Hambatan Bagi Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

BAB IV KENDALA DALAM PELAKSANAAN FUNGSI DAN PERANAN AUDIT

INVESTIGASI BPKP PERWAKILAN PROPINSI SUMATERA UTARA DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT

A. Hambatan Bagi Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

Menurut sistem substansi KUH Pidana Indonesia yang saat ini masih berlaku, korporasi belum ditentukan sebagai subyek hukum pidana. Berdasarkan Pasal 59, KUHP Indonesia masih menganut sistem yang umum, bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia. Walaupun di dalam KUHP terdapat pasal yang nampaknya menyangkut korporasi sebagai subyek hukum pidana, tetapi yang diancam pidana adalah orang dan bukan korporasi itu sendiri. Hal ini terlihat dari Pasal 169 KUHP tentang turut serta dalam perkumpulan yang melakukan kejahatan. Selanjutnya dalam aturan perundang-undangan Indonesia ternyata pengaturan dan penetapan korporasi sebagai subyek hukum pidana justru banyak di atur dalam perundang-undangan di luar KUHP. Ketentuan tersebut dilakukan karena kebutuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, dan hal inilah yang menjadi embrio untuk ditetapkan dalam sistem KUHP yang akan datang. Kerangka hukum yang dijadikan dasar penyidik Polri dalam rangka penyelidikan suatu perkara pidana korupsi yakni berdasarkan ketentuan hukum yang Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 berlaku secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu, oleh karena adanya syarat-syarat dalam undang-undang mengakibatkan Polri sulit untuk membuktikan suatu badan hukum dapat dikenakan suatu perbuatan melawan hukum. 104 Dalam pembuktian untuk meminta pertanggungjawaban pelaku korupsi oleh penyidik Polri tidaklah mungkin dapat dipikirkan adanya kesengajaan atau kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab yakni korporasi sebagai pelaku. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggungjawab dan tidak pula ada kesengajaan atau kealpaan. 105 Persepsi ini timbul di dalam penyidik Polri karena kerangka hukum kita menganut suatu perinsip praduga tak bersalah, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum schuld is de veranttwoordelijkheid rechtens dan adanya bukti permulaan yang cukup dalam pengenaan sanksi hukum pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan secara pidana kalau orang tersebut tidak melakukan tindak pidana orang yang berbuat dan dialah yang ber-tanggungjawab. 104 Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sumut, Bapak Kompol. Bazawato Zebua, SH, MH, Kanit 3 Sat IIITipikor Dit. Reskrim PoldasuPenyidik, Selasa 9 Desember 2008. 105 Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hal. 75 Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak berarti orang tersebut dapat dipidana, hal ini didasarkan untuk dinyatakan seseorang bersalah harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana yaitu: 1 Adanya keadaan psychis batin yang tertentu dan; 2 Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan. 106 Menurut Barda Nawawi Arief, masalah pertanggungjwaban pidana merupakan segi lain dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat, artinya pengertian subjek tindak pidana meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana si pembuat dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh oleh pembuat undang-undang. 107 Subjek hukum pidana yang dapat menjadi penanggungjawab terhadap peristiwa pidana dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 106 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rhineka Cipta, 2002, hlm. 158 107 Barda Nawawi Arief, Masalah Pemidanaan Sehubungan Dengan Perkembangan Delik- Delik Khusus Dalam Masyarakat Modern, Kertas Kerja Pada Seminar Perkembangan Delik-Delik Khusus Dalam Masyarakat Yang Mengalami Modernisasi, BPHN dan FH Universitas Airlangga, Tanggal 25-27 Pebruari 1980, Bandung: Bina Cipta, 1982, hlm 105-107 Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 1. Penanggungjawab penuh: Penanggungjawab penuh adalah setiap orang yang menyebabkan atau turut serta menyebabkan peristiwa pidana yang diancam setinggi pidana pokoknya. Termasuk dalam kategori penanggungjawab penuh ialah: a. Dader: penanggungjawab mandiri, yaitu penanggungjawab peristiwa pidana atau dengan perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi semua unsur dalam perumusan peristiwa pidana. Dalam delik formil terlihat apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. 108 Dalam delik materil terlihat apabila seseorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. b. Mededader dan Medeplenger, yaitu penanggungjawab bersama dan penanggungjawab serta. Mededader adalah orang-orang yang menjadi kawan pelaku, sedangkan medeplenger adalah orang yang ikut serta melakukan peristiwa pidana. Perbedaannya terletak pada peranan orang-orang yang menciptakanmenyebabkan peristiwa pidana tersebut. 109 108 E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapnnya, Jakarta: Cetakan I Alumni AHM-PTHM, 1982, hlm. 237, pada delik formil yang dirumuuskan adalah tindakan yang dilarang beserta halkeadaan lainnya dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya Pasal 160 penghasutan, Pasal 209 penyuapan, Pasal 247 sumpah palsu, dan Pasal 362 pencurian KUH Pidana 109 Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Jakarta: Pustaka Kartini, 1989, hlm. 80 Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 c. Doenplenger, penanggungjawab penyuruh. Doenplenger ialah seseorang menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan pidana. Dalam bentuk yuridis merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak mampu bertanggungjawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang disuruh seolah-olah hanya menjadi alat instrumen belaka dari orang yang menyuruh. Orang yang menyuruh dalam ilmu hukum pidana disebut manus domina dan orang yang disuruh disebut manus minista. d. Uitikker: penanggung jawab pembujukperencana. Secara sederhana pengertian adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah “menggrakkan atau “membujuk” ruang lingkungan sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat 1 KUHP yaitu dengan cara meberikan atau menjanjikan sesuatu menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan ancaman atau penyesatan , memberikan kesempatan , sarana dan keterangan. 110 2. Penanggung jawab sebagian ialah apabila seseoarang bertanggung jawab atau bantuan, percobaan suatu kejahatan dan diancam dengan pidana sebesar pidana kejahatan yang selesai. Pembuat undang-undang pada dasarnya berpandangan bahwa hanya manusia orang peroranganindividu yang dapat menjadi subjek 110 Ibid, hlm. 84 Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 tindak pidana, sehingga korporasi tidak menjadi subjek tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada rumusan KUH Pidana yang dari cara bagaimana delik dirumuskan, yang selalu dimulai dengan “barang siapa” 111 Pandangan pembuat undang-undang bahwa hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum pidana sedangkan untuk korporasi tidak, hal ini mengacu kepada pendapat Von Savigny yang menyatakan korporasi sebagai suatu fiksi hukum yang diterima dalam ruang lingkup keperdataan, hal ini cocok untuk diambil alih begitu saja untuk kepentingan hukum pidana. Pertimbangan ini didasarkan kepada manusia pribadi atau perseorangan jelas dapat diminta pertanggungjawabannya apabila melakukan suatu tindak pidana, namun terhadap korporasi apakah dapat diminta pertanggungjawaban apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh suatu korporasi. 112 Pada saat ini korporasi dapat dibuktikan sebagai pelaku, namun pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada manusia yang menjalankan korporasi tersebut ataupun melakukan tindak pidana yang bersangkutan. 113 111 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 97 112 Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 103, bahwa dengan pengertian prihal korporasi yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 Sr adalah sama pengertian korporasi dalam hukum keperdataan. 113 Mardjono Reksodiputro, Kejahatan Korporasi Suatu Fenomena Lama Dalam Bentuk Baru, Bahan Kuliah Hukum Pidana dan Kegiatan Perekonomian, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005, bahwa menurut pendapat beliau kenyataan ini tentunya tidak terlepas pula dari keadaan bahwa KUHP Indonesia WvS 1918 menganut pandangan bahwa hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan dinyatakan bersalah untuk hal tersebut. Sesuai dengan strategi ketiga dengan pendekatan pro-aktif yaitu dengan sangat ketat menetapkan kreteria untuk menjadi Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 Kemajuan yang terjadi di bidang ekonomi dan perdagangan menyebabkan subjek hukum pidana tidak dapat hanya dibatasi kepada manusia alamiah naturlijk person saja melainkan juga mencakup manusia hukum rechts person yang lazim di sebut korporasi. Dengan dianutnya korporasi sebagai subjek hukum maka korporasi sebagai badan usaha dapat diminta pertanggungjawabannya sendiri atas perbuatan yang dilakukan, disamping itu memungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau hanya pengurus saja. 114 Dalam upaya membangun strategi untuk mempertahankan eksistensi kepolisian sebagai penegak hukum dan dalam merealisasikan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan tugas Polri tidak akan lepas dari adanya constraint kendala dan opportunity peluang yang dihadapi baik berasal dari internal maupun eksternal. Untuk itu Polri dalam hal penanganan terhadap tersangka pelaku kejahatan dengan didasarkan pada sikap, persepsi dan komitmen untuk menuntaskannya dengan menjunjung tinggi sikap profesionalisme para pelaksana penegak hukum dengan mendasarkan kepada supremasi yuridis. pengurus atau memegang jabatan-jabatan kunci pembuat keputusan dalam perusahaan, mereka yang menduduki jabatan-jabatan tersebutlah yang bertanggungjawab bila ada kegiatan perusahaan yang melanggar hukum. Ada tidaknya kesalahan pada pengurus tidak perlu dipersoalkan oleh pengadilan, pendekatannya adalah dengan konsep ”strict liability” asas pertanggungjawaban mutlak. Cara seperti ini memang tidak disukai oleh perusahaan-perusahaan karena terjadi campur tangan pemerintah dalam struktur manajemen perusahaan-perusahaan bersangkutan. Strategi ini menggunakan pendekatan pro- aktif dan dapat mengurangi kemungkinan kolusi dan pelanggaran peraturan. 114 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 2002. Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 Ada beberapa aspek yang mempengaruhi perubahan kendala sikap mental individu kepolisian dalam menyongsong citra polisi mandiri dan profesional, antara lain: 115 1. Kecenderungan Polri masih sebagai alat pemerintah dan bukan alat negara yang memihak pada kepentingan masyarakatrakyat. 2. Sifat agresif militerisme masih terlihat pada individu Polri khususnya dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. 3. Kemampuan individu Polri yang masih belum memadai dibandingkan dengan tugas yang dibebankan oleh institusi. 4. Beberapa kendala lainnya yang bersifat menghambat pembangunan citra Polri seperti yang didambakan oleh masyarakat. Tugas Polri agar menjadi institusi yang semakin mandiri tidak bergaya kondisional dan profesional tidak saja membutuhkan perangkat normatif yang memadai tetapi juga membutuhkan berbagai dukungan baik itu dana, sarana maupun sumber daya manusia. Tuntutan terhadap institusi polri yang semakin kompleks menuntut keseriusan pemerintah untuk tidak lagi menjadikan kepolisian sebagai penjaga kebijakannya, tetapi menjadikan kepolisian sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. 115 Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sumut, Bapak Kompol. Bazawato Zebua, SH, MH, Kanit 3 Sat IIITipikor Dit. Reskrim PoldasuPenyidik, Selasa 9 Desember 2008. Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 Selanjutnya, peran masyarakat dapat mendukung penegakan hukum dibidang korupsi dan sekaligus juga dapat menjadi penghambat penegakan hukum, efektifitas pelaksanaan penegakan hukum menjadikan kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap hukum itu sendiri sebagai indikator, oleh karenanya diperlukan upaya pembinaan atas sikap, pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap arti pentingnya pemberantasan korupsi. Ketaatan hukum masyarakat ini haruslah diarahkan pada pertanyaan- pertanyaan yang dapat mengidentifikasi variable-variable dalam budaya hukum dan institusi hukum yang mampu meningkatkan efektifitas hukum. Pencapaian sesuatu hanya dapat dilakukan jika budaya hukum meneropong konsepsi instrumental dari hukum untuk mengarahkan secara jelas tujuan ekonomi dan hubungannya dengan sistem hukum. Friedman mengatakan, bahwa tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Sementara itu, budaya masyarakat tergantung kepada budaya anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan kepentingan-kepentingan. 116 Sedangkan hambatankendala yang dihadapi penyidik dalam hal permintaan audit kepada auditor BPKP adalah: 117 116 Lawrence M. Friedman, dalam Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, Op.cit, hlm. 12-13 117 Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sumut, Bapak Kompol. Bazawato Zebua, SH, MH, Kanit 3 Sat IIITipikor Dit. Reskrim PoldasuPenyidik, Selasa 9 Desember 2008 Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 1. Dalam hal pembiayaan bahwa dalam MOU antara kepala BPKP Pusat dngan Kapolri, Pasal 15 disebut bahwa segala biaya yang timbul atas pelaksanaan audit adalah menjadi tanggung jawab penyidik polri, sedangkan pada MOU antara Jaksa Agung dengan Kepala BPKP disebut bahwa biaya yang timbul selama pelaksanaan audit adalah dibebankan kepada negara melalui APBN yang dibebankan kepada anggaran BPKP. 2. Dalam hal ini penyidik kesulitan dalam hal pembiayaan karena anggaran penyidikan untuk kasus perkara berat sesuai Dipa adalah hanya Rp. 14.925.000. Padahal biaya yang dibutuhkan untuk transport dan akomodasi saja apabila dilakukan di daerah yang jauh dari Medan akan memerlukan biaya yang besar. 118 Adapun nilai besaran biaya penyidikan suatu tindak pidana korupsi dapat dilihat dari uraian berikut: 1. Kasus yang menyangkut Kepala Daerah GubernurBupatiWalikota yang pemeriksaanya memerlukan izin dari Presiden harus dipaparkandigelar di Markas Besar Mabes Polri dengan mengundang para pejabat dari: a. Mabes Polri. b. Departemen Dalam Negeri. c. Kementerian Politik dan Hukum. d. Sekretaris Negara. e. Kejaksaan Agung 118 Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sumut, Bapak Kompol. Bazawato Zebua, SH, MH, Kanit 3 Sat IIITipikor Dit. Reskrim PoldasuPenyidik, Selasa 9 Desember 2008. Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 Sedangkan pejabat yang berangkat ke Jakarta untuk paparan kasus tersebut meliputi: a. Direktur reskrim. b. Kasat IIITipikor. c. Penyidik. Selain itu dalam kasus sebagaimana dijelaskan pada point ini, maka pemaparan tersebut juga harus mengudang ahli dari akademisi seperti dari USU dan kepada ahli tersebut diberi honor besarnya tidak sama dan tidak ada patokan tetap. Sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk kasus korupsi sebagaimana dimaksud dalam point ini khususnya yang memerlukan pemaparan pada pejabat yang berwenang dari berbagai instansi terkait adala antara Rp. 25.000.000. sampai dengan Rp. 30.000.000. Tetapi biaya tersebut relatif atau tidak sama besarnya untuk setiap kasus, karena juga ditentukan tingkat kesulitan menyidik dan juga jarak wilayah tempat kejadian perkara TKP dengan tempat penyidikan yang dilakukan. 2. Untuk kasus yang disidik di Kota Medan TKP di Medan dan juga pelakunya bukan Kepala Daerah, maka biaya yang dibutuhkan mulai dari tahap penyidikan hingga selesai penyidikan, biaya lebih kecil dari biaya yang dibutuhkan menyidik kepala daerah, dan apabila dihitung maka biayanya adalah berkisar antara Rp. 10.000.000 sampai dengan 20.000000. Budiman ButarButar : Fungsi Dan Peranan Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan BPKP Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Korupsi Di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara POLDA Sumut, 2009 USU Repository © 2008 dan biaya tersebut juga tidak sama setiap kasus, sehingga diharapkan negara dapat membayar biaya riil sesuai dengan pengeluaran yang telah digunakan untuk menyidik suatu kasus korupsi. 119

B. Kendala Dalam Pelaksanaan Fungsi dan Peranan Audit Investigasi BPKP