49 Golongan pembaharu hanya mengikuti Al-Qur’an dan hadits saja sebagai
sumber-sumber dasar pemikiran meeka. Mereka berkeyakinan bahwa bab al- ijtihad, pintu ijtihad masih dan tetap terbuka, mereka menolak taklid. Ini tidak
berarti bahwa mereka menyalahkan dan menolak para pendiri mazhab dan imam lain yang mengikutinya, tetapi berpendapat bahwa fatwa dan pendapat para imam
ini, sebagaimana juga pendapat siapa pun, dapat diteliti terus. Dalam pikiran para pembaharu berlakunya suatu fatwa, pemikiran atau perbuatan hendaklah dinilai
dengan Al-Qur’an dan Hadits. Ijtihad telah membawa para pembaharu Islam untuk lebih memperhatikan
pendapat dan bukan si empunya pendapat, yaitu orangnya. Oleh karena itu guru kalangan modern, yang masih disebut kiyai atau syaikh, tidaklah ma’sum dari
kesalahan atau kekhilafan tidak seperti pandangan terhadap guru tradisi oleh pengikutnya. Guru kalangan modern tidak memonopoli ajaran atau pengetahuan
masyarakat yang juga mempunyai hak seperti dia guru itu sendiri untuk membicarakan dan menilainya.
64
D. Pengertian Ijtihad dan Taklid Menurut NU
Masalah utama yang menarik minat Nahdlatul ulama adalah tetap masalah agama, terutama bila menyangkut pengeluaran fatwa yang didasarkan atas ajaran
mazhab. Dalam kenyataan hanyalah mazhab Syafi’i yang banyak diikuti, walau ketiga mazhab lain diakui. Masalah pokok dalam hubungan ini ialah apakah bab
ijtihad masih tetap terbuka ataukah sudah tertutup.
64
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam……. ,hal. 323-326
50 Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yaitu Machfoedz Siddiq, ketua umum
NU, menulis sebuah buku tentang masalah ini yang didasarkannya pada tulisan seorang ulama bernama Waliy al-Lah al-Dahlawy al-Hindy meninggal 1766M.
Ia mengakui prinsip pokok bahwa semua hukum Islam harus berdasarkan Al- Qur’an dan Hadits. Dikatakan bahwa selama abad-abad pertma setelah nabi wafat,
ulama berselisih paham mengenai beberapa masalah tertentu, oleh karena belum terdapat pengumpulan Hadits dan hukum pada umumnya.
Pandangan-pandangan yang dikemukakan golongan pembaharu khususnya dalam hal pelembagaan ijtihad bagi seluruh umat Islam yang di ikuti dengan
penghapusan taklid bagi orang Islam, Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa, benar Islam menganjurkan perkembangan pemikiran agar orang Islam tidak beku
akan tetapi
tidak semua
orang mempunyai
kemampuan untuk
mengembangkannya, disebabkan karena keterbatasan daya yang dimiliki tidak sama tetapi berbeda–beda dan juga tidak semua orang dikaruniai Allah
sebagaimana tidak semua orang mempunyai kesempatan menuntut ilmu.
65
Dalam masa yang dihadapi kini, yaitu abad keduapuluh, ketika mazhab telah jelas, Machfoedz Shiddiq berpendapat bahwa hanya keempat pendiri
mazhab yang ada dapat disebut mujtahid benar-benar. Mereka adalah mujtahid mustsaqil, yaitu mereka yang “melakukan ijtihad, mengetahuimendapatkan
ketentuan hukum dari dalil yang pokok, yakni al-Qur’an dan Hadits. Ia menambahkan bahwa tidak perlu dipersoalkan apakah akan
dipergunakan ijtihad atau taklid dalam hal-hal yang menyangkut hukum mutawatir yaitu yang masyhur, terkenal di kalangan umat seperti soal
65
K.H. Saifudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Praktik, Jakarta : PP. IPNU, 1976, hal. 16
51 sembahyang, puasa, dan zakat, tetapi semua hukum yang lain yang disebutnya
ghairu mutawatir tidak terkenal di kalangan umat menghendaki analisa, pemeriksaan, penyelidikan, dan pengusutan dalil-dalilnya dengan kecerdasan
yang lebih dan pengetahuan yang luas. “Dalam soal ghairu mutawatir inilah, masalah taklid dan ijtihad muncul. Menurut Shiddiq, mereka yang sanggup
melaksanakan ijtihad, yaitu yang memenuhi syarat-syarat untuk itu, “wajib” melaksanakannya; kalau tidak sanggup melaksanakan Ijtihad, maka “wajiblah ia
taklid”. Machfoedz Shiddiq berkesimpulan bahwa,”oleh karena mazhab-,mazhab
imam empat itu sudah cukup terkenal segala-galanya, dalil-salilnya juga, maka bagi orang awam kita yang bertaklid kepadanya tidak usah mengenal dalil
imamnya.” Dan ia sandarkan lagi pembenaran taklid itu pada ayat-ayat Al- Qur’an.
66
Oleh karena itu Nahdlatul Ulama tetap berperinsip bahwa Islam memberi kemerdekaan berpikir, tetapi di dalam kemerdekaan itu senantiasa berpegang pada
prinsip bahwa kemampuan otak tidak dapat mengalahkan wahyu Ilahi dan Sunnah rasul sebab terhadap mazhab yang dikemukakan di atas justru diyakininya bahwa
pendiri-pendiri mazhab tersebut adalah orang yang memungkinkan memahami al- Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Yang diberi gelar dengan mujtahid yaitu :
“orang yang sempurna padanya syarat ijtihad, mempunyai kemampuan mengistimbatkan hukum-hukum amaliyah dan dalil-
dalil syar’i. mereka yang dinamakan mufti dan faqih pada masa dahulu.”
67
Bagi orang awam taklid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang
66
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam………,hal. 252-254
67
T.M. Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqhi, Jakarta : Mulia,hal. 185
52 mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara
mendalam. Para kaum tradisional bertaklid kepada salah satu mazhab empat yang
telah dimaklumi oleh seluruh ahli ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam ilmu Fiqh. Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlak dan
taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber Al-Qur’an dan
hadits, ijma’ dan qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaklid, bukan kemudian kita bertaklid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Kita
bertaklid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlak dan sikapnya Taklid buta atau taklid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh
agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengikuti seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqoha’. Namun, untuk mencapai
derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada.
68
Ijtihad diperlukan setelah nabi wafat karena permasalahan selalu berkembang. Sejak abad ke II dan III Hijriyah permasalahan hukum Islam telah
mulai perumusan hukum, di antaranya hasil dari al-Madzahibul-Arba’ah baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Telah diletakkan pula qaidah-qaidah Ushul
fiqh yang mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barang, kali periode saat ini adalah periode pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad.
Walaupun, jika berijtihad itu hanya akan menghasilkan barang yang sudah berhasil. Contohnya, dalam berwudlu’, bila ada ijtihad, maka tidak akan keluar
dari pendapat mazhab empat atau al-madzhibul arba’ah. Hal ini bukan berarti
68
http:www.nu.or.idpage.php?lang=idmenu=news_viewnews_id=10594
53 ijtihad ditutup mutlak. Dalam masalah-masalah yang berkembang baru di abad
teknologi ini seperti: cangkok mata, bayi tabung, dan lain-lain, ijtihad tetap dibuka dengan berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu dalam ilmu fiqh.
69
Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah bid’ah ini disandingkan dengan istilah sunnah. Seperti
dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang
kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw.
yang artinya : ”Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami agama yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut
tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
E. Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan BNO di Jawa.