Isu Ijtihad dan Taklid di Masyarakat Jawa

20 derajat yang di bawahnya adalah Ahlut-Tarjih dan khuffazh. Tingkatan ini diatur sesuai dengan tingkatan dari pada keilmuan dan pengetahuannya. 25 Machfoezh ingin mengemukakan bahwa islilah taklid itu diharuskan untuk orang yang tidak mempunyai dasar atau tidak mengetahui dasar-dasar tentang ajaran Islam, tidak menutup juga kepada seseorang yang mengetahui dasar tetapi tingkat kecerdasannya dan tingkat keilmuan dan pengetahuannya kurang mumpuni untuk menjadi seorang mujtahid. Oleh sebab itu taklid oleh golongan tertentu masih dipakai karena, kata Taklid tersebut bukan pengertian yang negatif tetapi taklid di sini menerangkan bahwa seseorang yang tidak mengetahui dalil-dalil atau yang mengetahui dalil tetapi belum termasuk yang bisa melakukan Ijtihad, maka menurut beliau boleh dan wajib bertaklid kepada imam-imam yang ditaklidi. 26 Tetapi ada dari sebagian golongan yang mengartikan taklid itu adalah mengikuti tanpa mengetahui dalil atau yang sering disebut dengan taklid buta, yakni mengikuti tanpa mengerti dalil-dalil yang telah ada atau sekedar mengikut saja, mereka tidak mau bertaklid karena golongan mereka itu menaruh derajat akal di derajat yang tertinggi, rasional itu berada di derajat yang tertinggi dalam diri manusia.

B. Isu Ijtihad dan Taklid di Masyarakat Jawa

.Memang benar bahwa perkembangan isu-isu taklid dan ijtidad diawali oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa pandangan-pandangan pembaharuannya, Zaini Muchtarom menjelaskan dalam 25 M. Machfoezh Siddiq, Debat Tentang…, hal. 36-39 26 Ibid, hal. 40 21 buku Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, bahwa setelah warga Indonesia mulai sadar berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama membuat suatu organisasi untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya itu adalah Sarekat Dagang Islam pada 1911, dan Muhammadiyah 1912. Memang pada awal abad ke-20 isu-isu ini sangat gencar sekali sampai- sampai pada kongres kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres al- Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mutamar Alam Islami Kongres Islam Internasional di Mekah karena sikapnya yang berbeda, maka dari itu dari hal tersebut terbentuklah klomite Hijaz dan akhirnya tebentuklah organisasi NU satu tahun setelahnya. Selain sebagai simbol untuk melawan perlawanan dari Belanda, para Ulama juga berperan dalam menyebarkan isu-isu ijtihad dan taklid yang terjadi di masyarakat Jawa, memang isu tentang ijtihad dan taklid berawal dari pandangan ulama-ulama yang berpaham pembaharu yang mana para ulama tesebut mengambil pemikiran Jamaludin al-Afghani seperti yang sudah diterangkan di atas. Para ulama yang bertahan diri terhadap kritikan-kritikan tersebut adalah para ulama tradisional dan pengikutnya yang memegang dan berpandangan masih melakukan praktik taklid dan percaya bahwa ijtihad itu bisa dilakukan oleh orang- orang yang benar-benar mumpuni dalam melakukan ijtihad, dan untuk masa itu mereka beranggapan bahwa orang yang memang mumpuni dalam melakukan ijtihad belum tampak adanya. Dari kronologis itulah isu-isu tentang ijtihad dan taklid mulai tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Perbedaan yang terjadi hanyalah dalam masalah keagamaan tentang ijtihad dan taklid saja, tetapi 22 isu-isu tentang menjadikan Indonesia ini lepas dari penjajahan Belanda adalah hal yang paling utama, para pemimpin organisasi-organisasi sosial keagamaan sering terlibat bersama dalam memerdekakan negara Indonesia.

C. Perkembangan Ijtihad dan Taklid Pada Organisasi Keagamaan Di Jawa Abad Ke-20