13
BAB II PERKEMBANGAN IJTIHAD DAN TAKLID DI JAWA ABAD 20
A. Pengertian Ijtihad dan Taklid
Agama Islam di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang di tandai oleh adanya kegiatan
di bidang sosial, seperti terbentuknya organisasi yang bertujuan untuk memperkuat ukhuwah atau jaringan antar ummat beragama karena, organisasi
Islam yang berdiri pada awal abad ke-20 itu ada hubungannya dengan usaha untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan lepas dari segala bentuk
penjajahan. Sebelumnya, ummat Islam menurut C. Geertz membentuk komunitas
lembaga yang disebut dengan pesantren dan pesantren itu berhasil membentuk komunitas Muslim serta di luar pesantren ada yang disebut dengan paguyuban
pesantren.
11
Setelah mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kondisi yang masih dalam kekangan penjajahan pihak Belanda, maka ummat
Islam mulai sadar dalam bidang sosial dan politik, oleh karena itu awal abad ke- 20 banyak berdiri organisasi-organisasi sosial dan politik dari kalangan ummat
Islam. Dengan maksud mendalami agama Islam, banyak santri yang menuntut
ilmu ke Timur Tengah. Setelah pulang dari menuntut ilmu di Timur Tengah para pelajar itu membawa pengetahuan yang didapat dari sana. Di mana pada wilayah
itu Timur Tengah semarak dengan perkembangan ajaran Wahabi yang dibawa
11
Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta : Salemba Diniyah, 2002, hal-45
14 oleh Muhammad ibn Wahab atau disebut dengan Islam reformis atau
pembaharuan dalam Islam yang bersifat intelektual.
12
Gerakan pembaharuan mengajarkan solidaritas Pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang
secara ilmiah dimodernisasi.
13
Hal itu memberi pengaruh besar terhadap kebangkitan Islam di Indonesia, terbukti pada awal abad ke-20 timbullah
organisasi Islam di Indonesia seperti Sarekat Dagang Islam di Bogor 1909 dan di Solo 1911 Persyarikatan Ulama di Majalengka 1911, Muhammadiyah di
Yogyakarta 1912, Persatuan Islam di Bandung 1920-an, Nahdlatul Ulama 1926, Perti 1930.
14
Selanjutnya perkembangan itu berubah menjadi perdebatan yang mana perdebatan itu dilakukan oleh golongan yang menamai dirinya sebagai pembaharu
dengan golongan yang menamai tradisionalis konservatif, di antaranya adalah mengenai masalah apakah pintu ijthad masih terbuka dan penghilangan apa yang
disebut dengan taklid. Dari peristiwa inilah istilah ijtihad dan taklid mulai timbul dari perbedaan pandangan para santri yang berpandangan reformis dengan para
santri yang bersifat tradisionalis konservatif. Pengertian ijtihad menurut imam as-Suyuti adalah usaha seorang faqih
seorang ahli fiqih untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni persumtif, dan Muhyiddin Abdusshomad menjelaskan tentang ijtihad adalah mencurahkan
segala upaya daya pikir secara maksimal untuk menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan Hadits dengan
12
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, hal. 1-25
13
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet XV- 2003, hal. 257
14
Ibid, hal. 258 lebih lanjut baca Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942
15 menggunakan dalil-dalil umum prinsip-prinsip dasar agama yang ada dalam al-
Qur’an, Hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lain.
15
Menurut ulama Ushul Fiqih, pengertian ijtihad adalah mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-
hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Jadi pengertian Ijtihad mengandung 2 faktor. Pertama adalah khusus untuk menetapkan hukum
dan penjelasnnya atau pengertian ijtihad yang sempurna dan dikhususkan bagi ulama yang yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan hukum-hukum dengan
menggunakan dalil-dalil secara terperinci. Faktor yang kedua adalah ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh ulama sepakat
bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari mujtahid dalam kategori ini.
K.H. M Machfoezh Shiddiq kepala redaksi BNO menerangkan bahwa ijtihad artinya menghabiskannya seorang ahli hukum dengan seantero kekuatan
ilmunya, sekiranya tidak dapat menambahi lebih dari yang sudah dia keluarkan di dalam menentukan hukum-hukum mengambil dari dalil-dalil yang asal al-Qur’an
dan Hadits, dll
16
. Jadi ijtihad adalah mengerahkan segala upaya untuk mengeluarkan hukum-hukum yang belum termaktup dalam dalil-dalil yang asal,
tetapi cara pngambilannya adalah menyandarkan dalil-dalil asal sebagai landasan pengambilan hukum oleh seorang mujtahid.
Setelah pengertian ijtihad secara umum diketahui maka persyaratan apa saja yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk menjadi mujtahid. Syarat pertama
15
K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU : Akidah-Amaliah-Tradisi, Surabaya : Khalista, cet II 2008, hal. 37-38
16
Ch. M. Machfoezh Siddiq, Debat Tentang Ijtihad dan Taqlied, Soerabaia, H.B.N.O, dihimpun dari Majalah BNO terbitan H.B.N.O, hal. 34
16 yang harus dipunya oleh seorang yang ingin menjadi mujtahid menurut ulama ahli
Ushul Fiqih adalah menguasai bahasa Arab dan dikuatkan lagi oleh imam Ghazali bahwa seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan
kebisaan-kebisaan yang berlaku dikalangan mreka dengan maksud agar bisa memahami betul uacapan yang yang dikeluarkan oleh orang Arab.
Kedua adalah mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an, yang ketiga mengerti Sunnah Hadits, yang keempat mengerti letak ijma’ dan khilaf,
kelima mengetahui qiyas dan yang terakhir adalah mengerti maksud-maksud hukum.
17
Setelah syarat-syarat telah ada maka mujtahid dibagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan dengan kualitas sang mujtahid sendiri.
Tingkatan pertama adalah mujtahid muthlaq, kedua mujtahd muntasib, ketiga mujtahid muqoyyad, keempat mujtahid madzhab dan kelima adalah
mujtahid murajjih.
18
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah ketetapan hukum yang diambil oleh seorang yang disebut mujtahid dengan
melihat sang mujtahid itu berada di tingkatan yang ada dalam tingkatan seorang mujtahid dan ia harus mempunyai syarat-syarat tertentu.
Saifuddin Zuhri menerangkan bahwa yang mendapatkan kewenangan untuk berijtihad adalah seorang ahli hukum, maka beliau dengan tegas
menjelaskan, jadilah ahli hukum dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, berijtihad terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum.
19
A. Hasan menerangkan bahwa ijtihad adalah proses pemikiran ulang dan penafsiran
17
K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU….., hal. 41-42
18
Ibid, hal. 42-43
19
Saifuddin Zuhri, Sejarah Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hal. 162
17 ulang hukum secara independen yang dikenal sebagai ijtihad.
20
Menurut Ibrahim Hosen,
21
bahwa ijtihad berbicara hanya dalam masalah hukum taklifiy. Ijtihad menurut arti bahasa adalah usaha yang optimal dan menanggung
beban berat, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini erat kaitannya dengan pengertian
ijtihad menurut istilah. Berbagai macam pernyataan tentang pengertian ijtihad secara terminologis dapat ditemukan. Perbedaan ini didasarkan pada pendekatan
yang digunakan. Bagi ulama yang berpikir holistik dan integral, ijtihad diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam berbagai bidang ilmu,
termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf. Bagi mereka, ijtihad tidak hanya terbatas dalam bidang fiqih. Di lain
pihak, para ahli usul fiqih berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas dalam bidang fiqih saja. Namun demikian, mereka yang disebut terakhir ini berbeda pandapat
dalam merumuskan apa yang dimaksudkan dengan ijtihad itu. Perbedaan pendapat itu, meskipun tidak begitu tajam, namun pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap kedudukan dan bidang kajian atau sasaran ijtihad.
22
Banyak penjelasan tentang istilah ijtihad, untuk tidak keluar dari tema judul, maka pembahasan tentang Ijtihad dijelaskan secara umum dengan maksud
tidak terlalu banyak menjelaskan sehingga keluar dari tema yang ditentukan, tetapi ini menjadi tolok ukur penjelasan untuk menerangkan pada bagian-bagian
berikutnya dalam skripsi ini.
20
A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung : Pustaka, 1984, hal. 103
21
Ibrahim Hosen, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung : Mizan, 1996, hal. 23-25
22
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta : Logos Publishing House, 1995, hal. 12-13
18 Sebuah definisi pragmatis, selalu mengadopsi dari istilah asalnya sebelum
kemudian membentuk satu istilah tertentu secara definitif. Secara etimologi, tercatat dalam kosa kata bahasa Arab, “al-Taklid” digunakan untuk arti
menjadikan ikatan tali pada leher termasuk mengikat tali pada leher hewan qurban sebagai tebusan dalam ritual ihram.
Secara teminologi yang telah dirumuskan, taklid berfungsi untuk sebuah pengertian untuk mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui atau
menelusuri dalil suatu petunjuk untuk dijadikan dasar dalam menjelaskan sesuatu. Secara umum, taklid dapat diartikan menyamai orang lain dalam
melaksanakan dan meninggalkan sesuatu, seperti mengusap sebagian kepala mengikuti kepada madzhab syafi’i dan lainnya.
Dalam potret sejarah disebutkan bahwa taklid mulai menampakkan bentuknya pada permulaan tahun keempat Hijriyah. Imam al-Syaukani dalam
keterangannya menyatakan bahwa sesungguhnya taklid belum pernah terjadi kecuali setelah habisnya era terbaik. Kemudian terus berlanjut pada era-era
setelahnya. Begitu pula masa-masa kejumudan stagnasi yang ditandai dengan pengultusan terhadap madzahib al-arba’ah mulai terjadi setelah usainya masa
keemasan pendirinya, setelah itu struktur peradaban manusia mulai mengalami kemerosotan dengan ditandai mulai terbiasa pola hidup sesuai dengan tradisi para
pendahulu dengan bersikap diam terhadap gaya berpikir secara taklid dan tidak memberi respons protes atau sejenisnya. Sesungguhnya, pengkultusan madzhab
ini dlakukan oleh orang-orang awam yang bertaklid untuk diri mereka sendiri tanpa ada lisensi imam-imam madzhab.
23
23
Team FKI , Esensi Pemikiran Mujtahid, Kediri : PP. Lirboyo, 2003, hal. 5
19 Seiring dengan berkembangnya istilah ijtihad, maka seiring pula kata
taklid menjadi isu dari pergolakan atau perdebatan antara yang ingin menghilangkan taklid seutuhnya dengan yang mempertahankan taklid sebagai
landasan. Pada bagian ini juga akan diterangkan apa itu taklid seobyektif mungkin, dari pengertian hingga syarat-syarat sebagi muqallid, hingga pengertian
kepada apa yang disebut dengan isu taklid buta. Pertama adalah pengertian taklid itu sendiri adalah taklid secara bahasa
adalah meletakkan “qiladatun” kalung ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakkan
di lehernya seperti kalung. Adapun taklid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya. Syaikh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi
menjelaskan bahwa taklid itu adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas kesahihan pendapat tersebut, walaupun
mengetahui tentang kesahihan hujjah taklid itu sendiri.
24
Dari pengertian di atas maka taklid dalam arti luas bukan berarti mengikuti tanpa ada dasar, tetapi juga taklid dilakukan kepada orang yang mengetahui dalil.
Taklid ada persamaannya dengan ittiba’, justru ada yang mengatakan bahwa ittiba’ itu adalah tinggkatan dari pada taklid. Machfoezh Siddiq menerangkan
bahwa ittiba’ itu adalah bagian dari taklid yang paling dasar. Maka menurut beliau ada beberapa tingkatan dari pada taklid itu sendiri, menurut kapasitas keilmuan
seoarang yang dinamakan muqallid. Tingkatan yang partama adalah tingkatan tertinggi dari seorang muqallid
yakni adalah al-Muntasib, satu tingkat di bawahnya adalah Ashabul Wuduh,
24
K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU….., hal. 44
20 derajat yang di bawahnya adalah Ahlut-Tarjih dan khuffazh. Tingkatan ini diatur
sesuai dengan tingkatan dari pada keilmuan dan pengetahuannya.
25
Machfoezh ingin mengemukakan bahwa islilah taklid itu diharuskan untuk orang yang tidak mempunyai dasar atau tidak mengetahui dasar-dasar tentang
ajaran Islam, tidak menutup juga kepada seseorang yang mengetahui dasar tetapi tingkat kecerdasannya dan tingkat keilmuan dan pengetahuannya kurang
mumpuni untuk menjadi seorang mujtahid. Oleh sebab itu taklid oleh golongan tertentu masih dipakai karena, kata
Taklid tersebut bukan pengertian yang negatif tetapi taklid di sini menerangkan bahwa seseorang yang tidak mengetahui dalil-dalil atau yang mengetahui dalil
tetapi belum termasuk yang bisa melakukan Ijtihad, maka menurut beliau boleh dan wajib bertaklid kepada imam-imam yang ditaklidi.
26
Tetapi ada dari sebagian golongan yang mengartikan taklid itu adalah mengikuti tanpa mengetahui dalil atau yang sering disebut dengan taklid buta,
yakni mengikuti tanpa mengerti dalil-dalil yang telah ada atau sekedar mengikut saja, mereka tidak mau bertaklid karena golongan mereka itu menaruh derajat akal
di derajat yang tertinggi, rasional itu berada di derajat yang tertinggi dalam diri manusia.
B. Isu Ijtihad dan Taklid di Masyarakat Jawa