43 Islam yang masih menganut dengan ijtihad dan taklid. Yang mana media-media
massa dan majalah-majalah milik beberapa organisasi sosial politik keagamaan, menerbitkan juga seperti yang telah ditulis diatas tentang beberapa media massa
yang ditebitkan. Tentang paham-paham pembaharu yang secara langsung menafikan ijtihad dan taklid, dan menyerukan untuk kembali kepada ajaran yang
sebenarnya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan warga Nahdlatul Ulama yang masih menggunakan ijtihad dan taklid sebagai bahan acuan dan ajaran menjadikan
Berita Nahdlatul Oelama pegangan dan bahan informasi untuk tidak terpengaruh terhadap paham pembaharu tersebut.
Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, tetapi pers
juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi
yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo
56
dapat memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media
pers pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang
ingin dicapainya.
C. Pandangan Kaum Pembaharu Tentang Ijtihad dan Taklid.
Dengan melihat sejarah pembaharuan Islam di Indonesia maka sudah dua abad yang lalu gerakan Islam di Indonesia bertujuan untuk menegakkan ajaran
56
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid II, Jakarta : Gramedia, 1990, hal. 113
44 Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah dengan menghapuskan
khurafat, tahayul, dan hal-hal yang mistis dan mitos. Berserakan juga petunjuk- petunjuk agama yang memerintahkan umat manusia untuk menggunakan akalnya,
yang antara lain :”gunakanlah pikiranmu wahai orang yang mempunyai akal Q.S al-Hasyr:59. Selain itu Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat
11, yang artinya: “…Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”.
Dalam masalah ijtihad, sesungguhnya bukan hanya golongan pembaharu yang menganggap pintu Ijtihad tetap terbuka bagi mereka yang mampu. Hanya
saja harus memenuhi beberapa persyaratan yang sangat ketat, sehingga tidak sembarang orang mampu melakukannya. Adapun mengenai persoalan taklid,
sesungguhnya para anggota dari organisasi Islam sama-sama melakukan taklid. Bedanya, kalau taklid di kalangan para pembaharu lebih ditujukan kepada
lembaga.
57
Seperti di Jawa, yang pertama kali menggerakkan gerakan berpikir maju tersebut adalah Jami’atul Khair tahun 1905 dan kemudian disusul K.H. Ahmad
Dahlan dengan gerakan Muhammadiyahnya yang didirikan di Yogyakarta tahun 1912, tahun yang sama berdiri Persatuan Umat Islam di Majalengka, tahun 1914
kemudian berdiri al-Islam wal Irsyad di Jakarta dan tahun 1923 berdiri Persatuan Islam PERSIS di Bandung. Dalam memperjuangkan keberadaan Islam,mereka
berpandangan bahwa untuk menghadapi dunia modern dan kemajuan zaman tidaklah dengan mengedepankan hal-hal yang berbau khufarat, mistik, tahayul,
perdukunan, penipuan dan sebagainya tetapi harus kembali kepada al-Qur’an dan
57
Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, Jakarta : Yayasan Perkhidmatan, 1984, Hal. 14
45 Hadits Rasulullah yang sudah teruji kebenarannya sepanjang zaman selama
matahari masih bersinar.
58
Gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah di Jawa mengecam kehidupan keagamaan tradisi yang sarat dengan praktik
sinkretisme.
59
Golongan tradisi lebih banyak menghiraukan soal-soal agama, din atau ibadah belaka. Banyak pula yang memberikan perhatian pada tasawuf.
Walaupun golongan ini mengaku menjadi pengikut mazhab, umumnya Syafi’i, mereka umumnya tidak mengikuti ajaran mazhab itu langsung, melainkan ajaran
imam yang datang kemudian. Golongan tersebut lebih banyak mengikui fatwa yang telah ada dan bukan cara mengambil fatwa itu.
Golongan pembaharu lebih memberikan perhatian pada sifat Islam pada umumnya. Bagi mereka Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam
juga berarti kemajuan, agama ini tidak akan menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains, kedudukan wanita. Islam ialah agama
universal, yang dasar-dasar ajarannya diungkapkan oleh para nabi, baik yang dikenal maupun tidak.
Dalam pandangan golongan pembaharu, al-Qur’an dan Hadits dapat dipahami dan diamalkan sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Untuk
itu, ijtihad perlu dihidupkan kembali. Menurut mereka, pendapat-pendapat ulama terdahulu itu merupakan hasil ijtihad yang diperuntukan bagi pemisah problema-
problema sosial keagamaan yang terjadi pada masanya, yang belum tentu cocok untuk memecahkan problema-problema masa kini, ijtihad perlu dihidupkan
58
L Stodddarrd, Dunia Baru Islam, terj., Jakarta :1966 hal. 309-310
59
Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, Jakarta :
Laporan Awal Penelitian, 2006 hal. 22
46 kembali dengan tetap mempertimbangkan hasil ijtihad ulama terdahulu. Ini
berarti, golongan pembaharu dalam menghidupkan kembali ijtihad, tidak serta merta meninggalkan begitu saja pendapat-pendapat ulama terdahulu, tetapi
pendapat-pendapat tersebut diseleksi, dan dicari pendapat yang lebih kuat untuk diterapkan pada masa sekarang.
60
Golongan pembaharu menyebarkan ide-ide yang berbeda, tetapi secara realita, pemikiran keagamaan golongan pembaharu dan tradisional banyak yang
sama. Golongan pembaharu yang berselogan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, serta merasa perlu menghidupkan kembali “ijtihad”, dalam kenyataannya
tetap mengambil pendapat-pendapat para imam mazhab, maka sebagaimana dikatakan oleh A. Mukti Ali, bahwa antara golongan pembaharu seperti
Muhammadiyah, persis dan lainnya dengan golongan tradisional seperti NU tidak terdapat perbedaan yang prinsipil.
61
Muhammad Abduh dalam Buku tulisan Harun Nasution yang berjudul Pembaharuan Dalam Islam, mengatakan bahwa, masuknya berbagai macam
bid’ah ke dalam islam yang membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itulah yang mewujudkan masyarakat Islam yang
jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat Islam, paham-paham asing lagi salah itu harus dikeluarkan dari tubuh Islam. Umat
harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-ajaran Islam sebagai terdapat di zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama-ulama besar.
Untuk menyesuaikan dasar-dasar dengan situasi modern perlu diadakan interpretasi baru dan untuk itu perlu pintu ijtihad dibuka. ijtihad menurut
60
Ibid. hal. 10
61
A. Mukti Ali, Pelbagai Persoalan Islam di Indonesia Dewasa Ini, yogyakarta : Yayasan NIDA, 1971, Hal. 15
47 pendapatnya bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi
yang di maksudnya bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad. Hanya orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat yang diperlukan yang boleh mengadakan ijtihad. Yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, harus mengikut
pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya. ijtihad ini dijalankan langsung pada Al-Qur’an dan Hadits, sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam.
Pendapat-pendapat ulama tidak mengikut. Bahkan ijma’ mereka pun tidak mempunyai sifat maksum. Lapangan bagi Ijtihad sebenarnya ialah mengenai soal-
soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit itu. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu disesuaikan dengan zaman.
Adapun soal ibadah, karena ini merupakan hubungan manusia dengan tuhan dan bukan manusia dengan manusia, tak menghendaki perubahan menurut zaman.
Oleh karena itu, ibadah bukanlah lapangan ijtihad sebenarnya untuk zaman modern ini.
Dengan sendirinya taklid kepada ulama lama tak perlu diperintahkan, karena Taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tak
dapat maju. Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan taklid. taklid ini menghambat perkembangan bahasa Arab,
perkembangan susunan masyarakat Islam, syariat, sistem pendidikan dan sebagainya. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik,
dipandang Muhammad Abduh berlainan betul dengan sikap umat Islam terdahulu. Al-Qur’an dan Hadits, katanya, melarang umat Islam bersifat taklid.
62
62
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : PT Bulan Bintang, cet ke-13, 2001. hal. 53-55.
48 Dalam masalah dunia, golongan pembaharu menuduh golongan taradisi
mengembil sikap yang menghambat kemajuan mereka sendiri dan pada umumnya kemajuan umat Islam. Mereka terutama pada tahun-tahun permulaan gerakan
pembaharu, berada dalam keadaan jumud beku oleh karena mereka merasa puas dengan cara dan perbuatan tradisional, Hal ini membawa kita pada kebebasan
kemerdekaan akal, suatu masalah yang erat hubungannya dengan masalah ijtihad dan taklid. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam “menghargai akal manusia
dan memperlindunginya daripada tindasan-tindasan”. Tetapi mereka pun melihat bahwa kemerdekaan akal dapat menumbuhkan pemikiran yang mungkin
membawa pada kesesatan. Oleh sebab itu mereka katakan bahwa kemerdekaan akal dan pikiran dapat membawa seseorang pada pikiran mulia, tetapi juga pada
kejahatan dan dalam hal ini agama diperlukan untuk mengarahkan kekuatan akal itu pada jalan lurus.
Pada aspek aqidah yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Muhammadiyah salah satu dari golongan pembaharu berkeyakinan, bahwa
manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatanyya, sebab Tuhan telah memberi kemerdekaan dan tanggung jawab kepada manusia untuk memilih antara
perbuatan baik dan buruk. Dalam pandangan Muhammadiyah, perbuatan manusia adalah produk manusia itu sendiri. Seperti tercermin dalam keputusan majlis
Tarjih Muhammadiyah, sebagai berikut : “Dengan demikian maka segala ketentuan adalah dari Allah dan
usaha adalah bagian manusia. Perbuatan manusia ditilik dari kuasanya dinamakan hasil usaha sendiri”
63
63
Majlis Tarjih Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta : Pimpinan Pusat Muhammadiyah, t.t. hal. 19
49 Golongan pembaharu hanya mengikuti Al-Qur’an dan hadits saja sebagai
sumber-sumber dasar pemikiran meeka. Mereka berkeyakinan bahwa bab al- ijtihad, pintu ijtihad masih dan tetap terbuka, mereka menolak taklid. Ini tidak
berarti bahwa mereka menyalahkan dan menolak para pendiri mazhab dan imam lain yang mengikutinya, tetapi berpendapat bahwa fatwa dan pendapat para imam
ini, sebagaimana juga pendapat siapa pun, dapat diteliti terus. Dalam pikiran para pembaharu berlakunya suatu fatwa, pemikiran atau perbuatan hendaklah dinilai
dengan Al-Qur’an dan Hadits. Ijtihad telah membawa para pembaharu Islam untuk lebih memperhatikan
pendapat dan bukan si empunya pendapat, yaitu orangnya. Oleh karena itu guru kalangan modern, yang masih disebut kiyai atau syaikh, tidaklah ma’sum dari
kesalahan atau kekhilafan tidak seperti pandangan terhadap guru tradisi oleh pengikutnya. Guru kalangan modern tidak memonopoli ajaran atau pengetahuan
masyarakat yang juga mempunyai hak seperti dia guru itu sendiri untuk membicarakan dan menilainya.
64
D. Pengertian Ijtihad dan Taklid Menurut NU