Biografi dan Pemikiran Ben Sohib

26

BAB III PROFIL BEN SOHIB

A. Biografi dan Pemikiran Ben Sohib

Ben Sohib lahir pada tanggal 22 Maret di Jakarta. Dua novel best seller- nya, The Da Peci Code dan Rosid dan Delia, diangkat ke layar lebar dengan judul Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta sutradara Benni Setiawan dan mendapatkan banyak penghargaan, termasuk film terbaik Festival Film Indonesia 2011. Ia mulai menulis sejak di bangku SMP. Beberapa tulisannya berupa puisi, cerpen, dan features dimuat di Sinar Harapan, Pelita, dan Hai. Saat ini bergiat di Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di Cililitan Kecil, Jakarta Timur. Ben Sohib adalah sastrawan yang tertutup. Ia sendiri mengakui bahwa dirinya tidak pernah memberitahukan tentang biogarfi hidupnya kepada orang lain. “Saya hanya berusaha sok misterius,” begitu selorohnya ketika saya bertanya mengenai tempat tanggal lahirnya. Ben Sohib mengakui ketika ada media yang ingin menulis data dirinya, ia minta sesingkat mungkin. Ia juga tidak menjawab ketika saya tanya mengenai nama aslinya. Ia hanya bilang, “Ya, Saya lebih suka dikenal dengan nama itu Ben Sohib.” Meski begitu, ia adalah sosok yang sangat ramah dan rendah hati. Bahkan penyuka rokok Marlboro putih ini sempat beberapa kali menelpon saya untuk menanyakan kepastian waktu wawancara. 1 Riwayat pendidikan beliau adalah SD, SMP, dan SMA umum. Saya ragu ketika hendak menanyakan lebih lanjut mengenai riwayat pendidikannya, karena teringat sikapnya yang sangat menjaga rahasia data pribadinya. Meski karya-karyanya begitu kuat bernafaskan Islam ternyata ia sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren seperti yang saya duga. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri dan ia dibesarkan di keluarga yang juga tidak terlalu fanatik dengan Islam. Ben Sohib mengakui bahwa 1 Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013. latar Islam yang ditampilkannya dalam novel The Da Peci Code merupakan hasil pengamatan dan pembacaannya terhadap lingkungannya. Sastrawan yang saat ini tinggal di Bukit Duri, Kampung Melayu ini, memiliki darah keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut Yaman. Garis keturunan tersebut diwariskan oleh kakeknya. Sedangkan neneknya adalah keluarga keraton Yogyakarta. Jadi sebenarnya, ia memiliki gelar Raden Mas pada namanya. Namun, gelar ini enggan ia gunakan. Ia lebih suka dipanggil Ben Sohib saja. Kesibukan Ben Sohib sehari-hari ialah menulis. Saat ini ia sedang menggarap novel terbarunya yang belum diberi judul dan mengisahkan tentang kehidupan seorang haji. Ia juga melatari novel ini dengan nuansa ke- Islam-an yang kental dengan latar yang sama dengan novel sebelumnya yaitu masyarakat Betawi. Ayah satu anak ini mengakui kalau ia bukanlah orang Condet asli. Ia hidup berpindah-pindah sejak kecil. Ia pernah tinggal di Bandung, Bali, Jawa Timur, kemudian terakhir di Jakarta. Hampir separuh usianya ia habiskan di Jakarta, itulah yang membuatnya merasa sebagai bagian dari masyarakat Betawi. Meski begitu, ia tidak pernah mengakui dirinya sebagai sastrawan Betawi. Berbeda dengan S. M. Ardhan, Muntaco, atau Chairil Gibran Ramadhan yang memang sastrawan Betawi. Ia hanya menggunakan latar Betawi agar novelnya tidak kaku dan mudah diterima masyarakat. 2 Inspirasi penulisan novel ini adalah melalui pengamatan yang ia lihat di lingkungan Condet. Meskipun ia bukan warga Condet ia sering datang ke daerah itu untuk berdiskusi dengan rekan-rekannya mengenai sastra, politik, filsafat, maupun agama. Akhirnya ia dan rekan-rekannya membentuk sebuah komunitas bernama Majelis Sastra Masjid Al-Makmur. Komunitas inilah yang menginspirasi terciptanya Sanggar Banjir Kiriman pada novel The Da Peci Code. Kebiasaan umat Islam menggunakan peci putih dan baju koko pada komunitas di daerah Condet juga menjadi inspirasi utamanya menulis novel ini. 2 Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013. Ben Sohib yang memang tidak dibesarkan dalam lingkungan kehidupan Islam yang kuat menganggap bahwa agama adalah kehidupan itu sendiri yang di dalamnya terdapat arahan-arahan dan nilai-nilai. Masalah celana di atas lutut adalah persoalan remeh temeh dalam Islam yang tak perlu menjadi perdebatan. Ia juga tidak menyukai tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan Islam apalagi sampai menganggap kelompok atau komunitas tertentu paling benar dan semua dianggap salah. Sebuah pertanyaan klasik yang masih belum terjawab dalam benaknya adalah mengenai hal-hal yang telah ditetapkan di Lauh Mahfudz. Ketika saya tanya pandangannya mengenai hal-hal yang maktub di dunia ini ia hanya memberikan jawaban, “Itu adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak akan memuaskan siapapun.” 3 Ben Sohib pernah menjadi peserta Literary Biennale. Literary Bienale adalah sebuah festival sastra yang diadakan oleh Komunitas Salihara dan Komunitas Utan Kayu. Acara yang digelar pada awal Oktober 2011 ini telah memasuki tahun keenam dan pada waktu itu mengambil tema Klasik Nan Asyik. Acara ini diisi tidak hanya oleh para sastrawan muda saja namun juga sastrawan-sastrawan senior yang namanya telah banyak dikenal orang seperti D. Zawawi Imron, Danarto, Joko Pinurbo, dan masih banyak lagi. Pada acara tersebut Ben Sohib bersama A. Fuadi penulis trilogi Negeri Lima Menara, Hasan Al Banna, Okky Madasari, dan Syaiful Alim berkesempatan menjadi narasumber yang membahas tema “Sastra dan Tradisi Islam”. 4

B. Karya-Karya Ben Sohib