Ketiga, model perilaku yang menjelaskan atas dasar norma-norma yang tertanam dalam diri aktor. Untuk singkatnya M. Friedman menamakan model ini sebagai
kesadaran nurani. Dalam masyarakat-masyarakat yang tak bernegara, sarana penegak hukumnya mungkin hanya kelompok sebaya
–sebagai opini publik- dan kesadaran nurani.
39
Semua model perilaku hukum ini secara keseluruhan tidak bertentangan dengan yang lainnya. Sebagai tindakan hukum lebih menghasilkan dampak dalam
satu tipe daripada yang lainnya. Imbalan dan hukuman ada di mana-mana di dalam hukum. Para pembuat hukum jelas berasumsi bahwa orang-orang akan berpikir dua
kali sebelum mengambil risiko masuk penjara atau dikenai denda dan bahwa mereka akan tergugah untuk memperoleh umpan uang dan lainnya.
Propaganda pemerintah jelas berpijak pada kekuatan kesadaran nurani dan opini publik. Segenap sistem hukum mengandalkan munculnya tindakan sukarela.
Uang yang dikeluarkan dan yang tidak dikeluarkan untuk inspektor, detektif, polisi dan pengadilan mengasumsikan bahwa masyarakat menghendaki kepatuhan tanpa
paksaan.
40
4. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum
Di dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan dan atau ketentuan-
ketentuan. Ketentuan dan aturan dimaksud dapat berbentuk Undang-undang Dasar
39
Ibid., h. 81
40
Ibid.
dan Aturan-aturan Dasar. Aturan-aturan dasar merupakan sadar kehendak yang dirasakan pengekangan dari dalam di mana dirasakan sebagai suatu kesadaran untuk
berbuat demikian. Tidak didasarkan sebagai suatu paksaan. Ini terjelma di dalam adat dan kebiasaan dalam masyarakat dan diakui kemanfaatannya baik oleh manusia
pribadi maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan Undang-undang Dasar merupakan sadar hukum yang dirasakan
sebagai penekangan dari luar diri ekstern dimana dirasakan sebagai suatu kesadaran untuk berbuat demikian seolah-olah dipaksakan untuk menyenangkan pihak lain. Ini
terjadi dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat secara formal, walaupun secara pribadi kurang berkenan, tetapi harus dilaksanakan untuk menyenangkan orang lain
dalam masyarakat tersebut.
41
Berbicara mengenai sadar dan kesadaran dikaitkan dengan manusia dan masyarakat adalah sadar kesadaran kehendak dan sadar kesadaran hukum. Sadar
diartikan merasa, tahu, ingat kepada keadaan yang sebenarnya, atau ingat tahu akan keadaan dirinya. Kesadaran diartikan keadaan tahu, mengerti dan merasa. Misalnya
tentang harga diri, kehendak, karsa hukum dan lain-lainnya. Kesadaran hukum menurut Dr. Saifullah, mengutip pendapat Paul Scholten
bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau hukum yang diharapkan ada, sebenarnya
41
Ibid. Aw. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, Jakarta: CV. Era Swasta, 1984, cet. I, h. 14
ditekannkan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
42
Faham kesadaran hukum menurut Soejono Soekanto sebenarnya berkisar pada diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi
kesahihan hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan dari pada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul
masalah, oleh karena adanya ketidak sesuaian antara dasar kesahihan hukum yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat dengan
kenyataan-kenyataan dipatuhinya atau tidak ditaatinya hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada
keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif.
43
Munculnya kesadaran hukum didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang menurut Saifullah mengutip Biersted didasari oleh: indoctrination,
habituation, utility, dan group identification . Proses itu terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang selanjutnya memberikan motivasi
yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum.
44
42
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. Ke-1, h. 105
43
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, cet ke-1, h. 145
44
Dr. Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, h. 105
Soekanto mengutip pendapat Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:
45
1. Seseorang berperilakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya halmana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang.
2. Seseorang berperilakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan.
3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaidah-
kaidah tersebut maupun pada nilai-nilai penguasa. 4.
Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang.
5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun tidak
patuh pada hukum melakukan protes. Soerjono Soekanto menyimpulkan bahwa kesadaran hukum merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Terdapat empat
indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu: pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum,
dan pola perilaku hukum.
46
45
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, h. 234
46
Ibid.,, h 239
Dalam hukum Islam kepatuhan hukum hanya diberlakukan bagi manusia yang sudah mukallaf. Pengertian hukum Islam menurut Amir Syarifuddin, adalah
seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah termasuk tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang
beragama Islam.
47
Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum , baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya.
Seluruh sikap dan tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah SWT, maka ia mendapat imbalan pahala dan
kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
48
Dalam kajian ushul fiqh, istilah mukallah disebut juga al-
mahkum ’alaih subjek hukum, yaitu seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’.
49
Seseorang belum dikenakan taklif pembebanan hukum sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, ulama ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar
pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif
yang ditujukan kepadanya. Menurut Jalaluddin al-Suyuti mengutip pendapat Abu
47
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Jilid I, cet. Ke-1, h. 5
48
Abdul Aziz Dahlan, Ed. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, cet. III, h. 1219
49
Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-fiqh, t.t: Dar al-Qalam, 1978, cet. XII, h. 134
Ishaq akal adalah sifat yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
50
Pertumbuhan akal merupakan hal yang abstrak, dan berproses sejalan dengan perkembangan waktu sampai batas kesempurnaanya. Sebagai tanda yang kongkrit
adalah umur baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku.
51
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Oleh karena mereka tidak atau belum berakal,
sehingga mereka dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, orang mabuk, dan orang pelupa, tidak
dikenai taklif karena ia sedang tidak sadar hilang akal. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw yang mengatakan:”
”Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga jenis orang: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai dia balig
h dan orang gila sampai ia sembuh”. HR Bukhari
Berdasarkan hadis tersebut disimpulkan bahwa kepatuhan hukum diberlakukan kepada orang yang sadar dengan hukum. Karena kepatuhan hukum akan
mendapat pahala, sedangkan ketidakpatuhan hukum akan berdampak kepada dosa. Sadar yang dikehendaki dalam Islam adalah orang yang sudah baligh dewasa
dengan ditandai bermimpi keluar sperma, bagi laki-laki dan sudah datang haid bagi perempuan.
50
Jalaluddin al-Suyuti, al-asybah wa al-Nazhair, Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsiqafah, 1994, cet I, h. 270
51
Muhammad abu Zahrah, Ushul Fiqih, Penerjemah Saef ullah Ma’sum, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997, cet. IV, h. 503
36
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN PULO GEBANG JAKARTA TIMUR
A. Keadaan Letak Geografis dan Demografis