lingkungan manusia dan lingkungan keluarga. Lingkungan fisik yang terdiri dari alam yang berada di sekitar kita. Lingkungan manusia adalah orang-orang yang interaksi
dengan kita baik langsung maupun tidak langsung. Secara lebih kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang terutama pada
masa-masa awal dari kehidupannya. Dalam hubungannya dengan hukum Islam kebersihan dan keindahan lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran
thaharah. Sebagai contoh, menurut syara’ seseorang dilarang melakukan buang air besar atau kecil di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah pohon tempat orang
berteduh, ke dalam saluran air, di tengah jalan dan lobang-lobang binatang yang terdapat di dalam tanah. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan.
3
1. Pengertian Thaharah dan Dasar Hukum Thaharah
Kata thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi terambil dari kata
ةراهط - ارهط - رهطي - رهط
yang berarti suci, bersih.
4
Pengertian
رهط
kata ini terambil dari firman Allah SWT berikut ini:
Jika kamu junub berhadas besar, maka bersucilah... QS. 5:6
3
A. Rahaman Ritonga dan Zainudin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, cet. II, h. 26
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. Ke-4, h. 868
Thaharah menurut Raghib al-Ashfahani, mencakup dua macam, yaitu thaharah jism badan dan thaharah nafs jiwa.
5
Sedangkan menurut istilah fiqh, thaharah ialah
“Menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi kesahihan shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya hadas dan
najis dengan tanah ”.
6
Para fuqaha secara sepakat mengatakan tentang dasar hukum thaharah bahwa thaharah telah disyari’atkan di dalam Islam. Pendapat ini didasarkan antara lain atas
firman Allah SWT:
“Hai orang yang berkmul berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa
menyembah berhala tinggakanlah” QS. 74:1-5
2. Macam-macam Air dan Pembagian Air
Adapun macam-macam air yang boleh dipergunakan untuk bersuci itu ada tujuh macam, yaitu: 1. air langit hujan, 2. air laut, 3. air sungai, 4. air sumur, 5. air
5
Raghib al-Ashfahani, Mu ’jam Mufradat al-Fadzh al-Qur’an, Bairut: Dar Fikr, t.th, h. 318
6
Abu Jayb, Sa’dy, Al-Qamus al- Fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, Dar al-Fikr, 1988, h. 233
sumber, 6. air saljues, 7. air embun.
7
Kemudian macam-macam air itu terbagi empat bagian, yaitu:
8
a. Air suci dan mensucikan, yaitu air mutlak. Air mutlak adalah air yang terpancar dari bumi atau turun dari langit. Allah SWT berfirman:
”....dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” QS. Al- Furqan: 48.
b. Air suci lagi menyucikan tetapi makruh penggunaanya, yaitu air yang terjemur matahari, Air ini boleh digunakan untuk mengangkatkan hadas, akan tetapi
hukumnya makruh, dan malah makruh tanzih bilamana ada air yang lain.
9
Hukum makruh menggunakan air yang terjemur matahari ini menurut mazhab imam Syafi’i, sedangkan tiga imam mazhab yang lainnya Hanafi, Maliki dan
Hanbali mengatakan tidak ada kemakruhan menggunakan air yang terjemur matahari.
10
c. Air suci tetapi tidak mensucikan, yaitu air musta’mal. Air ini boleh diminum
dan dipakai untuk memasak, tetapi tidak sah untuk mengangkat hadas
7
Muhammad bin Qasim al-Ghuzi, Fathul Qarib al-Mujib, Semarang: Usaha Keluarga, t.th, h. 3
8
Al-Imam Taqiyyuddin, Kifayah al-Akhyar fi halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya: Dar Ihya al „Arabiyah, t.th, Juz 1, h. 6
9
Rahaman Ritonga dan Zainudin, h. 20
10
Abdul Wahab al- Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, Semarang: Toha Putera, t.th, Juz 1, h. 108
bersuci dan menghilangkan najis.
11
Hal yang dimaksud dengan air musta’mal ini adalah air bekas yang pernah digunakan untuk bersuci atau air
sedikit yang terkena air bekas untuk bersuci atau air yang tercampur dengan barang yang suci, misalnya tercampurnya itu dengan sabun, kiambang,
tepung, dan lain-lain yang biasa terpisah dari air. Dan apabila air tersebut digunakan untuk bersuci maka hukumnya makruh.
12
d. Air yang bernajis mutanajjis, yaitu air yang kemasukan najis, sedang air itu kurang dari dua kullah atau dua kullah tetapi telah berubah warna, bau, dan
rasanya karena kemasukan najis tersebut. Dua kullah adalah kurang lebih 500 kati Baghdad menurut pendapat yang paling shahih,
13
sebanding dengan ukuran 175 liter air. Para ulama madzhab berkata, bahwa apabila air berpisah
dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya najis. Kalau air itu terpisah tidak bersama najis, maka status hukum bergantung pada
tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jika tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan
melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa
11
Abul Qadir Ar-Rahbawi, Ash- Sholah ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, Penerjemah Abu Firly
Bassam Taqiy, Fikih Shalat Empat Madzhab, Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007, cet. ke X, h. 43
12
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Bairut: Muassasah al-Risalah, Jilid 1, h. 16
13
Untuk lebih jelasnya mengenai berapa banyaknya air dua kullah ada beberapa pendapat diantaranya; menurut ukuran kati baghdad : 245,325 liter atau 62,4 cm x 62,4 x 62,4 cm; menurut
Imam Rafi’i: 176,245 liter atau 56,1 cm x 56,1 cmx 56,1 cm; menurut Imam Nawawi: 174,580 liter atau 55,9 cm x 55,9 cm x 55,9 cm.
A. Ma’ruf Asrori, Ringkasan Fikih Islam, Surabaya: Al-Miftah, 2000, Cet. Pertama, h. 4
tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis.
14
3. Pembagian Najis dan Tingkatannya