 13 52

3 36-50 Tahun 3 12

4 50+ 4 16


(59)

Sumber dari data lapangan tahun 2011

Dari tabel di atas terlihat bahwa usia narasumber baragam. Namun demikian, umumnya yang menjadi narasumber adalah antara usia 26-50 tahun.

2. Data narasumber berdasarkan jenis pendidikan.

Pendidikan dapat menentukan pada pemahaman seseorang mengenai wawasan, pengetahuan dan keilmuan yang dimilikinya. Masyarakat yang mendapatkan pendidikan umum yang formal, mendapatkan pembelajaran mengenai thaharah tidak secara komprehensif. Pengalaman ini berbeda dengan masyarakat yang mendapatkan pendidikan agama (baik formal maupun non formal), dimana mereka mempelajari thaharah secara lebih mendetail. Oleh karena itu, jenis pendidikan dapat memberikan pemahaman thaharah yang berbeda.

Jenis pendidikan juga dapat berpengaruh pada pola perilaku narasumber dalam bersuci atau etika dalam membersihkan najis. Orang yang pernah duduk di bangku pendidikan agama yang formal seperti MTs, Aliyah atau pernah mempelajari dan mengikuti pendidikan agama yang non formal seperti majelis ta’lim baik kaum ibu ataupun kaum bapak, akan lebih memahami mengenai hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan agama. Akan tetapi, di masyarakat Pulo Gebang yang mengikuti pengajian majlis taklim belum tentu memahami hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah lebih mendalam, dikarenakan faktor pendidikan yang hanya mengenyam sampai SD saja sehingga dia kurang memahami dalam penyampaian yang diberikan


(60)

oleh ustadz/ustadzah. Dan ada juga ketika pengajian sedang berlangsung dia tidak mendengarkan isi pengajiannya bahkan dia hanya ngerumpi atau mengantuk sampai di tempat pangajian. Oleh karena itu, mereka memahami thaharah hanya sekelumit saja. Dalam pendidikan agama seperti dalam majelis ta’lim, seorang ustadz atau ustadzah menjelaskan secara terperinci apa yang ada dalam sebuah kitab fiqh dan sekaligus diperagakan secara stimulasi bagaimana cara bersuci dan etika membersikan najis yang tepat dan benar.

Berikut ini adalah tabel data narasumber berdasarkan latar belakang jenis pendidikan.

Tabel 4.2

Data narasumber berdasarkan pendidikan (jenis pendidikan)

No Jenis Pendidikan f %

1 Agama 8 32

2 Umum 17 68

Jumlah 25 100

Sumber : Diolah dari data lapangan tahun 2011

Berdasarkan tabel di atas, narasumber mempunyai latar belakang pendidikan umum lebih dominan dibandingkan pendidikan agama, sehingga hal ini akan berpengaruh pada tingkat pemahaman mengenai thaharah. Orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan cenderung tidak memahami makna thaharah khususnya bersuci dan etika membersihkan najis yang benar.


(61)

3. Data narasumber berdasarkan latar belakang tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses penalaran suatu fenomena keilmuan sebagaimana diuraikan dalam teori kognitif dalam ilmu pendidikan bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya. Makin kecerdasan dan tingkat pendidikan seseorang otomatis akan semakin baik perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Penalaran ini akan berpengaruh terhadap pemahaman tentang segala hal, yang dalam konteks ini adalah thaharah.

Orang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung akan memaknai thaharah lebih sederhana, pemaknaan tersebut bisa diperoleh dari proses meniru dari orang tua atau orang-orang sekitarnya. Tetapi makin tinggi tingkat pendidikannya maka makin kompleks pula pemahaman tentang thaharah, karena proses pembelajarannya tidak hanya dari proses melihat dan meniru, tetapi juga dari proses pembelajaran secara formal sesuai dengan apa yang dijelaskan di kitab-kitab fiqih.


(62)

Tabel 4.3

Data narasumber berdasarkan pendidikan (tingkat pendidikan)

No Tingakat Pendidikan f %

1 SD 6 24

2 SMP/MTs 5 20

3 SMA 8 32

4 Aliyah 3 12

5 S1 2 8

6 S2 1 4

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan 2011

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan narasumber yang diwawancarai, mayoritas narasumber hanya mendapatkan pendidikan hingga bangku sekolah SMA (SLTA).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan narasumber dominan dari pendidikan umum, dengan tingkat pendidikan yang dominan yaitu pendidikan SMA (SLTA). Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman masyarakat tentang thaharah yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

4. Data narasumber berdasarkan pengalaman dalam mengikuti pendidikan agama khusus


(63)

Pengalaman masyarakat dalam mengikuti pendidikan agama non formal secara khusus maksudnya yaitu pengalaman masyarakat yang pernah mengikuti pendidikan keagamaan melalui pengajian rutin di majlis taklim, masjid, pengajian umum mengenai thaharah dan pendidikan agama cepat seperti pesantern kilat. Pengalaman khusus ini akan berpengaruh terhadap pengetahuan narasumber mengenai thaharah secara keilmuan. Sehingga narasumber mampu memahami dengan baik istilah serta makna thaharah.

Berikut ini adalah distribusi narasumber berdasarkan pengalaman dalam mengikuti pendidikan agama khusus:

Tabel 4.4

Data narasumber berpengalaman dalam mengikuti pendidikan agama khusus

No Pengalaman Khusus f %

1 Ya 20 80

2 Tidak 5 20

Jumlah 25 100

Sumber: Diolah dari data lapangan 2011

Mengenai pengalaman narasumber yang pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus, yaitu sebanyak 20 narasumber atau 80 %, sedangkan 5 narasumber atau 20 %, tidak memiliki pengalaman atau tidak pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus.


(1)

Ritonga, A. Rahaman dan Zainudin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, cet. II

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bairut: Muassasah al-Risalah, Jilid 1

Soekanto, Soerjono, Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, cet. ke 2

---, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, Cet. 25 ---, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, cet

ke-1

Schiff, David N, Hukum sebagai Fenomena Sosial, dalam Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum, Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, eds, Jakarta: Bina Aksara, 1987

Shubhi, Ahmad Mahmud, Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, Penerjemah Yunan Askaruzzaman Ahmad, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, cet. ke 1

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. ke-1 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Jilid I, cet. Ke-1 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, cet. ke 9

Taqiyyudin, Kifayah al-Akhyar fi halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya: Dar Ihya al ‘Arabiyah, t.th, Juz 1

Widjaja, Aw., Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, Jakarta: CV. Era Swasta, 1984, cet. I

Wawancara pribadi dengan Ibu Maryani, kamis, 24 Februari 2011 pukul 19.00 Wawancara pribadi dengan Ibu Tin, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 09.00

Wawancara pribadi dengan tokoh agama, kamis, 24 Februari .2011 pukul 16.30 WIB Wawancara pribadi dengan tokoh agama, kamis, 24 Februari 2011 pukul 15.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Yati, minggu 27 Februari 2011 pukul 08.45 WIB


(2)

Wawancara pribadi dengan Ibu Dini, jum’at, 25 februari 2011 pukul 08.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Mamay, senin, 28 Februari 2011 pukul 11.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Rohmah, minggu, 27 Februari 2011 pukul 20.00

WIB

Wawancara pribadi dengan Ibu Rofi, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 17.30 WIB Wawancara pribadi, dengan Ibu Lina, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 17.00 WIB Wawancara pribadi dengan Bapak Rahman, minggu, 27 Februari 2011 pukul 10.30

WIB

Wawancara pribadi dengan Ibu Marhati, minggu, 27 Februari 2011 pukul 17.00 WIB

Wawancara pribadi dengan Ibu Siyah, kamis, 24 Februari 2011 pukul 14.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Yayah, kamis, 24 Februari 2011 pukul 15.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Sholihah, kamis, 24 Februari 2011 pukul 11.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Eka, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 15.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Eni, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 14.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Fina, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 09.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Hj. Asiyah, sabtu 26 Februari 2011 pukul 09.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Ita, senin, 28 Februari 2011 pukul 09.00 WIB

Wawancara pribadi dengan Ibu Haryanti, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 10.30 WIB Wawncara pribadi dengan Ibu Evi, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 13.45 WIB Wawncara pribadi dengan Ibu Rina, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 07.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Rosyidah, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 10.00

WIB

Wawancara pribadi dengan Bapak Rohmat, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 15.00 WIB


(3)

Observasi dilakukan pada hari minggu, 27 Februari 2011 pukul 11.00 WIB Observasi dilakukan pada hari senin, 28 Februari 2011, pukul 10.45 WIB


(4)

DATA-DATA NARASUMBER

No Nama Usia Pendidikan Nama

anak Usia

Jenis Kelamin

Sumber pengetahuan tentang thaharah Diajarkan

ortu

Sekolah Pengajian Buku2

1 Maryani 45 Tahun SD Sholeh 2 Tahun Laki-laki 

2 Tin 26 Tahun SLTA - - -  

3 Yati 30 Tahun SLTA Alya 1 tahun Perempuan 

4 Dini 26 Tahun SLTA Fatir 2 tahun Laki-laki 

5 Yayah 26 Tahun D1 Abror 7 Bulan Laki-laki   

6 Lina 33 Tahun SLTA Banin 11 Bulan Perempuan 

7 Mamay 51 Tahun SD - - -  

8 Evi 30 Tahun SLTA Rais 2 Tahun Laki-laki  

9 Asiah 43 Tahun SLTA Nanda 2 Tahun Perempuan  

10 Rofi 30 Tahun S1 - - - 


(5)

DATA NARASUMBER

12 Fina 25 Tahun SLTP Fahri 10 bulan Laki-laki 

13 Eni 24 Thun SD Dika 1 Tahun Laki-laki 

14 Barera 33 Tahun S1 - - - 

15 Karnali 35 Tahun S2 Liza 2 Tahun Perempuan 

16 Haryanti 20 Tahun SLTP Diva 2 Tahun Perempuan 

17 Eka 25 Tahun SD Nabila 1 Tahun Perempuan 

18 Rina 26 Tahun SLTA Anggun 2 Tahun Perempuan 

19 Maryani 45 Tahun SD Soleh 1 ½ Thun Laki-laki 

20 Marhati 40 Tahun SLTP Jaka 2 Tahun Laki-laki  

21 Ita 24 Tahun SLTA - - -  

22 Romlah 55 Tahun SD - - - 

23 Rahman 34 Tahun SLTA - - - 


(6)