Respons nahdatul ulama terhadap isu-isu ijtihad dan taklid: dalam ulasan berita nahdlatoel oelama di jawa 1936-1939

(1)

RESPONS NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ISU-ISU IJTIHAD DAN TAKLID : DALAM ULASAN

BERITA NAHDLATOEL OELAMA DI JAWA 1936-1939

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)

Oleh :

Dodi Mauludi Achmad NIM : 103022027505

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

RESPONS NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ISU-ISU IJTIHAD DAN TAKLID : DALAM ULASAN

BERITA NAHDLATOEL OELAMA DI JAWA 1936-1939

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)

Oleh :

Dodi Mauludi Achmad NIM : 103022027505

Pembimbing :

Dr. H. Abd. Chair NIP : 1954 1231 1983 03 1030

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi ini berjudul“RESPONS NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ISU-ISU IJTIHAD DAN TAKLID : DALAM ULASAN BERITA NAHDLATOEL OELAMA DI JAWA 1936-1939” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu ( S 1 ) pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 17 Maret 2011 Sidang Munaqasyah

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA NIP. 19591222 199103 1 003

Sekretaris Merangkap Anggota

Sholikatus Sa’diyah, M.Pd

19750417 200501 2 007 Anggota

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA

NIP. 19591222 199103 1 003

Nurhasan, S. Ag, MA NIP. 19690724 199703 1 001

Pembimbing

Dr. H. Abd. Chair, MA NIP : 19541231 198303 1 030


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu ( S 1 ) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan sari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 17 Maret 2011


(5)

ABSTRAKSI

Ulama merupakan satu-satunya sumber rujukan bertindak dan informasi mengenai paham dan wacana keislaman, mereka menjadi sumber rujukan dan ketaatan baik dalam perilaku sosial maupun politik serta peran media pers sebagai media yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, tetapi pers juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir melalui media pers, dapat memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya. Dan dari sinilah isu-isu tentang ijtihad dan taklid berkembang yang dimulai dari para ulama melalui media yang sedang berkembang yaitu pers. Isu mengenai ijtihad dan taklid dimulai dari kritikan kepada para ulama tradisional yang masih dan menuntut sikap taklid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam madzhab fiqih, oleh karena itu gerakan pembaharu menolak taklid dan menganjurakan kembali pada sumber asli, yaitu al-Qu’an dan Hadits, yang harus

di reinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang memenuhi syarat. NU dengan BNO-nya merespon atas kritikan tersebut yang memuat artikel di dalamnya tentang masalah ijtihad dan taklid.


(6)

KATA PENGANTAR

Tiada untaian kata yang terindah yang dapat penulis sampaikan, selain rasa syukur ke hadirat Allâh SWT, yang telah memberikan kenikmatan tiada batas kepada para hambaNya di alam fana ini. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnahnya hingga akhir zaman.

Karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Strata Satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan diselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan, hambatan yang penulis hadapi dan rasakan, baik yang menyangkut masalah pengaturan waktu, pengumpulan data-data, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan keteguhan hati dan kemauan untuk berusaha keras serta dorongan dan bantuan yang datang dari berbagai pihak, kesulitan dan hambatan tersebut sedikit demi sedikit dapat teratasi dengan baik.

Penulis menyadari dan yakin, bahwa atas rahmat dan karuniaNya serta dorongan berbagai pihak yang telah berkenan memberikan bantuan, fasilitas, kemudahan, dan doa restu kepada penulis, skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka yang terlibat, dalam hal ini terutama kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, yang dengan ikhlas, tulus, dan sabar memberikan kasih sayang, perhatian dan doa kepada penulis, sehingga penulis mampu melanjutkan studi hingga ke tingkat perguruan tinggi. Terima kasih pula


(7)

kepada kakak-kakakku, atas segala dorongan yang diberikan kepada penulis. Semoga amal perbuatan beliau semua mendapat ganjaran yang setimpal dari Allâh swt.

2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, DR. Abd Wahid Hasyim, MA, Drs. H.

M. Ma’ruf Misbah, MA, selaku Ketua dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd,

sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang senantiasa melayani penulis dalam urusan administrasi dan akademik.

3. DR. Abd Chair, MA, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya bagi penulis untuk menyelesailan skripsi ini.

4. Segenap Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak berjasa dalam memberikan motivasi dan bimbingan berupa ilmu, terutama selama penulis menjalankan studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Pihak Akademik, Pihak Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan lainnya, yang telah memberikan pelayanan dan banyak menyediakan serta memberikan referensi berupa data-data kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai.

Penulis hanya bisa berdoa, semoga amal baik mereka diberikan ganjaran yang setimpal, karena sesungguhnya Allâh Swt sebaik-baik pemberi balasan.

Ciputat, 17 Maret 2011


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... i

LEMBAR PERNYATAAN... ii

ABSTRAKSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 9

D. Metode Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Sitematika Penulisan ... 11

BAB II PERKEMBANGAN IJTIHAD DAN TAKLID DI JAWA ABAD KE-20 A. Pengertian Ijtihad dan Pengertian Taklid ... 13

B. Isu Ijtihad Dan Taklid di Masyarakat Jawa ... 20

C. Perkembangan Ijtihad dan Taklid pada Organisasi Keagamaan di Jawa Abad ke-20 ... 22

BAB III ORGANISASI ISLAM DAN PERS ABAD KE-20 DI JAWA A. Perkembangan Organisasi Islam Abad ke-20 di Jawa ... 25


(9)

C. Hubungan Organisasi Islam dan Pers Abad ke-20 di Jawa... 37

BAB IV ULASAN TERHADAP ISU-ISU IJTIHAD DAN TAKLID DALAM PEMBERITAAN BNO DI JAWA A. Terbentuknya BNO ... 40

B. Diterbitkannya BNO Sebagai Media Sah NU... 42

C. Pandangan Kaum Pembaharu Tentang Ijtihad dan Taklid... 43

D. Pengertian Ijtihad dan Taklid Menurut NU ... 49

E. Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan BNO di Jawa... 53

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ada beberapa organisasi sosial keagamaan yang berdiri pada paruh pertama abad keduapuluh. Organisasi yang cukup besar antara lain al-Jam’iyah al -Khairiyah (1905), al-Irsyad (1915), Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah dan Persis serta Nahdlatul Ulama. Al-Jam’iyah al-Khairyah dan al-Irsyad, yang aktif dalam bidang pendidikan, didirikan oleh orang-orang Arab. Mayoritas anggotanya pun orang Arab1.

Bila melihat rentetan sejarah peradaban Islam di Indonesia, maka akan ditemukan beberapa periode perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut.

Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di masyarakat Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang di Indonesia hingga berlangsungnya masa penjajahan. Ulama merupakan satu-satunya sumber rujukan bertindak dan informasi mengenai paham dan wacana keIslaman, mereka menjadi sumber rujukan dan ketaatan baik dalam perilaku sosial maupun politik, hingga penjajahan Belanda makin merata, peran ulama tidak tergoyahkan, bahkan menjadi simbol perlawanan dalam perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya, Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam perang Padri. Periode sekitar tahun 1900 muncul“gerakan pembaharu.”

1

Deliar Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,(Jakarta, LP3ES, 1996), hal. 84.


(11)

Kedua, peran ulama digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam perpolitikan. Diawali oleh peran pemimpin organisasi sosial keagamaan seperti Haji Abdul Karim Amirullah (ayah HAMKA), Zaenul Labai al-Yunusi dan pemimpin-pemimpin organisasi Sumatera Thawalib, di Sumatera ; Syaikh Ahmad Soorkati dari al-Irsyad, Haji Adbul Karim dari Persyarekatan Ulama Majalengka, Kiai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta, Ahmad Hasan dari Persis, dan organisasi politik Serikat Islam dengan tokohnya HOS Tjokroaminito, H. Agus Salim, Muhammad Rum, Syafruddin Prawiranegara, Hamka, dan lain-lain, dalam hal ini Muhammad Natsir tahun 1936 mengatakan “Islam sesungguhnya bukan hanya sistem agama saja, tetapi Islam meliputi seluruh aspek kehidupan baik spiritual, politik, dan intelektual.2

Isu ijtihad dan taklid telah berkembang di Jawa sekitar awal abad ke-20 dan ditandai dengan datangnya para ulama yang membawa pandangan pembaharu, yang mana Badri yatim mengatakan bahwa katalisator dari gerakan pembaharu adalah Jamaluddin al-Afghani.3

Martin vab Bruinessen, menjelaskan bahwa isu mengenai ijtihad dan taklid dimulai dari kritikan kepada para ulama tradisional yang masih dan menuntut sikap Taklid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam madzhab fiqih ortodoks abad pertengahan, oleh karena itu gerakan pembaharu menolak taklid dan menganjurkan kembali pada sumber asli, yaitu al-Qu’an dan Hadits,

2

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 307-308

3

Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet XV-2003), hal. 257


(12)

yang harus direinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang memenuhi syarat.4

Memang benar bahwa perkembangan isu-isu Taklid dan ijtihad diawali oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa pandangan-pandangan pembaharuannya, Zaini Muchtarom menjelaskan dalam buku Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, bahwa setelah warga Indonesia mulai sadar berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama membuat suatu organisasi untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya itu adalah Serikat Dagang Islam pada 1911, dan Muhammadiyah 1912 dan lainnya.

Dari organisasi sosial keagamaan yang berdiri itu, isu tentang taklid dan ijtihad mulai didengungkan sebagai dakwah untuk memurnikan ajaran Islam yang berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, dan hal itu menimbulkan kegelisahan kepada para masyarakat (pengikut ulama tradisional) karena mereka mendapatkan kritik-kritik yang seperti Bruinnesen ungkapkan di atas, klimaksnya pada tahun 1926 terbentuklah organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama untuk menaungi para pengikut yang masih menjalani praktek taklid.

Dengan demikian gerakan pembaharuan Islam mempunyai tugas memberantas hal-hal yang bersifat mitos dan tahayul yang sudah mengakar di masyarakat sebagai perilaku yang tidak rasional. Sesungguhnya dalam gerakan pembaharuan Islam tersebut selain mengembalikan rel Islam ke jalan yang sebenarnya juga bernuansa mengedepankan penggunaan akal dalam menyikapi masalah seperti yang terdapat dalam al-Qur’an.

4

Martin van Bruinessen, NU : Tradisi-Relasi-Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta : LKiS, Cet VII, 2009), hal. 20


(13)

Menurut G. F. Pijper,5 salah satu aspek dari gerakan pembaharuan (reformisme) adalah berpegang teguh kepada dasar Islam tetapi tidak menutupi bagi masuknya ilmu pengetahuan yang sudah muncul pada masa itu. Dengan kata lain diperlukan suatu modernisme dalam Islam dengan mengedepankan pemikiran melalui berbagai sarana dan salah satu sarana terpenting adalah melalui media pers.

Kalau dilihat dari sudut pandang pada masa itu, pers dapat dianggap telah membuat revolusi komunikasi, karena telah menggeser atau mengubah pola komunikasi tradisional (lisan) menjadi tertulis dalam bentuk surat kabar atau majalah. Di samping itu media cetak menampilkan sistem komunikasi terbuka, siapa saja bisa membacanya. Sehingga aliran informasi bisa meningkat intensitasnya, meski saluran itu lebih bersifat satu arah, tetapi lebih mempunyai potensi membangkitkan kesadaran kolektif.6

Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 menjadikan media pers sebagai salah satu sarana untuk memperkenalkan produk-produk perdagangan dan industri, serta sejak awal abad ke-20 menemukan bentuknya sebagai media untuk melaporkan kegiatan lembaga atau organisasi dan juga untuk menyebarkan aspirasi-aspirasinya, sehingga nantinya banyak organisasi sosial, budaya dan politik masyarakat Indonesia yang menggunakan pers sebagai media penyalur aspirasinya.

Kebangkitan organisasi massa Islam yang dipelopori Serekat Islam di Surakarta pada tahun 1911 juga menggunakan surat kabar sebagai salah satu

5

G. F. Pijper,Beberapa Studi tentang Islam di Inonesia 1900-1942,(Jakarta : UI Press, 1985), hal.103.

6

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 113


(14)

sarana untuk komunikasi antar anggotanya dan juga menyalurkan aspirasi mereka baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah kolonial. Surat kabar yang dimiliki SI adalah Oetoesan Hindia tahun 1913, yang terbit di Surabaya dengan susunan redaksinya adalah Tjokroaminoto, Abd. Moeis, H. Agus Salim, Wagnjadisastra dan Soerjopranoto. Surat kabar SI yang lain adalah Sinar Djawa

(Semarang),Pantjaran Warta(Betawi) danSarotomo(Surakarta).

Orgnisasi sosial keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah yang berdiri sejak tahun 1912 juga memiliki beberapa majalah, seperti Mingguan Adil

(Surakarta) dan Papadanging Moehammadijah (Surakarta). Sementara di Jawa Barat, khususnya di daerah Cirebon dan Majalengka terbit pers milik organisasi Persarekatan Oelama yang didirikan oleh K. H. Abdul Halim di Majalengka (1913), yaitu majalah bulanan Asj Sjoero (Majalengka, 1934), Soeara Persjarikatan Oelama (Majalengka dan Cirebon, 1931) dan Soeara Islam

(Cirebon, 1921). Selain itu Sarekat Islam Cabang Cirebon juga memiliki organ pers, yaitu surat kabar Fadjar (1921) dan Muhammadiyah memiliki organ pers juga yaituSoeara Muhammadiyah(1922).

Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, pers juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo7 dapat memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers

7

Sartono Kartodirdjo,Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme,Jilid II, (Jakarta : Gramedia, 1990), hal. 113


(15)

pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial, dan keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.

Demikian pula dengan organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926), bermula dari Komite Hijaz yang didirikan oleh Kyai Wahab Hasbullah sebagai protes terhadap sikap dan tingkah laku kalangan pembaharu. Kongres-kongres al-Islam selalu didominir oleh kalangan pembaharu, sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan sering tidak mencerminkan aspirasi kalangan ulama tradisional. Berdirinya NU memang dirasakan suatu kebutuhan, sebab selama ini kalangan ulama tradisional tidak mempunyai suatu organisasi yang teratur untuk membela kehidupan bermazhab dan kepentingan mereka lainnya. Muhammadiyah yang berdiri sejak 1912, sekalipun barangkali tidak anti mazhab namun gerakan-gerakannya bercorak Islam non-mazhab.8

Kelahiran NU merupakan gerakan pengimbang terhadap gerakan kalangan pembaharu. Hal ini, seperti dikatakan kyai Wahab Hasbullah, sudah dipikirkan sejak sepuluh tahun sebelumnya.9

Dalam rangka untuk membentengi para pengikut ulama tradisional dari paham-paham pembaharu yang menolak untuk bertaklid dan bermazhab, maka dari itu NU menerbitkan majalah yang terbit 2 kali dalam sebulan, yakni pada tanggal 1 dan tanggal 15 pada setiap bulannya, majalah itu adalah Berita Nahdlatul Oelama, salah satu isinya banyak menerangkan tentang masalah ijtihad

8

Ahmad Syafi’i Ma’arif,Islam dan Masalah Kenegaraan,(Jakarta : LP3ES, 1985), hal. 70

9

Muhamad Umar Burhan, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, (Bandung : Penerbit Baru, 1970), hal. 12


(16)

dan taklid. Pada masa itu banyak majalah-majalah yang mengkritik tentang masalah ijtihad dan taklid, mereka mengkampanyekan dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah masing-masing organisasi keIslaman pada waktu itu, seperti

Soewara Muhammadijad sejak 1912, Fadjar yaitu surat kabar harian milik Sarekat Islam sejak 1920, Soeara Persjarikatan Oelama sejak tahun 1929 dan surat-surat kabar lainnya yang sezaman bahkan sampai sekarang. Pemberitaannya yang mengkritik praktik mitos dan tahayul kemudian diberikan ulasannya yang lebih rasional dan masuk akal sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.10

Berita Nahdlatul Oelama juga menjelaskan tentang pengertian ijtihad dan taklid itu lebih rasional, masuk akal, sesuai juga dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah, dengan demikian, diterbitkannya Berita Nahdlatul Ulama menjadi pembenteng bagi pengikut para ulama tradisional.

Berita Nahdlatul Oelama merupakan lembaga dan media yang sah dari organisasi NU pada masanya. Latar belakang dibentuk dan diterbitkannya Berita Nadlatul Oelama adalah untuk berdakwah dan menyiarkan Islam yang masih menganut ijtihad dan taklid. Media-media massa dan majalah-majalah milik beberapa organisasi sosial politik keagamaan, menerbitkan juga seperti yang telah ditulis diatas tentang beberapa media massa yang ditebitkan. Paham-paham pembaharu secara langsung menafikan ijtihad dan taklid, dan menyerukan untuk kembali kepada ajaran yang sebenarnya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan warga NU yang masih menggunakan ijtihad dan taklid sebagai bahan acuan dan ajaran menjadikan Berita Nahdlatul Oelama pegangan dan bahan informasi untuk tidak terpengaruh terhadap paham pembaharu tersebut.

10

Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas Artikel-Artikel KeIslaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942,(Jakarta : Laporan Awal Penelitian, 2006)


(17)

Oleh karenanya penulis memutuskan untuk memilih peristiwa ini sebagai obyek kajian dengan judul,”Respons Nahdlatul Ulama terhadap Isu-Isu Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan Berita Nahdlatul Oelama di Jawa 1936-1939”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas di atas, maka perlu adanya pembatasan dan perumusan masalah agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kesimpangsiuran dalam penggarapan skripsi ini. Penulis akan mengulas artikel pemberitaan yang terdapat dalam majalah Berita Nahdlatul Ulama yang terbit di Jawa antara tahun 1936-1939. Penulis ingin menjawab beberapa pertanyaan sebagai pokok-pokok permasalahan yang menjadi inti dari skripsi ini. Adapun beberapa permasalahan itu dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana isu tentang ijtihad dan taklid yang berkembang di masyarakat antara tahun 1936-1939 ?

2. Mengapa banyak bermunculan pikiran ijtihad dan taklid di Jawa pada awal abad ke-20?

3. Bagaimana NU menjelaskan ijtihad dan taklid dalam ajaran Islam dan bagaimana menyikapi perdebatan tentang isu-isu ijtihad dan taklid dalam pemberitaan ?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan ini adalah :

1. Merekonstruksi suatu gerakan dakwah dan pemikiran yang dilakukan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama di pulau Jawa, melalui pemberitaan.

2. Dengan bercermin dan melakukan refleksi terhadap gambaran pemberitaan majalah yang menjdi obyek studi pada masa itu, bangsa Indonesia, khususnya bagi golongan yang mempraktekkan paham-paham pembaharu dalam Islam yang menyebutkan ajaran ijtihad dan taklid sebagai ajaran yang mengandung unsus bid’ah dan sesat.

D. Metode Penulisan

Dengan menggunakan majalah sebagai media yang dapat memberikan pengaruh bagi pembacanya, yang pada akhirnya dipergunakan oleh sebagian kekuatan sosial, politik dan keagamaan sebagai sarana untuk mengaktualisasikan ide-ide kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.

Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan Berita Nahdlatul Oelama yang diterbitkan oleh organisasi keagamaan NU dan menggunakan metode deskriptif-analitis dengan cara mengumpulkan yang paling sesuai dengan pembahasan skripsi, kemudian dibandingkan antara data yang satu dengan data yang lain agar dapat memperoleh data yang lebih akurat untuk di jadikan sumber rujukan penyusunan skripsi. Untuk melengkapi penulisan skripsi, penelusuran awal, sumber majalah ini penulis dapatkan dalam naskah asli yang dipegang oleh


(19)

perpustakaan yang ada di PBNU Jakarta. Selain itu sumber pustaka akan dicari dari perpustakaan Nasional, perpustakaan Arsip Nasional RI (ANRI) dan perpustakaan yang terdapat pada intern kampus UIN Jakarta.

Sumber-sumber yang sudah diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan ulasan wacana terutama untuk kategori artikel atau opini, karena tulisan tersebut lebih bersifat subyektif pandangan dari penulis. Selain itu sumber-sumber pustaka juga akan dianalisa dan diupayakan membuat eksplanasi dan hasil interpretasi terhadap sumber-sumber primer maupun sumber sekunder. Pada bagian akhir ini penulis akan melakukan proses historiografi yaitu penulisan yang terstuktur sesuai kerangka yang telah dibuat berdasarkan poin permasalahan yang tersebut di atas.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menggunkan literatur jenis media pers yakni Berita Nahdlotul Oelama yaitu majalah yang dikeluarkan resmi oleh Organisasi keagaman NU, penulis membahas majalah sekitar tahun 1936-1939, tetapi tidak juga mengenyampingkan media-media pers yang lain.

Setelah itu literatur yang menunjang untuk membahas penelitian ini adalah literatur yang menjelaskan tentang pentingnya pers dalam menyampaikan opini masyarakat dan opini suatu organisasi di awal abad ke-20 seperti buku yang di tulis oleh Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, di sini membahas tentang kepentingan media pers dalam menyampaikan aspirasi.

Juga yang menjadi rujukan bahwa perkembangan pers sebagai pembawa organisasi politik, adalah buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V yang disusun


(20)

oleh Marwati Djoened Poesponegoro, ed, salah satu yang menjelaskan teori tentang pers pada awal abad ke-20 ini, setelah itu penulis lebih banyak menggunakan literatur BNO, tetapi artikel yang ada di dalam BNO yang menjelaskan tentang masalah isu-isu ijtihad dan taklid rupanya sudah dirangkum menjadisebuah buku, yang berjudul Debat Tentang Ijtihad dan Taklid, buku ini ditulis oleh pemimpin redaksi BNO sendiri yaitu Machfoezh Shiddiq, yang diterbitkan oleh HBNO, Surabaya.

Berangkat dari tinjauan pustaka inilah, penulis berinisiatif untuk menyusun karya akademik yang menyoroti tentang Respons Nahdlatul Ulama terhadap Isu-Isu Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan Berita Nahdlatul Oelama di Jawa 1936-1939, dengan memperhatikan beberapa kelebihan dan kekurang dari literarur-literatur di atas.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini maka secara sistematis pembahasan dalam tulisan ini disusun sebagai berikut:

BAB I : Membahas tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metodologi Penulisan, Tinjauan Pustaka dan Sitematika Penulisan.

BAB II : Membahas tentang perkembangan Ijtihad dan Taklid di Jawa abad ke-20, setelah itu pengetian ijtihad, pengertian taklid dan isu tentang ijtihad dan taklid di Masyarakat Jawa.

BAB III : Membahas organisasi Islam dan pers abad ke-20 di Jawa setelah itu, perkembangan organisasi Islam abad ke-20 di Jawa, perkembangan


(21)

pers abad ke-20 dan hubungan antara organisasi sosia dengan pers abad ke-20.

BAB IV : Membahas tentang respons dan ulasan terhadap isu-isu Ijtihad dan Taklid dalam pemberitaan BNO di Jawa, setelah itu terbentuknya BNO, diterbitkannya BNO sebagai media sah NU, pandangan kaum pembaharu terhadap ijtihad dan taklid, pengertian ijtihad dan taklid menurut NU dan ijtihad dan taklid dalam ulasan BNO di Jawa,

BAB V: Sebagai Penutup dalam tulisan ini, yang merupakan jawaban eksplisit atas apa yang dipersoalkan dalam pembatasan dan perumusan masalah dan sekaligus menyampaikan beberapa harapan peneliti dengan tulisan (laporan dalam wujud skripsi ini) tertuang dalam kesimpulan dan saran.


(22)

BAB II

PERKEMBANGAN IJTIHAD DAN TAKLID DI JAWA ABAD 20

A. Pengertian Ijtihad dan Taklid

Agama Islam di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang di tandai oleh adanya kegiatan di bidang sosial, seperti terbentuknya organisasi yang bertujuan untuk memperkuat ukhuwah atau jaringan antar ummat beragama karena, organisasi Islam yang berdiri pada awal abad ke-20 itu ada hubungannya dengan usaha untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan lepas dari segala bentuk penjajahan.

Sebelumnya, ummat Islam menurut C. Geertz membentuk komunitas lembaga yang disebut dengan pesantren dan pesantren itu berhasil membentuk komunitas Muslim serta di luar pesantren ada yang disebut dengan paguyuban pesantren.11 Setelah mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kondisi yang masih dalam kekangan penjajahan pihak Belanda, maka ummat Islam mulai sadar dalam bidang sosial dan politik, oleh karena itu awal abad ke-20 banyak berdiri organisasi-organisasi sosial dan politik dari kalangan ummat Islam.

Dengan maksud mendalami agama Islam, banyak santri yang menuntut ilmu ke Timur Tengah. Setelah pulang dari menuntut ilmu di Timur Tengah para pelajar itu membawa pengetahuan yang didapat dari sana. Di mana pada wilayah itu (Timur Tengah) semarak dengan perkembangan ajaran Wahabi yang dibawa

11

Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2002), hal-45


(23)

oleh Muhammad ibn Wahab atau disebut dengan Islam reformis atau pembaharuan dalam Islam yang bersifat intelektual.12

Gerakan pembaharuan mengajarkan solidaritas Pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi.13 Hal itu memberi pengaruh besar terhadap kebangkitan Islam di Indonesia, terbukti pada awal abad ke-20 timbullah organisasi Islam di Indonesia seperti Sarekat Dagang Islam di Bogor (1909) dan di Solo (1911) Persyarikatan Ulama di Majalengka (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama (1926), Perti (1930).14

Selanjutnya perkembangan itu berubah menjadi perdebatan yang mana perdebatan itu dilakukan oleh golongan yang menamai dirinya sebagai pembaharu dengan golongan yang menamai tradisionalis konservatif, di antaranya adalah mengenai masalah apakah pintu ijthad masih terbuka dan penghilangan apa yang disebut dengan taklid. Dari peristiwa inilah istilah ijtihad dan taklid mulai timbul dari perbedaan pandangan para santri yang berpandangan reformis dengan para santri yang bersifat tradisionalis konservatif.

Pengertian ijtihad menurut imam as-Suyuti adalah usaha seorang faqih (seorang ahli fiqih) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (persumtif), dan Muhyiddin Abdusshomad menjelaskan tentang ijtihad adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan Hadits dengan

12

Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam,(Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hal. 1-25

13

Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet XV-2003), hal. 257

14

Ibid, hal. 258 (lebih lanjut baca Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942)


(24)

menggunakan dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam

al-Qur’an, Hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lain.15

Menurut ulama Ushul Fiqih, pengertian ijtihad adalah mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan

hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Jadi pengertian

Ijtihad mengandung 2 faktor. Pertama adalah khusus untuk menetapkan hukum dan penjelasnnya atau pengertian ijtihad yang sempurna dan dikhususkan bagi ulama yang yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan hukum-hukum dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci. Faktor yang kedua adalah ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh ulama sepakat bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari mujtahid dalam kategori ini.

K.H. M Machfoezh Shiddiq (kepala redaksi BNO) menerangkan bahwa ijtihad artinya menghabiskannya seorang ahli hukum dengan seantero kekuatan ilmunya, sekiranya tidak dapat menambahi lebih dari yang sudah dia keluarkan di dalam menentukan hukum-hukum mengambil dari dalil-dalil yang asal (al-Qur’an

dan Hadits, dll)16. Jadi ijtihad adalah mengerahkan segala upaya untuk mengeluarkan hukum-hukum yang belum termaktup dalam dalil-dalil yang asal, tetapi cara pngambilannya adalah menyandarkan dalil-dalil asal sebagai landasan pengambilan hukum oleh seorang mujtahid.

Setelah pengertian ijtihad secara umum diketahui maka persyaratan apa saja yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk menjadi mujtahid. Syarat pertama

15

K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU : Akidah-Amaliah-Tradisi, (Surabaya : Khalista, cet II 2008), hal. 37-38

16

Ch. M. Machfoezh Siddiq, Debat Tentang Ijtihad dan Taqlied, (Soerabaia, H.B.N.O, dihimpun dari Majalah BNO terbitan H.B.N.O), hal. 34


(25)

yang harus dipunya oleh seorang yang ingin menjadi mujtahid menurut ulama ahli Ushul Fiqih adalah menguasai bahasa Arab dan dikuatkan lagi oleh imam Ghazali bahwa seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebisaan-kebisaan yang berlaku dikalangan mreka dengan maksud agar bisa memahami betul uacapan yang yang dikeluarkan oleh orang Arab.

Kedua adalah mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an, yang ketiga mengerti Sunnah (Hadits), yang keempat mengerti letak ijma’ dan khilaf,

kelima mengetahui qiyas dan yang terakhir adalah mengerti maksud-maksud hukum.17 Setelah syarat-syarat telah ada maka mujtahid dibagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan dengan kualitas sang mujtahid sendiri.

Tingkatan pertama adalah mujtahid muthlaq, kedua mujtahd muntasib, ketiga mujtahid muqoyyad, keempat mujtahid madzhab dan kelima adalah mujtahid murajjih.18 Maka dapat diambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah ketetapan hukum yang diambil oleh seorang yang disebut mujtahid dengan melihat sang mujtahid itu berada di tingkatan yang ada dalam tingkatan seorang mujtahid dan ia harus mempunyai syarat-syarat tertentu.

Saifuddin Zuhri menerangkan bahwa yang mendapatkan kewenangan untuk berijtihad adalah seorang ahli hukum, maka beliau dengan tegas menjelaskan, jadilah ahli hukum dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, berijtihad terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum.19 A. Hasan menerangkan bahwa ijtihad adalah proses pemikiran ulang dan penafsiran

17

K.H. Muhyiddin Abdusshomad,Hujjah NU…..,hal. 41-42

18

Ibid, hal. 42-43

19


(26)

ulang hukum secara independen yang dikenal sebagai ijtihad.20 Menurut Ibrahim Hosen,21 bahwa ijtihad berbicara hanya dalam masalah hukum taklifiy.

Ijtihad menurut arti bahasa adalah usaha yang optimal dan menanggung beban berat, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini erat kaitannya dengan pengertian ijtihad menurut istilah. Berbagai macam pernyataan tentang pengertian ijtihad secara terminologis dapat ditemukan. Perbedaan ini didasarkan pada pendekatan yang digunakan. Bagi ulama yang berpikir holistik dan integral, ijtihad diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf.

Bagi mereka, ijtihad tidak hanya terbatas dalam bidang fiqih. Di lain pihak, para ahli usul fiqih berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas dalam bidang fiqih saja. Namun demikian, mereka yang disebut terakhir ini berbeda pandapat dalam merumuskan apa yang dimaksudkan dengan ijtihad itu. Perbedaan pendapat itu, meskipun tidak begitu tajam, namun pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kedudukan dan bidang kajian atau sasaran ijtihad.22

Banyak penjelasan tentang istilah ijtihad, untuk tidak keluar dari tema judul, maka pembahasan tentang Ijtihad dijelaskan secara umum dengan maksud tidak terlalu banyak menjelaskan sehingga keluar dari tema yang ditentukan, tetapi ini menjadi tolok ukur penjelasan untuk menerangkan pada bagian-bagian berikutnya dalam skripsi ini.

20

A. Hasan,Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup,(Bandung : Pustaka, 1984), hal. 103

21

Ibrahim Hosen,Ijtihad Dalam Sorotan,(Bandung : Mizan, 1996), hal. 23-25

22

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta : Logos Publishing House, 1995), hal. 12-13


(27)

Sebuah definisi pragmatis, selalu mengadopsi dari istilah asalnya sebelum kemudian membentuk satu istilah tertentu secara definitif. Secara etimologi,

tercatat dalam kosa kata bahasa Arab, “al-Taklid” digunakan untuk arti

menjadikan ikatan tali pada leher termasuk mengikat tali pada leher hewan qurban sebagai tebusan dalam ritual ihram.

Secara teminologi yang telah dirumuskan, taklid berfungsi untuk sebuah pengertian untuk mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui atau menelusuri dalil (suatu petunjuk untuk dijadikan dasar dalam menjelaskan sesuatu). Secara umum, taklid dapat diartikan menyamai orang lain dalam melaksanakan dan meninggalkan sesuatu, seperti mengusap sebagian kepala

mengikuti kepada madzhab syafi’i dan lainnya.

Dalam potret sejarah disebutkan bahwa taklid mulai menampakkan bentuknya pada permulaan tahun keempat Hijriyah. Imam al-Syaukani dalam keterangannya menyatakan bahwa sesungguhnya taklid belum pernah terjadi kecuali setelah habisnya era terbaik. Kemudian terus berlanjut pada era-era setelahnya. Begitu pula masa-masa kejumudan (stagnasi) yang ditandai dengan pengultusan terhadap madzahib al-arba’ah mulai terjadi setelah usainya masa keemasan pendirinya, setelah itu struktur peradaban manusia mulai mengalami kemerosotan dengan ditandai mulai terbiasa pola hidup sesuai dengan tradisi para pendahulu dengan bersikap diam terhadap gaya berpikir secara taklid dan tidak memberi respons protes atau sejenisnya. Sesungguhnya, pengkultusan madzhab ini dlakukan oleh orang-orang awam yang bertaklid untuk diri mereka sendiri tanpa ada lisensi imam-imam madzhab.23

23


(28)

Seiring dengan berkembangnya istilah ijtihad, maka seiring pula kata taklid menjadi isu dari pergolakan atau perdebatan antara yang ingin menghilangkan taklid seutuhnya dengan yang mempertahankan taklid sebagai landasan. Pada bagian ini juga akan diterangkan apa itu taklid seobyektif mungkin, dari pengertian hingga syarat-syarat sebagi muqallid, hingga pengertian kepada apa yang disebut dengan isu taklid buta.

Pertama adalah pengertian taklid itu sendiri adalah taklid secara bahasa

adalah meletakkan “qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal

menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. Adapun taklid menurut istilah adalah mengikuti

perkataan yang tidak ada hujjahnya. Syaikh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi menjelaskan bahwa taklid itu adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas kesahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang kesahihan hujjah taklid itu sendiri.24

Dari pengertian di atas maka taklid dalam arti luas bukan berarti mengikuti tanpa ada dasar, tetapi juga taklid dilakukan kepada orang yang mengetahui dalil.

Taklid ada persamaannya dengan ittiba’, justru ada yang mengatakan bahwa ittiba’ itu adalah tinggkatan dari pada taklid. Machfoezh Siddiq menerangkan bahwa ittiba’ itu adalah bagian dari taklid yang paling dasar.Maka menurut beliau ada beberapa tingkatan dari pada taklid itu sendiri, menurut kapasitas keilmuan seoarang yang dinamakan muqallid.

Tingkatan yang partama adalah tingkatan tertinggi dari seorang muqallid yakni adalah al-Muntasib, satu tingkat di bawahnya adalah Ashabul Wuduh,

24


(29)

derajat yang di bawahnya adalah Ahlut-Tarjih dan khuffazh. Tingkatan ini diatur sesuai dengan tingkatan dari pada keilmuan dan pengetahuannya.25

Machfoezh ingin mengemukakan bahwa islilah taklid itu diharuskan untuk orang yang tidak mempunyai dasar atau tidak mengetahui dasar-dasar tentang ajaran Islam, tidak menutup juga kepada seseorang yang mengetahui dasar tetapi tingkat kecerdasannya dan tingkat keilmuan dan pengetahuannya kurang mumpuni untuk menjadi seorang mujtahid.

Oleh sebab itu taklid oleh golongan tertentu masih dipakai karena, kata Taklid tersebut bukan pengertian yang negatif tetapi taklid di sini menerangkan bahwa seseorang yang tidak mengetahui dalil-dalil atau yang mengetahui dalil tetapi belum termasuk yang bisa melakukan Ijtihad, maka menurut beliau boleh dan wajib bertaklid kepada imam-imam yang ditaklidi.26

Tetapi ada dari sebagian golongan yang mengartikan taklid itu adalah mengikuti tanpa mengetahui dalil atau yang sering disebut dengan taklid buta, yakni mengikuti tanpa mengerti dalil-dalil yang telah ada atau sekedar mengikut saja, mereka tidak mau bertaklid karena golongan mereka itu menaruh derajat akal di derajat yang tertinggi, rasional itu berada di derajat yang tertinggi dalam diri manusia.

B. Isu Ijtihad dan Taklid di Masyarakat Jawa

.Memang benar bahwa perkembangan isu-isu taklid dan ijtidad diawali oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa pandangan-pandangan pembaharuannya, Zaini Muchtarom menjelaskan dalam

25

M. Machfoezh Siddiq,Debat Tentang…,hal. 36-39

26


(30)

buku Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, bahwa setelah warga Indonesia mulai sadar berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama membuat suatu organisasi untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya itu adalah Sarekat Dagang Islam pada 1911, dan Muhammadiyah 1912.

Memang pada awal abad ke-20 isu-isu ini sangat gencar sekali sampai-sampai pada kongres kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres al-Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah karena sikapnya yang berbeda, maka dari itu dari hal tersebut terbentuklah klomite Hijaz dan akhirnya tebentuklah organisasi NU satu tahun setelahnya.

Selain sebagai simbol untuk melawan perlawanan dari Belanda, para Ulama juga berperan dalam menyebarkan isu-isu ijtihad dan taklid yang terjadi di masyarakat Jawa, memang isu tentang ijtihad dan taklid berawal dari pandangan ulama-ulama yang berpaham pembaharu yang mana para ulama tesebut mengambil pemikiran Jamaludin al-Afghani seperti yang sudah diterangkan di atas. Para ulama yang bertahan diri terhadap kritikan-kritikan tersebut adalah para ulama tradisional dan pengikutnya yang memegang dan berpandangan masih melakukan praktik taklid dan percaya bahwa ijtihad itu bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mumpuni dalam melakukan ijtihad, dan untuk masa itu mereka beranggapan bahwa orang yang memang mumpuni dalam melakukan ijtihad belum tampak adanya.

Dari kronologis itulah isu-isu tentang ijtihad dan taklid mulai tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Perbedaan yang terjadi hanyalah dalam masalah keagamaan tentang ijtihad dan taklid saja, tetapi


(31)

isu-isu tentang menjadikan Indonesia ini lepas dari penjajahan Belanda adalah hal yang paling utama, para pemimpin organisasi-organisasi sosial keagamaan sering terlibat bersama dalam memerdekakan negara Indonesia.

C. Perkembangan Ijtihad dan Taklid Pada Organisasi Keagamaan Di Jawa Abad Ke-20

Munculnya gerakan pembaharuan Islam di awal abad XX di Timur Tengah khususnya di Mesir Kairo yang dipelopori oleh Muhammad Rasyid Ridho (1865 – 1935), Jamaluddin Al-Afghani (18-39-1897) dan Muhammad Abduh (1849–1905). Gerakan ini dikenal dengan Gerakan Modernisme Islam (reformasi Islam). Gerakan ini mempunyai dua orientasi : pertama, gerakan ini melepaskan diri dari ortodoksi Mazhab Sunni abad pertengan (XIII – XIX) dan menyerukan

untuk menggali langsung sumber hukum Islam Al Qur’an dan Al Hadist. Menurut

mereka kemunduran umat Islam di dunia saat ini disebabkan terbelenggunya pemikiran umat Islam yang disebabkan umat Islam taklid pada pemikiran (ijtihad) para mujtahid abad pertengahan yang membawa dampak terhentinya proses ijtihad umat Islam.

Tujuan yangkedua, modernisme yang diartikan gerakan umat Islam untuk keluar dari zaman kebodohan dan kemunduran dengan menselaraskan kebutuhan dewasa ini akan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan bangsa barat untuk kemajuan dan mengangkat kembali peradaban Islam yang luhur. Pengaruh pembaharuan Islam di Indonesia digerakkan oleh organisasi Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1926 oleh K.H. Ahmad


(32)

Dahlan.27 Organisasi ini pada awalnya hanya sekitar Yogyakarta dan dasawarsa kedua organisasi ini mulai mengembangkan pengaruhnya di seluruh Jawa.

Muhammadiyah dikatakan sebagai organisasi yang bersifat reformis sedangkan NU merupakan organisasi yang bersifat tradisional. Perbedaan sifat dan orientasi inilah yang menimbulkan pertentangan. Dua kelompok reformis dan tradisional yang terbentuk itu mempunyai perhatian yang berbeda, walaupun pada intinya bertujuan sama yaitu memajukan umat. Golongan pembaharu lebih memperhatikan Islam pada umumnya. Islam berarti kemajuan, Islam adalah agama universal yang ajarannya telah diungkap para Nabi. Sebaliknya golongan tradisi lebih banyak menghiraukan masalah agama atau ibadah belaka. Bagi mereka Islam seakan-akan sama dengan fiqih dan dalam hubungan ini mengakui taklid dan menolak itjhad bahkan banyak pula yang memperhatikan tasawuf.28

Bagi NU memperlakukan ajaran Islam menurut aliran Ahlussunnah wal

Jama’ah tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran empat mazhab Islam

(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan peranan bimbingan ulama. Hal ini

ditegaskan oleh Hasyim Asyari (pendiri NU) perumus pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti yang dirumuskannya dalam Muktamar III (1928), yang kemudian menjadi Muqodimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama (Pembukaan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama) :

Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Alloh dari kalangan Ahlussunah wal Jama’ah dan pengikut Mazhab Imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian, begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian dan kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam.

Berhubung dengan caranya menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama

27

Mengenai Gerakan Modernisme Islam di Indonesia. Lihat Peliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (Jakarta, LP3ES, 1982).

28

M. Ali Haidar,NU dan Islam di Indonesia : Pendekatan Fiqih Dalam Politik(Jakarta, Gramedia, 1994). Hal : 38.


(33)

Islam. Oleh karena itu janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya.

Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi lambang, ia merupakan

penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan pembaharuan bahwa

mempelajari dan memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Qur’an dan

Hadist tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama, mazhab, hadist (sunnah)

dan akhirnya pada sumber ulama Al Qur’an itu sendiri. Oleh sebab itu pengertian Ahlussunah wal Jama’ah bagi NU adalah “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan Ijma’ Ulama”.29 NU tidak menentang ijtihad (proses berfikir dialektik) tetapi memikirkannya dalam konteks bagaimana suatu ijtihad dimengerti oleh umat. Dengan kata lain para ulama memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh umat. Para ulama berpendapat bahwa Al

Qur’an Hadist disampaikan kepada kaum muslimin dalam bahasa yang tidak

mudah difahami dan penuh simbolisme yang dapat lebih mudah dimengerti melalui tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para imam dan ulama-ulama terpilih.

29


(34)

BAB III

ORGANISASI ISLAM DAN PERS ABAD ke-20 DI JAWA

A. Perkembangan Organisasi Islam Abad ke-20 di Jawa

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif Kerajaan Turki Usmani yang merupakan pemangku khalifah Islam, setelah abad ketujuhbelas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (Salafiyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual.30

Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial dan keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung, Bukittinggi (1930) : dan partai-partai politik, sepersti Sarekat Islam Indonesia (SII) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan

30


(35)

kelanjutan dan perluasan dari organisasi Pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.31

Organisasi-organisasi sosial keagaman Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar baru di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Namun kebanyakan anggotanya masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang – walaupun dalam banyak hal dapat bekerjasama - seringkali berbeda pendapat.32

Ada beberapa organisasi Islam yang berdiri pada paroh pertama abad ke-20 di Jawa. Organisasi yang cukup besar antara lain al-Jam’iyah al-Khairiyah (1905), Sarekat Dagang Islam (1909),Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1915), Persyarikatan Ulama (1917) dan Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun 1926.

Al-Jam’iyah al-Khairiyah yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair, didirikan di Jakarta pada tangggal 17 Juli 1905. Ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa asal usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang-orang Arab. Anggota-anggota dan pemimpin-pemimpin organisasi ini umumnya terdiri atas orang-orang yang berada, yang memungkinkan penggunaan sebagian waktu mereka kepada perkembangan struktur organisasi tanpa merugikan usaha pencarian nafkah.

Dua bidang kegiatan sangat diperhatikan oleh organisasi ini. Pertama, pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar. Kedua, pengiriman

31

Baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,(Jakarta : LP3ES, 1980).

32

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm . 257-258.


(36)

anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pelajaran. Bidang kedua ini terhambat oleh kekurangan biaya juga oleh karena kemunduran Khalifah.

Pentingnya Jamiat Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggotanya yang tercatat, rapat-rapat berkala) dan yang mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang modern (kurikulum, kelas-kelas dan pemakaian bangku-bangku, papan tulis dan sebagainya). Ide-ide ini berkumandang di kota-kota lain tetapi organisasi yang tumbuh di Jakarta seakan membeku, ia cepat merasa puas dengan prestasi yang telah dicapai.

Jamiat Khair tetap merupakan sebuah organisasi kecil. Dimulai kira-kira dengan 70 orang anggota, organisasi ini berkembang sangat lambat. Pada tahun 1915 tercatat kira-kira hanya 1.000 anggota. Pada tahun ini kemundurannya pun kelihatan. Ia tidak dapat lagi mengemukakan bahwa ialah satu-satunya organisasi dalam kalangan masyarakat Arab ataupun organisasi yang mempunyai ide-ide pambaharuan. Ia tidak dapat menyaingi kegiatan al-Irsyad yang didirikan pada tahun 1913 oleh anggota-anggota Jamiat Khair yang telah keluar dari organisasi ini.33

Organisasi Serikat Islam pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh R.M. Tirto Adi Suryo pada tahun 1909 dengan tujuan untuk melindungi hak-hak pedagang pribumi Muslim dari monopoli dagang yang dilakukan untuk pedagang-pedagang besar Tionghoa.

Kemudian tahun 1911 di kota Solo, Haji Samanhudi mendirikan organisasi dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan perkumpulan ini adalah untuk

33

Deliar Noer,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : PT Pustaka LP3ES, cet kedelapan 1996), hal. 69-71.


(37)

menghimpun para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang asing seperti pedagang Tionghoa, India, dan Arab. Mengapa demikian? Karena pada saat itu pedagang-pedagang tersebut lebih maju usahanya daripada pedagang Indonesia dan keadaan itu sengaja diciptakan oleh Belanda. Adanya perubahan sosial menimbulkan kesadaran kaum pribumi. Sebagai ikatan solidaritas dan lambang kelompok, perlu ada ideologi gerakan.

SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh dan akhirnya pada tahun 1912 oleh pimpinannya yang baru yaitu Haji Omar Said Cokroaminoto namanya diubah menjadi Sarekat Islam. Apa alasan pengubahan nama tersebut? Hal ini dilakukan agar organisasi ini tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tetapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.

Pada 18 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330 H Persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Sembilan orang pengurus inti yang pertama adalah Ketua: Ahmad Dahlan, Sekretaris: Abdullah Sirat, Anggota: Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih.

Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu


(38)

baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain sepersti Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah.

Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al Munir, Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri Ta'ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.34

Muhammadiyah agak berbeda dengan Persis yang didirikan pada permulaan tahun1920-an di Bandung. Hal ini tercermin pada sikap para pendirinya. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah mendapatkan simpati karena

34


(39)

pengertian dan toleransinya terhadap gerakan lain yang tumbuh di Masyarakat. Hal yang pertama dilakukan oleh Dahlan adalah menumbuhkan minat masyarakat terhadap Islam dan menumbuhkan rasa tanggung jawab serta penuh kebanggaan sebagai orang Islam.35

Pendiri-pendiri al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru yang dilihat sebagai tempat menerima fatwa ialah Syaikh Ahmad Soorkatti yang sebagian besar umurnya dicurahkan bagi penelaahan pengetahuan. Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, maupun pada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi angotanya. Lambat laun dengan bekerjasama dengan organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah dan Persis, organisasi al-Irsyad meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia. Ia juga turut serta dalam berbagai kongres al-Islam pada tahun 1920-an dan bergabung pada Majlis Islam A’la Indonesia ketika

federasi ini didirikan pada tahun 1937. Pemuda-pemuda Indonesia asli juga mempergunakan fasilitas al-Irsyad dalam bidang pendidikan.

Sebenarnya al-Irsyad memperhatikan vasilitas dan energi yang lebih besar dari Jamiat Khair dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Kegairahan besar di kalangan pendukung-pendukung al-Irsyad tercermin pada jumlah uang yang di sumbang oleh mereka kepada organisasi tersebut. Kalangan masyarakat Arab di kota-kota lain di Jawa segera menyusul inisiatif kawan-kawan mereka di Jakarta

35

Deliar Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1996), Hal.106-107.


(40)

dengan mendirikan cabang-cabang al-Irsyad di Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya dan lawang.36

Adapun Persarekatan Ulama merupakan organisasi gerakan pembaharuan yang berdiri di Majalengka, Jawa Barat di sekitar 1917. Organisasi ini bergerak di bidang pendidikan dan ekonomi. Sekolah yang didirikan oleh organisasi ini selain memberikan pelajaran agama juga berbagai ilmu pengetahuan umum dan keterampilan. Pendirinya Abul Halim, sekalipun berpegang teguh kepada mazhab al-Syafi’i, namun dapat menerima fikiran-fikiran pembaharuan. Bahkan hubungannya dengan kelompok pembaharu lebih dekat dibandingkan dengan kelompok tradisional. Tradisi bermazhab tampaknya tidak selalu merupakan penghambat untuk menerima fikiran-fikiran maju.37

B. Perkembangan Pers Abad ke-20

Perubahan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di Pulau Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu yang panjang akibat kebijakan pemerintah kolonial Belanda selama abad ke-19. selain itu semakin terbukanya jaringan komunikasi dengan dunia luar juga mempercepat perubahan-perubahan tesebut. Hal ini diawali oleh pihak perseorangan dan swasta dari Belanda maupun Negara Eropa lainnya.38

Hal yang menarik untuk dilihat juga adalah dampak dibukanya jalur transportasi kereta api yang pada awalnya dibangun oleh pengusaha swasta

36

Baca Deliar Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1996).

37

Ibid,hal. 84.

38

Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942,(Jakarta : Laporan Awal Penelitian, 2006), hal. 14.


(41)

perkebunan. Sebagai contoh dibukanya jalur kereta api Yogyakarta-Surakarta menuju Pelabuhan Semarang pada tahun 1870-an. Munculnya jalur kereta api ini ternyata berdampak sangat besar terhadap mobilitas manusia dan barang dari pedalaman menuju kota-kota pelabuhan di pesisir pantai, apalagi jalur ini di perluas yang meliputi seluruh Pulau Jawa pada tahun 1890-an.39 Selain itu kota-kota di Pulau jawa mulai tumbuh sejalan dengan ramainya kegiatan ekonomi akibat proses produksi tanaman perkebunan dan industri yang menyertainya. Kota-kota di Jawa selain tumbuh menjadi pusat birokrasi kolonial juga menjadi kantor dagang, kantor perusahaan, atau agen-agen perdagangan ekspor-impor. Dengan demikian terjadi perubahan pada masyarakat di mana dinamika perkotaan kemudian menggantikan dinamika sejarah yang dahulu berpusat di wilayah pedesaan.

Salah satu dampak akibat perkembangan ekonomi pada abad ke-19 adalah munculnya surat kabar-surat kabar yang diterbitkan para pengusaha swasta Belanda sebagai media periklanan (Advertentie) bagi produk-produk yang diperdagangkan sehingga tidak heran mulai banyak penerbitan-penerbitan Belanda yang muncul sejak pertengahan abad ke-19. salah satu contoh pers Belanda yang bercorakadvertentieadalah surat kabarHet Bataviasch Advertantie Blad pada tahun 1851 dan Java Bode tahun 1852 keduanya didirikan oleh W. Bruining dan terbit di Batavia.40

Sudah kita ketahui bahwa perubahan yang terjadi pada abad ke-19 media pers kemudian menjadi salah satu sarana untuk memperkenalkan produk-produk

39

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia baru 1500-1900 : dari Emporium Sampai ImperiumI, (Jakarta : Gramedia, 1993), hal. 363-367.

40

Abdurrachman Surjomiharjo,et. Al., Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarat : Kompas, 2002), hal. 41


(42)

perdagangan dan industri, serta sejak awal abad ke-20 menemukan bentuknya sebagai media untuk melaporkan kegiatan lembaga atau organisasi dan juga untuk menyebarkan aspirasi-aspirasinya, sehingga nantinya banyak organisasi sosial, budaya dan politik masyarakat Indonesia yang menggunakan pers sebagai media penyalur aspirasinya.

Sebetulnya surat kabar berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa sudah terbit sejak pertengahan abad ke-19, meskipun diterbitkan oleh pengusaha Eropa dan Belanda. Sebagai contoh surat kabar Bromartani, yang diterbitkan di Surakarta pada tahun 1855. Koran ini menggunakan bahasa Jawa Kromo (rendah). Pemimpinnya adalah C. F. Winter, seorang Indo-Belanda yang lahir di Yogjakarta yang sebelumnya seorang penerjemah bahasa Jawa untuk pemerintah Belanda.41 Kemudian koran yang berbahasa Melayu, yaitu mingguan Slompret Melayoe

diterbitkan sejak 1860 oleh G. c. T. van Drop. Dalam halaman depan Koran

tersebut disebutkan : “Soerat Kabar Bahasa Melajoe Rendah”.42

Selain diterbitkan oleh orang Belanda, surat kabar berbahasa Melayu juga banyak didirikan oleh pengusaha Cina peranakan ( Tionghoa ) dan orang-orang Jawa yang kebanyakan adalah anggota organisasi pergerakan politik, sosial dan Islam sejak 1911-1940-an. Sepersti organisasi Serekat Islam, Perserikatan Ulama, Muhammadiyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam. Pers Melayu Tionghoa terbagi atas pers yang diterbitkan untuk kalangan sendiri, untuk kalangan Bumi P[utra dan yang diterbitkan untuk semua golongan. Menurut Nio

41

Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindoneiaan 1885-1913,(Jakarta : Hastamitra, Pustaka Utan Kayu, 2003), hal 27.

42


(43)

Joe Lan, seorang penulis waktu itu, melihat bahwa pers Melayu Tionghoa sebagai cikal bakal pers nasional Indonesia.43

Latar belakang munculnya pers Melayu Tionghoa selain karena kepentingan ekonomi juga disebabkan banyak warga Tionghoa peranakan yang tidak bisa berbahasa Belanda.44 Kebanyakan Pers Melayu Tionghoa yang terbit di Batavia menggunakan bahasa Melayu dialek Betawi. Sementara itu organisasi pergerakan nasional dan organisasi sosial budaya kaum Bumi Putra juga mempergunakan bahasa Melayu untuk penerbitannya, selain tentunya bahasa Jawa yang memang menjadi bahasa utama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Penggunaan bahasa Melayu dalam pers juga menjadi perhatian E. F. E. Dewes Deker pada tahun 1909, pada waktu itu dia adalah pembantu editor pada Koran Bataviasch Nieuws Blad di Batavia. Dia menilai bahwa kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers berbahasa Belanda. Hal ini dikarenakan pers Melayu dapat langsung menarik pembaca mayoritas penduduk pribumi.45 Beberapa contoh surat kabar Melayu Tionghoa adalah Li Po (1901),

Pewarta Soerabaja (1902), Kabar Perniagaan (1902), Warna Warta (1903), dan lain-lain.

Sementara itu pers Melayu yang diterbitkan oleh kaum Bumi Putra adalah

Medan Prijaji, pada tahun 1907 oleh R.M. Tirtoadisurjo. Seorang pedagang muslim yang sempat mendirikan Serekat Dagang Islam (SDI) pada Tahun 1905. kemudian dari organisasi Boedi Oetomo (BO) cabang Surakarta membeli sebuah

43

Abdurrachman Soerjomihardjo, et, al., Berbagai Segi Perkembangan Pers di Indonesia,(Jakarta : Kompas, 2002), hal. 42-43.

44

Ibid.,hal. 49.

45

Marwati Djoened Poesponegoro, eds., Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hal. 290.


(44)

surat kabar milik Cina peranakan yaitu Darmokondo Pada tahun 1910 seharga f. 50.000. Koran ini menggunakan bahasa Melayu dan Jawa.46

Dewes Dekker telah menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers Belanda. Karena pers itu langsung dapat menarik pembaca-pembaca pribumi.

Dalam waktu yang singkat pers itu dapat meluas ke segala arah, sungguh pun kecepatan perkembangan dipengaruhi oleh pers Belanda dan Melayu-Tionghoa di Indonesia. Pers Belanda itu sendiri telah pula mengalami perjuangan yang panjang untuk tercapainya kebabasan pers. Perkembangan pers bumiputra atau yang berbahasa Melayu menimbulkan pemikiran di kalangan pemerintahan kolonial untuk menerbitkan sendiri surat kabar berbahasa Melayu yang cukup besar dan dengan sumber-sumber pemberitaan yang baik.

Ciri-ciri pers berbahasa Melayu ialah lingkungan pembacanya yang dituju atau yang menjadi langganan.

Pertama, surat kabar yang berisi berita atau karangan yang jelas hanya golongan keturunan Cina, sepersti terjadi dengan surat kabar yang terbit di Jakarta, Surabaya dan beberapa yang terbit di Semarang.

Kedua, surat kabar berbahasa Melayu, yang dibiayai dan dikerjakan oleh orang-orang Cina, namun lingkungan pembacanya terutama ialah penduduk bumiputra. Ketiga, surat kabar yang terutama dibaca oleh kedua golongan itu.

Menurut Dowes Dekker, secara krnologis surat kabar berbahasa Melayu yang tertua ialah Bintang Soerabaja (1861). Isinya selalu menentang pemerintah dan berpengaruh di kalangan orang-orang Cina dari partai modern di Jawa Timur.

46

Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942,(Jakarta : Laporan Awal Penelitian, 2006).


(45)

Lain surat kabar di Surabaya yang senada ialah Pewarta Soerabaja (1902), pembacanya terbanyak ialah golongan Cina. Pemimpin redaksi kedua surat kabar itu masing-masing ialah Courant dan H. Hommer.

Dalam pada itu salah satu surat kabar yang terpenting ialah Kabar Perniagaan, yang didirikan oleh persusahaan Cina di Jakarta pada tahun 1902. redaksinya ialah seorang Indonesia dan seorang Cina, yaitu F. D. J. Pangemanan dan Gow Peng Liang. Surat kabar itu mungkin sekali pembacanya tersebar luas di seluruh Jawa dan menyuarakan gerakan-gerakan Cina modern. Di Bogor juga terbit mingguanHo Podibawah pimpinan Tan Tjien Kie.

Pelopor pers nasional ialah Medan Prijaji (waktu itu terbit sebagai mingguan), yang sesuai dengan namanya merupakan golongan priyayi. Pemimpin redaksinya ialah R. M. Tirtoadisuryo. Terbit pada tahun 1907 dan sejak tahun 1910 sebagai harian. Surat kabar yang terpenting di Semarang ialah Warna Warta

di bawah pimpnan J. P. H. Pangemanan. Karena seringnya menyerang pemerintah kolonial Belanda, maka redakturnya beberapa kali diadili karena tulisan-tulisannya.

Di Bogor sejak tahun 1905 terbit mingguan Tiong Hoa Wie Sin Ho dibawah pimpinan Tan Soei Bing. Di Surakarta terbit Taman Pewarta (1901) dengan Thjie Sian Liang dan mingguan Cina-Melayu Ik Po (1904) di bawah redaksi Tan Soe Djwan. Surat kabar berbahasa Djawa-Melayu Djawi-Hisworo

(1905) dipimpin oleh Dirdjoatmodjo. Semarang memiliki surat kabar Slompret Melayoe dipimpin oleh A. Appel, dan Taman Pengajar yang dipimpin oleh seorang guru, Mas Boediardjo. Raden Djojosoediro memimpin Tjahaja Timoer


(46)

sedangkan di Sibolga dan Boen Sian memimpinBintang Pasir(1907). Di Menado J. A. Worotikan memimpin Pewarta Menado, sedangkan di Banjarmasin muncul

Pewarta Borneodengan seorang Indo-Belanda M. Neys sebagai redaktur.

C. Hubungan Organisasi Islam dan Pers Abad 20

Kebangkitan organisasi massa Islam yang dipelopori Serekat Islam di Surakarta pada tahun 1911 juga menggunakan surat kabar sebagai salah satu sarana untuk komunikasi di antara anggotanya dan juga menyalurkan aspirasi mereka baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah kolonial. Surat kabar yang dimiliki SI adalah Oetoesan Hindia tahun 1913, yang terbit di Surabaya dengan susunan redaksinya adalah Tjokroaminoto, Abd. Moeis, H. Agus Salim, Wagnjadisastra dan Soejopranoto. Surat kabar SI yang lain adalah

Sinar Djawa(Semarang),Pantjaran Warta(Betawi) danSarotomo(Surakarta). Organisasi sosial keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah yang berdiri sejak tahun 1912 juga memiliki beberapa majalah, seperti Mingguan Adil

(Surakarta) dan Papadanging Moehammadijah (Surakarta). Sementara di Jawa Barat, khususnya di daerah Cirebon dan Majalengka terbit pers milik organisasi Persjarekatan Oelama yang didirikan oleh K. H. Abdul Halim di Majalengka (1913), yaitu majalah bulanan Asj Sjoero (Majalengka, 1934), Soeara Persjarkatan Oelama (Majalengka dan Cirebon, 1931) dan Soeara Islam

(Cirebon, 1921). Selain itu Serekat Islam Cabang Cirebon memiliki organ pers, yaitu surat kabarFadjar (1921) dan Muhammadiyah cabang memiliki organ pers yaituSoeara Muhammadiyah(1922).


(47)

Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, tetapi pers juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo47 dapat memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.

Menurut G. F. Pijpers,48 salah satu aspek dari gerakan pembaharuan (reformisme) adalah berpegang teguh kepada dasar Islam tetapi tidak menutupi bagi masuknya ilmu pengetahuan yang sudah muncul pada masa itu. Dengan kata lain diperlukan suatu modernisme dalam Islam dengan mengedepankan pemikiran melalui berbagai sarana dan salah satu sarana terpenting adalah melalui media pers.

Kalau dilihat dari sudut pandang pada masa itu, pers dapat dianggap telah membuat revolusi komunikasi, karena telah menggeser atau merubah pola komunikasi tradisional (lisan) menjadi tertulis dalam bentuk surat kabar atau majalah. Disamping itu media cetak menampilkan sistem komunikasi terbuka, siapa saja bisa membacanya. Sehingga aliran informasi bisa meningkat

47

Sartono Kartodirdjo,Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah pergerakan nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme,(Jakarta : Jilid II, Gramedia, 1990), hal. 113.

48

G. F. Pijpers,Beberapa Studi Tentang Islam di Inonesia 1900-1942,(Jakarta : UI Press, 1985), hal.103.


(48)

intensitasnya, meski saluran itu lebih bersifat satu arah, tetapi lebih mempunyai potensi membangkitkan kesadaran kolektif.49

Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 media pers kemudian menjadi salah satu sarana untuk memperkenalkan produk-produk perdagangan dan industri, serta sejak awal abad ke-20 menemukan bentuknya sebagai media untuk melaporkan kegiatan lembaga atau organisasi dan juga untuk menyebarkan aspirasi-aspirasinya, sehingga nantinya banyak organisasi sosial, budaya dan politik masyarakat Indonesia yang menggunakan pers sebagai media penyalur aspirasinya.

Kenyataan media pers yang sangat efektif sebagai penyebarluasan informasi yang bersifat massal, membuat organisasi-organisasi pergerakan termasuk di dalamnya, organisasi keislaman yang menggunakan Koran dan majalah sebagai alat untuk berdakwah dan pencerhan kebudayaan bagi umat Islam.

49

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 113


(49)

BAB IV

RESPONS DAN ULASAN TERHADAP ISU-ISU

IJTIHAD DAN TAKLID DALAM PEMBERITAAN BNO DI JAWA

A. Terbentuknya BNO

Terbentuknya BNO dilatar belakangi karena surat kabar adalah suatu sarana yang penting untuk menyebarkan missi NU kepada anggota-anggotanya dan masyarakat pada umumnya pada waktu itu

BNO terbit pada tahun 1936 di Surabaya, salah satu pendirinya adalah K.H. M. Machfoedz Shiddiq yang pada tahun 1937 dianggkat menjadi ketua Tanfidziyah NU, sebelum BNO terbit, ada majalah yang di terbitkan oleh NU yang bernama Swara Nahdlatul Ulama, tetapi majalah ini hanya untuk intern pengurus NU saja dengan tulisan arab Melayu berbahasa Jawa dan ada yang bertulisan dan berbahasa Arab.50 BNO terbit sebagian besarnya menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin, tetapi ada juga yang menggunakan tulisan Melayu dengan bahasa Jawa tetapi sedikit terbitannya, pada tahun 1936 BNO terbit hanya di kawasan Surabaya saja, tetapi pada tahun 1937 mulai disebarluaskan di sebagian pulau Jawa.51

BNO terbit dua kali dalam sebulan, pada awal bulan dan pertengahan bulan, di dalam isinya, BNO sering memuat artikel tentang masalah di dalam negeri dan luar negeri, seperti masalah tentang konflik Palestina, kekuatan tentang tentara Jerman di Eropa awal abad ke-20, sedangkan di dalam negeri BNO mengulas tentang masalah ijtihad dan taklid, dan ajaran-ajaran Islam serta

50

Menapak Jejak Mengenal Watak, sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama,(Jakarta : Yayasan saifudin zuhri, 1994), hal. 197-198

51


(50)

informasi tentang masalah-masalah perekonomian dan juga forum iklan, tetapi yang menarik adalah kolom tentang pembahasan ijtihad dan taklid, dari awal diterbitkannya hingga pertengahan tahun 1938, masalah ini dengan secara kontiniu terus ditulis.52

Setelah tahun 1939, BNO tidak lagi terbit dengan teratur karena telah masuk tentara Jepang, jadi sempat fakum pada masa-masa pendudukan Jepang. Setelah pendudukan Jepang berakhir, BNO juga tidak terbit lagi sebagai majalah yang diterbitkan oleh Organisasi Nahdlatul Ulama.

Pimpinan redaksi BNO dari tahun 1936-1939 adalah K.H. M. Machfoedz Siddiq (w. 4 Juli 1944), beliau adalah lulusan pesantren Tebuireng, Jombang dan meneruskan pendidikannya di Mekkah. K.H. MachfoedzSiddiq adalah salah satu pendiri dan menjadi pimpinan BNO dari tahun 1936-1939, selain menjabat sebagai pimpinan BNO, pada tahun 1937 beliau diangkat menjadi ketua Tanfidziah pusat NU, dan menjabat hingga tahun 1940.53

Beliau sengaja menerbitkan BNO dengan menggunakan bahasa latin Melayu supaya dapat diterima oleh masyarakat luas. Menurut Douwes Dekker, penggunaan bahasa Melayu dalam pers lebih penting daripada pers berbahasa Belanda. Hal ini dikarenakan pers Melayu dapat langsung menarik pembaca mayoritas.54

52

Analisis penulis pada BNO dari tahun 1936-1939

53

Menapak Jejak Mengenal Watak, sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama,(Jakarta : Yayasan saifudin zuhri, 1994), hal. 93

54

Marwati Djoened Poesponegoro, eds.,Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hal. 290


(51)

B. Diterbitkannya BNO Sebagai Media Sah NU

Kelahiran Nahdlatul Ulama itu merupakan gerakan pengimbang terhadap gerakan kalangan pembaharu. Dalam rangka untuk membentengi para pengikut ulama tradisional dari paham-paham pembaharu yang menolak untuk bertaklid dan bermazhab, maka dari itu Nahdlatul Ulama menerbitkan majalah yang terbit setiap 2 kali dalam sebulan, yakni pada tanggal 1 dan tanggal 15 pada setiap bulannya, majalah itu adalah Berita Nahdlatul Oelama, salah satu isinya banyak menerangkan tentang masalah ijtihad dan taklid. Pada masa itu banyak majalah-majalah yang mengkritik tentang masalah ijtihad dan taklid, mereka mengkampanyekan dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah masing-masing organisasi keislaman pada waktu itu, sepertiSoewara Muhammadijad sejak 1912,

Fadjar yaitu surat kabar harian milik Serikat Islam sejak 1920, Soeara Persjarikatan Oelama sejak tahun 1929 dan surat-surat kabar lainnya yang sezaman bahkan sampai sekarang. Pemberitaannya yang mengkritik praktik mitos dan tahayul kemudian diberikan ulasannya yang lebih rasional dan masuk akal sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.55

Berita Nahdlatul Oelama juga menjelaskan tentang pengertian ijtihad dan taklid itu lebih rasional, masuk akal, sesuai juga dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah, dengan demikian, diterbitkannya Berita Nahdlatul Ulama menjadi pembenteng bagi pengikut para ulama tradisional.

Berita Nahdlatul Oelama adalah merupakan lembaga dan media yang sah dari organisasi Nahdlatul Ulama pada masanya. Latar belakang dibentuk dan diterbitkannya Berita Nadlatul Oelama adalah untuk berdakwah dan menyiarkan

55

Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942,(Jakarta, Laporan Awal Penelitian, 2006)


(52)

Islam yang masih menganut dengan ijtihad dan taklid. Yang mana media-media massa dan majalah-majalah milik beberapa organisasi sosial politik keagamaan, menerbitkan juga seperti yang telah ditulis diatas tentang beberapa media massa yang ditebitkan. Tentang paham-paham pembaharu yang secara langsung menafikan ijtihad dan taklid, dan menyerukan untuk kembali kepada ajaran yang sebenarnya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan warga Nahdlatul Ulama yang masih menggunakan ijtihad dan taklid sebagai bahan acuan dan ajaran menjadikan Berita Nahdlatul Oelama pegangan dan bahan informasi untuk tidak terpengaruh terhadap paham pembaharu tersebut.

Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, tetapi pers juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo56 dapat memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.

C. Pandangan Kaum Pembaharu Tentang Ijtihad dan Taklid.

Dengan melihat sejarah pembaharuan Islam di Indonesia maka sudah dua abad yang lalu gerakan Islam di Indonesia bertujuan untuk menegakkan ajaran

56

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme,Jilid II, (Jakarta : Gramedia, 1990), hal. 113


(1)

juga merupakan suatu media komunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo85 dapat memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.

85


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Isu Ijtihad dan Taqlid telah berkembang di Jawa sekitar awal abad ke-20 dan ditandai dengan datangnya para ulama yang membawa pandangan pembaharu, bahwa katalisator dari gerakan pembaharu adalah Jamaluddin al-Afghani. Dan isu mengenai Ijtihad dan Taqlid adalah dimulai dari kritikan kepada para ulama tradisional yang bertaqlid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam madzhab fiqih abad pertengahan. Oleh karena itu gerakan pembaharu menolak Taqlid dan menganjurkan kembali pada sumber asli, yaitu al-Qu’an dan Hadits, yang harus di reinterpretasikan melalui penalaran bebas (Ijtihad) oleh ulama yang memenuhi syarat.

Memang benar bahwa perkembangan isu-isu Taqlid dan Ijtidad diawali oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa pandangan-pandangan pembaharuannya, setelah warga Indonesia mulai sadar berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama membuat suatu organisasi untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya itu adalah SDI pada 1911, dan Muhammadiyah 1912 dan lainnya.


(3)

diterangkan di atas. Para Ulama yang bertahan diri terhadap kritikan-kritikan tersebut adalah para Ulama tradisional yang memang para Ulama dan pengikutnya memegang dan berpandangan masih melakukan praktek Taqlid dan percaya bahwa Ijtihad itu bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mumpuni dalam melakukan Ijtihad, dan untuk masa itu mereka beranggapan bahwa orang yang memang mumpuni dalam melakukan Ijtihad belum tampak adanya.

Setelah itu dalam menyikapi terhadap isu-isu Ijtihad dan Taqlid yang gencar di dengungkan baik itu dalam dakwah yang nyata atau dengan dakwah melalui media pers, NU itu serta menjelaskan tentang apa kritikan yang dilontarkan tentang maslah taqlid dan Ijtihad, melalui dakwah yang nyata atau pun dengan dakwah melalui media Pers, karena media pers pada awal abad 20 adalah suatu hal yang sangat penting dalam menyebarkan inspirasi baik itu politik atau pun itu suatu gagasan dari suatau organisasi.

Akhirnya tetap isu-siu tentang itu sampai sekarang masih sangat nyaring suarnya, tetapi tidak senyaring pada awal-awal abad ke 20 yang mana memang para ulama yang mendapatkan ide-ide pembaharuan sangat gencar sekali dalam menyikapi isu-isu Taqlid dan Ijtihad itu. Dan sekarang isu itu masih tetap ada tetapi pada dasarnya perbedaan yang terjadi yang muncul dari isu telah membuka kesadaranbahwa perkembangan dalam pengetahuan Islam sangat pesat dan berkembang hingga saat ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 Agustus 1936, Terbit di Surabaya Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 April 1936, Tebit di Surabaya Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 November 1936, Terbit di

Surabaya

Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 September 1936, Terbit di Surabaya

Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun II, 1 Agustus 1937, Terbit di Surabaya Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun II, 1 Juli 1937, Terbit di Surabaya Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun II, 1 Oktober 1937, Terbit di Surabaya Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun IV, 1 Januari 1939, Terbit di Surabaya Majalah Berita Nahdlatul Oelama,Tahun I, 1 Agustus 1936, Terbit di Surabaya Majalah Berita Nahdlatul Oelama, Tahun I, 1 April 1936, Terbit di Surabaya Majalah Nibras, terbit di Yogyakarta, dalam Didik Pradjoko, “Kenyataan yang

Tersembunyi : Dakwah Islam dalam Pers di Keresidenan Surakarta dan Yogyakarta 1916-1961, Kongres Nasional Sejarah 1996 : Studi Kompearatif dan Dinamika Regional, Depdikbud, 1997

Abdusshomad, K.H. Muhyiddin, Hujjah NU : Akidah-Amaliah-Tradisi, Surabaya : Khalista, 2008, cet II

Adam, Ahmat, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran keindoneiaan 1885-1913, Jakarta, Hastamitra, Pustaka Utan Kayu, 2003

Ali, A. Mukti, Pelbagai Persoalan Islam di Indonesi Dewasa Ini, Yogyakarta, Yayasan NIDA, 1971.


(5)

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta, Logos Publishing House, 1995

Emilia, Imas, Laporan Awal Hasil Penelitian : Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942,Jakarta, Laporan Awal Penelitian, 2006

G. F. Pijper, Beberapa Studi Tentang Islam di Inonesia 1900-1942, Jakarta, UI Press, 1985

Hasan, A.,Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup,Bandung, Pustaka, 1984. Hosen, Ibrahim,Ijtihad Dalam Sorotan,Bandung : Mizan, 1996

Irsyam, Mahrus,Ulama dan Partai Politik, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1984 Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan

Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta, Balai Pustaka, 1990

________________, Pengantar Sejarah Indonesia baru 1500-1900 : dari Emporium Sampai ImperiumI, Jakarta, Gramedia, 1993

Ma’arif,Ahmad Syafi’i,Islam dan Masalah Kenegaraan,Jakarta, LP3ES, 1985 MajlisTarjih Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta, Pimpinan

Pusat Muhammadiyah, t.t.

Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama,

Jakarta, Yayasan saifudin zuhri, 1994

Muchtarom, Zaini,Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2002

Nasution, Harun,Pembaharuan dalam Islam,Jakarta, Bulan Bintang, 1975

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta, PT Pustaka LP3ES, 1996, cet kedelapan

Poesponegoro, Marwati Djoened, eds., Sejarah Nasional Indonesi V, Jakarta, Balai Pustaka, 1984

Siddiq, Ch. M. Machfoezh, Debat Tentang Ijtihad dan Taqlied, Soerabaia, H.B.N.O

Soerjomihardjo, Abdurrachman, et, al., Berbagai segi Perskembangan Pers di Indonesia,Jakarta: kompas, 2002.


(6)

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada :2005

Team FKI ,Esensi Pemikiran Mujtahid, Kediri, PP. Lirboyo, 2003

van Bruinessen, Martin, NU : Tradisi-Relasi-Pencarian Wacana Baru,

Yogyakarta, LKiS, 2009, Cet VII

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003, Cet XV

Zuhri, K.H. Saifudin, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlus Sunnah wal Jama’ah

dalam Praktek, Jakarta, PP. IPNU, 1976

Zuhri, Saifuddin,Sejarah Islam dan Perkembangannya di Indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Muhuammadiyah http://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Dagang_Islam.

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10594 http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10594