Fakta Sejarah dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

(1)

SASTRA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Devi Ramadhani

1111013000002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Devi Ramadhani, 1111013000002, “Fakta Sejarah Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami

dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing Ahmad Bahtiar, M. Hum.

Penelitian ini beranjak dari masalah yaitu bagaimana fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami dideskripsikan serta bagaimana implikasi fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami dan untuk mengetahui implikasi fakta sejarah terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk mendeskripsikan unsur-unsur pembangun novel dan fakta sejarah yang terkandung dalam novel Saman karya Ayu Utami. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan mencatat informasi fakta sejarah yang ada didalam novel. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu novel Saman karya Ayu Utami dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan literatur yang mendukung penelitian mengenai fakta sejarah dalam novel

Saman karya Ayu Utami dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Hasil penelitian yang diperoleh yakni unsur instrinsik novel Saman terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa yang digunakan Ayu Utami. Fakta sejarah yang diperoleh berupa kebijakan kapitalisme ekonomi orde baru, pers pemerintahan orde baru, kolusi dan nepotisme rezim soeharto, pemogokan buruh di Medan, Penangkapan aktivis dan kebebasan pendapat LSM terhadap kebijakan orde baru. Penelitian mengenai fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami dapat di implikasikan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA kelas XI semester 2. Standar Kompetensi yang sesuai yakni aspek mendengarkan dengan memahami pembacaan novel. Kompetensi dasar yang sesuai yakni menemukan fakta sejarah dalam novel yang dibacakan. Indikator yang harus dikuasai oleh siswa diantaranya adalah menemukan fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami dan mendiskusikan fakta-fakta sejarah dalam novel Saman

karya Ayu Utami.


(6)

ii

Devi Ramadhani, 1111013000002, The Historical value of the Novel Saman by Ayu Utami

and Implications on Learning of Indonesia’s Language and Literature, Indonesia’s

Languange and Literature Education Majors, Faculty of Science Education and Teaching, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Supervisor: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

This research intends to answer the problem of how the historical fact described in the novel Saman by Ayu Utamiand its implication in learning Indonesian language and literature. The purpose of this research is to find out the historical fact of the novel Saman by Ayu Utami and to find out the implications of historical facts in the novel Saman by Ayu Utami in learning Indonesian language and literature.

The method of this research is qualitative method to describe the constructive elements and the historical values of the novel Saman by Ayu Utami. The technique data analysis of this research is making a note of important information that is related to the historical facts of the novel. The technique of the research that is being used is analyze the text, Saman by Ayu Utami, and library research to find and to collect data that is related to historical facts in the novel Saman by Ayu Utami and its implication in learning Indonesia language and literature. The result of this study is the intrinsic elements of the novel Saman consists of theme, character and characterization, plot, setting, point of views, and language style of Ayu Utami. The historical facts that is found through this research is the policy of economic capitalism of

Indonesia’s new era, the journalism policy during Indonesia’s new era, collusion and nepotism under the regime of Soeharto, laborer strike in Medan, and the arrestment of Indonesia activist. The research regarding historical facts of the novel Saman by Ayu Utami can be implicated to Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) of the senior high school grade XI on the second semester. The standard competence that is appropriate is the aspect of listening by understanding the novel trough reading. The basic competence that is appropriate is finding the historical facts through reading the novel. The indicators that the must be mastered by student are finding and discussing the historical facts in the novel Saman by Ayu Utami.


(7)

iii

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, para sahabatnya hingga kepada umat hingga akhir zaman. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Judul yang penulis ajukan adalah

“Fakta Sejarah dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan , bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A,. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dona Aji Kurnia, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

4. Ahmad Bahtiar, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah mencurahkan perhatian, bimbingan, doa dan nasihat yang sangat berarti bagi penulis;

5. Rosida Erowati, M. Hum, selaku dosen penguji 1 skripsi penulis; 6. Nuryati Djihadah, M. Pd.,MA, selaku dosen penguji 2 skripsi penulis;

7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;

8. Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Suyanto dan Ibu Saminah yang telah mendidik, memperjuangkan dan mencurahkan kasih sayangnya terhadap penulis. Abang dan kakak penulis, Azla Hendrovi, Dedi Irwanto, Andi Pranata, Rini, Miswinda dan Reza Sylvia Rangkuti;

9. Mentor penulis di dunia Trainer Arry Rahmawan dan Maradika Malawa selaku Founder Cerdas Mulia dan Young Trainer Academy dan mentor Public Speaking


(8)

iv

Syafril, Ardhian Bangga, Dhiva Putra Pratama, dan Maritsa Nauva;

11. Sahabat yang penulis cintai Siti Nurpadillah, Nurfi Laeli Azzahra, Zikrina Aulia, Syahid Maulana serta keluarga besar Cerdas Mulia Institute yang telah mendukung dan mendoakan dengan cinta disaat penulis mengerjakan skripsi ini;

12. Mentor penulis di Mental Coaching Character kak Anrio Marfizal;

13. Sahabat seperjuangan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A angkatan 2011; 14. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas dukungan

dan doa dalam penyelesaian skripsi ini.

Jakarta Desember 2015


(9)

v

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Hakikat fiksional dan faktual... 11

B. Hubungan Sastra dan Sejarah ... 12

C. Pendekatan Mimetik ... 15

D. Hakikat Novel ... 18

E. Unsur Intrinsik Novel ... 19

H. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 27

I. Penelitian yang Relevan ... 30

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENGARANG ... 33

A. Biografi Ayu Utami ... 33 .

B. Pemikiran Ayu Utami ... 29

B. Konteks Historis dalam Novel Saman ... 38

1. Kebijakan Kapitalisme Ekonomi Orde ... 38

2. Pers Pemerintahan Orde Baru ... 42

3. Kolusi dan Nepotisme Rezim Soeharto ... 47

4. Pemogokan Buruh di Medan ... 49

5. Penangkapan Aktivis ... 50


(10)

vi

A. Unsur Instrinsik Novel Saman Karya Ayu Utami ... 54

1. Tema ... 54

2. Tokoh dan Penokohan ... 56

3. Alur ... 68

4. Latar ... 74

5. Sudut Pandang ... 87

6. Gaya Bahasa ... 89

B. Fakta Sejarah dalam Novel Saman Karya Ayu Utami ... 92

1. Kebijakan Kapitalisme Ekonomi Orde Baru ... 92

2. Pers Pemerintahan Orde Baru ... 98

3. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Rezim Soeharo……… ... 104

4. Pemogokan Buruh ... … 107

5. Penangkapan Aktivis ... . 110

6. Kebebasan Pendapat LSM Terhadap Orde Baru………. 114

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia . 116

BAB V PENUTUP... 121

A. Simpulan ... 121

B. Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra merupakan sebuah karya seni yang mengungkapkan pemikiran, perasaan, pengalaman, dan ide dari manusia untuk menggambarkan kehidupan baik lewat bahasa dan tulisan. Sebuah karya sastra pengarang mengungkapkan suka dan duka kehidupan mereka dalam masyarakat. Hubungan sastra dan masyarakat adalah hubungan dengan mempertimbangkan hakikat sastra dan masyarakat, kondisi-kondisinya sebagai gejala alamiah. 1

Implikasi-implikasi yang berkaitan dengan masyarakat dan sastra sebagaimana yang telah dikemukakan Plato dan Aristoteles mengenai karya seni meniru kenyataan, tidak jauh berbeda dengan penjelasan mengenai persamaan dan kesejajaran antara masyarakat dan sastra. Oleh karena itu, karya sastra mewakili potret kehidupan yang menyangkut baik itu persoalan sosial atau wujud representasi sejarah dalam masyarakat, setelah mengalami berbagai proses maka lahirlah pengalaman kehidupan dalam bentuk karya sastra.

Sebuah karya sastra sebagaimana setiap karya seni lainnya, merupakan suatu kebulatan yang utuh, khas dan berdiri sendiri, satu dunia keindahan dalam wujud bahasa yang dari dirinya sendiri telah dipenuhi dengan kehidupan realitas. Tetapi juga merupakan suatu fenomena atau gejala sejarah, yakni sebagai hasil karya seorang seniman, dari aliran tertentu, zaman tertentu dan kebudayaan tertentu pula yang tidak lepas dari rangkaian sejarah.

Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinasi kreatif dari seorang sastrawan dengan proses yang berbeda-beda antara pengarang yang satu dengan pengarang yang lain terutama dalam penciptaan cerita fiksi. Penciptaan tersebut bersifat individualistis artinya cara yang digunakan oleh tiap-tiap pengarang dapat berbeda. Perbedaan itu meliputi beberapa hal di antaranya bisa saja metode yang digunakan munculnya proses kreatif seorang pengarang dan bagaimana cara

1

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studi Representasi Fiksi dan Fakta,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),Cet.2, h. 285.


(12)

mengekspresikan apa yang ada jauh di dalam diri pengarang hingga bagaimana penyampaian bahasa yang digunakan.

Sastra adalah hasil kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Pada dasarnya karya sastra bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melalui karya sastra pembaca dapat menimba permasalahan baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun golongannya. Di samping itu, melalui karya sastra sastrawan dapat menyampaikan nilai-nilai kehidupan pembacanya karena karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Fiksi dan fakta sebagai ciri utama sastra dan sejarah, bukanlah perbedaan mutlak. Melalui medium bahasa, sastra secara terus menerus menelusuri proses pemahaman sehingga menghasilkan fakta. Dilain pihak fakta sejarah merenkrontuksi fakta-fakta hanya dapat dipahami semata melalui arsip, dokumen, literatur. Dengan memperbandingkan antara sastra dan sejarah, sastralah yang paling banyak mempermasalahkan hakikat sejarah daripada sebaliknya.

Secara umum objek penulisan sejarah adalah masa lampau umat manusia dengan segala kegiatannya yang tampak pada bidang politik, ekonomi, sosial, budaya sedangkan secara khusus objek penulisan sejarah adalah bidang-bidang tertentu, seperti politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, kesenian dan sastra. Sastra dan sejarah memiliki hubungan yang sangat erat. 2Sastra memiliki hubungan timbal balik dengan bidang sejarah. Sastra dikategorikan sebagai sastra yang bernuansa sejarah karena faktor cerita yang kental dengan peristiwa-peristiwa sejarah di dalamnya. Selain itu, sastra bisa dijadikan rujukan atau bahan untuk data-data peristiwa sejarah. Hubungan timbal balik ini memiliki teori dan metode yang berbeda, namun tetap menjadikan bidang yang sama dalam kajian yakni, sastra dan sejarah.

Sejumlah karya sastra Indonesia telah menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara isi (muatan) karya dengan realitas yang terjadi dalam masyarakatnya. Novel Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1920), misalnya menggambarkan keadaan masyarakat Minangkabau pada masa kolonial Belanda.

2


(13)

Novel Para Priyayi (Umar Kayam, 1999) menggambarkan keadaan masyarakat Jawa pada masa kolonial Belanda sampai awal Orde Baru. Novel Saman (Ayu Utami, 1998), menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia pada akhir pemerintahan Orde Baru.

Hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan sebuah kajian yang mampu menghubungkan antara karya sastra dan dengan segi-segi kemasyarakatan. Dengan memahami bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan sejarah, realitas sosial dan politik maka tidak dapat dipungkiri seorang pembaca sastra akan menemukan realitas sejarah di dalam sebuah karya sastra. Realitas sejarah tidak hanya dapat ditemukan dalam teks-teks sejarah saja tetapi dapat ditemukan pula pada karya sastra misalnya novel.

Novel dalam ilmu kesusastraan merupakan salah satu bentuk prosa. Novel memiliki ciri khas yaitu jalan cerita yang kompleks. Novel adalah karya fiksi yang menceritakan peristiwa atau nilai dalam masyarakat yang merupakan hasil pengamatan pengarang terhadap realita kehidupan. Cerita yang dihadirkan dalam novel tak ubahnya sebagai sebuah catatan sejarah dari kehidupan tokoh dan juga tokoh dapat memasuki peristiwa penting yang menjadi sejarah.

Beberapa peristiwa sejarah di dalam novel Saman merupakan sebuah fakta yang diungkapkan oleh Ayu Utami melalui novelnya. Ia merepresentasikan fakta sejarah melalui tokoh di dalam novel Saman. Novel Saman merupakan sebuah novel yang sangat menarik untuk diteliti terutama mengenai fakta sejarah di dalamnya. Sebagai seorang jurnalis, Ayu Utami paham gejolak politik yang terjadi pada masa Orde Baru sehingga data dan fakta yang disampaikan melalui Saman dapat diteliti keakuratan datanya.

Ketika memenangi lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)1998, banyak keraguan ditimpakan kepadanya. Saman oleh banyak kritikus dinilai sebagai novel yang sangat berbobot. Mulai dari gaya bercerita, tema hingga soal-soal kecil seperti penggambaran adegan seks menjadi perbincangan serius di berbagai media. Saman ditulis menggunakan imajinasi dan pengalaman empiris pengarang. Ayu mengaku ketika menulis Saman di Perabumulih, ia terlebih dahulu meriset nama-nama pohon dan sebagainya juga waktu di pengeboran


(14)

minyak. Hanya pada bagian Shakuntala ia tidak perlu riset, hanya perlu imajinasi. Pendekatan yang digunakan Ayu Utami merupakan pendekatan yang meluruhkan diri ke dalam karakter tokoh. Ia mencoba mengubah diri menjadi berbagai karakter. Dalam dunia tari atau dunia perkebunan sebagai contoh yang bukan merupakan dunia pengarang.

Karya sastra mengajak kita untuk memahami bukan untuk hanya mengetahui. Jika hanya untuk mengetahui, maka semua orang akan dapat mengetahui hanya sekedar dengan melihat faktanya. Namun untuk memahami, ia harus menjalani perjalanan rasionalitas objektif ke empirisme subyektif, dari pengetahuan pada kearifan kemanusiaan, mengajak untuk lebih bijak dan adil dalam memahami kehidupan. 3

Fakta sejarah dalam novel Saman juga dapat dipahami dari latar sejarah yang digunakan Ayu Utami untuk membangun kisah dalam novelnya. Peristiwa demonstrasi dan pemogokan buruh di Medan sebagai salah satu contohnya yaitu pada tanggal 1 Maret – 16 April di Medan diintegrasikan dalam cerita melalui tokoh Wisanggeni (Saman) yang dianggap sebagai salah satu aktor intelektual yang mendalangi peristiwa tersebut sehingga masuk dalam daftar orang yang harus ditangkap dan dihukum. Peristiwa tersebut menyebabkan Wisanggeni harus meninggalkan Indonesia dan tinggal di Amerika Serikat, bekerja di Human Rights Watch dan mengganti namanya menjadi Saman. Novel ini mengandung fakta sejarah tetapi dikemas dalam sebuah cerita yang menarik untuk dibaca dan dinikmati.

Fakta sejarah dalam novel Saman menjadikan novel tersebut memiliki sisi lebih dalam mencerminkan peristiwa sejarah yang sudah banyak dilupakan oleh rakyat Indonesia khususnya para siswa di sekolah. Perhatian para pendidik terhadap fakta sejarah dalam novel karya sastra Indonesia khususnya Saman

sangat diperlukan dalam membimbing siswa-siswa di sekolah dan juga bagaimana para pendidik mampu mengimplikasikannya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tidak hanya perhatian para pendidik dalam pembelajaran fakta

3

Bagus Dharmawan (ed), Warisan (Daripada) Soeharto,(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008),h. 595


(15)

sejarah khususnya yang masih perlu ditingkatkan, tetapi bagaimana pendidik turut serta dan aktif terhadap pengajaran fakta sejarah dalam novel Saman.

Oleh karena itu, karya sastra sangatlah penting untuk memberikan pengetahuan mengenai sejarah Indonesia yang terdapat dalam novel Saman dalam proses pengajaran sastra di Sekolah. Tujuan pembelajaran sastra sendiri adalah untuk mewujudkan suasana proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pembelajaran sastra mengenai fakta sejarah ini akan memberikan dampak penghargaan mereka terhadap perjuangan serta menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Penelitian ini penting karena di dalamnya mencoba mengungkapkan fakta sejarah di dalam novel Saman serta bagaimana implikasi terhadap proses belajar dan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Penelitian ini aktual karena pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu bangsa ini harus tetap diperkenalkan kepada masyarakat terutama peserta didik agar menjadi bangsa yang besar.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini memfokuskan kajian pada

Fakta Sejarah pada Novel Saman Karya Ayu Utami dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah. Masalah tersebut akan dipahami dengan pendekatan mimetik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan sebelumnya, maka identifikasi masalah penelitian ini adalah :

1. Belum adanya analisis mengenai fakta sejarah dalam novel Saman dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

2. Kurangnya perhatian terhadap pembelajaran fakta sejarah dalam novel beserta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.


(16)

3. Kurangnya peran pendidik terutama guru dalam pengajaran fakta sejarah yang terdapat dalam novel Saman.

C. Pembatasan Masalah

Dapat dilihat dari sejumlah masalah yang ada, maka dapat diambil simpulan bahwa karya sastra tidak dapat terlepas dengan realita yang terjadi di masyarakat. Sejumlah permasalahan yang ada di dalam karya sastra diperoleh dari proses kreativitas pengarang melalui penggalian objek yang dikajinya. Banyak permasalahan yang terdapat di dalam novel Saman, maka penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada implikasi fakta sejarah dalam novel Saman

terhadap pembelajaran dalam konteks bahasa dan sastra Indonesia.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah : 1. Bagaimana fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami

dideskripsikan?

2. Bagaimana implikasi pembahasan fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami. 2. Untuk mengetahui implikasi pembahasan fakta sejarah dalam novel

Saman karya Ayu Utami terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis.


(17)

1. Manfaat teoretis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengembangan dibidang sastra. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih penelitian ilmiah terhadap karya prosa.

2. Manfaat praktis dimaksudkan bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai konsep realitas yang muncul dalam novel

Saman karya Ayu Utami.

G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode berasal dari kata methodos, bahasa latin, sedangkan methodos itu berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Penelitian adalah penerapan pendekatan ilmiah dalam rangka mempelajari suatu masalah.4 Dalam penelitian lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.5

Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan cara memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk menyajikan penafsiran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

Cresswell (1998) menyatakan penelitian kualitatif sebagai suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terperinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Penelitian kualitatif merupakan riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian

4

Aminuddin, Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra (Malang : Y A3), h. 108

5

Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.34.


(18)

kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar focus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.6

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.

David Williams menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Jelas definisi ini memberi gambaran bahwa peneltian kualitatif mengutamakan latar alamiah, metode alamiah, dan dilakuikan oleh orang yang mempunyai perhatian alamiah.

Penulis buku penelitian kualitatif lainnya (Denzin dan Lincoln 1987) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, para penulis masih tetap mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan untuk penelitian kualitatif adalah berbagai macam metode penelitian. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen.

Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu content analysis atau analisis isi. Penelitian ini berusaha menganalisis dokumen untuk diketahui isi dan makna yang terkandung dalam dokumen tersebut. Penelitian ini dengan menggunakan analisis isi mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode analisis isi digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen. Dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Saman karya Ayu Utami.

6


(19)

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen yaitu berupa novel yang berjudul Saman Karya Ayu Utami. Data tersebut merupakan novel yang diterbitkan pada cetakan ke 32, September 2014 oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah :

a. Teknik Inventaris

Dalam teknik ini peneliti melakukan inventarisasi terhadap novel yang memiliki fakta sejarah yakni novel Saman karya Ayu Utami.

b. Teknik Baca Simak

Dalam teknik ini peneliti membaca, menelaah, memahami, dan mengidentifikasi fakta sejarah dalam novel tersebut.

c. Teknik Pencatatan

Dalam teknik ini peneliti mencatat hal-hal penting yang mendukung fakta sejarah dalam novel tersebut.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga komponen, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

a. Reduksi Data

Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian yang terperinci. Data-data dipilih hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, yaitu fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami.

b. Penyajian Data

Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudia disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian di


(20)

analisis sehingga diperoleh deskripsi mengenai fakta sejarah yang terkandung dalam novel Saman karya Ayu Utami.

c. Penarikan Simpulan

Pada tahap ini dibuat simpulan mengenai hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Penarikan simpulan memuat hasil data berupa fakta sejarah apa saja yang disampaikan penulis lewat novel Saman karya Ayu Utami.


(21)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

Penelitian terhadap novel Saman karya Ayu Utami tentu saja memerlukan landasan teori. Penjelasan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian sangat penting dilakukan sebelum menyajikan hasil penelitian. Teori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian terhadap novel Saman ini dapat dipaparkan sebagai berikut.

A. Hakikat Fiksional dan Faktual

Hakikat fiksional dan faktual sama halnya dengan sastra dan sejarah. Dalam teori kontemporer kedua disiplin, khususnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan hakikat fiksi dan fakta, terlibat ke dalam kontruksi paradigmatis yang cenderung simetris, yang disebut sebagai metafiksi historiografi. Dikaitkan dengan definisi fakta secara umum, pemanfaatan fakta-fakta dalam sejarah dan novel sejarah pada dasarnya sama yang berbeda adalah bagaimana novelis mengembangkan sikap, pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam suatu cerita secara bebas dan kreatif, sehingga tercipta ruang fiksionalitas.

Aspek lain adalah adalah kenyataan bahwa karya sastra mementingkan cerita, tokoh dan latar. Ketiga unsur cerita tersebut sangat esensial dalam sejarah. Karya sastra meskipun merupakan imajinasi, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa imajinasi mesti berangkat dari kenyataan. Dalam hubungan inilah diperlukan acuan kenyataan yang pada umumnya tercantum dalam sejarah. Dengan kalimat lain, sejarah memberikan kompetensi untuk mengembalikan kualitas rekaan pada kenyataan agar dapat dipahami secara lebih intens oleh pembaca.

Relevansi karya sastra terhadap sejarah, sebagaimana diintroduksi oleh Taufik Abdullah adalah manfaatnya terhadap penelitian sejarah intelektual. Sesuai dengan perkembangan metode dan teori usaha untuk menghindarkan sekat pemisah antar disiplin di pihak yang lain, masalah-masalah sosiologi dan sejarah dalam sastra justru menemukan tempat yang subur.


(22)

Ada tiga masalah yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan relevansi sejarah terhadap sastra, yaitu :1

1. Relevansi fakta-fakta sejarah, dalam hal ini berkaitan dengan isi. 2. Homologi unsur-unsur dalam hal ini berkaitan dengan struktur; dan

3. Relevansi proses kreatif dalam hal ini berkaitan dengan perkembangan genre sastra.

Keterlibatan fakta-fakta sejarah dapat diidentifikasikan secara jelas, seberapa jauh sebuah karya mencerminkan sejarah. Hubungan ini dapat dipahami melalui tokoh, kejadian dan latar. Nama tokoh, nama tempat, dan tahun-tahun kejadian merupakan unsur-unsur yang sangat mudah untuk dikaitkan dengan sejarah umum, sisa peninggalan sejarah, dan sumber-sumber tertulis lainnya.

Jadi kesimpulan hakikat fiksional dan faktual adalah hakikat hubungan antara sejarah dan sastra serta bagaimana hubungan sejarah dalam karya sastra. Dalam proses kepenulisan sejarah dalam karya sastra tentu penulis memerlukan fakta atau kenyataan dalam dunia. Berangkat dari hal inilah kemudian penulis karya sastra menuliskan cerita dengan memanfaatkan tokoh, latar dan kejadian di dalam cerita untuk menginterpretasikan sejarah.

B. Hubungan Sastra dan Sejarah

Visi kontemporer dalam kaitannya dengan fiksi dan fakta secara tidak langsung membawa sastra dan sejarah, seniman dan sejarawan pada dua kutub yang berbeda tetapi saling melengkapi. Hakikat objektivitas dari suatu kenyataan menjadi sangat relatif sebab objektivitas kenyataan tidak diberikan, melainkan secara terus menerus harus dibangun, dengan konsekuensi tidak ada kenyataan yang sesungguhnya.2

Penulisan sejarah pada waktu Aristoteles sudah berkembang sebagai cabang ilmu pengetahuan dengan Thucydides (460-400) sebagai sejarawan yang terkenal. Thucydides menulis sejarah perang Peloponesos, antara negara kota Athena dan Sparta, dan dia pertama kali mencoba secara ilmiah memberi laporan

1

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studi Representasi Fiksi dan Fakta,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),Cet.2,h. 348

2Ibid


(23)

dan analisis serta penafsiran peristiwa berdasarkan pengumpulan data yang selengkap dan secermat mungkin. Dalam hal ini Thucydides menolak pendekatan Herodotus, yang sebelumnya telah menulis cerita kesejarahan, tetapi yang terutama ingi menulis bacaan yang menarik dan tidak bersikap kritikal atau rasional terhadap sejarah dan datanya.3

Hubungan antara sastra dan sejarah di dunia Barat sejak abad klasik tetap cukup pelik, sampai sekarang. Dalam abad Pertengahan sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan sastra, tidak diketahui lagi tulisan-tulisan yang nampaknya bersifat sejarah sebenarnya merupakan campuran antara sejarah dan sastra, persis seperti babad dan sejarah. Tidak kebetulan History dan Story dalam bahasa inggris berasal dari kata yang sama : historia dalam bahasa Yunani, diambil dari bahasa latin : berarti cerita, sejarah, penelusuran fakta atau peristiwa.4

Sejajar dengan perkembangan masyarakat modern, baik sebagai akibat pengaruh teknologi informasi maupun pergeseran norma-norma masyarakat, lahirlah para seniman yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern. Keterampilan yang dimiliki baik yang diperoleh melalui pengalaman maupun yang dibawa sejak lahir menyebabkan para seniman memperoleh kedudukan khusus dalam masyarakat. Meskipun demikian, secara sosiologis di antara para seniman di atas, sastra melalui medium bahasanya menduduki posisi utama.5

Berbeda dengan sastrawan, sejarawan semata-mata merupakan proposisi masyarakat modern. Sebagai ilmuwan, sejarawan berfungsi untuk mengubah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, sejajar dengan kritikus dan ahli sastra, antropolog, sosiolog, filsuf, dan sebagainya. Sastrawan mempunyai epigon-epigon, sastrawan pada gilirannya menampilkan arus sosial yang pada gilirannya juga melahirkan aliran, mazhab, periode, angkatan dan sebagainya.

Perdebatan pendapat mengenai hakikat sejarah dan sastra, khususnya dalam teori kontemporer terjadi sebagai akibat tumpang tindih definisi fakta dan fiksi di

3

A.Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984),Cet.1,h.242-243 4

Ibid.,h. 244 5


(24)

satu pihak mekanisme pemplotan di pihak yang lain. Menurut Foley sama dengan sastra agar dapat dipahami, maka fakta-fakta dalam sejarah harus diceritakan. Penceritalah yang mengorganisasikan sekaligus mengkonstruksi kebenaran dengan cara memilih fakta yang sesuai. Semata-mata melalui proses penceritaan, sebagai mekanisme pemplotan cerita sejarah dan cerita sastra dapat dipahami.

Sastra dan sejarah memandang waktu sebagai aspek yang sangat penting. Sastra dengan seni lukis, misalnya dibedakan sebagai seni waktu dan seni ruang. Plot dalam cerita disusun atas dasar cerita dan penceritaan, dengan memutarbalikkan aspek waktu, sebagai waktu, sebagai konstruksi dekronologisasi. Sejarah disusun berdasarkan fakta-fakta sejarah. Objektivitas sejarah terletak dalam penemuan dan penyusunan fakta-fakta secara kronologis. Tanpa dimensi waktu, sastra dan sejarah tidak pernah ada. Kejadian sehari-hari juga terjadi atas kronologisasi. Meskipun demikian, kejadian sehari-hari hanya mungkin menjadi sejarah dan tidak bisa menjadi sastra sebab tidak diciptakan oleh manusia kreator, melainkan oleh manusia itu sendiri atas dasar firman Tuhan sebagai kejadian adikodrati. Aspek-aspek estetikanya pun bersifat ilahiah. Sejarawan, antropolog, bercerita tentang kehidupan sehari-hari, sedangkan sastrawan menciptakan cerita atas dasar kehidupan sehari-hari.6

Peranan sekaligus hubungan erat aspek-aspek sejarah jelas terlihat dalam kaitannya dengan beberapa aspek terpenting dalam sastra, seperti : sejarah sastra, sastra sejarah, dan novel sejarah. Sebagai bagian tiga bidang studi, di samping teori dan kritik, sejarah sastra berfungsi untuk mencatat rangkaian peristiwa sastra sejak lahir hingga sekarang, yang dengan sendirinya tersusun secara kronologis. Sejarah sastra adalah ilmu, diperoleh melalui pengumpulan fakta-fakta sejarah. Oleh karena itu, meskipun objek yang dibicarakan adalah rekaan, hasilnya tetap objektif. 7

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra

6

Ibid., h. 335-336 7Ibid


(25)

Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu menyangkut karya sastra, pengarang, penerbut, pengajaran, kritik, dan lain-lain.8

Sastra sejarah adalah karya sastra (hikayat) yang mengandung unsur-unsur sejarah, seperti babad dan hikayat. Sastra sejarah yang sering juga disebut teks historis atau teks genealogis subur pada saat masyarakat belum bisa membedakan secara jelas antara rekaaan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Novel sejarah sesuai dengan namanya menceritakan tokoh dan peristiwa bersejarah tertentu, seperti kerajaan majapahit, patih Gajah Mada dan Presiden Soekarno.9

Jadi hubungan sastra dan sejarah adalah erat kaitannya dengan hubungan sastrawan dan sejarawan, berbeda tapi saling melengkapi. Sastra dan sejarah merupakan dua kutub yang berbeda terkait dengan objektivitas. Sejarawan semata-mata mengubah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan sastrawan mencakup didalamnya sebagai pencipta karya seni dengan ini menggunakan medium bahasa sebagai medium utama dalam penulisan. Sastra dan sejarah berhubungan karena keduanya merupakan hal penting dalam penulisan sastra sejarah, sejarah sastra dan novel sejarah. Dalam penulisan novel sejarah misalnya tentu penulis akan berangkat dari kenyataan, atau masa lampau dalam hal ini cakupannya dengan sejarah. Ditangan sastrawan, sejarah memiliki tidak hanya fakta sejarah tetapi ada nilai estetika melalui tokoh dan jalan cerita didalamnya yang bisa dinikmati semua kalangan.

C. Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis yang berarti peniruan. Dalam sastra, pendekatan mimesis melihat karya sastra sebagai suatu peniruan, imitasi, refleksi, atau gambaran tentang alam dan kehidupan manusia. Pengarang harus menciptakan kembali pengalaman manusia dengan menggunakan kata-kata. Sastra dikaitkan dengan realita atau kenyataan, budaya,

8

Yudiono.K.S.,Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Yogyakarta : Grasindo,2007),h.26 9


(26)

sosial, politik, bahkan agama. Plato dan Aristoteles menggunakan istilah mimesis sebagai imitasi, representasi, peneladanan, peniruan, dan pembayangan. Pendekatan sosiologi sastra, pada hakikatnya berdasarkan pada pendekatan mimetik.

Masalah realita bagi Georg Lukas merupakan suatu pencerminan yang lebih benar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik. Ia menjelaskan,

“mencerminkan” adalah menyusun sebuah struktur mental yang diubah urutannya ke dalam kata-kata. Pencerminan kenyataan adalah suatu kesadaran kodrat manusia dan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Sebuah pencerminan mungkin lebih dari yang konkret. Misalnya sebuah novel atau sajak dapat membaca pembaca pada suatu pandangan yang lebih konkret daripada realitas konkret. Hal ini sejalan dengan Jan Van Luxemburg yaitu pengarang memilih dari kenyataan sejumlah unsur lalu disusunnya gambaran yang dapat dipahami yang dibangun berdasarkan logika dan kemungkinan. Logika dan kemungkinan itu digambarkan melalui cara khusus, sastra menjelaskan (mencerminkan) hal-hal yang manusiawi-umum.

Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu sendiri.10

Pendekatan mimetik adalah kritik sastra yang membahas dan menilai karya sastra dihubungkan dengan realitas atau kenyataan. Dalam kritik ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Karya sastra dianggap sebagai refleksi, tiruan, ataupun cermin dari realitas. Dapat disimpulkan bahwa pemahaman karya sastra dilihat dalam hubungannya dengan realitas.

Kritik mimetik menilai karya sastra dalam hubungannya dengan realitas yang menjadi sumber dan latar belakang penciptaannya. Kriteria yang dikenakan pada

10


(27)

karya sastra adalah kebenaran representasi objek-objek yang digambarkan ataupun yang hendaknya digambarkan. 11

Peneliti dari aliran Marxis dan dari sosiologi (psikologi) sastra beranggapan bahwa karya seni sebagai dokumen sosial (psikologi). Kenyataan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelumnya dan yang dialaminya secara subjektif sebagai dunia yang bermakna dan koheren. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah atau sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra.12

Marx dan Engels dalam The German Ideology mengatakan, bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tapi kehidupanlah yang menentukan kesadaran. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan keberadaan mereka. Hubungan sosial antar manusia diikat dengan cara mereka memproduksi kehidupan materialnya. Hubungan antar kelas kapitalis dan kelas proletar membentuk basis ekonomi atau infrastuktur.

Dari infrastruktur ini di setiap periode muncul superstruktur, yaitu bentuk-bentuk hukum dan politik tertentu, negara tertentu, yang berfungsi untuk melegitimasi kekuatan kelas sosial yang memiliki alat-alat produksi. Superstruktur juga terdiri atas bentuk-bentuk kesadaran sosial yang riil seperti politik, agama, etika, estetika, dan seni.13

Seni bagi marxisme merupakan bagian dari ideologi masyarakat. Memahami masyarakat berarti pemahaman terhadap seluruh proses sosial tempat sastra merupakan bagiannya. Karya sastra merupakan bentuk persepsi (cara khusus dalam memandang dunia) dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial suatu zaman. Memahami karya sastra adalah memamahami hubungan tak langsung antara karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada yang muncul pada unsur-unsur karya sastra.14

11

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesustraan, (Jakarta :Gramedia Pustaka Utama, 1990), h.44

12

Siwanto,op.cit.,h. 189. 13

Ibid.,h. 189. 14Ibid


(28)

Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada pendekatan ini. Antara lain kritik yang menyatakan bahwa pendekatan ini terlalu memperhatikan aspek nonsastra. Jika hal itu terjadi, penelitian yang menggunakan pendekatan ini harus bisa memadukan analisisnya yaitu analisis terhadap sastra dan analisis di luar sastra.15Dengan begitu pemahaman terhadap pemikiran pengarang, biografi dan hal-hal yang menyangkut di luar dari karya sastra itu sangat diperlukan guna mendukung karya sastra tanpa menghilangkan esensi dari karya sastra tersebut.

D. Hakikat Novel

Prosa dalam bidang sastra sering dihubungkan dengan kata fiksi. Kita sering mendengar kata prosa fiksi. Kata fiksi berarti khayalan atau tidak berdasarkan kenyataan. Fiksi adalah istilah umum untuk cerita imajinatif, yaitu suatu karya walaupun dekat hubungannya dengan kehidupan orang tertentu atau peristiwa nyata, namun imajinasi pengaranglah yang membentuknya. Fiksi dibedakan dari fakta, sesuatu yang bukan nyata tetapi ciptaan, membohongi, menghibur, atau kesan terhadap realitas dengan maksud untuk mendidik.

Realitanya prosa dalam karya sastra diciptakan dengan bahan gabungan antara kenyataan dan khayalan. Banyak karya prosa yang justru idenya berangkat dari kenyataan. Oleh karena itu, lebih tepat jika digunakan istilah prosa rekaan. Prosa yang dibuat tidak hanya berdasarkan khayalan, tetapi juga berdasarkan kenyataan.16

Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa lama sering berwujud cerita rakyat (folktale). Cerita ini bersifat anonim, tidak diketahui siapa yang mengarangnya dan beredar secara lisan ditengah masyarakat. Termasuk prosa lama adalah cerita tentang binatang, dongeng, legenda, mitos dan sage. Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas novel, novellet dan cerpen.17

Sebutan novel dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Italia novella. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan

15

Ibid.,h. 190. 16

Ibid.,h. 127. 17Ibid


(29)

sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novellet (Inggris:novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.18

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Masalah yang dibahas tidak sekompleks roman. 19Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur instrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.

Jadi hakikat novel adalah sebuah karangan prosa fiksi rekaan yang panjang dan mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku atau lebih lazim dikenal dengan unsur instrinsik yang lengkap mencakup tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.

E. Unsur Instrinsik Novel

Berbicara mengenai anatomi fiksi berarti berbicara tentang struktur fiksi atau unsur-unsur yang membangun fiksi itu. Struktur fiksi itu secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu: 1. Struktur luar (ekstrinsik), dan 2. Struktur dalam (Instrinsik). Struktur luar ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam (instrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar dan gaya bahasa.20

18

Burhan Nugiyanto, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hal. 9.

19

Siswanto, op.cit., h.141. 20


(30)

Struktur luar dan stuktur dalam ini merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional berhubungan satu sama lainnya. Jika kedua unsur tersebut antara satu sama lain tidak berhubungan maka ia tidak dapat dinamakan struktur. Dan tentu saja struktur itu sendiri harus dilihat dari satu titik pandangan tertentu. Struktur luar atau ekstrinsik dianggap sebagai bagian dari struktur yang membangun sebuah fiksi bila struktur tersebut kita anggap sebagai pemberi pengaruh terhadap keseluruhan struktur fiksi itu, terutama bila fiksi atau karya sastra itu dianggap sebagai mimesis atau pencerminan kehidupan atau interpretasi kehidupan. 21

Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur instrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur instrinsik inilah yang membuat sebuah novel tersebut terwujud. Atau sebaliknya jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. 22

1. Penokohan dan perwatakan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu peristiwa, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas; a). Tokoh primer (utama), b). Tokoh sekunder (tokoh bawahan), c). Tokoh komplementer (tambahan).23

Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh dinamis dan tokoh statis. Bila dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh, dapat dibedakan atas tokoh yang mempunyai karakter sederhana dan kompleks.

21

Ibid., h 35-36 22

Nugiyanto, op.cit., h. 23. 23


(31)

Tokoh dinamis adalah tokoh kepribadian nya selalu berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang mempunyai kepribadian tetap. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh yang mempunyai karakter atau tunggal.24

Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis.25Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui;

a. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya

b. Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaiannya

c. Menunjukkan bagaimana perilakunya

d. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri e. Memahami bagaimana jalan pikirannya

f. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya g. Melihat tokoh lain berbincang dengannya

h. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan

i. Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.26

Penokohan dan perwatakan merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita.27 Berdasarkan Kamus Istilah Sastra, tokoh adalah orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita. 28

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: “siapakah tokoh utama novel itu?” atau ada berapa orang

jumlah pelaku novel itu?’ dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter,

24 Ibid. 25

Melani Budianta.,dkk,Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2006),cet.3,h.86. 26

Siswanto, op.cit., h.145. 27

Semi, op.cit., h 36.

28 Zaidan, Abd, Anita K. Rustapa dan Hani’ah.

Kamus Istilah Sastra. (Jakarta: Balai Pustaka. 2007), h 206.


(32)

menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjukkan pada kualitas pribadi seorang tokoh. 29

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.30

2. Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.31

Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandung serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.32

Seperti yang diungkapkan Walter Loban dalam Siswanto, dalam mengungkapkan masalah kehidupan dan kemanusiaan lewat karya prosa, pengarang berusaha memahami keseluruhan masalah itu secara internal dengan jalan mendalami sejumlah masalah itu dalam hubungannya dengan keberadaan suatu individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya. Perolehan nilai itu sendiri umumnya sangat beragam sesuai dengan daya tafsir pembacanya.33

Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan , nilai ini biasa disebut amanat. Amanat adalah

29

Nugiyanto,op. cit., h. 165. 30

Ibid., h 166. 31

Siswanto, op.cit., h 161. 32

Ibid. 161-162 33Ibid


(33)

gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat, di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.34

Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema, menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Tema dengan demikian dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.35

Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Yang menjadi unsur gagasan sentral, yang kita sebut tema tadi adalah topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya tadi.36

3. Alur (plot)

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu, jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.37

Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain,

34 Ibid. 35

Nugiyanto, op.cit., h 70. 36

Semi, op. cit.,h. 42 37


(34)

bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang kesemuanya terikat dalam satu kesatuan waktu.38

Pada umumnya alur cerita rekaan terdiri dari:

a. Alur buka, yaitu situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya.

b. Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang mulai memuncak.

c. Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa. d. Alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampakkan

pemecahan atau penyelesaian.39

Selain jenis alur di atas yang menekankan jenis alur berdasarkan urutan kelompok kejadian, kita dapat pula membagi alur berdasarkan fungsinya, yaitu alur utama dan alur sampingan. Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, sedangkan alur sampingan adalah alur yang merupakan bingkai cerita. 40

Unsur alur yang penting adalah konflik dan klimaks. Konflik dalam fiksi terdiri dari konflik internal, yaitu pertentangan dua keinginan di dalam diri seorang tokoh dan konflik eksternal yaitu konflik antara satu tokoh dengan tokoh lain atau antara tokoh dengan lingkungannya. Klimaks dalam sebuah cerita adalah saat-saat konflik menjadi sangat hebat dan jalan keluar harus ditemukan.41

4. Latar

Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time) dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.42

Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Stanson mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot kedalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.43

38

Semi,op. cit., h. 43-44 39

Ibid., h. 44.

40

Ibid. 41

Ibid., h. 45. 42

Siswanto, op. cit., h.149. 43


(35)

Leo Hamalian dan Frederick R. Karrel menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem tertentu.44

Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan dengan sendirinya, akan tetapi pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.45

a. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu dengan nama yang jelas. Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketetapan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur latar itu sendiri antara lain dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi lain dan dengan tuntutan cerita secara keseluruhan.46

b. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.47

c. Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

44

Siswanto,op. cit., h. 149 45

Ibid., h.151 46

Nugiyanto,op. cit., h. 227-230 47Ibid.


(36)

Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks.48

5. Gaya bahasa

Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan pembicaraan masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata dan kalimat. Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan keindahannya. Terakhir seluk beluk eskspresi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan, maupun konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya.

Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif, sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, dan majas bunyi.

6. Titik pandang/sudut pandang

Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.49 Menurut Aminuddin, titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi; 1).

Narrator omniscient, 2). Narrator observer, 3). Narrator observer omniscient, 4).

Narrator the third person omniscient.50

Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas; 1). Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, 2). Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan 3). Sudut pandang pribadi yaitu hubungan

48

Ibid., h. 233. 49

Siswanto, op. cit., h.151. 50Ibid


(37)

yang dipilih pengarang dalam membawa cerita ; sebagai orang pertama, kedua atau ketiga. Sedangkan sudut pandang pribadi dibagi atas:

a. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh. b. Pengarang menggunakan sudut pandang bawahan.

c. Pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal.

Tiga hal tersebut sama sekali berdiri di luar cerita. Sudut pandang berkaitan dengan unsur-unsur instrinsik prosa rekaan yang lain : tokoh, latar suasana, gaya bahasa, nilai atau amanat.

F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Secara umum pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam bidang sastra bertujuan agar;

1. Peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;

2. Peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.51

Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya satra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Sedangkan kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.52

51

Siswanto, op. cit., h.170-171 52Ibid


(38)

Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 53

Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus yaitu; 54 1. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.; menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia,

2. Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra adalah sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Penciptaan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif,

3. Karya sastra hadir untuk dibaca dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan.

Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif.55 Penciptaan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual sehingga dengan membaca karya sastra akan memproduksi imajinasi siwa. Karya sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Jadi dengan membaca karya sastra siswa tidak hanya belajar sastra tetapi menikmati sastra sekaligus mengasah kecerdasan dan imajinasi siswa. Pengajaran sastra sebenarnya termasuk pengajaran seni. Pengajar setidaknya adalah pecinta sastra yang sekarang adalah mereka yang belajar bahasa dan sastra. Pada dasarnya pengajar lebih banyak dibentuk sebagai guru bahasa daripada guru sastra. Mengajarkan bahasa barangkali dapat dikerjakan seperti orang

53

Dindin Ridwanuddin, M.Pd. Bahasa Indonesia (Ciputat :UIN Press.2015), h.,113 54

Ibid. 55Ibid


(39)

mengajarkan cabang ilmu lain tetapi mengajar kesenian termasuk di dalamnya sastra dan memerlukan persyaratan lain.56

Pembelajaran Bahasa Indonesia ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; Pertama, berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; Kedua,

menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; Ketiga, memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; Keempat, menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; Kelima, menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; Keenam, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia kreativitas guru maupun peserta didik justru lebih menentukan isi dan jalannya proses belajar. Materi yang tersaji lebih bersifat sebagai pemandu, maka tetap diperlukan seorang fasilitator maupun motivator. Oleh karena itu, sangatlah diharapkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Proses pembelajaran tetap berada pada aktivitas peserta didik sebagai subjek.

Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun demikian, pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi afektif (memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya) yang memiliki tujuan akhir menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual maupun sosial.

Sastra memang tidak bisa dikelompokan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, menyimak, maupun berbicara. Dalam

56


(40)

prakteknya, pembelajaran sastra berupa pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra.

G. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni Penelitian berjudul “Representasi Sejarah Sosial Politik Indonesia dalam Novel-Novel Karya Ayu Utami” yang ditulis oleh Wiyatmi, dari Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menginterpretasikan peristiwa sejarah sosial politik yang ditemukan dalam novel-novel karya Ayu Utami dan wujud representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-novel karya Ayu Utami. Metode yang digunakan adalah metode New Historicism. New Historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt tahun 1982 untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya. Karya sastra dalam perspektif New Historicism tidak dapat dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena ikut mengambil bagian di dalamnya. Penelitian penulis berbeda dengan penelitian ini. Perbedaannya terletak dalam metode yang digunakan dalam menganalisis novel Saman. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan New Historism. New Historicism menawarkan pembaharuan dalam melihat hubungan sastra dengan sejarah. Sastra dalam hal ini tidak hanya dilihat sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya masyarakatnya, tetapi sastra juga ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya. Penelitian penulis menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis yang berarti peniruan. Dalam sastra, pendekatan mimesis melihat karya sastra sebagai suatu peniruan, imitasi, refleksi, atau gambaran tentang alam dan kehidupan manusia. Pengarang harus menciptakan kembali pengalaman manusia dengan menggunakan kata-kata. Sastra dikaitkan dengan realita atau kenyataan, budaya, sosial, politik, bahkan


(41)

agama. Plato dan Aristoteles menggunakan istilah mimesis sebagai imitasi, representasi, peneladanan, peniruan, dan pembayangan.

Penelitian selanjutnya yang relevan dengan skripsi ini adalah penelitian yang

berjudul “Sastra dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Saman karya Ayu Utami” ditulis oleh Sugihastuti dalam jurnal Humaniora No.10 Januari - April 1999. Penelitian ini hanya terbatas pada rincian pengenalan Saman sebagai sastra dan

Saman dalam komunikasi sastra. Soal “perubahan sosial” seperti tertera dalam

judul tulisan adalah soal ideologi yang direproduksi pengarang. Penelitian ini menjabarkan tentang pengenalan Saman sebagai sastra. Pengertian sastra adalah yaitu karya yang bersifat imajinatif, yaitu artinya secara harfiah dapat dianggap benar. Hal ini menimbulkan perdebatan karena karya sastra ditulis tidak hanya berdasarkan fiksi dan imajinasi tetap berdasarkan kenyataan yang dikemas ke dalam novel yang merupakan karya fiksi. Sehingga dapat di simpulkan bahwa

Saman adalah karya sastra. Selanjutnya penelitian ini berbicara mengenai Saman

dalam model komunikasi sastra. Untuk memaknai Saman dalam kategori ideologi sosial, teori resepsi digunakan dengan megingat bahwa ada berbagai model alternatif dan perdebatan-perdebatan tentangnya. Saman adalah pola subjektivitas. Model subjektivitas tersebut telah didefinisikan kembali atau di evaluasi kembali

olehnya ke dalam model kolektif. Terjadi “perubahan ideologi” sosial terutama

seperti tercermin dari pola subjektivitas wanita dan laki-laki. Dari penjelasan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian

penulis. Penelitian ini hanya membicarakan “perubahan ideologi” dalam

subjektivitas komunikasi wanita dan laki-laki serta dasar pemikiran Ayu Utami dalam menulis novel Saman. Dalam penelitian penulis tidak hanya membahas pemikiran dan ideologi Ayu Utami tetapi juga menjabarkan fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami.

Penelitian-penelitian lain yang terkait dengan novel Saman yaitu skripsi yang

berjudul “Perilaku Seksual dalam Novel Saman karya Ayu Utami :Tinjauan

Psikologi Sastra” oleh Oktivita pada tahun 2009, penelitian yang berjudul “Sastra dari Perspektif Kajian Budaya : Analisis Novel Saman dan Larung oleh


(42)

Ikhwanuddin Nasutiondan penelitian yang berjudul “Analisis Novel Saman karya Ayu Utami: Sebuah kajian Semiotika Roland Barthes oleh Nurul Nikmah.

Jika melihat penelitian “Representasi Sejarah Sosial Politik Indonesia dalam Novel-Novel Karya Ayu Utami” yang ditulis oleh Wiyatmi tentu sangat berbeda dengan penelitian penulis. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menginterpretasikan peristiwa sejarah sosial politik yang ditemukan dalam novel-novel karya Ayu Utami dan wujud representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-novel karya Ayu Utami. Ia meneliti dua novel yaitu Larung dan

Saman menggunakan pendekatan New Historism. Berbeda dengan penelitian ini hanya meneliti novel Saman dengan pendekatan mimetik untuk mencari fakta di dalam novel tersebut. Penelitian yang relevan selanjutnya yaitu “Sastra dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Saman karya Ayu Utami” ditulis oleh Sugihastuti

dalam jurnal Humaniora No.10 Januari - April 1999. Penelitian ini hanya terbatas pada rincian pengenalan Saman sebagai sastra dan Saman dalam komunikasi

sastra. Penelitian ini membicarakan “perubahan ideologi” dalam subjektivitas

komunikasi wanita dan laki-laki serta dasar pemikiran Ayu Utami dalam menulis novel Saman. Tentu berbeda sekali dengan penelitian penulis yang tidak hanya melihat Saman sebagai sastra, tetapi Saman sebagai catatan fakta sejarah pada masa Orde Baru.

Berdasarkan penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dari penelitian lainnya dan belum pernah ada yang menganalisis fakta sejarah dalam novel Saman. Penelitian ini menganalisis fakta sejarah dalam novel

Saman karya Ayu Utami dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.


(43)

33 BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENGARANG

A. Biografi Ayu Utami

Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.1

Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu menggemari cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain itu, ia menyukai musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah

Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.2

Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan pemasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis.

Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.3

Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia

1Hendrawicaksono,”AyuUtami”2015,(http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/lamanbahas

a/node/73). 2

Ibid. 3Ibid


(44)

memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal

Kalam. Karyanya yang lain, Larung yang merupakan dwilogi novelnya, Saman

dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.4

Penghargaan yang diraih oleh Ayu Utami yaitu Pemenang Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 untuk novelnya

Saman, Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag tahun 2000, Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu.5

Karya - karya Ayu Utami diantaranya yaitu: Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008) dan Manjali dan Cakrabirawa (2010). Kumpulan Esai Si Parasit Lajang (2003). Biografi di antaranya Cerita Cinta Enrico (2012) dan

Soegija: 100% Indonesia (2012).6 B. Pemikiran Ayu Utami

Ayu Utami dikenal sebagai novelis berbakat dan fenomenal dalam dunia sastra Indonesia. Novel Saman yang muncul di tengah-tengah krisis moneter sangat mengejutkan publik, bahkan menuai berbagai kontroversi. Melalui novel

Saman yang sudah mencapai 34 kali cetak, Ayu menghapus mitos bahwa karya sastra tidak akan laku. Selain itu, Ayu juga dapat dikatakan sebagai motivator bagi peminat menulis dari kalangan perempuan. Melalui karya-karnyanya Ayu menjadi inspirator yang berani.7

Sebagai penulis, keberanian Ayu mengungkap sisi erotis perempuan dalam novel Saman dan Larung, sangat mengejutkan masyarakat Indonesia yang terikat norma-norma ketimuran. Esainya yang berjudul Parasit Lajang, juga banyak dibicarakan di kalangan penikmat sastra. Walau demikian, karya Ayu Utami jauh

4 Ibid. 5

Ibid.

6 Ibid.

7 “Mendobrak Mitos dan Norma Ketimuran”,

Harian Media Indonesia, Jakarta, 1 Agustus 2004,h. 24


(45)

dari kesan pornografi murahan, akan tetapi sebaliknya Ayu berusaha jujur menceritakan gaya hidup kelas menengah ke atas di perkotaan pada masa itu. Tidak hanya sampai di situ, Ayu juga menyisipkan unsur magis, religius, dan politik ke dalam novelnya.8

Karya lain Ayu Utami yang pernah dipentaskan adalah Laila Tidak Mampir di New York (2000). Dalam karyanya, Ayu seolah membebaskan diri dari konsep kesatuan cerita, urutan waktu, maupun hubungan kausal antar peristiwa. Ditangan Ayu, bahasa menjadi alat ekspresi yang lentur dan indah, terutama dalam mendeskripsikan luapan emosi dan logika.

Ide Ayu Utami juga bertolak belakang terhadap norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat Asia, seperti halnya Indonesia. Ayu dengan tegas mengakui bahwa dirinya anti dengan lembaga pernikahan, dalam karyanya Parasit Lajang, Ayu menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang penting bagi Ayu, menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun orang selalu bilang bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu bisa jadi satu-satunya pilihan. Karena kalau tidak menikah, perempuan akan diejek sebagai perawan tua dan sebagainya, yang pada akhirnya membuat si perempuan jadi berada dibawah tekanan.9

Perubahan sosial budaya masyarakat akan berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dalam merespon kehidupan secara kritis. Ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat akibat ideologi, kekuatan, hegemoni, serta kontruksi budaya seperti dominasi, subordinasi, budaya patriarki merupakan bagian penting bagi pengarang dalam mengeksplorasi gagasannya melalui karya sastra.

Ayu Utami memiliki cara tersendiri dalam merespons persoalan-persoalan sosial terkait dengan beroperasinya gender dalam karyanya. Representasi perilaku dan orientasi seksual yang demikian beragam dan gugatan bahwa stereotip perempuan yang pasif menggambarkan bahwa dalam diri perempuan masih

8 Ibid.


(46)

dibebani adanya tata nilai dan kontruksi sosial , misalnya perempuan harus perawan dan dia harus menjaga dirinya baik-baik.

Seks adalah suatu risiko dalam kesustraan Indonesia modern. Ada semacam bersikap berhati-hati, ada semacam pretensi yang dipersiapkan baik-baik untuk tidak menyinggung seks dalam kehidupan percintaan, perkawinan dan kehidupan ibu-bapak. Keadaan ini memang menarik bila kita bandingkan sebagaimana Aveling membandingkannya dengan apa yang terdapat dalam kesusatraan modern lainnya, dan terutama dengan pelbagai hasil sastra lama dalam sejarah kita. Tapi mungkin soalnya ialah karena hasil sastra modern sedikit-banyaknya cenderung untuk merupakan sebuah pose.10

Salah satu aliran dalam pemikiran feminis adalah feminis radikal. Asumsi dasar pemikirannya, mereka menganggap penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum lelaki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap perempuan. Bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi.

Atas dasar asumsinya itu feminisme radikal mempunyai sumbangan besar yaitu memberi peluang politik bagi perempuan. Hal lain bahwa revolusi feminisme radikal adalah perjuangan mengatasi laki-laki, karena itu mengubah gaya hidup merupakan ciri aliran ini. Cara pemikiran feminis radikal dalam menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing. Untuk menghilangkan penguasaan oleh laki-laki, perempuan dan

10


(47)

laki-laki harus menghapuskan gender terutama status, peran, dan temperamen seksual sebagaimana hal itu dibangun dibawah patriarki.

Saman merupakan salah satu novel pemikiran Ayu Utami yang berpaham feminisme radikal dan berhasil menyuarakan gabungan isu tentang operasi (ideologis) terhadap perempuan, tubuh, seksualitas, dalam dampak kolonialisme. Shakuntala merupakan sosok tempat isu itu dieksperimentasikan. Shakuntala adalah sosok yang merdeka yang membebaskan dirinya sesuka yang dia mau terutama dalam hubungannya dengan laki-laki. Dia tidak terikat oleh perjanjian yang mengikat dengan laki-laki. Kita bisa bisa melacak pilihan kebebasan itu di masa kecilnya.

Perihal yang menonjol dalam novel Saman adalah kuatnya basis ideologi feminisme. Basis penolakan terhadap cara pandang patriarki terasa sangat menonjol dan mencapai tahapan pemikiran yang mendasar. Wacana yang ditawarkan bukan hanya menyangkut kesadaran eksistensial, lebih dari itu dapat dinyatakan berupa gugatan pemeranan tubuh perempuan dalam sistem sosial yang mempengaruhinya. Seperti yang dikatakan Ignas Kleden :

Cara Ayu Utami menulis, kepaduan bahasa, konsep berpikir, berani merambah ke dunia seks merupakan suatu keberanian bagi seorang perempuan. Segi paling unggul dari Novel Ayu Utami dalam bahasa. Potensi bahasa Indonesia dikerahkan secara optimal, baik deskriptif maupun metaforis. Sugesti yang ditimbukannya adalah :kompetensi bahasa Indonesia rupanya segitu tinggi, tetapi tampilan pemakaiannya sering terlalu rendah. Novel Saman menyelamatkan dan membuktikan kompetensi tersebut. Pada beberapa tempat yang merupakan puncak pencapaiannnya, kata-kata bagaikan bercahaya seperti kristal.11

Berdasarkan pemaparan di atas dapat kita simpulkan pemikiran Ayu Utami yang menganut feminisme radikal dan sangat bertentangan terhadap norma timur. Di dalam novel Saman banyak sekali terdapat hal-hal yang menentang budaya, agama dan adat khususnya di Indonesia. Sikap penulis terhadap pemikiran Ayu Utami sangat berseberangan dan tidak menyetujui hal ini.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT PENULIS

DEVI RAMADHANI, Lahir di Medan, 25 Februari 1993. Menuntaskan pendidikan dasar di SD Negeri 112286 Membang Muda Kualuh Hulu Labuhan Batu Utara. Kemudian menuntut ilmu di SMP Negeri 1 Kualuh Selatan kabupaten Labuhan batu Utara, melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di SMA Muhammadiyah 09 Kualuh Hulu Labuhan Batu Utara. Tahun 2011 meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengamb il Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Anak dari Bapak Suyanto dan Ibu Saminah ini sejak kecil tinggal bersama orang tuanya di Gunting Saga kecamatan Kualuh Selatan kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara dan kemudian memilih kuliah di Jakarta. Dia anak terakhir dari empat bersaudara kandung, abang-abangnya yaitu Azla Hendrovi, Dedi Irwanto dan Andi Pranata.

Selain Kuliah, Travelling dan kegiatan organisasi di bidang public speaking merupakan hal yang dia sukai. Organisasi public speaking yang dia ikuti yaitu High Voltage Public Speaking sebagai Trainer, Cerdas Mulia Institute dan Public Speaking Coaching. Pernah menjadi MC di beberapa acara salah satunya yaitu MC Seminar Internasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan MC acara penghargaan Festival Teater Indonesia di Purwakarta. Pernah mengajar di Sekolah Lentera Internasional program internship UN dan mengajar di Khalifa IMS Primary Bintaro.