1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada beberapa organisasi sosial keagamaan yang berdiri pada paruh pertama abad keduapuluh. Organisasi yang cukup besar antara lain al-Jam’iyah al-
Khairiyah 1905, al-Irsyad 1915, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah dan Persis serta Nahdlatul Ulama. Al-Jam’iyah al-Khairyah dan al-Irsyad, yang aktif
dalam bidang pendidikan, didirikan oleh orang-orang Arab. Mayoritas anggotanya pun orang Arab
1
. Bila melihat rentetan sejarah peradaban Islam di Indonesia, maka akan
ditemukan beberapa periode perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di masyarakat Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang di
Indonesia hingga berlangsungnya masa penjajahan. Ulama merupakan satu- satunya sumber rujukan bertindak dan informasi mengenai paham dan wacana
keIslaman, mereka menjadi sumber rujukan dan ketaatan baik dalam perilaku sosial maupun politik, hingga penjajahan Belanda makin merata, peran ulama
tidak tergoyahkan, bahkan menjadi simbol perlawanan dalam perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya, Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,
Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam perang Padri. Periode sekitar tahun 1900 muncul “gerakan pembaharu.”
1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1996, hal. 84.
2 Kedua, peran ulama digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang
bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam perpolitikan. Diawali oleh peran pemimpin organisasi sosial keagamaan seperti Haji Abdul Karim Amirullah
ayah HAMKA, Zaenul Labai al-Yunusi dan pemimpin-pemimpin organisasi Sumatera Thawalib, di Sumatera ; Syaikh Ahmad Soorkati dari al-Irsyad, Haji
Adbul Karim dari Persyarekatan Ulama Majalengka, Kiai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta, Ahmad Hasan dari Persis, dan organisasi
politik Serikat Islam dengan tokohnya HOS Tjokroaminito, H. Agus Salim, Muhammad Rum, Syafruddin Prawiranegara, Hamka, dan lain-lain, dalam hal ini
Muhammad Natsir tahun 1936 mengatakan “Islam sesungguhnya bukan hanya sistem agama saja, tetapi Islam meliputi seluruh aspek kehidupan baik spiritual,
politik, dan intelektual.
2
Isu ijtihad dan taklid telah berkembang di Jawa sekitar awal abad ke-20 dan ditandai dengan datangnya para ulama yang membawa pandangan
pembaharu, yang mana Badri yatim mengatakan bahwa katalisator dari gerakan pembaharu adalah Jamaluddin al-Afghani.
3
Martin vab Bruinessen, menjelaskan bahwa isu mengenai ijtihad dan taklid dimulai dari kritikan kepada para ulama tradisional yang masih dan menuntut
sikap Taklid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam madzhab fiqih ortodoks abad pertengahan, oleh karena itu gerakan pembaharu menolak
taklid dan menganjurkan kembali pada sumber asli, yaitu al-Qu’an dan Hadits,
2
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 307-308
3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet XV- 2003, hal. 257
3 yang harus direinterpretasikan melalui penalaran bebas ijtihad oleh ulama yang
memenuhi syarat.
4
Memang benar bahwa perkembangan isu-isu Taklid dan ijtihad diawali oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa
pandangan-pandangan pembaharuannya, Zaini Muchtarom menjelaskan dalam buku Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, bahwa setelah warga
Indonesia mulai sadar berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama membuat suatu organisasi untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya
itu adalah Serikat Dagang Islam pada 1911, dan Muhammadiyah 1912 dan lainnya.
Dari organisasi sosial keagamaan yang berdiri itu, isu tentang taklid dan ijtihad mulai didengungkan sebagai dakwah untuk memurnikan ajaran Islam yang
berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, dan hal itu menimbulkan kegelisahan kepada para masyarakat pengikut ulama tradisional karena mereka
mendapatkan kritik-kritik yang seperti Bruinnesen ungkapkan di atas, klimaksnya pada tahun 1926 terbentuklah organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama untuk
menaungi para pengikut yang masih menjalani praktek taklid. Dengan demikian gerakan pembaharuan
Islam mempunyai tugas
memberantas hal-hal yang bersifat mitos dan tahayul yang sudah mengakar di masyarakat sebagai perilaku yang tidak rasional. Sesungguhnya dalam gerakan
pembaharuan Islam tersebut selain mengembalikan rel Islam ke jalan yang sebenarnya juga bernuansa mengedepankan penggunaan akal dalam menyikapi
masalah seperti yang terdapat dalam al-Qur’an.
4
Martin van Bruinessen, NU : Tradisi-Relasi-Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta : LKiS, Cet VII, 2009, hal. 20
4 Menurut G. F. Pijper,
5
salah satu aspek dari gerakan pembaharuan reformisme adalah berpegang teguh kepada dasar Islam tetapi tidak menutupi
bagi masuknya ilmu pengetahuan yang sudah muncul pada masa itu. Dengan kata lain diperlukan suatu modernisme dalam Islam dengan mengedepankan pemikiran
melalui berbagai sarana dan salah satu sarana terpenting adalah melalui media pers.
Kalau dilihat dari sudut pandang pada masa itu, pers dapat dianggap telah membuat revolusi komunikasi, karena telah menggeser atau mengubah pola
komunikasi tradisional lisan menjadi tertulis dalam bentuk surat kabar atau majalah. Di samping itu media cetak menampilkan sistem komunikasi terbuka,
siapa saja bisa membacanya. Sehingga aliran informasi bisa meningkat intensitasnya, meski saluran itu lebih bersifat satu arah, tetapi lebih mempunyai
potensi membangkitkan kesadaran kolektif.
6
Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 menjadikan media pers sebagai salah satu sarana untuk memperkenalkan produk-produk perdagangan dan
industri, serta sejak awal abad ke-20 menemukan bentuknya sebagai media untuk melaporkan kegiatan lembaga atau organisasi dan juga untuk menyebarkan
aspirasi-aspirasinya, sehingga nantinya banyak organisasi sosial, budaya dan politik masyarakat Indonesia yang menggunakan pers sebagai media penyalur
aspirasinya. Kebangkitan organisasi massa Islam yang dipelopori Serekat Islam di
Surakarta pada tahun 1911 juga menggunakan surat kabar sebagai salah satu
5
G. F. Pijper, Beberapa Studi tentang Islam di Inonesia 1900-1942, Jakarta : UI Press, 1985, hal.103.
6
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, hal.
113
5 sarana untuk komunikasi antar anggotanya dan juga menyalurkan aspirasi mereka
baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah kolonial. Surat kabar yang dimiliki SI adalah Oetoesan Hindia tahun 1913, yang terbit di Surabaya dengan
susunan redaksinya adalah Tjokroaminoto, Abd. Moeis, H. Agus Salim, Wagnjadisastra dan Soerjopranoto. Surat kabar SI yang lain adalah Sinar Djawa
Semarang, Pantjaran Warta Betawi dan Sarotomo Surakarta. Orgnisasi sosial keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah yang berdiri
sejak tahun 1912 juga memiliki beberapa majalah, seperti Mingguan Adil Surakarta dan Papadanging Moehammadijah Surakarta. Sementara di Jawa
Barat, khususnya di daerah Cirebon dan Majalengka terbit pers milik organisasi Persarekatan Oelama yang didirikan oleh K. H. Abdul Halim di Majalengka
1913, yaitu majalah bulanan Asj Sjoero Majalengka, 1934,
Soeara Persjarikatan Oelama Majalengka dan Cirebon, 1931 dan Soeara Islam
Cirebon, 1921. Selain itu Sarekat Islam Cabang Cirebon juga memiliki organ pers, yaitu surat kabar Fadjar 1921 dan Muhammadiyah memiliki organ pers
juga yaitu Soeara Muhammadiyah 1922. Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media
yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, pers juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat
pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir
melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo
7
dapat memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers
7
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid II, Jakarta : Gramedia, 1990, hal. 113
6 pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial, dan
keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.
Demikian pula dengan organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada tanggal 16 Rajab 1344 H 31 Januari 1926, bermula dari Komite Hijaz yang
didirikan oleh Kyai Wahab Hasbullah sebagai protes terhadap sikap dan tingkah laku kalangan pembaharu. Kongres-kongres al-Islam selalu didominir oleh
kalangan pembaharu, sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan sering tidak mencerminkan aspirasi kalangan ulama tradisional. Berdirinya NU memang
dirasakan suatu kebutuhan, sebab selama ini kalangan ulama tradisional tidak mempunyai suatu organisasi yang teratur untuk membela kehidupan bermazhab
dan kepentingan mereka lainnya. Muhammadiyah yang berdiri sejak 1912, sekalipun barangkali tidak anti mazhab namun gerakan-gerakannya bercorak
Islam non-mazhab.
8
Kelahiran NU merupakan gerakan pengimbang terhadap gerakan kalangan pembaharu. Hal ini, seperti dikatakan kyai Wahab Hasbullah, sudah dipikirkan
sejak sepuluh tahun sebelumnya.
9
Dalam rangka untuk membentengi para pengikut ulama tradisional dari paham-paham pembaharu yang menolak untuk bertaklid dan bermazhab, maka
dari itu NU menerbitkan majalah yang terbit 2 kali dalam sebulan, yakni pada tanggal 1 dan tanggal 15 pada setiap bulannya, majalah itu adalah Berita
Nahdlatul Oelama, salah satu isinya banyak menerangkan tentang masalah ijtihad
8
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : LP3ES, 1985, hal. 70
9
Muhamad Umar Burhan, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, Bandung : Penerbit Baru, 1970, hal. 12
7 dan taklid. Pada masa itu banyak majalah-majalah yang mengkritik tentang
masalah ijtihad dan taklid, mereka mengkampanyekan dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah masing-masing organisasi keIslaman pada waktu itu, seperti
Soewara Muhammadijad sejak 1912, Fadjar yaitu surat kabar harian milik Sarekat Islam sejak 1920, Soeara Persjarikatan Oelama sejak tahun 1929 dan
surat-surat kabar lainnya yang sezaman bahkan sampai sekarang. Pemberitaannya yang mengkritik praktik mitos dan tahayul kemudian diberikan ulasannya yang
lebih rasional dan masuk akal sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.
10
Berita Nahdlatul Oelama juga menjelaskan tentang pengertian ijtihad dan taklid itu lebih rasional, masuk akal, sesuai juga dengan al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah, dengan demikian, diterbitkannya Berita Nahdlatul Ulama menjadi pembenteng bagi pengikut para ulama tradisional.
Berita Nahdlatul Oelama merupakan lembaga dan media yang sah dari organisasi NU pada masanya. Latar belakang dibentuk dan diterbitkannya Berita
Nadlatul Oelama adalah untuk berdakwah dan menyiarkan Islam yang masih menganut ijtihad dan taklid. Media-media massa dan majalah-majalah milik
beberapa organisasi sosial politik keagamaan, menerbitkan juga seperti yang telah ditulis diatas tentang beberapa media massa yang ditebitkan. Paham-paham
pembaharu secara langsung menafikan ijtihad dan taklid, dan menyerukan untuk kembali kepada ajaran yang sebenarnya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan
warga NU yang masih menggunakan ijtihad dan taklid sebagai bahan acuan dan ajaran menjadikan Berita Nahdlatul Oelama pegangan dan bahan informasi untuk
tidak terpengaruh terhadap paham pembaharu tersebut.
10
Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas Artikel-Artikel KeIslaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, Jakarta :
Laporan Awal Penelitian, 2006
8 Oleh karenanya penulis memutuskan untuk memilih peristiwa ini sebagai
obyek kajian dengan judul, ”Respons Nahdlatul Ulama terhadap Isu-Isu Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan Berita Nahdlatul Oelama di Jawa 1936-1939”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah