Perwujudan Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code

C. Perwujudan Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code

karya Ben Sohib Menurut Wellek dan Warren, sastra mempunyai fungsi sosial sebagai suatu reaksi, tanggapan, kritik, atau gambaran mengenai situasi tertentu. 71 Kritik sosial tersebut akan terwujud jika terdapat hal-hal yang tidak wajar atau menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang terekam dalam benak seorang Ben Sohib ketika melihat bahwa peci putih adalah simbol wajib bagi umat tertentu. Ia pun mencari tahu mengenai peci putih tersebut sehingga lahirlah novel The Da Peci Code. Kritik yang ia sampaikan pun beragam tidak hanya seputar peci putih. Ciri khas dari kritik Ben Sohib yaitu ia lebih sering mengkritik masalah-masalah sepele dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebenarnya kritikan ini lebih bertujuan untuk mengingatkan, karena semua kritik yang disampaikan oleh Ben Sohib adalah sesuatu yang umum. Berbagai kritik sosial yang disampaikan Ben Sohib dalam novel The Da Peci Code yaitu paradigma umat Islam tentang sarung dan baju koko, hubungan antara ayah dan anak, pandangan umat Islam yang sempit, kepercayaan terhadap “orang pintar” paranormal, kritikan terhadap golongan atau kelompok tertentu yang merasa paling benar, mengkritisi panggilan habib, menyadarkan umat Islam akan pentingnya memahami kitab yang dibacanya, pernikahan beda agama, serta menyuarakan kembali kesenian kasidah yang hampir punah. Berikut ini adalah penjabaran yang lebih rinci mengenai kritik-kritik tersebut.

1. Mengkritik tradisi berpeci, sarung dan baju koko bagi umat Islam

Kritik terhadap tradisi berpeci adalah kritik utama yang ingin disampaikan Ben Sohib dalam novel ini. Hal ini terlihat dari penggunaan judul novelnya yaitu The Da Peci Code. Ben Sohib sendiri mengakui kalau novelnya ini menceritakan tentang peci. Ia melihat di lingkungannya bahwa peci putih seolah menjadi hal yang wajib bagi golongan tertentu. 71 Wellek dan Warren, Op. Cit., h. 111. Padahal seperti kita ketahui bahwa peci hanya berfungsi sebagai penutup kepala agar terlihat lebih sopan. Kewajiban mengenakan peci ini terlihat dalam kutipan berikut. “Ape yang ente tau?” “Leluhur kite itu orang-orang alim.” “Bagus. Terusnye, leluhur kite pake peci putih ape kagak?” “Pake, terus kenape?” “Itu tandanye peci putih itu ajaran agame. Kalau bukan ajaran agame, kagak mungkin leluhur kite yang alim itu pada pake Paham ente?” 72 Kritik Ben Sohib terhadap tradisi berpeci putih ini ia sampaikan melalui tokoh Rosid. Rosid yang “dipaksa” memakai peci putih oleh sang ayah demi melanjutkan tradisi marga al-Gibran, memilih untuk menolaknya. Ia menyangkal pendapat sang ayah yang menyatakan peci putih adalah ajaran agama. Berikut ini adalah kutipan penyangkalan Rosid yang mewakili pandangan Ben Sohib tentang peci. “Malahan di Islam sendiri, sebagian ade yang bilang itu sunnah”... Lalu ia melanjutkan, “Tapi perkare model, warna, motif, dan bentuknya,itu kaitannye ame budaya masing-masing. Jadi, model peci putih yang kayak dipake ame leluhur kite itu bukan ajaran agame, bukan sunnah, apalagi wajib...” 73 Dalam novelnya, Ben Sohib menggambarkan bahwa peci putih adalah ajaran wajib bagi komunitas fiktif al-Gibran yang berasal dari para leluhurnya. Inilah sebuah kondisi yang memang terjadi di masyarakat dalam komunitas tertentu. Ketika seseorang sedang menghadiri acara- acara keagamaan dari komunitas tersebut dan lupa mengenakan peci putih, ia akan menjauh dan merasa tersisihkan. Bahkan tidak jarang disindir oleh anggota lainnya. Paradigma yang keliru atas peci putih ini telah diluruskan oleh Ben Sohib dalam kutipannya yang disampaikan oleh seorang tokoh bernama ustaz Abu Hanif. Melalui kutipan ini ia mengungkapkan alasan yang tepat 72 Sohib, Op. Cit., h. 184. 73 Ibid., h. 186. menggunakan peci putih bukan sebagai hal yang wajib. Namun hanya sebagai simbol atau penanda akan komunitas tertentu. “Gue pake sarung dan peci putih, ini cuman penanda. Penanda yang udah disepakatin masyarakat sini, kalau yang pake gituan berarti orang Islam, apa lagi leluhur kite semuanye pade pake. Same aje kalau ada orang pake belangkon itu pasti orang Jawa atau Sunda. Kalau ade orang pake ulos itu orang Batak... Dan penanda-penanda itu nggak ngejamin orang itu bae apa ngga... Tapi lu kudu inget, di balik penanda-penanda itu, pasti punye maknanye masing-masing,” jelas ustadz Abu Hanif. 74 Kritik tersebut kemudian berkembang pada kritik busana umat Islam. Sebagian umat Islam menganggap bahwa baju koko dan sarung adalah pakaian yang wajib dikenakan ketika beribadah. Tentu ini adalah sebuah pemikiran yang keliru karena itu bukanlah ajaran dari Nabi Muhammad Saw. Masalah ini juga diuraikan oleh Ben Sohib dalam novel The Da Peci Code melalui kutipan berikut. ...Rosid kembali mencecar, “Tadi ane lihat, semua orang di masjid ini pake baju koko. Baju koko dianggep baju Islam. Emang sejak kapan baju koko masuk Islam? Dulu kagak ade orang yang bilang itu baju Islam. Semua orang juga tau kalau itu baju asalnye dari negeri Cina, kalau sarung itu dari India. Terus kenape jadi dikaitin ame Islam, seolah-olah kalau yang pake sarung dan baju koko itu berarti orang Islam yang Islami? Dimane letak kaitannye? 75

2. Hubungan antara ayah dan anak

Hubungan antara Rosid dan Mansur, sang Ayah dalam novel ini adalah bentuk hubungan yang unik. Keduanya sama-sama keras kepala sehingga ketika berselisih paham sering terjadi pertengkaran bahkan sampai tindakan pengusiran yang dilakukan oleh Mansur terhadap anaknya, Rosid. Meskipun begitu perselisihan antara ayah dan anak ini tidak semuanya tampak menegangkan, tapi justru tergambar dengan kelucuan-kelucuan. Perhatikan kutipan berikut ini. Konteks dari kutipan berikut adalah ketika 74 Ibid., h. 293. 75 Ibid., h. 185. Rosid telah meminum ramuan dari “orang pintar” yang diberikan oleh ayahnya selama tiga hari berturut-turut. “Abah, Rosid besok mau cukur rambut. Rosid pengen pakai peci putih lagi,” kata Rosid sambil bangkit berdiri. Tapi tiba-tiba, bahu kanan Rosid sudah sejajar dengan pintu samping rumah yang memang sudah terbuka. Mansur mencium adanya gelagat buruk yang meruap memenuhi udara. Tangan Mansur meraba meja makan dan mencari-cari sesuatu... Benar saja Rosid sekarang memutar badan dan menghadap ke pintu keluar, merunduk dalam posisi seperti seorang pelari yang akan memulai start. Tiba-tiba...Rosid berteriak. “Ketipu nih yeee” Mansur mendengus... Tapi kali ini ia kalah cepat. Siraman kuah sayur nangka sisa makan malam itu hanya mengenai bagian pinggir daun pintu. 76 Puncak kemarahan Mansur adalah pengusiran yang dilakukannya pada Rosid. Pengusiran itu berdampak pada Rosid yang harus menginap di rumah Mahdi selama beberapa hari. Setelah peristiwa pengusiran itu Mansur merasakan kegundahan yang luar biasa. Perhatikan kutipan- kutipan berikut. Mansur merasakan gigil yang berbeda. Tapi ia tak ingin istrinya tahu bahwa ia sedang dalam kegentaran menghadapi Rosid, anak lelaki satu-satunya. 77 Meski Mansur berupaya keras untuk meyakinkan dirinya bahwa tindakan itu sudah benar, tapi rasa sedih dan penyesalan tetap berkali- kali datang mengepung. Rasa sedih jika teringat pengusiran itu sangat mengganggu... 78 Semarah-marahnya orang tua pada anaknya tentu kasih sayangnya jauh lebih besar daripada marahnya. Kasih sayang inilah yang ditunjukkan Mansur kepada anak lelakinya sebatang kara setelah peristiwa penyerangan rumah Mahdi oleh kelompok tak dikenal. Ia begitu panik setelah mendapat telepon dari warga bahwa rumah Mahdi diserang kelompok tak dikenal dan langsung bergegas ke rumah Pak RW untuk 76 Ibid., h. 134. 77 Ibid., h. 17. 78 Ibid., h. 216. mencari tahu kondisi Rosid. “...ia tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia tampak gugup. Sesampai di luar pintu, ia bergegas ke dalam; ia lupa memakai peci putihnya... Mansur tergopoh-gopoh memasuki rumah Pak RW... Melihat Rosid ada di situ, Mansur menubruk dan memeluk anak itu. “Selamet lu, Sid. Selamet,”kata Mansur terbata- bata.” 79 Kasih sayang inilah yang begitu dirasakan Rosid malam itu, ketika ayahnya datang dan langsung memeluknya. Apa yang dilakukan Mansur akhirnya menyadarkan Rosid bahwa ayahnya begitu menyayanginya. Ditambah lagi nasihat Ustaz Abu Hanif kepadanya. Hingga pada akhirnya ia bisa berdamai dengan sang ayah. “Tadi malam, ia merasakan betapa besar rasa sayang sang ayah terhadap dirinya. Rosid merasa terharu dan timbul rasa kasihan ketika ayahnya memeluknya erat-erat.” 80 Sepanjang cerita Ben Sohib mengisahkan perseteruan antara Rosid dengan ayahnya dengan berbagai suasana. Sampai pada akhir cerita ia menutup kisah tersebut dengan suasana bahagia dan cukup membuat terharu. Hubungan yang unik, menegangkan, dan mengharukan antara ayah dan anak ini ditutup dengan humor untuk mencairkan suasana. Keputusan yang tepat telah diambil Ben Sohib dengan tidak memenangkan salah seorang yang berseteru ini. Keduanya telah melakukan kekeliruan, Rosid telah keliru mengenai cara menyampaikan pendapatnya yang terlalu keras dan ayahnya telah keliru untuk mengungkapkan rasa sayangnya yang beranggapan bahwa anak adalah sesuatu hal yang harus dibentuk oleh orang tua. Padahal anak memiliki dan berhak menentukan dunianya sendiri.

3. Pandangan umat Islam yang sempit

Ben Sohib memang tidak dilahirkan dalam keluarga yang fanatik terhadap Islam. Ia juga tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam 79 Ibid., h. 270. 80 Ibid., h. 294. yang begitu kuat. Namun ia memiliki pendapat sendiri tentang Islam. Bahwa Islam harus ada dalam setiap sendi kehidupan dan tidak menyukai pandangan sempit mengenai seorang muslim yang taat. Menurutnya seorang muslim yang taat tidak harus selalu ditandai dengan memakai celana di atas lutut dan berbaju koko. Perhatikan saja sosok yang digambarkan Ben Sohib pada tokoh Rosid. Ia adalah seorang laki-laki yang gemar bernampilan junkies namun sangat taat terhadap Islam. Ia selalu menjaga salatnya, tidak meminum minuman keras, bahkan jarang sekali memegang tangan kekasihnya. Perhatikan kutipan-kutipan berikut ini. Berapa jamkah aku tertidur? Tanya Rosid dalam hati. Ada penyesalan; ia tak salat Subuh hari ini. 81 “Wah udah jam lima lewat,” kata Rosid sambil melihat jam tangannya, “aku mau salat sebentar ya.” 82 Hal paling jauh yang pernah dilakukan hanyalah menggandeng tangannya, itu pun kalau sedang menyeberangi jalan. 83 “Kamu nggak minum bir, Sid?” tanya Anto. “Nggak, Mas,” jawab Rosid tersenyum. 84 Meskipun sosok laki-laki seperti Rosid ini mungkin hanya ada dalam novel namun yang terpenting adalah pelajaran yang dapat kita ambil dari tokoh tersebut, bahwa penampilan seseorang tidak pernah menjamin seberapa besar iman dan takwanya kepada sang pencipta. Mari kita bandingkan dengan tokoh Said. Kemanapun ia pergi, Said selalu mengenakan sarung, baju koko, dan peci putih. Namun perangainya digambarkan Ben Sohib sebagai orang yang licik, serakah, dan mampu menghalalkan segala cara demi uang. Sangat berbanding terbalik dengan penampilannya. “...Said menepuk-nepuk bahu Mansur... Kemudian, lelaki dengan tatapan seperti seekor kucing lapar itu melompat dan melintasi 81 Ibid., h. 33. 82 Ibid., h. 68. 83 Ibid., h. 69. 84 Ibid., h. 169. pekarangan. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam kantong bajunya memastikan amplop berisi uang itu tetap berada pada tempatnya.” 85 Pandangan umat Islam lainnya yang dikritik oleh Ben Sohib yaitu mengenai perayaan maulid. Sebagian umat Islam beranggapan bahwa perayaan maulid adalah bidah yang harus ditinggalkan. Ben Sohib tidak setuju dengan hal ini. Perhatikan kutipan berikut ini. Perkataan di bawah ini disampaikan oleh Lukman, pemimpin kelompok Radikal Remaja Didikan Allah. “Pak RW, kita tidak semestinya membuang-buang waktu dan tenaga untuk sekadar memperingati hari kelahiran Muhammad. Muhammad itu hanyalah manusia biasa. Dia makan dan minum, sama seperti kita. Semua itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu terlalu diagung-agungkan di atasnya, kita hanya diajurkan mengikuti sunnahnya. 86 Namun perkataan di atas ditanggapi dengan bijak oleh seorang tokoh bernama Husein Wirakusuma. Tanggapan tokoh ini juga sekaligus menjadi jawaban atas kritik Ben Sohib terhadap perayaan maulid. Perhatikan kutipan berikut ini. “Nak Lukman, coba Anda buka-buka lagi Al-Qur’an. Pasti Nak Lukman akan temui ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi, di antaranya surat Al-A’raf ayat 157. Saya tidak ingin menggurui, tapi coba nanti di rumah Nak Lukman cari ayat itu dan renungkanlah artinya. Dan perlu Nak Lukman ketahui, peringatan maulud adalah salah satu bentuk pengagungan kita terhadap Nabi. Nah, mudah-mudahan siapa yang mendengar dapat memahaminya.” 87 Melalui kutipan di atas Ben Sohib memandang manfaat yang diperoleh dari perayaan Maulid lebih besar ketimbang mudaratnya. Berdasarkan dalil yang ia kemukakan, mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah perintah Allah Swt meskipun Nabi sendiri tidak pernah memintanya. Walaupun ada sebagian kalangan yang memandang ini sebagai bidah, keyakinan memberikan penghormatan kepada Nabi adalah sebuah 85 Ibid., h. 218. 86 Ibid., h. 278. 87 Ibid., h. 282. keharusan sehingga tradisi Maulid ini terus bertahan dan berkembang di masyarakat.

4. Kepercayaan terhadap “orang pintar” paranormal

Banyak orang yang percaya dengan kemampuan “orang pintar” paranormal untuk mengubah nasib seseorang. Padahal nasib seseorang ditentukan oleh tangannya sendiri. Kepercayaan terhadap “orang pintar” ini juga menjadi salah satu bahan kritikan Ben Sohib terhadap masyarakat umum. Kritik ini disampaikannya melalui sosok Mansur. Atas saran Said, demi mengubah perilaku Rosid agar mau menuruti keinginannya Mansur pergi ke “orang pintar” dan diberikan air yang telah diberi doa. Menurut “orang pintar” tersebut dalam tiga hari pasti sifat Rosid akan berubah. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan berikut. Tapi air itu sudah terlanjur ia minum, sudah tiga gelas dalam tiga hari ini Tiba-tiba Rosid tertunduk... Mansur terkesiap, ia yakin “air isi” itu sedang bekerja... Ia ingat, ketika ketika orang itu menyerahkan kepadanya sebotol air...ia berkata, “Insya Allah, tiga kali minum itu anak sudah berubah.” “Abah, Rosid besok mau cukur rambut. Rosid pengen pakai peci putih lagi,” kata Rosid sambil bangkit berdiri. 88 Namun yang terjadi selanjutnya sungguh mengejutkan. Ketika Mansur mulai gembira melihat perubahan drastis putranya tiba-tiba Rosid berdiri dan membalikkan badannya seraya berkata, “Ketipu nih yeee”. Ternyata ramuan “orang pintar” itu tidak bekerja sesuai dengan yang dijanjikan. Menemui “orang pintar”, paranormal, atau sejenisnya dianggap sebagai jalan pintas untuk mengatasi sebuah masalah. Tidak terkecuali pada era modernitas seperti saat ini. Kecanggihan teknologi bahkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dikalahkan oleh jampi-jampi paranormal dan dukun. Fenomena semacam ini ternyata masih ditemukan di tengah kota metropolitan seperti Jakarta. Terlebih lagi di daerah Condet yang 88 Ibid., h. 133. masyarakatnya dikenal kuat memegang tradisi keislaman sejak zaman dahulu.

5. Mengkritik golongan atau kelompok tertentu yang merasa paling

benar Kritikan ini disampaikan pengarang dalam bentuk kelucuan dengan adanya sebuah kelompok yang bernama Formalin Forum Masyarakat Anti Aliran Lain. Kelompok ini menganggap aliran mereka yang paling benar sedangkan semua aliran lain adalah salah. Perhatikan kutipan yang berisi lelucon berikut ini. “Kami dari Forum Masyarakat Anti Aliran Lain. Aliran kamilah satu-satunya yang benar. Jika ada yang berbeda, maka itu pastilah aliran sesat. Dan kami akan memeranginya di manapun mereka berada” 89 Pada akhirnya kelompok ini hanya menjadi bahan tertawaan masyarakat dalam novel The Da Peci Code tersebut. Karena pemikiran merasa paling benar dan menganggap yang lainnya sesatsalah adalah bentuk kekerdilan pemikiran seseorang dan tidak akan pernah mendapat legitimasi dari masyarakat manapun. “Jadi, aliran kalian yang menafsirkannya secara benar?” “Iya, Pak.” “Siapa yang bilang?” ... “Ya kami yang bilang, Pak,” jawab anak muda itu agak ragu. “Oh, jadi kalian sendiri yang bilang, bukan Tuhan?”tanya Pak RW disambut tawa semua orang, kecuali si ketua FORMALIN dan Lukman Pitak. 90 Saat ini banyak terdapat kelompok-kelompok yang menganggap alirannya paling benar kemudian menganggap sesat kelompok lain. Padahal terdapat sebuah hadis yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang menganggap saudaranya sesama muslim itu kafir berarti ia sendiri telah ada dalam kekafiran. Ben Sohib nampaknya lebih menghargai pluralisme sebagai suatu hal yang menjadi kodrat manusia. Aliran sesat 89 Ibid., h. 249. 90 Ibid., h. 274. tentu harus diperangi, namun tidak asal tuduh. Harus ada bukti-bukti yang mendasarinya. Bahkan aliran seperti Ahmadiyah yang terbukti sesat tidak bisa diberantas begitu saja. Salah satu alasannya adalah adanya konsep Hak Azasi Manusia HAM dan pluralisme tadi. Negara kita pun menjamin kebebasan dalam menganut kepercayaan dalam Undang- Undang RI Pasal 28 E ayat 1 dan 2 yang diantaranya berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” Oleh karena itu diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama dan sesama pemeluk agama yang berbeda aliran. Membenarkan aliran sendiri dengan menghujat aliran lain adalah perbuatan yang salah dan melanggar undang-undang.

6. Menyadarkan umat Islam mengenai pentingnya memahami

makna kitab-kitab sejarahnya. Bentuk pemikiran kritis Ben Sohib juga menyentuh aspek mengenai pembacaan kitab-kitab sejarah Nabi. Menurutnya sangat disayangkan jika sebuah kitab seperti itu hanya dibaca tanpa dipahami maknanya. Padahal jika digali maknanya dapat diperoleh berbagai pelajaran hidup. Sama halnya dengan kitab suci Al-Qur’an, perlu dikaji maknanya bukan sekedar dibaca dan tidak mengacuhkan hikmah yang terkadung di dalamnya. Perhatikan kutipan berikut ini. “Bayangkan, kitab yang mengungkapkan keagungan Nabi yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang indah dan mempesona itu, hanya dibaca layaknya sebuah mantra. Padahal, banyak hikmah yang diperoleh jika saja kitab-kitab itu tidak sekedar dihapal dan dibaca, melainkan dikupas dan digali maksud-maksud yang terkandung di dalamnya.” 91 Pembacaan kitab-kitab sejarah Nabi ini disebut juga pembacaan Maulid. Pembacaan Maulid adalah bentuk kesenian dan tradisi lisan masyarakat Betawi. Pembacaan Maulid dalam kehidupan masyarakat 91 Ibid., h. 180. Betawi meliputi berbagai aspek dan daur kehidupan. Dalam berbagai siklus kehidupan orang Betawi pembacaan Maulid selalu hadir seperti pada upacara kelahiran, upacara akikah, khitanan, perkawinan, dan acara- acara lainnya. Pada awalnya, pembacaan Maulid adalah pelaksanaan dari seruan pemimpin Islam Sultan Salahuddin al-Ayyubi dari Mesir, tentang perlunya membangkitkan semangat jihad dalam rangka merebut kembali Yerussalem yang diduduki musuh dalam Perang Salib. Untuk membangkitkan semangat juang kaum muslimin di medan perang, Salahuddin menyelenggarakan sayembara penulisan sejarah Rasulullah saw yang dimenangkan oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim al-Barjanzi. Kitab berjudul Iqd Al-Jawahir ‘kalung permata’ yang kemudian terkenal dengan nama Kitab al-Barjanzi berbentuk rangkaian puisi yang indah dan mampu membangkitkan emosi dan semangat kaum muslim kala itu untuk meraih kemenangan. 92 Tradisi pembacaan Maulid masuk ke Indonesia seiring dengan perkembangan dan persebaran Islam di Indonesia. Eksistensi seni pembacaan Maulid dalam kesenian Betawi menunjukkan kuatnya pengaruh kebudayaan Arab-Islam sebagai salah satu penopang kebudayaan Betawi. Pada perkembangannya tradisi pembacaan Maulid berkembang di majelis-majelis taklim yang tersebar di berbagai penjuru wilayah Jakarta dan sekitarnya. 93 Saat ini tradisi pembacaan Maulid masih terus bertahan di tengah serbuan modernitas. Namun, Ben Sohib melihat tradisi ini dari sudut pandang yang berbeda. Ia beranggapan bahwa pembacaan Maulid saat ini hanyalah sekedar membaca tanpa pemahaman atas makna di dalamnya. Banyak dari mereka yang hanya menjadi pendengar sejati saat kitab-kitab tersebut dibacakan karena tidak mengerti bahasa Arab. 92 R. Cecep Eka Permana Untung Yuwono, Langgam Budaya Betawi, Depok: FIB UI, 2011, h. 156. 93 Ibid., h. 159—160. Sang ustadz mulai membaca kitab yang ditulis dalam bahasa Arab itu. Meski tak tahu artinya para hadirin menyimaknya dengan khusyuk... Seperti sebelum-sebelumnya, Rosid selalu merasa kecewa ketika menghadiri acara-acara semacam ini. Bayangkan, kitab yang mengungkapkan keagungan Nabi yang ditulis dengan kalimat yang indah dan mempesona itu, hanya dibaca layaknya sebuah mantra. 94 Menurutnya, kitab-kitab tersebut akan jauh lebih bermanfaat jika setelah membaca juga dilakukan kegiatan pengkajian, terlebih lagi kitab-kitab tersebut ditulis dengan bahasa yang puitis sehingga penerjemahan saja tidak cukup apalagi hanya sekedar dibacakan.

7. Pernikahan beda agama

Sebenarnya permasalahan ini adalah tema utama dari novel Rosid dan Delia yang merupakan kelanjutan dari novel ini. Meskipun begitu, Ben Sohib telah membahas masalah ini pada novel pertamanya agar tercipta jalinan antara dwilogi tersebut. Dalam novel The Da Peci Code, kisah percintaan antara Rosid dan Delia menjadi bingkai dari kritik Ben Sohib terhadap tradisi berpeci dan kebiasaan-kebiasaan mendasar yang keliru dalam masyarakat. Kisah percintaan yang awalnya baik-baik saja ini menjadi rumit ketika tiba pada masalah perbedaan keyakinan. Rosid adalah pemuda Betawi keturunan Arab yang sangat taat terhadap ajaran Islam sedangkan Delia adalah gadis kota yang menganut agama Kristen. Mereka berdua saling menyayangi namun perbedaan keyakinan menghalangi mereka untuk menjalin sebuah rumah tangga. Harus ada yang mengalah terhadap keyakinannya jika ingin terbentuk sebuah keluarga. “...ketika kita memutuskan untuk bersatu, kita harus meleburkan perbedaan itu, dan mengorbankan salah satunya.” 95 Melalui masalah ini Ben Sohib mencoba memberikan sebuah pandangan bahwa pernikahan beda agama hanya akan menimbulkan 94 Sohib, Op. Cit., h. 179. 95 Ibid., h. 309. berbagai persoalan. Meskipun ia meyakini semua agama itu baik namun dalam kenyataannya masalah perbedaan keyakinan tidak mungkin dapat dipersatukan dalam sebuah ikatan pernikahan, harus ada yang mengalah untuk berpindah keyakinan. Pandangan ini disampaikannya melalui tokoh ustaz Abu Hanif dalam kutipan berikut. “Apa elu pikir kawin beda agame itu gampang, Sid?... Sid, gue bukannya mau ngomong kalau agame selain agame kite itu jelek. Gue yakin, semua agame itu bagus. Gue cuma pengen bilang, kalau lu kawin ame orang yang beda agame, lu bakalan pusing... begitu lu kawin, hidup serumah saban hari, lu bakal ketemu ame yang namenye masalah. 96 Pada akhirnya Rosid dan Delia bertemu untuk membicarakan masalah ini. Pertempuran kata-kata antara keduanya pun tak bisa dihindari. Rosid menyampaikan semua nasihat ustaz Abu Hanif kepada Delia. Namun besarnya cinta Rosid pada Delia membuatnya tidak bisa memutuskan untuk meninggalkan Delia. Akhirnya mereka memilih untuk tetap menjalani hubungan ini, membiarkannnya tetap mengalir seperti sebelumnya. “...dalam hitungan detik, Rosid berlari mengejar Delia. Ia mencekal lengannya. Ia ingin hubungannya dengan Delia tetap seperti dulu, mengalir seperti sungai di dekat rumah Mahdi.” 97

8. Menyuarakan kembali kesenian Islam yang hampir punah

Kasidah adalah salah satu jenis kesenian Islam yang hampir punah. Pada pembahasan sebelumnya saya telah mengutip pendapat dari Nilamsari Wati berdasarkan penelitiannya terhadap pola ekonomi masyarakat Condet. Ia menyatakan bahwa generasi muda sudah enggan untuk mempelajari kesenian tersebut yang masih mempertahankan adalah generasi tua. Melalui novel ini, Ben Sohib ingin mempopulerkan kembali kasidah sebagai bentuk kesenian Islam dengan menampilkannya dalam bentuk kutipan berikut. 96 Ibid., h. 296. 97 Ibid., h. h. 315. Bu Haji Jazuli adalah seorang yang aktif di lingkungan Cililitan Kecil. Ia menggalang Majlis taklim dan mendirikan kelompok kasidah yang beranggotakan ibu-ibu warga Cililitan Kecil dan sekitarnya. 98 Bu RW menjentikkan jemari tangannya... Maka membahanalah rampak rebana dan gemerincing tamborin memenuhi seluruh ruangan...mengalunlah suara merdu dari salah seorang dari mereka. Lagu Perdamaian dari kelompok Nasida Ria yang sangat popoular di awal tahun 1980an... 99 Orang Betawi Condet menyukai jenis-jenis kesenian yang bernafaskan Islam seperti Rebana Qasidah, Rebana Ketimpring, Samrah, dan sebagainya. Namun saat ini saat penelitian berlangsung jenis-jenis kesenian tersebut sudah hampir hilang. Data Laporan Kelurahan Agustus 2003 mencatat terdapat empat kelompok Qasidah yang berada di bawah bimbingan Laboratorium Tari dan Karawitan Betawi. Akan tetapi upaya pelestarian seni budaya Betawi di Condet tidak mampu menggugah kesadaran penduduk untuk menjaga dan memelihara seni budaya tradisional. Di samping itu struktur masyarakat Condet yang semakin heterogen dengan banyaknya para pendatang yang membawa adat istiadat serta seni budaya dari daerah asalnya dapat mempengaruhi kelestarian budaya Condet. 100

D. Implikasi Penelitian Novel The Da Peci Code karya Ben