10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Novel
Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella berarti sebuah barang baru
yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang
berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif.
1
Novel terbagi dua yaitu novel populer dan novel serius. Novel populer yang mengandung kritik sosial akan memberikan jawaban atau solusi atas
kritik yang disampaikan pengarang. Jawaban atau solusi tersebut biasanya terdapat pada bagian akhir cerita. Sedangkan pada novel serius kritik tersebut
bertujuan untuk mempertanyakan keyakinan pembaca terhadap suatu hal. Novel serius tidak memberikan jawaban secara langsung atas kritik yang
disampaikannya melainkan membebaskan pembaca menentukan jawabannya. Istilah novel sama dengan istilah roman. Kata novel seperti yang
disebutkan di atas berasal dari Italia yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sedangkan istilah roman berasal dari genre romance
dari Abad Pertengahan yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan
bagian-bagian Eropa Daratan yang lain. Berdasarkan asal usul istilah tadi memang ada sedikit perbedaan antara roman dan novel, yakni bahwa bentuk
novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir sama.
2
1
Ibid., h. 4.
2
Jakob Sumardjo Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, Jakarta: Gramedia. 1986, h. 29.
B. Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel
Menurut Fananie
3
unsur intrinsik adalah struktur formal karya sastra yang dapat disebut sebagai elemen-elemen atau unsur-unsur yang membentuk
karya sastra. Unsur-unsur tersebut secara utuh membangun karya sastra fiksi dari dalam, unsur-unsur intrinsik yang paling pokok terdiri dari: 1 tokoh dan
penokohan, 2 latar, 3 alur, dan 4 tema. Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro,
4
terdapat delapan unsur fiksi yang terdiri atas: 1 Tema, 2 Cerita, 3 Pemplotan, 4 Penokohan, 5
Pelataran, 6 Penyudutpandangan, 7 Bahasa, dan 8 Moral. Lain halnya dengan Wahyudi Siswanto,
5
ia membagi unsur fiksi menjadi tujuh jenis, yaitu: 1 Tokoh, watak, dan penokohan, 2 Latar cerita, 3 Titik
pandangsudut pandang, 4 Gaya bahasa, 5 Alur, 6 Tema dan amanat, dan 7 Gaya penceritaan.
a. Tema Tema berasal dari kata “thema” Inggris ide menjadi pokok suatu
pembicaraan, atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan omensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu
pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita akan dibangun dan berakhir. Dengan adanya tema pengarang
mempunyai pedoman dalam ceritanya pada sasaran. Jadi tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita.
6
Aminuddin
7
berpendapat seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan,
sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema
tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
3
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000, h. 58.
4
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 23.
5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008, h. 142.
6
Zulfahnur, Op. Cit., h. 24.
7
Siswanto, Op. Cit., h. 161.
Sementara itu terdapat lima tingkatan tema menurut Shipley.
8
Dalam Dictionary of World Literature ia mengartikan tema sebagai subjek
wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema karya sastra berdasarkan tingkatan
pengalaman jiwa yaitu sebagai berikut: Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai atau: dalam tingkat
kejiwaan molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas
fisik daripada kejiwaan. Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai atau: dalam tingkat
kejiwaan protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah
seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socius. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-
interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan ekonomi, politik, pendidikan,
kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan- bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang
biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as
individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan
atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik,
misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang beum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.
8
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 80.
Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiositas, atau berbagai
masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
b. Latar Abrams
9
yang menyebut latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Menurut Sayuti,
10
deskripsi latar fiksi secara garis besar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni:
1. Latar tempat Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu cerita terjadi.
Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa
nama jelas. 2. Latar waktu
Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa secara historis dalam plot. Dengan jelasnya saat kejadian akan tergambar
pula tujuan fiksi tersebut. Secara jelas pula rangakian peristiwa yang tidak mungkin terjadi terlepas dari perjalanan waktu dapat ditinjau
dari jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakanginya.
3. Latar sosial Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat
seorang atau beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya.
9
Ibid., h. 216
10
Suminto A. Sayuti, Dasar-Dasar Analisis Fiksi, Yogyakarta: UD3S, 1986, h. 80
c. Alur Menurut Abrams alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita.
11
Menurut Zulfahnur,
12
berdasarkan fungsinya alur dibagi atas: 1. Alur utama
Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa pokok atau utama.
2. Alur bawahan subplot Alur bawahan adalah alur yang berisi kejadian-kejadian kecil
menunjang peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan tersebut berfungsi sebagai ilustrasi alur utama.
d. Tokoh dan penokohan Tokoh cerita character menurut Abrams
13
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif, atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakannya. Menurut Sayuti
14
ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Tokoh sentral atau tokoh utama Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar
dalam peristiwa atau tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh sentral atau tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu 1
tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, 2 tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan 3 tokoh
itu paling memerlukan waktu penceritaan.
11
Siswanto, Op. Cit., h. 159.
12
Zulfahnur, Op. Cit., h. 27.
13
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 165.
14
Sayuti, Op. Cit., h. 47.
2. Tokoh periferal atau tokoh tambahan bawahan Tokoh bawahan merupakan tokoh yang mengambil bagian kecil
dalam peristiwa suatu cerita atau tokoh yang sedikit diceritakan.
Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya,
sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
15
Dalam penokohan, dikenal ada dua cara atau metode yang digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh cerita yaitu:
16
1. Metode diskursif atau metode analitik Metode ini digunakan pengarang dengan menyebutkan secara
langsung masing-masing kualitas tokoh-tokohnya. 2. Metode dramatis atau metode tidak langsung
Metode ini digunakan pengarang dengan memberikan tokoh- tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri. Metode ini dapat
dilakukan dari beberapa teknik antara lain: 1 teknik pemberian nama, 2 teknik cakapan, 3 teknik pikiran tokoh, 4 teknik arus
kesadaran, 5 teknik lukisan persoalan tokoh, 6 teknik perbuatan tokoh, 7 teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap
tokoh lain, 8 teknik lukisan fisik, dan 9 teknik pelukisan latar.
e. Sudut pandang Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari
tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat,
15
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 166.
16
Ibid., h. 20.
waktu dengan gayanya sendiri.
17
Sudut pandang terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Sudut pandang persona ketiga: “dia” Narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
2. Sudut pandang persona pertama: “aku” Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang
persona pertama, “aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita.
3. Sudut padang campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja
lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang
dituliskannya.
18
f. Gaya bahasa Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
19
g. Gaya penceritaan Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik penceritaan.
Teknik penulisan adalah cara yang digunakan oleh pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah cara yang
digunakan pengarang untuk menyajikan karya sastranya, seperti teknik pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik kolase, teknik
asosiasi.
20
17
Siswanto, Op. Cit., h. 151.
18
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 256.
19
Siswanto, Op. Cit., h. 158.
20
Ibid., h. 162.
h. Moral Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk
sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang
bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
21
C. Mimetik