Unsur-Unsur Intrinsik Novel The Da Peci Code karya Ben

30

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Unsur-Unsur Intrinsik Novel The Da Peci Code karya Ben

Sohib

1. Tema

Novel ini bertemakan kritik sosial. Sesuai dengan lima tingkatan tema menurut Shipley, tema tersebut terdapat pada tingkatan ketiga yaitu manusia sebagai makhluk sosial man as socius. Shipley menjelaskan, kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. Ben Sohib melalui novelnya berusaha mengkritik kebiasaan masyarakat yang cenderung ortodoks, hanya mengikuti tradisi leluhur tanpa dilandasi pemikiran yang kritis. Hal utama yang dikritik oleh Ben Sohib adalah tradisi berpeci putih yang dianggap ajaran agama bagi sebuah komunitas padahal hal tersebut tidak lebih hanya sebuah tradisi warisan leluhur. Selain mengkritik peci putih Ben Sohib juga mengkritik kesederhanaan pemikiran-pemikiran umat Islam mengenai busana muslim dan penyelenggaraan maulid Nabi Muhammad Saw. Umat Islam sering berpendapat bahwa baju koko dan sarung adalah busana yang tepat untuk mengerjakan ibadah, sampai-sampai berpikir bahwa itu adalah busana wajib hingga mereka menganggap busana yang lain itu tidak layak, padahal kita semua tahu baju koko dan sarung masing- masing berasal dari Cina dan India. Kemudian mengenai maulid Nabi yang dianggap bidah oleh sebagian orang, Ben Sohib menjawab masalah ini dengan cukup baik sehingga tidak menimbulkan pertanyaan bagi pembaca. Ia menjawabnya dengan sebuah dalil yaitu surat al-A’raf ayat 157. “...ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi diantaranya surat al-A’raf ayat 157.” 1

2. Alur

Ben Sohib menggunakan alur campuran dalam menuliskan ceritanya. Hal ini didapat setelah melakukan pembacaan novel tersebut dengan cermat. Kisah ini menggunakan alur campuran, yaitu dengan menceritakan keadaan tokoh utama, setelah itu barulah menceritakan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya keadaan tersebut. Tidak berhenti sampai di situ, ternyata masih ada peristiwa-peristiwa baru yang dialami tokoh untuk mencapai klimaks cerita dan berakhir dengan bahagia. Kisah ini dimulai dengan menceritakan kondisi Rosid setelah terusir dari rumah dan penyebab pengusirannya oleh Mansur, sang ayah. Ia terlibat konflik hebat dengan Mansur ayahnya akibat usaha Rosid yang hendak menggugat tradisi peci putih yang telah diwariskan selama berabad-abad. Ketika itu Rosid mengalami kebingungan, ia berjalan tanpa arah tujuan. Perhatikan kutipan berikut. “Rosid termasuk salah satu diantara mereka. Ia mengayunkan kakinya. Rambutnya yang kribo terangguk-angguk mengikuti setiap gerak langkahnya. Tapi ia tidak sedang dalam rangka ikut menyemarakkan suasana jalan raya, melainkan baru saja terusir dari rumahnya.” 2 Selanjutnya dikisahkan pula keadaan Mansur dan istrinya Muzna setelah peristiwa pengusiran itu. Betapapun marahnya orangtua kepada anak, tetap saja kasih sayangnya tak pernah luntur. Setelah peristiwa pengusiran itu Mansur merasakan kesusahan dalam hatinya, hal itu terbaca oleh Muzna sang istri. “...Muzna menatap wajah lelap sang suami. Ia tahu suaminya sedang masygul. Kemarin ia terlibat pertengkaran hebat dengan Rosid... Pertempuran itu berakhir dengan diusirnya Rosid dari rumah.” 3 1 Ben Sohib, The Da Peci Code, Jakarta: Ufuk, 2008, h. 282 2 Ibid., h. 4 3 Ibid., h. 12. Pada tahap pengenalan ini juga diceritakan mengenai Mahdi sahabat baik Rosid yang rumahnya sering dijadikan tempat menginap Rosid. Setelah pengusiran malam itu Rosid memutuskan untuk menginap di rumah Mahdi. Diceritakan pula tentang pekerjaan Mansur sang ayah, sebagai pedagang pakaian yang cukup sukses. Ia masih menerka-nerka di manakah gerangan ia berada. Tapi ketika tangannya meraba-raba sesuatu di bawah kepalanya, ia sadar; ini pasti rumah Mahdi. 4 Mansur al-Gibran bangkit dari kursi untuk melayani seorang calon pembeli... Sebenarnya ia cukup puas dengan perkembangan usaha toko yang dimulainya sejak dua tahun lalu... Semakin hari toko Mansur semakin ramai. Ia mensyukuri kehidupannya. 5 Pada bagian selanjutnya digambarkan mengenai kehidupan Rosid yang ingin kuliah di IKJ namun dilarang oleh ayahnya, kegemaran Rosid ‘nongkrong’ di Taman Ismail Marzuki TIM, sampai pertemuan dengan pujaan hatinya Delia. Dari titik inilah mulai dimunculkan konflik-konflik antara Rosid dengan dirinya, ayahnya, dan Delia. Perhatikan kutipan- kutipan berikut ini. Pada titik ini pula pengarang menceritakan latar belakang pengusiran Rosid dari rumah yang merupakan bentuk alur mundur. Ia berjanji bertemu Delia di warung tenda langganan mereka di Taman Ismail Marzuki. Jalan Cikini Raya merupakan area yang paling ia sukai. Ini ada sejarahnya sendiri. Dua tahun yang lalu, sewaktu baru lulus SMU, Rosid berkeinginan kuat untuk belajar sinematografi di Institut Kesenian Jakarta yang berlokasi di TIM. Tapi Mansur sama sekali tak setuju. Ini membuat Rosid sangat kecewa. 6 Bagi Rosid, Delia bukan sekedar nama. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Ini semua bermula dari sebuah perkenalan yang mengguncang sukma. 7 Selain memunculkan konflik antara Rosid dengan ayahnya terkait peci putih, pengarang juga menampilkan permasalahan Rosid dan Delia yang 4 Ibid., h. 32. 5 Ibid., h. 37. 6 Ibid., h. 47. 7 Ibid., h. 51. terkait dengan kepercayaan agama. Masalah inilah yang nantinya akan mendasari lanjutan novel dwilogi ini. “Jawaban atas pertanyaan ini dengan mudah dapat ditemukan Rosid pada kalung salib dari bahan perunggu yang menggantung di leher Delia.” 8 Kemudian pada bagian ketiga sampai kedua belas diceritakan bagaimana perjuangan Rosid mengungkap sejarah peci dan kaitannya dengan agama Yahudi dan Nasrani. Pada bagian tersebut juga diceritakan bagaimana Mansur ayah Rosid melakukan berbagai upaya untuk membuat Rosid mau mencukur rambut dan memakai peci putih lagi. Setidaknya atas nasihat Said, Mansur telah melakukan tiga cara untuk mengubah pendirian Rosid. Antara lain dengan mendatangi “orang pintar” atau dukun untuk mengubah pendirian Rosid. Rosid menemukan jawaban mengenai sejarah peci dan kaitannya dengan agama Yahudi dan Nasrani dari seorang sejarawan yang senang mabuk bernama Anto. “Rosid terpukau mendengar uraian Anto tentang sejarah agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam, berikut busana dan simbol-simbolnya.” 9 Cerita mulai beranjak ke titik klimaks. Di tengah usaha Rosid mengungkap sejarah peci, Mansur sang ayah telah menyusun berbagai strategi untuk mengubah pendirian Rosid. Ia benar-benar kesal dengan sikap anaknya yang semakin berani melawannya. Namun semuanya sia- sia, hingga ia kehilangan kesabaran dan mengusir Rosid dari rumah. Di tengah keputusasaannya Said kembali mengajukan ide baru pada Mansur yang hanya ditanggapi dengan nada kepasrahan. Said telah menceritakan tentang “orang pintar” yang hidup di kaki gunung di wilayah selatan. Orang pintar yang berasal dari Marga al- Gibran itu konon bisa mengubah hati orang. 10 “Tenang Sur. Ente musti tenang,” kata Said. “Ane kenal ame seorang ustadz, die masih mude tapi udeh hebat... Cocok buat ngadepin anak- 8 Ibid., h. 57. 9 Ibid., h. 167. 10 Ibid., h. 110. anak mude yang udeh terpengaruh aliran baru. Ane yakin kalau anak ente berdebat ame die, kagak bakalan bisa ape-ape.” 11 Semakin lama pertengkaran menjadi semakin tak terkendali. Dalam hitungan menit, Mansur sudah melontarkan kata-kata pamungkasnya, “pergi lu dari rumeh” 12 “Terserah elu deh, Id. Lakuin aje apa yang menurut lu bisa ngerobah tu anak,” Mansur berkata dengan nada keputusasaan... 13 Selanjutnya pengarang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah Rosid diusir dari rumah. Pada bagian inilah, novel ini mencapai titik klimaks. Kepasrahan Mansur menyerahkan perkara anaknya kepada Said ternyata berbuah malapetaka. Suatu malam ketika para pemuda termasuk Delia dan Mas Anto sebagai narasumber sedang diskusi di Sanggar Banjir Kiriman datang segerombolan masa yang menyerbu ke tempat itu, mereka memaksa membubarkan Sanggar Banjir Kiriman karena dinilai menyebarkan aliran sesat. Satu per satu mereka menyalami Anto dan Delia. Anto duduk bersila menyandarkan punggungnya pada tembok. Delia ikut duduk bersila disebelahnya. 14 Namun tiba-tiba terdengar sebuah teriakan keras dari luar rumah. “Bubarkan” “Bubarkan sekarang juga” “Tak ada tempat untuk aliran sesat” 15 Pada saat itulah situasi berlangsung begitu ramai dan ricuh, pertarungan antarkubu tak terhindarkan hingga Rosid terpaksa mengevakuasi Delia dan Mas Anto ke tempat aman. Ketika Rosid kembali ke rumah Mahdi, keadaan telah kondusif karena para hansip melerai massa dan membawa ketua tiap kubu ke rumah Pak RW. “Sekembali ke rumah Mahdi, keadaan sudah aman dan terkendali.” 16 “Ternyata Rosid dibawanya ke “kediaman resmi” Pak Haji Jazuli; ketua RW 08...” 17 11 Ibid., h. 142. 12 Ibid., h. 200. 13 Ibid., h. 217. 14 Ibid., h. 236. 15 Ibid., h. 238. 16 Ibid., h. 259. 17 Ibid., h. 261. Di rumah Pak RW semua dipersilakan bicara. Pak RW yang bijaksana dengan tenang menasehati setiap pemimpin dari kelompok-kelompok yang menyerang rumah Mahdi. Tidak lama dalang dari kejadian ini tertangkap, Ia adalah Said, orang kepercayaan Mansur. Ia kemudian dibawa ke kantor polisi. Mansur yang mendapat kabar dari tetangganya segera menuju rumah Pak RW. Ia langsung memeluk putranya Rosid dan sempat memaki Said yang hendak dibawa hansip. “Coba ceritakan bagaimana permulaannya?” tanya Pak RW kepada Mahdi. 18 “Kalau menurut kamu bagaimana permulaannya?” tanya Pak RW kepada Lukman. 19 Tiba-tiba dari luar ada seseorang yang berteriak, “Ini, provokatornya tertangkap” Said langsung didudukkan di hadapan Pak RW. 20 “Selamet lu, Sid. Selamet,” kata Mansur terbata-bata. Rosid balas memeluk dan mendudukkan sang ayah di sampingnya. 21 Akibat peristiwa ini Rosid menjadi sadar betapa ayahnya menyayanginya, begitu pula Mansur yang menyadari kesalahannya dalam mendidik anak. Penyelesaian dari kisah ini adalah dengan penyadaran Rosid oleh ustaz Abu Hanif tentang pandangannya terkait peci putih dan juga tentang hubungannya dengan Delia. Di bagian akhir cerita Rosid yang tak mampu kehilangan Delia memilih untuk membiarkan hubungan keduanya mengalir saja seperti air. Pengarang juga menutup kisah ini dengan akhir yang lucu. Ustadz Abu Hanif memulai nasihat panjangnya, “Sid, gue bukan mau ngadilin mane yang bener mane yang sale... Masalahnye bukan di situ tapi cara lu ngemukain pendapat... Gue pake sarung dan peci putih, ini cuman penanda... Same aje kalau ade orang pake belangkon pasti orang Jawa atau Sunda. Kalau ada orang pakai ulos itu berarti orang Batak. 22 18 Ibid., h. 263. 19 Ibid., h. 264. 20 Ibid., h. 267. 21 Ibid., h. 271. 22 Ibid., h. 292. “Nah sekarang gue mau ngomongin soal demenan lu, si Delia”, kata Ustadz Abu Hanif setelah menarik nafas panjang. 23 Ia ingin hubungannya dengan Delia tetap seperti dulu, mengalir seperti sungai di dekat rumah Mahdi. 24 Belum sempat ia mengecup kening Rosid, spontan ia menarik kepalanya sedikit ke belakang... Akhirnya sambil masih menutup mulutnya, Mansur bertanya, “Sid....” Bersin. “Lu besok....” Bersin lagi. “Jadi cukur rambut?” 25 Alur campuran yang digunakan pengarang dalam menceritakan kisahnya memberikan warna tersendiri pada novel ini. Pengarang tahu betul bagaimana mempermainkan pemikiran pembaca. Namun entah disengaja atau tidak, penanda alur campuran dalam novel ini sangat minim. Tanpa kecermatan dari pembaca tentu mereka akan menganggap novel ini menggunakan alur maju karena hubungan kausalitas antar bagian cerita seperti mengalir begitu saja, padahal ada sebuah bagian cerita yang dipisahkan dan diselipkan bagian cerita lain di tengahnya.

3. Latar

a Latar Tempat NO. Betawi Sunda Kota 1. Jln. Condet Raya Rumah “orang pintar” di kaki gunung wilayah Sukabumi Di atas Jembatan Ciliwung Stasiun Kalibata 2. Rumah Rosid Kios Rokok 3. Kawasan Condet Jln Otista 4. Rumah Mahdi Dalam metromini 5. Gg. Haji Saabun Jln Cikini Raya 6. Jln H. Noin Taman Ismail 23 Ibid., h. 294. 24 Ibid., h. 315. 25 Ibid., h. 324. Marzuki 7. Toko di Mansur Pusat Grosir Cililitan Tenda Soto di TIM 8. Sanggar Banjir Kiriman rumah Mahdi Stasiun Cikini 9. Depan rumah Mahdi Tol Jagorawi 10. Depan Sanggar Banjir Kiriman Bakoel Koffie 11. Masjid As-Salam Rumah Mas Anto di Jln Purworejo 12. Tempat penampungan TKW Jln Blora, Jln Thamrin, Bundaran HI, Jln Kebon Sirih, Jln Sabang, Jln Jaksa 13. Rumah RW 08 Pak Haji Jazuli Sebuah cafe di Jln Jaksa 14. Masjid Al-Ikhlas 15. Warung Tenda di Taman Ismail Marzuki 16. Jln Dewi Sartika Total 131 8 79 Penggolongan latar tempat di atas berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat yang dominan dalam novel ini. Sehingga diperoleh tiga penggolongan yaitu Betawi, Sunda, dan Kota budaya metropolitan. Latar tempat dalam novel ini digambarkan begitu jelas. Ben Sohib sengaja membawa pembaca menikmati suasana daerah Condet, Cikini, atau stasiun Senen dengan tujuan membentuk imaji yang kuat pada benak pembaca mengenai masyarakat Betawi. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa latar tempat yang berbudaya Betawi paling banyak digunakan oleh Ben Sohib. Ia menginginkan pembaca benar-benar menyelami kehidupan masyarakat Betawi melalui latar tempat yang digunakannya karena latar tidak menunjukkan tempat saja namun menggambarkan juga kondisi sosial masyarakat pada daerah tersebut. Penggunaan latar tempat ini juga sedikit banyak membantu pemahaman pembaca terhadap isi cerita. b Latar Waktu No. Siang Malam Pagi Siang Sore Petang Malam Tengah Malam Suara Adzan Subuh Jelang tengah hari Jam 5 sore Senin, 07.46 malam Waktu Maghrib Larut malam Dingin udara pagi Siang hari Sore menjelang senja Langit senja semakin tua Pukul 23.08 Pagi hari Setelah makan siang Sore hari Makan malam Jam 10 pagi Suara adzan Zuhur Sebelum Maghrib Malam Pagi menjelang siang Waktu Ashar Malam berikutnya Selasa, 04.52 sore Malam ketiga Malam selepas Isya Pukul 20.11 Waktu Isya Selepas Isya Sabtu, 07.48 malam Langit malam T ot al 11 9 10 22 5 30 27 Latar waktu yang paling banyak digunakan dalam novel ini adalah siang hari dengan perbedaan yang sangat sedikit dengan latar waktu malam hari. Sehingga dapat dikatakan latar waktu siang dan malam hari memiliki porsi yang hampir sama. Melalui data ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan waktu siang hari menunjukkan cerita ini adalah cerita kehidupan sehari-hari karena di siang hari orang-orang paling banyak beraktifitas seperti, berdagang, memasak, kuliah dan lain-lain. Data ini juga dapat dijadikan petunjuk bahwa kritik yang disampaikan Ben Sohib adalah kritik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan pemilihan waktu malam hari menunjukkan bahwa kejadian-kejadian dalam cerita ini tidak berhenti setelah matahari terbenam. Bahkan klimaks dari cerita ini terjadi di malam hari. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung di malam hari dalam cerita ini misalnya, diskusi, “nongkrong” di kafe, latihan kasidah, atau sekedar makan malam. Petunjuk tahun terjadinya peristiwa-peristiwa pada novel ini adalah tahun 2004 ke atas. Petunjuk ini diperoleh dari kutipan berikut. “Di sisi kanan halaman, di bawah rerimbunan pohon sawo, mobil Daihatsu Zebra silver keluaran tahun 2004 milik Mansur terparkir di garasi.” 26 Latar waktu berperan besar dalam mengungkapkan alur yang digunakan pengarang dalam novel ini. Petunjuk alur yang diperoleh melalui waktu yaitu pada penyebutan hari dan jam pada setiap awal sebuah peristiwa yang diceritakan dengan alur maju, sedangkan saat tidak disebutkan hari dan jamnya berarti cerita tersebut merupakan rangkaian arus balik atas cerita yang telah terjadi. Melalui latar waktu ini dapat disimpulkan pula bahwa pengarang ingin benar-benar menunjukkan kuatnya pengaruh Islam pada masyarakat dalam novel tersebut karena begitu seringnya menggunakan petunjuk waktu salat. Bukti pernyataan tersebut misalnya terdapat pada kutipan berikut. “Hingga masuklah waktu Isya. Ketika Mansur telah selesai mendirikan salat berjamaah dengan istrinya...” 27 “Gemuruh suara azan Subuh dari ratusan masjid besar maupun kecil membelah langit Condet.” 28

4. Tokoh dan Penokohan

a. Rosid Rosid adalah tokoh protagonis dan sekaligus menjadi tokoh utama dalam novel ini. Karakter yang ditampilkan Rosid dalam novel ini yaitu kritis, keras kepala, cerdas, rajin membaca, taat beragama Islam, dan bertanggung jawab. Perubahan karakter Rosid menunjukkan Rosid termasuk tokoh bulat. 26 Ibid., h. 15. 27 Ibid., h. 200. 28 Ibid., h. 11. b. Delia Ia adalah gadis manis beragama Katolik yang menjadi pacar Rosid. Delia menjadi tokoh tritagonis karena perannya dalam menolong Rosid mencari jawaban atas misteri di balik peci putih. Gadis perokok yang gemar pergi ke kafe ini memiliki sifat sportif, menyukai tantangan, cerdas, lincah, dan sopan. c. Abah Mansur Pria ini adalah ayah Rosid, yang bisa dibilang memiliki peran antagonis karena kehendaknya berlawanan dengan tokoh utama. Karakternya keras kepala, kasar namun penyayang, mau menang sendiri, pantang disalahkan, tegas, dan royal. Sama dengan tokoh Rosid, tokoh ini termasuk ke dalam tokoh bulat karena di akhir cerita ia menyadari segala kekeliruannya. d. Umi Umi adalah sosok wanita Betawi lama pada umumnya. Ia penyabar, penyayang, pandai memasak dan mengaji, serta patuh pada suami. Benar-benar sosok yang sempurna bagi seorang istri dan ibu. Ia tak pernah berkata kasar ataupun membantah suaminya, sangat bertolak belakang dengan suaminya. e. Mahdi Ia adalah sahabat baik Rosid. Mahdi adalah seorang mahasiswa yang ceroboh, royal, terbuka, cerdas, dan sedikit pemarah. Ia juga berperan sebagai tokoh tritagonis yang mendampingi tokoh utama. f. Said Orang ini adalah tangan kanan Mansur ayah Rosid. Ia memiliki akal yang cukup cerdas namun kecerdasannya itu hanya dimanfaatkan untuk memperdaya orang lain demi memperoleh uang. Ia menjadi orang yang bertanggung jawab atas kerusuhan di Sanggar Banjir Kiriman namun ia juga yang secara tidak langsung mendamaikan hubungan antara Rosid dengan ayahnya. g. Mas Anto Pria ini adalah seorang sejarawan yang berbadan gemuk dan gemar meminum minuman keras serta ‘nongkrong’ di kafe. Ia adalah teman kakak Delia semasa kuliah. Karakternya supel, humoris, cerdas, dan kritis. h. Ustaz Abu Hanif Ustaz Abu Hanif adalah ayah dari Mahdi. Ia juga termasuk dalam anggota marga al-Gibran. Penggambaran karakter ustaz Abu Hanif yaitu seorang yang berusia 50 tahun lebih dengan jenggot dan rambut yang putih dan sangat bijaksana. Ia adalah sang pencerah dalam novel ini karena konflik batin dan segala pertanyaan Rosid berhasil diselesaikannya. i. Pak RW Jazuli Pak RW digambarkan pengarang sebagai sosok yang cerdas, tegas, adil, dan tidak memihak. Ia dengan sabar mendengarkan alasan setiap orang yang kala itu telah menyerang rumah Mahdi. Ia adalah contoh pemimpin yang patut dijadikan sebagai panutan bagi rakyatnya. j. Bang Nuh Sosok Bang Nuh sangat ditakuti dan disegani di kawasan Condet. Ia adalah mantan preman yang berperangai keras dengan tubuh yang kekar ditambah aksesori akar bahar yang melingkar di lengannya. Dalam novel ini dikisahkan Bang Nuh bertaubat berkat nasihat ustaz Abu Hanif. Ia kemudian berubah menjadi sosok pelindung bagi Mahdi dan keluarganya.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah orang ketiga serba tahu. Pengarang berada di luar cerita, ia hanya berperan sebagai pencerita narator. Narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya seperti ia, dia, atau mereka. Perhatikan kutipan berikut ini. “Rosid termasuk satu di antara mereka. Ia mengayunkan kakinya.” 29 “Sekarang dia sama sekali tidak tampak seperti seekor kucing lapar...” 30

6. Gaya Bahasa

Ben Sohib menggunakan gaya bahasa yang unik dalam novel ini. Gaya bahasa Betawi yang bercampur dengan Arab dalam novel ini menjadi penanda terjadinya peristiwa campur kode. Perhatikan kutipan berikut. “Ajib, bagus Tahu alamat atau nomor teleponnya?” tanya Rosid gembira. 31 “Kalau emang ade kebenaran, Rosid mau belajar ame syaiton.” 32 Dua kutipan di atas adalah bentuk terjadinya campur kode yang ada pada novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Peristiwa tersebut menjadi ciri khas gaya bahasa masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel tersebut. Di samping itu ia juga menggunakan gaya bahasa metaforis seperti terdapat pada kutipan-kutipan berikut. Tapi jika melihat perilaku Rosid, rasanya mustahil mewujudkan impian itu, semustahil mewujudkan impian seorang anak kecil untuk tinggal di dalam rumah yang terbuat dari coklat. 33 Delia terkesiap, ia seperti baru saja melihat jerawat sebesar biji kedelai yang bertempat di ujung hidungnya; jerawat besar yang sudah berada di sana sejak kali pertama ia bisa melihat. 34 Kini ia mencoba ber-bungy jumping dari tebing-tebing tinggi di atas sungai yang mengalir di mata lelaki berambut keriting itu... 35 Hawa perang mulai bergelayutan di langit-langit ruangan, seperti seekor monyet yang siap menyambar seikat kacang yang akan dilemparkan orang. 36 Jika diperhatikan Ben Sohib memiliki gaya bahasa yang menjadi identitasnya sendiri. Ia tidak menggunakan bentuk-bentuk metaforis umum 29 Ibid., h. 4. 30 Ibid., h. 272. 31 Ibid., h. 125. 32 Ibid., h. 199. 33 Ibid., h. 39. 34 Ibid., h. 59. 35 Ibid., h. 64. 36 Ibid., h. 197. yang sudah ada, namun menciptakan bentuk metaforis tersebut. Bentuk- bentuk metaforis yang didasari peristiwa dan pengalaman sehari-hari. Bentuk majas lain seperti personifikasi juga menghiasi novel ini, seperti pada kutipan berikut. “Cahaya lampu dengan warna-warna anggun mengintip dari sela-sela air mancur, mengelilingi kolam berwarna kehijau- hijauan.” 37 Ternyata tidak hanya bersifat metaforis dan personifikasi semata, Ben Sohib beberapa kali menggunakan bentuk-bentuk ironi bahkan cenderung ke sarkasme. Misalnya terdapat pada kutipan-kutipan berikut. “Jangan ngajarin bebek berenang, anak mude kagak tau ape-ape” 38 “Ane liat-liat, ente kayak burung salah kebon.” 39 “Meski begitu, sisa-sisa kecantikan Umi tetap menggurat di wajahnya. ...menjadi bukti-bukti tak terbantahkan akan kecantikan umi, sebelum abah datang menghancurkannya.” 40 Kutipan pertama dan kedua pada contoh di atas adalah bentuk ironi yang ditampilkan Ben Sohib sedangkan kutipan ketiga merupakan bentuk sarkasme. Sarkasme adalah pernyataan atau sindiran yang bersifat kasar dan lebih terang-terangan dibanding ironi. Contoh bentuk sarkasme yang lain misalnya dalam kutipan berikut. “Bukan. Die bilang mau ngikutin Nabi, kalau berpakaian selalu di atas mata kaki. Die bilang sunnah hukumnye.” “Masak sih? Kayaknya tu orang sempit amat pikirannye.” 41 37 Ibid., h. 156. 38 Ibid., h. 85. 39 Ibid., h. 91. 40 Sohib, Loc. Cit. 41 Ibid., h. 209.

B. Kondisi Sosial Masyarakat Betawi Keturunan Arab dalam