Kebudayaan Tionghoa dalam novel dimsum terakhir karya Clarang dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia Di SMA

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun oleh: Hayatun Nufus

109013000074

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Sebuah Persembahan

Buat: Mama, Babeh.


(6)

ii

dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M. Hum.

Mempelajari kebudayaan adalah suatu pengalaman menarik bagi siswa. Siswa akan mendapat pengetahuan baru terkait kebudayaan yang diajarkan. Mempelajari kebudayan tidak selalu harus datang ke museum dan membaca buku sejarah. Kebudayaan bisa kita berikan melalui novel. Novel Dimsum Terakhir

cocok diberikan untuk mempelajari kebudayaan karena novel ini sarat akan kebudayaan Tionghoa yang bisa dipelajari oleh siswa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng yangdiharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran di sekolah nantinya. Penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk menganilisis kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir ini.

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir adalah: 1) Imlek atau pesta peryaan datangnya musim semi (tahun baru pada penanggalan lunar), 2) cap go

atau tanggal kelima belas penanggalan lunar, 3) feng shui, 4) penanggalan, 5) pengobatan tradisional, 6) makanan khas Tionghoa, 7) agama, 8) kelenteng atau tempat ibadah umat TriDharma, 9) horoskop Cina (shio), 10) upacara pascakematian.


(7)

iii

Literature, Faculty of Education and Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Novi Diah Haryanti , M. Hum., February 2014.

Learning about culture is kind of interesting experience for student. Student will get new knowledge about culture that is learned learning culture should not come to the museum only and read historical book. Culture can be given by novel . Dimsum Terakhir novel is suitable to give the learning about culture because this novel full of Tionghoa culture that can be learned by students. This research is alm to know about Tionghoa culture that can be seen from

Dimsum Terakhir novel by Clara Ng and hope can be used for study at school. This literature research use descriptive qualitative is kind method that is used to analyze Tionghoa culture in Dimsum Terakhir novel.

Based on the research we can conclude that Tionghoa culture in Dimsum Terakhir novel are: 1) imlek or welcoming party of lunar calendar, 2) cap go is the fifteenth days in lunar calendar, 3) fengshui, 4) calendar, 5) traditional medicine, 6) Tionghoa fomous food, 7) religion 8) kelenteng or place for pray TriDharma’s

people, 9) Chinese horoscope, 10) after death prosesion.


(8)

iv

dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” pada akhirnya dapat selesai

dengan hasil yang memuaskan. Salawat serta salam sudah sepatutnya teriring kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang berkat perjuangannyalah Islam hadir di muka bumi ini dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Selama lebih dari setahun skripsi ini disusun, penulis begitu banyak menemui aral terjal dan krisis motivasi. Namun, selalu ada yang menyemangati dan memotivasi serta membantu penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama berikut ini.

1. Nurlena Rifa’i, M. A., Ph. D. selaku Dekan Fakutas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z. A., M. Pd. selaku Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dra. Hindun, M. Pd. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Novi Diah Haryanti, M. Hum. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini. (Terima kasih, Bu, telah membimbing saya dengan sabar dan keren). 5. Rosidah Erowati, M. Hum. selaku penguji 1 dalam ujian munaqasah. 6. Ahmad Bachtiar, M. Hum. selaku penguji 2 dalam ujian munaqasah. 7. Segenap dosen dan karyawan PBSI yang telah memberikan ilmu bagi

penulis.

Secara khusus saya ingin menyampaikan terima kasih terdalam buat Mama dan Babeh, orang tua yang luar biasa yang telah memberikan cinta kasihnya kepada penulis dengan begitu tulus dan sabar. Terima kasih juga untuk Kak Melda, Kak Dian, Kak Silvia, Kak Chairul, Kak Saipul, dan Kak Nurma.


(9)

v

Cahya Ningtiyas, Lufi Bundo Nurfadilah, Khori Yatun Nisah, Dewi, Abang Oboy, Uni Putri Dintha dan buat segenap Pandawa Lima & Srikandi dan seluruh kawan angkatan 2009, terima kasih telah menjadi keluarga yang hangat buat penulis.

Buat penghuni MK, Bang Zaki, Fajar, Irsyad Musang Zulfahmi, Levy Arnaldo, M. Iqbal, Hasna Diana, Bohari Muslim, Akbar Ajoy Fatriyana, Adi Reptil Nugroho, Imron Rosyadi, Mulya Boneng Abdul Aziz, Curut, Mutianissa, Mira Rosiana, Ucin, Adi Alvian, Miftah Ival Falakhi, Sigit Purnomo Boby Hadipratama, Ida, Alya, Yanti, Dede Sunarya, Zainal Mbe Abidin, Maolana Dasef, dan lainnya yang maaf jika tidak disebutkan satu per satu, terima kasih, sungguh kalian cat warna dan soundsystem dalam hidup penulis.

Buat Lisneni, Irma, Setiawan, terima kasih sudah mengisi weekend saya. Buat Nia Bolang Indriyani, Ningsih Oktafani, Rahayu Awaludin, (teman berpetualang yang sangat keren), terima kasih.

Buat segenap penghuni Primagama Karang Tengah, Pak Bos Rizal, Kak Tatang, Mas Wahib, Kak Rendy, Kak Kristin, Kak Lucky, Kak Reny, Kak Santy, Kak Kiki, buat anak-anak kesayangan, Maolana Yusuf, Ryan Maulana, Rizky Arga Kusuma, Retza Pratama, Rilando, Nicholas Ceriso, Nabilah, Eci, Anisa, Abdul Rosyid, Fauzan, Jasson, Nanda, Ken, Alvin, Jessika, Icha, Raisa, Adam, Dafa, Akil, Teguh, Nesya. Terima kasih anak-anak yang tak sempat kulahirkan sendiri. (Kalian jadi pencerah kusamnya hidup kaka).

Buat kelompok PPKT SMKN 2 Tangerang Selatan, Herda Harisman, T.B. Mutaqin, Ahmad Kaffi. Terima kasih, untuk kekompakan kita di sekolah. Buat anak-anakku di SMKN 2 Tangsel, terima kasih untuk kenangan, untuk pelajaran berharga ini.


(10)

vi

Terima kasih semuanya untuk begitu banyak hal, mohon maaf segenap lahir seluruh batin, skripsi ini sudah selesai.

Satu tahun pengerjaan skripsi, ternyata penuh warna, terima kasih Tuhan, untuk warna-warni gemerlapan ini.

Jakarta, 19 Maret 2014 Penulis


(11)

vii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

LEMBAR PERSEMBAHAN……… i

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR ….……… iv

DAFTAR ISI……… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 5

C. Rumusan Masalah……… 6

D. Tujuan Penelitian……… 6

E. Manfaat Penelitian……… 6

F. Metode Penelitian……… 7

G. Penelitian yang Relevan……… 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Struktural……… 11

B. Hakikat Novel……… 17

C. Pengertian Kebudayaan……… 21

D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Priode… 22 E. Sosiologi Sastra……… 41

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah……… 44

BAB III HASIL PENELITIAN A. Unsur Intrinsik……….………… 48

B. Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel… 80 BAB IV PENUTUP A. Simpulan……… 124


(12)

viii Ng


(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan manifestasi dari ide-ide seseorang ketika melihat dan merasakan peristiwa sosial di sekelilingnya. Melalui sastra, pengarang menyampaikan gagasannya kepada masyarakat. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.

Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel berasal dari bahasa Inggris, yaitu novel. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya, sehingga terlihat seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur inilah yang akan menyebabkan karya sastra (novel) hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung membangun sebuah cerita. Keterpaduan berbagai unsur intrinsik ini akan menjadikan sebuah novel yang bagus. Setelah itu, untuk menghasilkan novel yang bagus juga diperlukan pengolahan bahasa. Bahasa merupakan sarana atau media untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarang yang akan dituangkan dalam sebuah karya yaitu salah satunya novel tersebut. Wellek dan Warren menyatakan bahwa novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis.1

Setiap peristiwa dalam sebuah novel diikuti dengan beragam konflik sosial dan keseharian para pelaku yang mencerminkan kebudayaan. Nilai budaya adalah bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan cara-cara yang sesuai dengan

1

Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 1989), h. 282.


(14)

sistem di masyarakat, norma yang berlaku dan adat istiadat kelompok masyarakat tertentu.

Kita dapat melihat kaitan pengarang dengan karyanya melalui sebuah pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Tidak hanya itu, pendekatan ini juga memungkinkan kita untuk menggali lebih jauh hubungan karya sastra dan masyarakat. Sebagai sebuah cerminan, sastra tidak akan pernah bisa lepas dari konteks sosial di mana karya sastra itu muncul.

Wellek dan Warren berpendapat bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat sastra adalah intuisi sosial yang menggunakan medium bahasa. Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar dari kenyataan sosial, meskipun karya sastra itu sendiri bersifat fiksi dalam artian hanya meniru. Hal tersebut mencerminkan bahwa karya sastra memiliki kaitan yang erat dengan intuisi sosial yang pengungkapannya menggunakan bahasa sebagai medium penyampaian pesan antara pengarang terhadap pembaca mengenai sebuah karya sastra.2

Dalam pembelajaran sastra di sekolah, mengkaji nilai intrinsik dan ekstrinsik suatu karya sastra, salah satunya novel, merupakan sebuah kegiatan yang menyenangkan sekaligus kaya manfaat. Ada banyak hal positif untuk dijadikan pelajaran hidup yang berguna bagi kemajuan personal siswa. Selain itu, manfaat lainnya adalah dapat menanamkan kepedulian terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar. Hal ini hanya bisa didapat apabila guru mampu membimbing dan mengarahkan siswa untuk kreatif dalam menggali informasi yang terdapat dalam novel.

Siswa juga diharapkan mampu berperan serta dalam mengatasi permasalahan sosial, setidaknya mereka mampu membedakan hal yang baik dan buruk, mampu mengoptimalkan jiwa sosial mereka, dan meningkatkan sikap simpati kepada sesama. Sudah menjadi rahasia umum perihal prilaku rasis

terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, seperti penyebutan kata “amoy” kepada

anak-anak perempuan Tionghoa padahal orang-orang hanya meniru-niru tanpa

2


(15)

mengerti makna sebenarnya, berperasangka buruk kepada mereka, mengejek

mereka “cokin”3

, menganggap mereka bukan orang Indonesia, dan sebagainya. Peneliti mengaharapkan siswa kelak tidak terpengaruh oleh hegemoni masyarakat mayoritas yang berperilaku rasis terhadap etnis minoritas Tionghoa. Siswa pun diharapkan bertambah wawasan budayanya melalui kajian kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam novel ini sehingga siswa dapat memahami etnis Tionghoa secara lebih empatik.

Alasan peneliti menggunakan istilah “Tionghoa” bukan “Cina” didasari pada keinginan peneliti untuk mengambil sikap netral dalam penelitian ini. Kata

“Cina” merupakan bentukan rezim Soeharto. Penyebutan Cina untuk etnis

Tionghoa bertendensi negatif walaupun masyarakat sudah menerima istilah ini dan tidak mempermasalahkannya sebagai sesuatu yang dianggap melecehkan etnis Tionghoa. Akan tetapi, peneliti menilai alangkah bijaksananya apabila sebagai peneliti kita memberikan sebutan yang baik kepada objek yang menjadi penelitian kita. Peneliti tidak ingin terkesan berat sebelah dalam penelitian ini karena hal itu hanya akan membuat penelitian ini tidak objektif lagi. Dengan berbagai alasan tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan istilah “Tionghoa” dalam penelitian ini.

Orang-orang Tionghoa asli4 maupun orang-orang Indonesia yang berdarah Tionghoa5 di Indonesia masih menjadi objek rasis oleh sekelompok masyarakat mayoritas. Anggapan bahwa orang-orang Tionghoa belum membaur seutuhnya dengan orang Indonesia dan cenderung menutup diri mereka, membuat pandangan negatif terhadap orang Tionghoa makin menjadi.

Sejarah panjang etnis Tionghoa di Indonesia tidak luput dari permasalahan politik. Sejak masa penjajahan Belanda di Nusantara, etnis Tionghoa sudah mengalami perilaku rasis yang cenderung biadab. VOC yang merasa kepentingannya terganggu oleh etnis Tionghoa, kemudian menyebarkan isu

3

Makna cokin dalam bahasa slang adalah orang Cina

(http.//malesbanget.com/kamus/definisi.php?kata=Cokin). Sebagian besar kaum muda memandang kata cokin memiliki konotasi negatif (skripsi, Paskarini)

4 Totok 5


(16)

Tionghoa yang menyebabkan etnis Tionghoa dibantai secara membabi buta pada tahun 1740.6

Berbagai kebijakan rasial pun muncul tidak hanya pada masa penjajahan Belanda. Pada Era Soekarno dan Soeharto pun etnis ini harus mengalami kebijakan yang merugikan mereka. Contohnya PP-10 pada Era Soekarno dan kebijakan asimilasi7 pada Era Soeharto yang berimbas pada ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Cina dan pelarangan menggunakan bahasa dan aksara Cina dalam media massa.

Problem mayoritas minoritas di mana etnis minoritas selalu menjadi bulan-bulanan kelompok mayoritas, konsekuensi ini pun sampai sekarang masih menghegemoni dalam hukum mayoritas minoritas etnis Tionghoa di Indonesia. Masyarakat mayoritas seperti tutup mata terhadap sumbangsih etnis minoritas ini dalam membangun bangsa.8 Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara bukan bertujuan untuk menjajah seperti Belanda dan Jepang. Mereka datang ke Nusantara hanya untuk mencari penghidupan, umumnya di sektor perdagangan.

Segala persoalan etnis Tionghoa dan kebudayaannya ini, tergambar pada sebuah novel berjudul Dimsum Terakhir. Novel ini pertama kali diterbitkan tahun 2006 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel Dimsum Terakhir mendapat apresiasi yang cukup baik di kalangan masyarakat sehingga sejak 2006 novel ini sudah empat kali dicetak ulang. Seorang pemerhati kebudayaan dan seorang penulis mengatakan dalam testimoninya mengenai novel ini.

“Clara Ng mengembangkan kehidupan tokoh-tokoh ceritanya

dengan lincah, kreatif, manusiawi, dan yang terpenting tanpa beban. Oleh sebab itu “Dimsum Terakhir” lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan segala macam persoalannya”.9

6

Seperti yang diungkapkan oleh Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoadalam PusaranPolitik.

7

Politik pembauran 8

Etnis Tionghoa berjasa dalam penyebaran agama Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho dan armadanya. Etnis ini juga berhasil membangun irigasi pada masa penjajahan VOC. (berdasarkan buku Etnis Tionghoa dalam Pusaran Politik, karya Benny G. Setiono.)

9


(17)

“Clara dengan sangat manis meracik seluruh elemen dalam novel ini menjadi hidangan cerita yang memabukkan. Lihatlah cara dia merangkai kata, menumbuhkan wacana dan pengelanaannya dalam menggambarkan setting dan pristiwa. Ia membumbui sesuatu yang simple dengan cara yang tak biasa. Ia mengawinkan hawa pop dengan semburan yang mutakhir. Clara dengan smooth membuat jembatan yang nyaris tak terlihat, yang membuat pembaca tak perlu lagi menghakimi novelnya sebagai sastra atau bukan sastra, hanya memerlukan komentar bermutu dan layak dinikmati.”10

Novel Dimsum Terakhir berisi tentang kisah empat orang anak kembar dari keturunan Tionghoa yang hidup terpisah-pisah sesuai dengan pekerjaan dan idealismenya masing-masing. Mereka harus berkumpul kembali untuk merawat ayah mereka yang sakit. Inti persoalan yang diangkat adalah bagaimana seseorang yang hidup di era modern masih memegang adat budayanya yaitu budaya Tionghoa di tengah diskriminasi terhadap kaum minor ini dan menjunjungnya sebagai falsafah hidup.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis novel Dimsum Terakhir. Analisis terhadap novel Dimsum Terakhir

dibatasi pada struktur dan kebudayaan. Stuktur penting untuk menganilisis kebudayaan yang banyak terkandung dalam novel ini.

Alasan dipilih dalam segi kebudayaan adalah karena novel ini menampilkan kebudayaan Tionghoa dan bagaimana kebudayaan itu dipertahankan oleh empat orang gadis modern. Novel ini semakin menarik dianalisis dalam segi kebudayaan ketika pada zaman modern seperti ini masih ada sekelompok orang yang mempertahankan budaya leluhur mereka bahkan di tengah diskriminasi sosial yang mendera warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Novel ini menampilkan keseharian warga Tionghoa modern yang meskipun selalu menjadi objek rasial namun tetap menjujung budaya mereka dan tetap mencintai Indonesia sebagai negeri tumpah darahnya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, identifikasi masalah

10


(18)

dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Kebudayaan Tionghoa apa saja yang terkandung dalam Novel Dimsum Terakhir?

2. Adakah hubungan antara kebudayaan dengan pola hidup dan pemikiran tokoh-tokohnya?

3. Apakah kebudayaan itu masih dijalankan oleh tokoh-tokohnya di tengah stereotip negatif dan diskriminasi terhadap mereka?

4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra khususnya novel.

5. Kurangnya bahan bacaan sastra yang bermutu bagi para siswa.

C. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diketahui rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur novel Dimsum Terakhir?

2. Bagaimanakah kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel

Dimsum Terakhir?

3. Bagaimanakah implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel Dimsum Terakhir dan mencari implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang struktur dan pembelajaran sastra tentang nilai-nilai budaya Tionghoa dalam


(19)

novel.

2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain.

a. Bagi Guru

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi guru tentang pendekatan struktural untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran sastra yang menarik, kreatif, dan inovatif.

b. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan.

c. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi novel Dimsum Terakhir dan mengambil manfaat darinya. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan (khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung pesan moral yang baik dan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk sarana pembinaan watak diri pribadi.

d. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi stimulus kepada siswa untuk lebih peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Memperkaya pengetahuan kebudayaan siswa, menambah wawasan serta menumbuhkan jiwa simpati dalam diri siswa.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif


(20)

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati. Dalam hal ini objek yang diamati adalah novel Dimsum Terakhir dan kebudayaan Tionghoa.

Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran, analisis dan penjabaran secara objektif agar dapat mengungkapkan hubungan antarunsur-unsur cerita di dalam teks dan dapat menggambarkan kebudayaan Tionghoa yang terkadung di dalamnya. Metode ini digunakan untuk menggambarkan hal-hal faktual yang terdapat dalam karya sastra sehingga pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kebudayaan Tionghoa yang terkandung di dalam novel ini.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah pendekatan struktural yang berdasarkan pada tumpuan teks itu sendiri. Penelitian dipusatkan kepada unsur-unsur intrinsik karya sastra yang dibandingkan dengan kebudayaan Tionghoa yang diperoleh melalui tinjauan pustaka.

Untuk dapat lebih memahami konteks sosial masyarakat dan kebudayaan Tionghoa yang terkandung dalam novel ini, peneliti juga menggunakan pendekatan ekstrinsik yaitu sosiologi sastra. Lalu jenis penelitian yang peneliti pergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan mencoba menghubungkan cerita dalam novel Dimsum Terakhir

dengan keadaan sosial, yakni kebudayaan Tionghoa pada saat cerita itu dibuat yaitu pada era demokrasi pascarevolusi 1998.

1. Sumber Data/Objek Penelitian

Data penelitian ini bersumber pada novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama dan merupakan cetakan keempat pada Mei 2012. Selain itu, data penelitian ini juga bersumber pada kajian kepustakaan mengenai kebudayaan Tionghoa.


(21)

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah untuk mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan membaca teks sastra dalam hal ini novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng kemudian menyimak secara saksama untuk pada akhirnya peneliti melakukan pencatatan. Langkah berikutnya penelitian kepustakaan berkenaan dengan kajian kebudayaan Tionghoa.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data tersebut dapat dipahami bukan saja oleh peneliti, tetapi juga oleh orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian itu.

Setelah data terkumpul, lalu dianalisis berdasarkan pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra untuk mengungkapkan pokok masalah yang diteliti sehingga dapat diperoleh kesimpulannya.

Metode penulisan yang dipakai adalah analisis teks dengan awal penulisan diawali mengenai pembahasan secara intrinsik tentang cerita tersebut untuk melihat secara lebih jelas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam cerita beserta pendukung-pendukung isi penceritaan berupa penokohan, alur, latar, tema dan gaya bahasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai unsur ekstrinsik dari cerita tersebut khususnya mengenai kebudayaan Tionghoa.

G. Penelitian yang Relevan

Penelitian terhadap novel-novel Clara Ng sebelumnya juga pernah diteliti oleh beberapa mahasiwa FIB UI maupun mahasiswa jurusan lainnya. penelitian yang pertama adalah skripsi berjudul Trilogi Indiana Chronicle karya Clara Ng.

Potret Perempuan dalam Budaya Populer ditulis oleh Nelly mahasiswa Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun


(22)

2007. Skripsi ini berbicara tentang feminisme pada novel bergenre chicklit ini dan menganalisis muatan feminisme yang terdapat dalam novel tersebut dan apakah tokoh utamanya mewakili paham feminisme.

Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul Heteronormativitas dalam Novel Gerhana Kembar Sebagai Sastra Populer Karya Clara Ng: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi ini ditulis oleh Annisa Arianita mahasiswa jurusan studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun 2012. Skripsi ini membahas homoseksualitas di dalam masyarakat Indonesia yang heteronormatif yang direpresentasikan dalam novel Gerhana Kembar karya Clara Ng. skripsi ini meneliti tentang keberpihakan pengarang terhadap homoseksualitas di Indonesia.

Penelitian yang ketiga adalah skripsi berjudul Representasi pengurangan ketidakpastian perempuan modern dan mandiri dalam hubungan interpersonal terhadap kekerasan domestik yang dialaminya (Studi analisis Framing pada Novel Tea For Two karya Clara Ng). skripsi ini ditulis oleh Rebecca Maya Kresna, mahasiswa jurusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2010.

Melihat penelitian sebelumnya terhadap Clara Ng maupun karya-karyanya, penelitian “Kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” memiliki keunggulan dibandingkan penelitian sebelumnya yang kebanyakan hanya berputar pada satu sudut pandang saja. Penelitian ini meneliti kebudayaan Tionghoa yang bisa menambah khazanah pengetahuan siswa dan bisa menumbuhkan rasa saling menghargai sesama juga menumbuhkan sikap anti diskriminasi dalam diri siswa.


(23)

11

A. Kajian Struktural

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara komprehensif oleh berbagai unsur (pembangunnya). Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.1 Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.2

Teori strukturalisme menekankan hubungan antara karya dengan lingkungan sosialnya. Dalam masyarakat, sesungguhnya manusia berhadapan dengan norma dan nilai. Dalam karya sastra, juga dicerminkan norma dan nilai yang secara sadar difokuskan dan diusahakan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Sastra juga melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu, kemungkinan karya sastra tersebut bisa merupakan ukuran sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial.3

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan

1

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2005), h. 36.

2Ibid

.

3


(24)

dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan bagaimana fungsi-fungsi tiap-tiap unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama-sama membentuk suatu totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antarperistiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.4 Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan5

Di dalam kajian struktural, kita akan menemui unsur-unsur intrinsik seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini saling berkaitan dan menjalin sebuah keutuhan dalam cerita. Berikut adalah penjelasan mengenai berbagai unsur intrinsik dalam novel.

1. Tema

Pada dasarnya, tema itu merupakan suatu ide pokok. Tema itu merupakan pikiran atau masalah ide pengarang yang perlu dijabarkan dalam sebuah kalimat sehingga jelas maknanya karena di dalam sebuah cerita terdapat suatu bayangan mengenai pandangan hidup atau citra pengarang sebagai cara untuk memperlihatkan sebuah masalah. Masalah itu dapat berwujud tentang apa saja yang sesuai dengan kehendak pengarang. Tema (theme) menurut Stanton dan Kenny, adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Di samping itu, dari tema dapat diketahui adanya nilai khusus atau nilai yang bersifat umum. Oemarjati memperjelas batasan tema dalam sebuah cerita sebagai berikut.

Tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki tempat yang khas dalam pemikiran pengarang dengan visi, pengetahuan, imajinasi, dan emosinya

4

Nurgiyantoro, Op. cit., h. 37.

5Ibid


(25)

menjurus pada suatu penyelesaian. Jadi dalam tema, terimplisit tujuan cerita, tetapi bukan tujuan itu sendiri.

Oemarjati berpendapat bahwa di dalam tema terdapat tujuan cerita secara implisit. Hal itu berarti bahwa tema itu dinyatakan masih dalam keadaan yang samar-samar itu perlu dicari maknanya dalam suatu penelitian.6

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah dasar ide cerita yang secara implisit maupun eksplisit terkandung dalam sebuah novel. Tema sebuah novel bisa diketahui dengan membaca atau meneliti novel tersebut dengan saksama karena sifat tema itu sendiri yang tidak secara gamblang tertulis dalam novel melainkan kita harus menelitinya terlebih dahulu.

2. Tokoh dan Penokohan

Penokohan dalam sebuah karya sastra adalah cara pengarang untuk menampilkan para tokoh dengan wataknya, yakni sifat, sikap, dan tingkah lakunya. Boleh juga dikatakan bahwa penokohan itu merupakan cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak terbentuk. Bentuk penokohan yang paling sederhana ialah pemberian nama kepada para tokoh di dalam sebuah cerita.7

Menurut Jones dalam Nurgiyantoro, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.8 Menurut Abrams, Tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Dari kutipan tersebut, dapat juga diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal).

6

Ibid, h. 38.

7

Wellek, Warren, Op. cit. h. 187

8


(26)

Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.9

Pada hakikatnya, tokoh dan alur cerita di dalam sebuah karya sastra tidak dapat dibicarakan secara terpisah karena kedua unsur itu memunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam hal membentuk sebuah cerita memadai. Sebuah cerita tidak mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, antara unsur latar, tokoh, dan alur cerita saling berkaitan dan hubungannya pun sangat erat.

Di dalam sebuah karya sastra, terdapat banyak ragam tokoh, seperti tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar ialah tokoh yang berperan di dalam sebuah cerita yang hanya memunyai satu dimensi sifat. Tokoh bulat ialah tokoh yang juga berperan di dalam sebuah cerita yang yang memiliki sifat lebih dari satu dimensi.10

Selain itu, kita bisa memisahkan antara tokoh utama dan tokoh sampingan. Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peran paling sentral dalam cerita sekaligus memliki porsi yang paling banyak dalam cerita. Tokoh sampingan adalah tokoh yang muncul dalam cerita namun tidak memiliki porsi yang besar dan cenderung hanya sebagai pelengkap cerita atau lawan dari tokoh utama. Dalam penelitian ini, tokoh dan penokohan dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh sampingan.

3. Latar

Di dalam sebuah karya sastra, latar merupakan tempat peristiwa sebuah cerita berlangsung. Latar juga dapat diartikan sebagai waktu atau masa berlangsungnya suatu peristiwa karena latar itu sekaligus merupakan lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonomia atau metafora untuk mengekspresikan para tokoh.11

Abrams dalam Nurgiyantoro, mengatakan bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

9

Ibid.

10

Wellek, Warren., Op. Cit., h., 288.

11Ibid


(27)

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.12

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar terbagi menjadi 3 dimensi, yaitu. 1) latar waktu, 2) latar tempat, 3) latar suasana. Latar waktu mengacu pada tahun atau masa yang menjadi latar novel tersebut. Latar tempat mengacu pada tempat-tempat yang disebutkan dalam novel. Latar suasana adalah keadaan sosial dan politik dalam novel.

4. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah pilihan pengarang dalam menggunakan tokoh cerita. Sudut pandang atau point of view digunakan pengarang untuk memilih dari sudut mana ia akan menceritakan ceritanya. Apakah sebagai orang di luar cerita saja atau apakah pengarang juga akan turut serta dalam cerita yang dibuatnya.

A. Bakar Hamid dalam Rampan mengatakan bahwa sudut pandang adalah teknik mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan pengarang dapat menggunakan teknik ini untuk menentukan hal-hal yang dianggap sebagai sampingan saja.13

Jacob Sumardjo dalam Rampan, memberikan perincian mengenai sudut pandang ini.

a. Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Dengan sudut pandangan ini, pengarang seakan Tuhan atau Dewa, karena pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja pada tokohnya, pikiran, perasaan, jalan pikiran, sikap hidup, pandangan hidup tokohnya, dan sebagainya. Ia bisa bicara secara langsung kepada pembacanya.

12

Nurgiyantoro, Op. cit., h. 216.

13

Korrie Layun Rampan, Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, (Jakarta. Bukupop, 2009), h. 6.


(28)

b. Objective point of view, yaitu pengarang menyuguhkan cerita tanpa komentar, seperti pada omniscient of view. Penyuguhan itu seperti pementasan tonil. Pengarang tidak masuk dalam pikiran para pelaku. Walaupun kedua sudut pandang ini hampir sama, tetapi pada dasarnya kenyataan yang dihadapi manusia dalam realitas keseharian orang yang satu hanya bisa melihat atau menikmati apa yang diperbuat oang lain. Dengan melihat itu, pengarang menilai tokoh dari sudut kejiwaan, kepribadian, jalan pikiran, perasaan, dan sebagainya. Motif tindakan pelaku dinilai dari perbuatan itu dan pembaca menafsirkan seluruh paparan pengarang.

c. Point of view orang pertama, yaitu menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Teknik ini dapat akrab sekali, karena pembaca diajak ke pusat kejadian, ke asal peristiwa, untuk ikut serta melihat dan merasakan apa yang terjadi. Dengan teknik ini, pengarang harus hati-hati agar tidak terjadi pencampuran antara pandangan pribadi pengarang dengan tokohnya. Pengarang harus mengadakan penelitian dan observasi yang matang agar tidak terjadi kerancuan antara dirinya sebagai pengarang dan “aku” atau “saya” yang merupakan tokoh cerpen.

d. Point of view peninjau. Teknik ini digunakan pengarang dengan memilih salah satu tokoh untuk memaparkan cerita. Seluruh kejadian yang muncul dalam jalinan cerita didapatkan dari tokoh. Tokoh dapat memaparkan semua yang dirasa, dilihat, dipikirkan, dihayati, ataupun pengalaman seseorang. Biasanya segala sesuatu yang menyangkut pengalaman pribadi tokoh dapat diutarakan secara langsung, tetapi tokoh utama hanya melaporkan saja tokoh-tokoh lainnya.14

Novel Dimsum Terakhir menggunakan sudut pandang Omniscient point of view, yaitu sudut pandang yang berkuasa. Pengarang bertindak seolah Tuhan yang tahu segalanya bahkan sampai ke dalam perasaan tokoh-tokohnya. Pengarang berada di luar cerita sehingga ia mampu menceritakan

14Ibid


(29)

kesuluruhan cerita dengan leluasa.

5. Plot

Yahya Ismail dalam Rampan, mengatakan plot ialah suatu yang menghubungkan antara pristiwa dalam sebuah cerita yang rapat pertaliannya dengan gerak laku lahiriah dan batiniah watak-watak dalam cerita itu. Hubungan antara pristiwa dalam cerita hendaklah berdasarkan hukum sebab akibat. Hubungan sebab akibat dapat dilihat dari contoh berikut ini. “Raja lalim meninggal dan rakyat jelata, karena kegembiraan mereka, lalu berpesta pora.” Dalam dua peristiwa dan dua kenyataan ini, terdapat hubungan yang erat. Hubungan ini diadakan faktor sebab akibat dan juga faktor urutan waktu. Pada kenyataan inilah terdapat plot.15

Stanton dalam Nurgiyantoro, mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Kenny dalam Nurgiyantoro mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Forster dalam Nurgiyantoro mengemukakan hal senada, plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang memunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.16

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.17 Bisa dikatakan bahwa karakter pengarang dapat diketahui melalui gaya atau style-nya dalam bercerita maupun dalam memilih kata.

Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya melalui bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal,

15Ibid

., h. 4.

16

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 113.

17

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 113.


(30)

struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

B. Hakikat Novel

Novel merupakan salah satu bentuk prosa selain cerpen (cerita pendek). Berasal dari bahasa inggris novel dan berisi rangkaian cerita atau peristiwa imajinatif. Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, amanat, penokohan, latar, plot, dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik berhubungan dengan sastra dan masyarakat, sastra dan psikologi, dan lain sebagainya.

Novel umumnya terdiri dari sejumlah bab yang tiap babnya berisi cerita yang berbeda. Hubungan antarbab, kadang-kadang merupakan hubungan sebab akibat atau hubungan kronologis sehingga kita tidak akan mendapat gambaran secara utuh kalau hanya membaca satu bab saja secara acak.

Dalam kesusastraan Indonesia, dikenal juga istilah roman. Wellek-Warren dalam bukunya yang berjudul Teori Kesusatraan menjelaskan bahwa dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance

(romansa) dan novel. Novel bersifat realis, sedang romansa puitis dan epik. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dokumen-dokumen dan secara stilistik menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis. Novel lebih mendalam. Romansa yang merupakan kelanjutan epik, dan romansa abad pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detail. Clara Reeve dalam Wellek-Warren menjabarkan perbedaan kedua ragam tersebut, “The novel is a picture of real life and manners, and of time in wich is wriiten. The romance, the lofty and elevated language, describes what never happened nor likely is hapen.”18

a. Macam-Macam Novel

Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan

18


(31)

keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel serius dan novel populer.

1) Novel Populer

Kayam dalam Nurgiyatoro mengatakan bahwa sebutan novel populer, atau pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun ‘70. Sesudah itu, setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai “novelpop”. Kata ‗pop‘ erat diasosiasikan dengan kata ‗populer‘, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk “selera populer” yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagai suatu “barang dagangan populer” dan jadilah istilah pop itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita.19

Selanjutnya Kayam dalam Nurgiyantoro menuturkan sastra dan musik “populer”—sebagai kelanjutan dari istilah “populer” yang sebelumnya telah dikenal dalam dunia sastra dan musik–adalah semacam sastra dan musik yang dikategorikan sebagai “hiburan dan komersial” ini menyangkut apa yang disebut “selera orang banyak” atau “selera populer”. Pop sastra di dunia barat condong pada sastra baru yang inovatif, eksperimental—yang tidak saja dalam hal gaya manipulasi bahasa, dan penjajahan tema yang sebebas mungkin—walau tidak menutup kemungkinan untuk komersial. Sebagai kebalikan sastra populer itu adalah sastra yang “sastra”, “sastra serius”, literatur. Sastra serius, walau dapat juga bersifat inovatif dan eksperimental, tidak akan dapat menjelajah sesuatu yang sudah mirip dengan “main-main”.20

Kayam dalam Nurgiyantoro menambahkan sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan, dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra populer akan setia memantulkan kembali “emosi-emosi asli”, dan bukan

19

Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 17.

20Ibid


(32)

penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.21

Nurgiyantoro mengatakan bahwa novel populer adalah novel yang pada masanya banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan jadi berat, dan berubah menjadi novel serius dan boleh jadi akan ditinggakan pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya, sekali lagi. Ia biasanya cepat dilupakan orang. Apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer.22

Stanton dalam Nurgiyantoro mengatakan novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Ia “tidak berpretensi” mengejar efek estetis, melainkan memberi hiburan langsung dari aksi ceritanya. Masalah yang diceritakan pun ringan-ringan saja, tetapi aktual dan menarik, yang terlihat pada masalah yang itu-itu saja. Cinta, asmara (barangkali dengan sedikit berbau porno) dengan model kehidupan yang berbau mewah. Kisah percintaan antara pria tampan dengan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka untuk itu, dan barangkali, dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata.23

Bisa disimpulkan bahwa novel populer dapat dilihat dari berbagai sisi pemahaman. Dikatakan populer karena mengikuti tren atau selera pasar yang sedang diminati dan isinya tidak berat, berat di sini maksudnya tidak membahas secara mendalam hakikat kehidupan hanya pada permukaannya saja. Namun batasan-batasan antara populer dan serius agaknya memang sulit untuk dipisahkan bahkan didefinisikan.

21

Ibid., h. 18.

22Ibid

., h. 18.

23Ibid


(33)

2) Novel Serius

Novel serius merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas dibicarakan dan diapresiasi oleh akademisi sastra. Dalam sejarah sastra, novel yang bermunculan cenderung mengacu pada novel serius. Novel serius harus sanggup memberikan suatu kesan yang mendalam tentang hakikat kehidupan. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga memunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan.24

Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak bersifat menghamba pada pembaca. Novel sastra cenderung menampilkan tema-tema yang lebih serius. Teks sastra sering mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap menyibukkan pembaca.

Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu. Novel jenis ini, di samping memberikan hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.25

Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman.26

Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dapat dikategorikan sebagai novel serius dan patut diteliti oleh akademisi sastra. Novel ini tidak mengikuti selera pasar. Materi dan tema yang diusung oleh novel ini bukan tema percintaan

24

Ibid.,h. 19.

25Ibid

., h. 18—19.

26Ibid


(34)

remaja yang mengedepankan dongeng si tampan dan si cantik. Novel ini bisa dikatakan memliki tema yang kurang populer, yakni tema keluarga Tionghoa. Isu perempuan juga dibicarakan dalam novel ini dan memiliki porsi yang banyak. Pengarang menyajikan permasalahan di seputaran etnis Tionghoa yang diwakilkan oleh keluarga Nung Atasana. Keluarga Tionghoa ini dalam keterbatasannya masih memegang dan menjalankan kebudayaan mereka.

Isu perempuan dalam novel ini semakin menambah keseriusan materi yang dibicarakan, isu transgender dan orangtua tunggal tanpa pernikahan dimunculkan dalam novel ini. Berdasarkan beberapa alasan tersebut maka peneliti mengkategorikan novel Dimsum Terakhir sebagai novel serius.

C.Pengertian Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta, yakni Buddhayah. Bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.27

Kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkret maupun yang astrak28. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tatakelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.29

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupan-kehidupan dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas dapat diperinci sebagai berikut.

1. bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia. Karena itu meliputi.

a. kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi

27

Koenjraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. (Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama), h. 5

28

Djoko Tri Prasetya, Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Rineka Cipta, 2000), h. 14.

29


(35)

benda ciptaan manusia, misalnya. alat-alat perlengkapan hidup.

b. kebudayaan nonmaterial (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya. religi, bahasa, ilmu pengetahuan.

2. bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

3. bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.

4. jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia dan hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu dibiasakan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar naluri,gerak reflek. Sehubungan dengan itu kita perlu mengetahui perbedaan tingkah laku manusia dengan mahluk lainnya, khususnya hewan.30

Koentjaraningrat menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yakni.

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.31

Beragam wujud kebudayaan ini tertuang dalam novel Dimsum Terakhir.

Novel ini menyajikan ketiga wujud kebudayaan yang disebutkan oleh Koentjaraningrat di atas. Contoh wujud kebudayaan poin pertama adalah kebudayaan menghormati leluhur yang sudah meninggal. Contoh wujud kebudayaan poin kedua adalah merayakan Imlek atau pesta musim semi, dan contoh wujud kebudayaan poin ketiga adalah bangunan kelenteng tempat ibadah.

D. Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Periode

Etnis Tionghoa diperkirakan datang ke Nusantara pada abad kesembilan, yaitu pada zaman Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Pada 1961 di Guangzhou (Canton) ditemukan sebuah batu bertulis yang telah

30

Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta. PT Bumi Aksara, 2008), h. 21—22.

31


(36)

berusia 900 tahun, yang menggambarkan persahabatan Nusantara-Tiongkok. Batu bertulis tersebut ditemukan ketika sedang dilakukan penggalian di halaman belakang sebuah kuil Dao (Tao) yang sudah tidak dipergunakan lagi.32

Tokoh yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia adalah Laksamana Cheng Ho, tokoh ini sangat terkenal hingga kini, tidak hanya di kalangan etnis Tionghoa saja, tetapi warga pribumi pun menaruh perhatian besar terhadap tokoh ini. Hal ini dapat terjadi karena menurut beberapa ahli sejarah, penyebaran Islam di Nusantara bermula dari orang Tionghoa, yaitu Laksamana Cheng Ho, dikenal juga dengan nama Sam Pho Kong.

Awal mula kedatangan armada Tionghoa di Nusantara untuk membasmi perompak di jalur niaga sekaligus untuk mempromosikan kejayaan Dinasti Ming. Ditunjuklah Laksamana Cheng Ho sebagai pemimpin ekspedisi. Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim, ahli navigasi yang handal dan berbakat. Ia adalah putra kedua Ma Haji, yang berasal dari suku bangsa Hui dan Ibu bernama Wen. Kakek dan ayah Cheng Ho telah menunaikan ibadah hajinya, walaupun pada masa itu perjalanan ke Mekkah bukan perjalanan yang mudah dan harus menghadapi banyak bahaya. Oleh karena itu, sejak kecil Cheng Ho telah sering mendengar cerita perjalanan kakek dan ayahnya tersebut. Hal inilah kelak yang memotivasi dan mendorong Cheng Ho untuk mengunjungi negara-negara lain.33

Peran etnis Tionghoa dalam menyebarkan Islam di Jawa banyak ditulis para haji Tionghoa. Antara lain buku Ying Yai Sheng Lan karangan Haji Ma Huan dan buku Tsing Tsa Sheng Lan karangan Haji Feh Tsing (Fei Hsin). Kedua haji ini adalah pembantu Laksamana Cheng Ho yang pandai berbahasa Arab dan bertindak sebagai penerjemah dan mencatat segala sesuatu tentang negara-negara yang dikunjunginya.34

Bila mengunjungi sejumlah masjid di Pantura Jawa terutama

32

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta. Trans Media Pustaka, 2008), h. 21.

33Ibid

., h. 28.

34


(37)

masjid Walisongo, akan tampak sekali pengaruh kebudayaan Tionghoa. Hal ini terlihat pada Masjid Agung Demak (Masjid Gelagah Wangi) atau makam Sunan Gunung Jati di Cirebon. Di tembok-tembok masjid banyak ditempelkan piring porselen Tiongkok dari zaman Dinasti Ming. Selain itu, banyak terdapat guci-guci antik yang tak ternilai harganya. Di Masjid Gelagah Wangi, Demak, terdapat ornamen kura-kura yang digunakan untuk menunjukkan tahun berdirinya masjid tersebut, yaitu tahun 1401 Caka atau 1479 masehi35

Masjid Agung Demak sangat terkenal karena salah satu soko gurunya terbuat dari potongan kayu yang disusun secara akurat. Bahkan masjid ini menggunakan teknologi pembuatan jung, kapal niaga Tiongkok dari Dinasti Ming yang terbuat dari kayu.

Raden Fatah yang dikenal sebagai sultan Demak, merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun. Jin bun adalah anak Kang Ta Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan putri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus) adalah Yat Sun putra Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal pada 1521 berani menyerang Portugis di Kota Malaka yang telah didudukinya sejak 1511. Adipati Unus hanya memerintah tiga tahun karena meninggal. Ia digantikan oleh saudaranya Tung Ka Lo alias Pangeran Trenggana.36

Kesultanan Cirebon pada 1552 didirikan oleh Haji Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat Fatahillah atau Falatehan). Sunan Gunang Jati pernah menjadi panglima tentara Kesultanan Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Baanten dengan didukung orang-orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi sultan pertama Kesultanan Cirebon dengan mendirikan Keraton Kesepuhan.37

35

Sugeng Haryadi (dalam Setiono), Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak dan Grebeg Besar (Jakarta: CV Mega berlian. 2002) h. 47–48.

36

Setiono, Op. cit., h. 46–47.

37


(38)

Kedudukan etnis Tionghoa pada masa penjajahan Belanda berada di atas warga pribumi. Orang-orang Tionghoa pada masa penjajahan Belanda cenderung bersikap netral. Mereka tidak memihak pada Belanda maupun pada raja-raja atau sultan-sultan di Nusantara. Contohnya ketika Jan Pieterszzon Coen mencoba mempengaruhi Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang piawai namun tidak berhasil. Selain berdagang Souw Beng Kong adalah seorang kapiten atau pemimpin etnis Tionghoa di wilayah Banten dan Sunda Kelapa (Batavia).

Bukti lain bahwa etnis Tionghoa tidak memihak Belanda maupun sultan, yaitu ketika pada 1628–1629 terjadi perang antara Belanda dengan tentara Sultan Agung di Front Timur, tentara Banten di front Barat, dan tentara Inggris dari laut di front utara maka orang-orang Tionghoa menunjukkan sikap tidak memihak. Berkali-kali Sultan Banten yang memunyai hubungan baik dengn Souw Beng Kong meminta bantuaannya melawan Belanda dari dalam, tetapi permohonan tersebut selalu ditolaknya.

Begitu juga Jan Pieterszoon Coen yang berkali-kali meminta nasihat Souw Beng Kong tetapi ia tetap bersikap netral. Ini membuktikan bahwa kedatangan orang-orang Tionghoa di Nusantara tidak lain hanya untuk berdagang dan tidak memunyai maksud untuk berkuasa dan terlibat dalam konflik.38

Selain Souw Beng Kong yang menjadi kapiten yang diangkat oleh Belanda, pada Maret 1645 rapat anggota kongkoan mengangkat Phoa Beng Gan sebagai kapiten, Phoa Beng Gan terkenal sebagai ahli irigasi.

Batavia yang terletak di dataran rendah di tepi laut yang dikelilingi rawa-rawa membuat daerah ini selalu terendam banjir jika musim penghujan tiba dan menyebabkan penyakit malaria. Phoa Beng Gan merencanakan untuk membuat kanal untuk mengalirkan air banjir ke laut. Akhirnya rencana itu pun diwujudkan dengan biaya hasil patungan rakyat Tionghoa dan bantuan dari pihak Belanda. Dalam waktu kurang dari setahun kanal tersebut telah selesai digali dan banyak memiliki manfaat tidak hanya untuk mengalirkan banjir ke laut tapi juga digunakan untuk jalur transportasi barang-barang hasil perkebunan maupun industri.

38


(39)

Etnis Tionghoa di Indonesia semakin banyak dan mulai menguasai sektor perdagangan di Nusantara. VOC merasa kepentingannya di Nusantara mulai terusik oleh banyaknya etnis Tionghoa yang mendiami wilayah Nusantara. Dengan menggunakan politik adu domba, VOC pada 1740 mulai menyebarkan isu anti-Tionghoa. Etnis Tionghoa diburu dan dibunuh dengan kejam.

Sentimen negatif terhadap etnis ini seolah tidak pernah lenyap. Pada masa Orde Baru, etnis ini seperti sengaja dikunci, dibatasi ruang geraknya dan selalu dicurigai. Puncaknya terjadi pada tragedi kemanusiaan 1998, terjadinya sebuah aksi unjuk rasa penuntutan diturunkannya Soeharto yang diwarnai aksi kekerasan terhadap etnis Tionghoa.

Untuk lebih jelasnya, peneliti coba membuat periodisasi terhadap keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, yaitu. 1) Pembantaian Etnis Tionghoa oleh VOC 1740, 2) Etnis Tionghoa pada Era Soekarno, 3) Etnis Tionghoa pada Era Soeharto, 4) Etnis Tionghoa Pascatragedi Mei 1998.

1. Pembantaian Etnis Tionghoa 174039

Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul Etnis Tionghoa dalam Pusaran Politik menceritakan dengan terperinci peristiwa “pemusnahan“ etnis

Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740. Hal ini menjadi penting untuk kita ketahui sebagai pijakkan awal tindakan diskriminatif terhadap etnis ini yang pada kenyataannya sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Berikut ini akan diuraikan peristiwa memilukan tersebut.

Pada awal abad ke 18 hubungan dagang antara Batavia dan Tiongkok semakin berkembang dan bertambah penting. Dari Tiongkok diangkut teh, emas, perak, tekstil, sutera, barang-barang porselin, dan beling sedangkan dari Batavia diangkut rempah-rempah, kayu cendana, cula badak, sarang burung wallet, dan komoditi lainnya. di daerah sekitar Batavia dan di daerah pesisir lainnya yang dikuasai VOC, berkembang industri gula. Hampir seluruh industri gula ini dimiliki orang-orang Tionghoa. Hal ini menyebabkan banyak orang

39

Benny G. setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (jakarta: Transmedia. 2008) h. 109–134.


(40)

Tionghoa yang masih berada di negeri asalnya merasa tertarik untuk datang ke Nusantara mengingat kemajuan orang-orang Tionghoa di Batavia.

Laju kedatangan orang-orang Tionghoa ini menyebabkan jumlah penduduk Tionghoa di Batavia meningkat pesat. Jumlah penduduk Tionghoa dia Batavia meningkat menjadi 10.000 orang. Pada umumnya mereka bekerja di berbagai perkebunan tebu atau pabrik gula dan perusahaan perkayuan. Tempat mereka bekerja ini diusahakan oleh orang-orang Tionghoa di pinggiran kota Batavia, yang tanahnya disewa dari pemerintah. Pada 1740, terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa termasuk yang berada di luar tembok kota diperkirakan berjumlah tidak kurang dari 15.000 orang. Jumlah ini merupakan 17 persen dari keseluruhan jumah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan jumlah orang Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar. Karena berdasarkan sensus yang diadakan pada tahun 1778, adalah sebesar 26% dari jumlah penduduk yang berada di luar tembok kota adalah orang-orang tionghoa. Sedangkan pada massa pemerintahan Inggris (1811–1816), jumlah orang Tionghoa merupakan 24% dari seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di luar tembok kota.

Namun, berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di dalam kota yang dapat dikendalikan melalui pemimpinnya, orang Tionghoa yang tinggal di luar kota atau pedesaan ini menjadi sulit dikontrol karena berada di luar sistem institusi. Mereka tidak diatur ke dalam organisasi-organisasi Tionghoa di Kota dan berada di luar jangkauan. Dengan begitu, tidak pernah terjadi perundingan dengan mereka karena tidak diwakili oleh organisasi yang ada. Banyak dari mereka yang sukar mendapatkan pekerjaan dan luntang-lantung sebagaaai pengangguran.

Sementara itu, kota Batavia denga rumah-rumah Belanda yang sempit dan kanal-kanal yang kotor, terjangkit wabah penyakit yang berat. Wabah penyakit merajalela dan menyebakan meninggalnya Gubernur Jendral Dirk Van Cloon (1732–1735).

Sebagai akibat adanya perpecahan di dalam pimpinan VOC, timbul banyak konflik. Sejumlah laporan VOC mengenai Banten dan daerah pesisir Jawa menunjukkan kerugian yang besar. Ekspornya kecil dan


(41)

perhitungan-perhitungan pasarnya keliru.

Di samping itu, adanya akumulasi dan konsentrasi etnis Tionghoa menimbulkan problem baru. adalah suatu kenyataan bahwa orang Tionghoa telah ada di Nusantara sebagai pedagang sejak berabad-abad lamanya, jauh hari sebelum kedatangan orang Eropa. Sejak 1619, mereka sudah menjadi suatu bagian yang penting dalam kehidupan perekonomian di Batavia. Selain sebagai pedagang mereka juga aktif menjadi tukang yang terampil, penggiling tebu, dan pengusaha toko. Namun dikhawatirkan keberadaan mereka akan mengganggu ketertiban dan ketenangan orang Belanda di Batavia. Penduduk Batavia tidak menyukai dan mencurigai mereka.

Perkembangan lain yang ikut meningkatkan rasa tidak aman orang Eropa di Batavia. Pada Desember 1721, VOC mengumumkan adanya komplotan orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pemberontakan dan pembunuhan missal terhadap orang Belanda yang berada di Batavia. Kelompok ini mendapat dukungan dari Banten, Cirebon, Bali, Balambangan, dan Kartasura. Diduga pemimpinnya adalah seorang mestizo (indoeropa) Batavia yang kaya raya bernama Peter Erberveld.

Untuk mengatasi siuasi tersebut VOC mulai mengadakan pembatasan keberadaan orang Tionghoa di Batavia. Atas usul anggota Dewan Hindia, W van Imhoff, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan peraturan

permissiebriefje atau surat izin bagi orang Tionghoa dan pada 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi “bunuh atau lenyapkan”. Resolusi ini memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan tanpa peduli apakah mereka memunyai surat izin atau tidak, harus ditangkap dan diperiksa. Apabila mereka ternyata tidak memunyai penghasilan atau menganggur, mereka harus dipulangkan ke Tiongkok atau dibuang ke Cylon (Sri Lanka) dan Tanjung Harapan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan sebagai kuli.

Ternyata kebijakan ini menimbulkan implikasi yang sangat negative. Ribuan orang Tionghoa bukan hanya pengangguran dan bandit-bandit criminal, tetapi para pedagang dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan paksa dan menggunakan kekerasan. Lalu, mereka dimasukan ke kapal-kapal yang akan


(42)

membawanya ke Cylon dan Tanjung Harapan. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap rumah orang-orang Tionghoa dengan dalih mencari senjata seringkali disertai dengan penganiyaan dan perampasan barang berharga.

Para pejabat kompeni Belanda juga menggunakan kesempatan itu untuk memeras para orang Tionghoa kaya yang dimintai uangdalam rangka mendapatkan surat izin, untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Kabar angin segera berhembus bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap dan dirantai itu dianiaya dan dibunuh. Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari Batavia di tengah jalan dilemparkan ke tengah laut.

Akibatnya, situasi menjadi sangat tegang. Para orang Tionghoa yang resah, berkumpul dan membentuk beberapa kelompok yang mempersenjatai diri untuk membela diri dan melawan perbuatan Belanda yang sewenang-wenang tersebut.

Pada akhir September 1740, keadaan menjadi semakin gawat. Pada 26 september 1740, gubernur Jenderal Valckeneir memanggil Dewan Hindia untuk mengadakan sidang darurat. Di hadapan sidang, ia memberi perintah dan kuasa kepada anggota dewan, Van Imhoff dan Van Aarden untuk bertindak.

Pada 7 Oktober 1740, ketika sekelompok orang Tionghoa yang terdiri dari ratusan orang melawan dan merebut posisi kompeni Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang berhasil membunuh 50 orang serdadu kompeni, Vaan Imhoff melakukan serangan. Dengan kekuatan yang terdiri dari 1800 orang serdadu kompeni yang merupakan seluruh kekuatan Batavia, ditambah dengan schutterij (pejaga sipil/milisi) dan 11 batalyon pennist (merupakan pasukan wajib militer), Van Imhoff mulai melakukan operasi pembersihan. Jam malam diberlakukan secara ketat terhadap semua penduduk Tionghoa dan persiapan untuk suatu perayaan Tionghoa secara besar-besar dibatalkan.

Pada 8 Oktober 1740, tentara Belanda memukul mundur suatu serangan balasan orang-orang Tionghoa yang cukup kuat di pinggiran kota. Melihat situasi semakin serius. Pada, minggu pagi, tanggal 9 Oktober Gubernur Jenderal Valcknier mengadakan rapat dengan para anggota Dewan Hindia. Jalan-jalan di


(43)

dalam kota sangat sepi dari orang-orang Tionghoa, karena sehari sebelumnya telah diumumkan oleh gubernur jendral VOC berlakunya jam malam. Seluruh orang Tionghoa harus tinggal di dalam rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi.

Hal tersebut dimaksud agar mereka tidak berkomplot dengan orang-orang Tionghoa yang berada di luar tembok kota yang diisukan akan “menyerang” kota Batavia.di jalan-jalan hanya terdapat kerumunan non Tionghoa yang semakin lama semakin besar, hampir setiap penduduk Batavia, kecuali orang-orang Tionghoa berada di jalan-jalan untuk menunggu suatu “tanda”.

Orang-orang non-Tionghoa ini berkumpul di sudut-sudut jalan membicarakan rumor terakhir yang menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa merencanakan untuk membunuh mereka semua dan memperkosa perempuan-perempuan serta menjadikan mereka dan anak-anaknya menjadi budak. Kerumunan tersebut semakin membesar, rumor tersebut membuat mereka marah dan menyatukan orang sepoy, para kelasi, kuli, tukang, dan bahkan budak sekalipun. Hal ni belum pernah terjadi sebelumnya, mereka berasal dari berbagai “kebangsaan” merasa memunyai kesamaan, yaitu menghadapi musuh bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti dianggap eksklusif. Satu-satunya ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka termasuk para majikan mereka orang Belanda, yang dalam menghadapi musuh bersama bukan saja berada di pihak mereka, tetapi membela dan mengajak mereka untuk bergabung dan mempersenjatai mereka.

Setelah itu, terjadi kebakaran beberapa warung Tionghoa di kompleks pemukiman orang-orang Tionghoa di daerah Kali Besar Oost. Hal ini oleh orang-orang Belanda diartikan sebagai tanda dimulainnya pemberontakan orang Tionghoa. Kerusuhan pun terjadi dan penjarahan serta pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa berlangsung dengan kejam.

Tentara Belanda dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya, para klasi kapal, para gelandangan, orang-orang Sepoy, para tukang dan budak menyerbu rumah-rumah orang Tionghoa, setelah merampok harta bendanya. Mereka lalu membunuh setiap orang Tionghoa, tidak pedui laki-laki atau perempuan, tua


(44)

maupun muda. Bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu dibantai dengan sadis dan di luar batas perikemanusiaan.

Setelah itu, dilakukan pembakaran terhadap semua rumah orang Tionghoa. Banjir darah terjadi di mana-mana yang kemudian menimbulkan nama-nama seperti Angke di Batavia yang berarti kali merah, karena banyaak darah yang mengalir ke kali tersebut. Rawa Bangke di Meester Cornelis atau Jati Negara karena banyaknya bangkai orang Tionghoa yang mengambang di rawa-rawa sekitar jatinegara dan Tanah Abang yang berarti tanah merah karena dibanjiri darah orang-orang Tionghoa yang menjadi korban pembantaian.

Berikut kutipan laporan seorang penulis Belanda, W.R. von Hoevell dalam bukunya yang berjudul Batavia in 1740 yang oleh orang-orang Belanda sendiri dianggap kredibel.

“Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya terdengar jerit ketakutan di seluruh kota dan terjadilah

sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi di seluruh pelosok kota. Semua orang Tionghoa tidak peduli laki-laki, perempuan, anak-anak habis dan dibantai. Bahkan perempuan dan menyusui anak-anaknya juga tidak luput menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal prikemanusiaan.

Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelihdomba. Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah-rumah orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, tetapi tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa menujunjung moral serta prikemanusiaan, mereka menyerahkan orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititpkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa,

baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.‘

Kemudian, pembakaran dan pembunuhan menyebar ke seluruh penjuru kota. Kanal-kanal menjadi merah dengan darah orang-orang Tionghoa, jalan-jalan penuh dengan mayat-mayat. Di mana-mana terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat menyeramkan, segala sesuatu yang belum habis terbakar, dijarah dan dirampok. Kegelapan malam yang kemudian tiba, tidak mengakhiri kekejaman yang tengah berlangsung, dan sepanjang terdengar rintihan mereka yang sedang sekarat, jeritan ketakutan dari orang-orang yang tengah menghadapi maut dan teriakan-teriakan histeris dari para pembunuh”.

Demikianlah pembunuhan orang-orang Tionghoa di Kota Batavia terus berlangsung. Sebagian orang-orang Tionghoa yang karena satu keajaiban berhasil lolos dari kematian dengan bersembunyi di sudut-sudut yang terlindung


(45)

dan di celah-celah tembok sisa rumahnya, membuat para bandit sibuk. Selama lebih dari seminggu, bandit-bandit tersebut yang katanya bertujuan “mempertahankan Batavia” terus menerus melakukan operasi. Mereka menagkapi orang-orang Tionghoa yang berhasil selamat, yang berada dalam keadaan sekarat karena kelaparan dan kehabisan oksigen disebabkan terlampau banyak menghirup asap. Mereka ini apabila ditemukan lansung dibantai dengan kejam.

A.R.T Kemasang (dalam Benny G. Setiono) memberikan sebuah laporan jumlah korban orang Tionghoa yang meninggal dunia mencapai 10.000 orang, termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit. Sebanyak 500 orang luka parah, dan 700 rumah dirusak, dibakar, serta barang-barangnya dijarah. Laporan tersebut juga menyatakan orang-orang Belanda maupun Eropa lainnya baik militer maupun sipil bersama-sama melakukan perampokan dan pembunuhan dengan dibantu oleh pasukan-pasukan prbumi yang lebih rakus.40

Pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740 seperti menjadi sebuah pijakan awal dari pengesahan terhadap perilaku rasisme kepada orang-orang Tionghoa. Sebuah sejarah kekerasan yang terjadi pada satu masa yang kemudian berulang-ulang pada masa-masa berikutnya bahkan sampai pada era modern.

2. Etnis Tionghoa Pada Era Soekarno

Pada masa pemerintahan Soekarno, etnis Tionghoa dihadapkan pada suatu pilihan dilematis yaitu asimilasi. Etnis Tionghoa diberi pilihan untuk menjadi warga Negara Indonesia (WNI) dengan mengganti nama Tionghoa mereka dan juga meninggalkan segala ketionghoaan yang melekat pada tubuh mereka dan menyatu dengan suku masyarakat di mana ia tinggal atau kembali ke Tiongkok.

Jalan asimilasi “dipilih” oleh Soekarno untuk meredam konflik kelompok minoritas pada masa itu. Apa itu minoritas yang menjadi permasalahan timbulnya suatu tindakan rasialis terhadap etnis Tionghoa akan coba peneliti

40

Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia, 2008), h. 109—121.


(46)

jelaskan dengan mengutip beberapa pengertian. a. Minoritas

Louis Wirth (dalam Leo Suryadinata) memberi definisi sebagai berikut. 1. Minoritas adalah segolongan orang yang

2. Karena cirri-ciri badani atau kulturnya

3. Dipisahkan dari orang-orang lain dalam masyarakat tempat mereka hidup.

4. Diberikan perlakuan yang berbeda

5.Sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai bulan-bulanan dari diskriminasi kolektif

6. Dalam masyarakat di mana terdapat minoritas di sana ada pula

dominant group yang berkaitan yang memunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi serta hak-hak istimewa.

7. Tergolongkan dalam minoritas dengan sendirinya berarti tidak diikutsertakan sepenuhnya pada kehidupan masyarakat.41

Ditambah dengan rumusan Sub Commision dari Commision on Human Rigths dari PBB yang menegaskan bahwa istilah minoritas itu biasanya digunakan terhadap warga dari suatu negara. Dapatlah diringkaskan bahwa minoritas adalah segolongan warga dari suatu negara yang dipisahkan, dieksklusifkan dan didiskriminasikan oleh sesama42 warga negaranya yang memunyai hak-hak istimewa dan kedudukan sosial, politik, ekonomis lebih tiinggi, sehingga dalam diri golongan itu dibangkitkan perasaan-perasaan tertentu, mereka diperlakukan demikian karena mereka berbeda dalam fisik atau kebudayaan dengan warganegara yang lain. Berbagai perasaan itu adalah perasaan-perasaan diperlakukan tidak adil, tidak dihargai, tidak dipercayai, diisolasi dan dianiaya, pendek kata, perasaan-perasaan dikandung oleh anak tiri. Wirth berkata. “one cannot long discriminate against a people without generating in them a sense of isolation or persecution and without giving them a conception of themselves as being more different from others then in fact there are.”43

Pada November 1959 Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang Tionghoa)

41

Suryadinata, Op. Cit., h. 162—163.

42Ibid

., 163.

43


(47)

untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960.44

Dengan keluarnya PP-10 ini, sudah tentu menjadi semacam pukulan berat terhadap etnis Tionghoa. Pada praktiknya, peraturan ini tidak hanya menertibkan orang-orang Tionghoa agar tidak berdagang eceran lagi melainkan mereka juga diusir dari tempat tinggal mereka.

Peraturan rasialis ini ditetapkan ditengarai karena Soekarno ditekan oleh militer dan partai Islam. Masyarakat pribumi yang pada saat itu mulai berdagang merasa tersaingi oleh dominasi pedagang Tionghoa yang telah berpengalaman dan memiliki jaringan beberapa generasi.

Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa harus meninggalkan tempat usaha dan tempat tinggalnya di pedalaman. Peraturan ini sebenarnya hanya untuk menertibkan para pedagang eceran Tionghoa, namun pada kenyataannya mereka tidak hanya dilarang berdagang melainkan juga diusir dari rumah mereka sendiri.

Puncak tragedi etnis Tiobghoa pada Era Soekrno adalah Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini membawa dampak buruk bagi warga Tionghoa secara keseluruhan. Hal ini karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Dugaan bahwa Baperki sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang dituduh melakukan kudeta dengan G-30-S tersebut, akibatnya praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status kewarganegaraan mereka.45

3. Etnis Tionghoa Era Soeharto (Orde Baru)

Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto telah memperkenalkan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak

44

Prasetyadji, Semangat Perjuangan Peranakan Idealis, (Jakarta. Forun Komunikasi Kesatuan Bangsa. 2011), h. 29.

45


(1)

Karakter Bangsa 1. Kegiatan Awal :

 Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini.

 Guru bertanya pengetahuan siswa tentang novel Indonesia dan novel terjemahan.

 Guru memperkenalkan novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng

Bersahabat/ komunikatif

2. Kegiatan Inti : Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi .

 Siswa membaca novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng

Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi,

 Mengidentifikasi kebudayaan Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir

 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Dimsun Terakhir

 Siswa memperesentasikan hasil diskusi kelompoknya  Siswa menanggapi hasil diskusi

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa.

 Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui  Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.

Kreatif

Saling menghargai Anti diskriminasi Toleransi

3. Kegiatan Akhir :  Refleksi

 Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.

Bersahabat/ komunikatif

I. ALOKASI WAKTU . 4 x 45 menit

J. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN .

 buku yang berkaitan dengan materi unsur intrinsik dan ekstrinsik prosa

 buku EyD  LKS  Modul

 Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng  Artikel koran/majalah

K. PENILAIAN . Jenis Tagihan.  tugas individu  tugas kelompok


(2)

142

Bentuk Instrumen.

 siswa diminta menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Dimsum Terakhir

 siswa diminta mendiskusikan kebudayaan Tionghoa yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir

L. LAMPIRAN.

 rubrik penilaian

Mengetahui Jakarta, 17 Februari

2014

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

A. K. Pratama, M. Pd.

NIP. 19780413201001 2 008 Hayatun Nufus, S.Pd.


(3)

Nama : Hayatun Nufus

NIM : 109013000074

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Judul Skripsi : KEBUDAYAAN TIONGHOA DALAM NOVEL

DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA.

Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum.

No. Nama Buku Paraf

Pembimbing

1.

Cheong, Philip & S. L. Ang. Ajaran Leluhur Tabu-Tabu China: Kumpulan Tabu-Tabu & Kepercayaan. Jakarta: Yayasan Karaniya, 2010.

2. Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum, 2009.

3.

Danandjaja, James. Folklor Tionghoa: Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 2007.

4.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS, 2013.

5.

Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Tangerang: Pustaka Widyatama,


(4)

2006.

6. Endraswara, Suwardi. Teori Pengkajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UNYpress,2012.

7. Escarpit, Robert. Sosisologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

8.

Fairservis, Walter A, Jr. Asal-usul Peradaban Orang-orang Jawa dan Tionghoa.Surabaya: Selasar Publishing, 2009.

9. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

10. Hermawan, Sainul. Tionghoa Dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: IRCiSold, 2005.

11.

Ju Lan, Thung & I. wibowo. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas, 2010.

12. Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia, 2008.

13.

Koentjaraningrat. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 2008.

14.

Meij, Lim Sing, Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor, 2009.

15. Ng, Clara. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

16. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2005. 17. Prasetyadji. Semangat Perjuangan Peranakan


(5)

sejak tahun1945. Jakarta: Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2011.

18. Prasetyo, Joko Tri. Tanya Jawab Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

19. Rampan, Korrie Layun. Aresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: bukupop, 2009.

20.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

21.

Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur. Jakarta: Kompas, 2012.

22. Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia, 2008.

23.

Suryadinata, Leo. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: LP3ES, 2005.

24. Suryadinata, Leo. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti, 1984.

25.

Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga

Rampai 1965-2008. Jakarta: Kompas, 2010.

26.

Tan, Mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.


(6)

Shu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002. 28. Tregear, Mary. Chinese Art. Slovenia: Mladinska

Knjiga 1995.

29.

Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesustraan: Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia, 1989.

30. Widagdho, Djoko. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

31. Wiranata, I Gede A. B. Antropologi Budaya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011.