B. Keadaan Sosiologis Masyarakat
Kelurahan Pulo Gebang, masyarakatnya beranekaragam baik agama maupun status negara dan ekonomi, karena di Kelurahan Pulo Gebang ini tidak hanya dihuni
oleh masyarakat asli yang mayoritas agama Islam, tetapi banyak para pendatang yang bermukim di tempat tersebut. Para pendatang berasal dari berbagai suku,
agama, dan budaya. Sehingga jumlah antara warga asli dengan para pendatang seimbang.
1. Bidang Pendidikan
Umumnya penduduk Kelurahan Pulo Gebang tingkat pendidikannya rata-rata tamatan SD yang jumlahnya 24.583 orang, lalu tamat SLTP 18.017 orang. Selain itu
juga masih terdapat penduduk yang tamat SLTA yang berjumlah 14.580 orang, dan tamat Akademiperguruan tinggi sebanyak 7.536 orang. Selain itu masih terdapat
warga yang tidak sekolah sebanyak 464 orang, bahkan yang tidak Tamat SD sampai sekrang pun belum terdata atau masih jarang.
Pendidikan merupakan salah satu usaha mencerdaskan bangsa sesuai dengan UUD 1945. Hal ini dapat berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh sarana dan
prasarana yang memadai. Oleh karena itu Pemerintah DKI Jakarta senantiasa berusaha terus untuk dapat memenuhi apa yang menhjadi kebutuhan masyarakat
khususnya masalah pendidikan. Adapun jumlah falilitas tempat pendidikan yang ada di Kelurahan Pulo Gebang sebagai berikut:
Tabel 3.6
Jumlah sarana pendidikan
No Sarana Pendidikan
Jumlah
1 Taman Kanak-kanak TK
14 2
Sekolah Dasar Negeri SDN 25
3 Sekolah Dasar Swasta
13 4
SLTP Negeri 4
5 SLTP Swasta
6 6
SLTA Negeri 1
7 SLTA Swasta
4
Jumlah 67
Sumber: Data Monografi 2010
2. Bidang Agama
Masyarakat Kelurahan Pulo Gebang sebagian besar penduduknya beragama Islam, yaitu sebanyak 51.915 orang, baik itu berasal dari penduduk asli, maupun
penduduk yang bersal dari pendatang yang bertempat tinggal di Kelurahan tersebut. Kemudian ada juga warga yang beragama Kristen, yaitu Katolik sebanyak 5.110
orang, dan Protestan sebanyak 4.325 orang. Masyarakat yang beragama Hindu sebanyak 502 orang, selain itu juga ada warga yang memeluk agama Budha sekitar
315 orang. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakt Kelurahan Pulo Gebang itu beragama Islam.
Kemudian di daerah Kelurahan Pulo Gebang diadakan Kegiatan Pembinaan Rohani yang sudah berjalan cukup baik, dimana dari pembinaan tersebut diharapkan
adanya peningkatan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Khusus bagi karyawankaryawati Kelurahan Pulo Gebang pembinaan diadakan oleh Tim
Banpiroh Tingkat Kecamatan Cakung yang diadakan setiap bulan sekali, sedangkan bagi masyarakt Kelurahan Pulo Gebang kegiatan pembinaan rohani tersebut antara
lain: -
Melalui Lembaga Pendidikan -
Melalui Majelis Taklim -
Melalui Ceramah-ceramah Agama -
Melalui Peningkatan Keagamaan, dan Hari-hari Besar Agama. Dalam hal ini, usaha membina dan untuk lebih meningkatkan keyakinan
antara umat beragama menurut paham dan keyakinan masing-masing, maka fasilitas tempat peribadatan yang telah dibuat secara swadaya terus ditingkatkan, adanya
pertambahan setiap Tahun maka sarana tersebut diharapkan menampung para jemah khususnya bagi umat Islam.
Jumlah Sarana Peribadatan yang ada di Kelurahan Pulo Gebang sebagai berikut:
Tabel 3.7
Jumlah sarana peribadatan
No Sarana keperibadatan
Jumlah
1 Masjid
20 2
Mushalla 45
3 Gereja
2 4
Vihara -
5 Pura
-
Jumlah 67
Sumber: Monografi Kelurahan Pulo Gebang 2010 Dari sini dapat kita lihat, bahwasanya di daerah Pulo Gebang tidak ada
sarana peribadatan bagi masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha, yaitu fasilitas Pura dan Vihara, karena mayoritas penduduk yang menganut agama tersebut
sangat sedikit dan jarang sekali. Dalam hal ini, sebagian besar penduduk masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur mayoritas beragam Islam, baik masyarakat asli betawi
maupun pendatang yang bertempat tinggal di daerah Pulo Gebang Jakarta Timur.
47
BAB IV
ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU BERSUCI DAN ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS DI MASYARAKAT PULO GEBANG
JAKARTA TIMUR A.
Identifikasi Sumber Data
Dalam penelitian skripsi ini, berdasarkan hasil wawancara dengan 25 narasumber dari masyarakat muslim Pulo Gebang, 23 orang dari masing-masing
keluarga yang terpilih menjadi narasumber, dan 2 orang tokoh agama. Data yang diperoleh penulis berdasarkan narasumber dari berbagai latar belakang pendidikan
terakhir dan pengalaman belajar tentang agama. Latar belakang pendidikan yang penulis maksud adalah maulai dari lulus SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi.
Sedangkan pengalaman belajar tentang agama mulai dari orang tua, bangku sekolah, pengajian majlis ta’lim dan dari buku-buku. Data yang diperoleh penulis berdasarkan
narasumber yang ada pada kelurahan Pulo Gebang, yang secara langsung diberikan oleh pihak kelurahan setempat.
Penulis mengawali pada bagian pertama ini, terlebih dahulu memaparkan identifikasi sumber data yang terdiri dari usia, pendidikan formal jenjang pendidikan
dan jenis pendidikan, pendidikan non formal misalnya pengalaman mengikuti pendidikan agama secara khusus dan peran sosial keagamaan. Pengetahuan tentang
identitas sumber data diharapkan dapat menjadi satu bahan pertimbangan dalam
menarik kesimpulan nanti, karena pengetahuan identifikasi sumber data dapat mempermudah penulis dalam menganalisis permasalan yang terjadi. Misalnya: faktor
jenjang pendidikan akan berpengaruh terhadap pemahaman narasumber mengenai bersuci dan etika membersihkan najis atau faktor lain seperti karena aktif mengikuti
pengajian di daerah setempat. 1.
Data narasumber berdasarkan segmen usia Faktor usia dapat menentukan pola fikir dan proses pemahaman seseorang
dalam berfikir dan berprilaku. Oleh karena itu, mengetahui usia narasumber adalah suatu hal yang sangat penting. Pemahaman mengenai thaharah mereka bisa diperoleh
melalui tingkat pendidikan formal ataupun non formal, misalnya dengan proses melihat, mengamati, meniru, pengetahuan dari orang tua mereka atau hasil bacaan
mereka yang diperoleh dari majalah Islam, kitab fiqih. Berikut ini adalah tabel narasumber berdasarkan segmen usia.
Tabel 4.1 No
Usia f
1 15-25 Tahun
5 20
2 26-35 Tahun
13 52
3 36-50 Tahun
3 12
4 50+
4 16
Jumlah 25
100
Sumber dari data lapangan tahun 2011 Dari tabel di atas terlihat bahwa usia narasumber baragam. Namun demikian,
umumnya yang menjadi narasumber adalah antara usia 26-50 tahun.
2. Data narasumber berdasarkan jenis pendidikan.
Pendidikan dapat menentukan pada pemahaman seseorang mengenai wawasan, pengetahuan dan keilmuan yang dimilikinya. Masyarakat yang
mendapatkan pendidikan umum yang formal, mendapatkan pembelajaran mengenai thaharah tidak secara komprehensif. Pengalaman ini berbeda dengan masyarakat yang
mendapatkan pendidikan agama baik formal maupun non formal, dimana mereka mempelajari thaharah secara lebih mendetail. Oleh karena itu, jenis pendidikan dapat
memberikan pemahaman thaharah yang berbeda. Jenis pendidikan juga dapat berpengaruh pada pola perilaku narasumber
dalam bersuci atau etika dalam membersihkan najis. Orang yang pernah duduk di bangku pendidikan agama yang formal seperti MTs, Aliyah atau pernah mempelajari
dan mengikuti pendidikan agama yang non formal seperti majelis ta’lim baik kaum
ibu ataupun kaum bapak, akan lebih memahami mengenai hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengikuti
pendidikan agama. Akan tetapi, di masyarakat Pulo Gebang yang mengikuti pengajian majlis taklim belum tentu memahami hukum dan tata cara pelaksanaan
thaharah lebih mendalam, dikarenakan faktor pendidikan yang hanya mengenyam sampai SD saja sehingga dia kurang memahami dalam penyampaian yang diberikan
oleh ustadzustadzah. Dan ada juga ketika pengajian sedang berlangsung dia tidak mendengarkan isi pengajiannya bahkan dia hanya ngerumpi atau mengantuk sampai
di tempat pangajian. Oleh karena itu, mereka memahami thaharah hanya sekelumit saja. Dalam pendidikan agama seperti dalam maje
lis ta’lim, seorang ustadz atau ustadzah menjelaskan secara terperinci apa yang ada dalam sebuah kitab fiqh dan
sekaligus diperagakan secara stimulasi bagaimana cara bersuci dan etika membersikan najis yang tepat dan benar.
Berikut ini adalah tabel data narasumber berdasarkan latar belakang jenis pendidikan.
Tabel 4.2 Data narasumber berdasarkan pendidikan jenis pendidikan
No Jenis Pendidikan
f
1 Agama
8 32
2 Umum
17 68
Jumlah 25
100 Sumber : Diolah dari data lapangan tahun 2011
Berdasarkan tabel di atas, narasumber mempunyai latar belakang pendidikan umum lebih dominan dibandingkan pendidikan agama, sehingga hal ini akan
berpengaruh pada tingkat pemahaman mengenai thaharah. Orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan cenderung tidak memahami makna thaharah
khususnya bersuci dan etika membersihkan najis yang benar.
3. Data narasumber berdasarkan latar belakang tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses penalaran suatu fenomena keilmuan sebagaimana diuraikan dalam teori kognitif
dalam ilmu pendidikan bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya. Makin kecerdasan dan tingkat pendidikan seseorang
otomatis akan semakin baik perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan untuk mematuhi keinginankebutuhan tersebut.
Penalaran ini akan berpengaruh terhadap pemahaman tentang segala hal, yang dalam konteks ini adalah thaharah.
Orang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung akan memaknai thaharah lebih sederhana, pemaknaan tersebut bisa diperoleh dari proses meniru dari
orang tua atau orang-orang sekitarnya. Tetapi makin tinggi tingkat pendidikannya maka makin kompleks pula pemahaman tentang thaharah, karena proses
pembelajarannya tidak hanya dari proses melihat dan meniru, tetapi juga dari proses pembelajaran secara formal sesuai dengan apa yang dijelaskan di kitab-kitab fiqih.
Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan tingkat pendidikan.
Tabel 4.3 Data narasumber berdasarkan pendidikan tingkat pendidikan
No Tingakat Pendidikan
f
1 SD
6 24
2 SMPMTs
5 20
3 SMA
8 32
4 Aliyah
3 12
5 S1
2 8
6 S2
1 4
Jumlah 25
100 Sumber: diolah dari data lapangan 2011
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan narasumber yang diwawancarai, mayoritas narasumber hanya mendapatkan pendidikan hingga
bangku sekolah SMA SLTA. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan narasumber dominan
dari pendidikan umum, dengan tingkat pendidikan yang dominan yaitu pendidikan SMA SLTA. Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman masyarakat tentang
thaharah yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya.
4. Data narasumber berdasarkan pengalaman dalam mengikuti pendidikan
agama khusus
Pengalaman masyarakat dalam mengikuti pendidikan agama non formal secara khusus maksudnya yaitu pengalaman masyarakat yang pernah mengikuti
pendidikan keagamaan melalui pengajian rutin di majlis taklim, masjid, pengajian umum mengenai thaharah dan pendidikan agama cepat seperti pesantern kilat.
Pengalaman khusus ini akan berpengaruh terhadap pengetahuan narasumber mengenai thaharah secara keilmuan. Sehingga narasumber mampu memahami
dengan baik istilah serta makna thaharah. Berikut ini adalah distribusi narasumber berdasarkan pengalaman dalam
mengikuti pendidikan agama khusus:
Tabel 4.4 Data narasumber berpengalaman dalam mengikuti pendidikan agama khusus
No Pengalaman Khusus f
1 Ya
20 80
2 Tidak
5 20
Jumlah 25
100 Sumber: Diolah dari data lapangan 2011
Mengenai pengalaman narasumber yang pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus, yaitu sebanyak 20 narasumber atau 80 , sedangkan 5 narasumber
atau 20 , tidak memiliki pengalaman atau tidak pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus.
5. Narasumber berdasarkan peran sosial di masyarakat.
Peran narasumber dalam masyarakat dapat berpengaruh dalam tingkat pemahaman mengenai thaharah. Peran sosial di sini terbagi pada dua kategori yaitu, kelompok
masyarakat biasa dan kelompok tokoh agama. Kelompok masyarakat biasa adalah masyarakat yang awam terhadap ilmu agama. Sedangkan tokoh agama adalah
masyarakat yang dijadikan panutan oleh warga masyarakat lainnya dalam bidang keagamaan. Peran kedua kelompok masyarakat ini akan berpengaruh pada pola
perilaku bersuci, pemahaman istilah, makna serta urgensi thaharah dalam pandangan mereka. Kelompok masyarakat biasa pemahamannya terhadap thaharah diyakini
cenderung lebih sederhana, sebatas pengetahuan mengenai fungsi thaharah sebagai syarat dalam melakukan ibadah. Hal ini dimungkinkan karena dalam kesehariannya
mereka tidak berkecimpung dalam masalah keagamaan secara intensif dalam lingkungan bermasyarakat.
Berbeda dengan kelompok masyarakat biasa, tokoh agama memahami thaharah lebih sesuai dengan literatur fiqih. Hal ini dimungkinkan karena tokoh
agama dalam kesehariannya mereka berperan aktif secara intensif dalam hal keagamaan dilingkungan masyarakat, bahkan terkadang mereka menjadi tempat
rujukan untuk bertanya seputar masalah keagamaan sehingga mereka harus mampu memiliki pemahaman yang lebih baik dari masyarakat biasa. Lebih jelasnya akan
tergambar dalam analisis yang akan dibahas. Berikut ini adalah tabel data narasumber berdasarkan peran sosial di
masyarakat:
Tabel 4.5 Data narasumber menurut peran sosial keagamaan
No Peran Sosial
f
1 Masyarakat biasa
23 92
2 Tokoh agama
2 8
Jumlah 25
100 Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2011
Berdasarkan tabel di atas, mayoritas narasumber adalah masyarakat biasa sebanyak 23 narasumber atau 92 , sedangkan tokoh agama hanya 2 orang atau 8 .
Di sini penulis ingin mengetahui perilaku thaharah yang terjadi di masyarakat awam.
B. Pemahaman dan Pelaksanaan Masyarakat Pulo Gebang Terhadap Perilaku Bersuci