B. Kondisi Sosial Masyarakat Betawi Keturunan Arab dalam
Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib
Novel The Da Peci Code berlatarkan wilayah Condet, tepatnya di kelurahan Balekambang. Salah satu alasan Ben Sohib memilih daerah Condet
sebagai latar dalam novel The Da Peci Code, karena di wilayah tersebut banyak terdapat masyarakat Betawi keturunan Arab. Selain alasan tersebut,
menurutnya di wilayah tersebut terdapat tradisi dan budaya Islam yang sangat kuat. Kesimpulan ini merupakan hasil pengamatannya pada daerah tersebut,
ketika hari besar Islam seperti maulid diadakan masyarakatnya berbondong- bondong merayakannya dengan antusias.
42
Latar sosial masyarakat Condet yang begitu taat berpegang teguh pada Islam menjadi informasi pertama yang ada pada novel ini. Pada permulaan
cerita pengarang menceritakan wilayah Condet yang penuh dengan ratusan masjid. Hal ini menimbulkan pencitraan bagi pembaca bahwa di wilayah
Condet mayoritas penduduknya adalah muslim. “Gemuruh suara azan Subuh dari ratusan masjid besar maupun kecil membelah langit Condet...”
43
Kondisi sosial lainnya yang menjadi informasi penting dalam novel ini adalah profesi mereka sebagai pedagang. Hal ini dikarenakan dalam novel
tersebut tidak disebutkan profesi selain berdagang. Dalam novel ini, ayah Rosid yang berperan sebagai tokoh utama tambahan berprofesi sebagai
pedagang yang cukup sukses. Kemudian ada Karjo yang berpofesi sebagai pedagang bakso langganan Rosid.
Dalam kenyataannya pun setali tiga uang, wilayah Condet ternyata didominasi oleh pemeluk agama Islam. Sesuai dengan data yang dilaporkan
dari kelurahan setempat bahwa sekitar 97,87 penduduk Condet adalah muslim.
44
Pengaruh agama Islam sangat kuat di wilayah Condet, hal ini terlihat dari banyaknya madrasah, majelis taklim, dan tradisi kesenian kasidah
42
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013.
43
Sohib, Op. Cit., h. 11.
44
Laporan Tahunan Kelurahan Condet Balekambang, Tentang Penduduk dan Keadaan Wilayah, h. 5.
serta marawis. Sedangkan mengenai profesi berdagang akan dijabarkan lebih lanjut pada subbab berikutnya.
Condet adalah kawasan yang ditetapkan sebagai cagar budaya Betawi serta cagar buah-buahan khas Betawi. Dipilihnya Condet sebagai cagar budaya
Betawi karena dianggap masih memiliki keaslian-keaslian, baik yang menyangkut seni budaya, struktur sosial, dan aspek-aspek lainnya yang tidak
ditemui di wilayah lain di Jakarta. Sebagai cagar budaya Betawi, Condet menampilkan sebuah realitas sosial masyarakat Betawi yang dituangkan
kedalam novel The Da Peci Code oleh Ben Sohib. Di wilayah Condet banyak terdapat masyarakat keturunan Arab yang
sudah sejak lama tinggal di Jakarta. Banyak orang berpikiran bahwa masyarakat keturunan Arab di Indonesia berasal dari Arab Saudi. Padahal
mereka berasal dari Hadramaut Yaman dan datang ke Indonesia dengan tujuan utama untuk berdagang. Lama kelamaan selain berdagang mereka juga
mengemban misi dakwah Islam. Akhirnya banyak di antara mereka yang menetap di Jakarta—dahulu bernama Batavia—dan menikah dengan wanita
pribumi. Mereka menganut sistem patrialkal untuk mempertahankan garis keturunannya, sehingga sangat jarang ditemukan pernikahan antara wanita
berdarah Arab dengan pria pribumi. Meskipun penduduk asli Condet Balekambang adalah pemeluk agama
Islam, tetapi mereka bukan termasuk pemeluk agama yang fanatik. Sikap penduduk asli tetap terbuka dan toleransinya cukup tinggi dengan pemeluk
agama lainnya. Orang Betawi Condet tidak mempermasalahkan asal usul pendatang. Selama kaum pendatang tidak melanggar larangan Mim Lima
yaitu semua perbuatan yang didahului huruf mim atau huruf latin m, yakni minum mabuk-mabukan, madat menghisap ganja dan sebagainya, maling,
madon berzina atau main perempuan dan maen berjudi maka mereka akan diterima dengan baik.
45
Hal inilah yang menyebabkan proses akulturasi antara
45
Wati Nilamsari, Pola Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi Condet, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009, h. 49.
masyarakat Betawi dengan masyarakat keturunan Arab berjalan dengan lancar.
Wati Nilamsari mengutip pendapat Bachtiar dalam bukunya, bahwa suatu masyarakat yang mewujudkan lebih dari satu sistem budaya, apalagi jika
masing-masing sistem budaya merupakan kebudayaan yang kaya dapat mengakibatkan pembuahan silang yang menghasilkan terciptanya bentuk-
bentuk budaya baru.
46
Terbentuknya budaya baru tersebut adalah produk dari asimilasi. Namun dalam kasus masyarakat Condet lebih tepat dikatakan
bahwa terjadi percampuran budaya antara masyarakat Betawi dengan masyarakat keturunan Arab. Sehingga kebudayaan Arab masih dapat dilihat
jejaknya dalam dominasi kebudayaan Betawi. Proses ini disebut akulturasi yang terjadi karena adanya dua kebudayaan pada suatu masyarakat ataupun
bangsa tertentu yang saling berhubungan. Beberapa bentuk budaya ini ditampilkan Ben Sohib dalam novelnya, The Da Peci Code misalnya dalam
wujud penggunaan bahasa sehari-hari, kesenian daerah, maupun makanan khas masyarakatnya.
Kebudayaan-kebudayaan tersebut adalah cerminan kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada kehidupan aslinya karena menurut
teori mimetik karya sastra adalah imitasi dari realitas. Selain kebudayaan tersebut peneliti juga mencantumkan gambaran kebudayaan masyarakat
Betawi Condet yang merupakan latar dari novel The Da Peci Code. Berbagai kebudayaan ini akan peneliti golongkan ke dalam tiga bagian yaitu
keagamaan, ekonomi, dan budaya. Berikut ini adalah uraiannya secara terperinci.
1. Keagamaan
Beberapa bentuk kondisi sosial-keagamaan yang terdapat dalam novel The Da Peci Code karya Ben Sohib yaitu:
a. Penduduknya yang berpegang teguh pada Islam dan sering menggalang majlis taklim serta mendirikan kelompok kasidah.
46
Ibid., h. 47.
Kawasan Condet adalah daerah yang sangat kental bernuansa Islam. Hal ini dijelaskan oleh Alwi Shahab dalam bukunya Betawi:
Queen of the East. Menurutnya, salah satu tradisi yang kelihatannya paling alot menghadapi serbuan modernisasi adalah kehidupan
keagaaman mereka yang terkenal kental. Di sini tak ada tempat ibadah lain selain untuk agama Islam. Menurut Zakaria, kelurahannya yang
berpenduduk 29.975 jiwa memiliki 26 mushola, empat masjid jami’, dan 34 majelis taklim.
47
“Bu Haji Jazuli adalah seorang yang aktif di lingkungan Cililitan Kecil. Ia menggalang majlis taklim dan
mendirikan kelompok kasidah yang beranggotakan ibu-ibu warga Cililitan Kecil dan sekitarnya. Setiap sabtu malam mereka berlatih di
rumah ketua RW 08.”
48
Penduduk Betawi Condet Balekambang adalah pemeluk agama Islam yang taat, hal ini mempengaruhi sikap mereka dalam
berkesenian. Orang Betawi Condet menyukai jenis-jenis kesenian yang bernafaskan Islam seperti Rebana Qasidah, Rebana Ketimpring,
Samrah, dan sebagainya. Namun saat ini jenis-jenis kesenian tersebut sudah hampir hilang, karena generasi mudanya enggan untuk belajar
yang masih mempertahankan budaya kesenian tersebut adalah orang- orang yang sudah lanjut usia.
49
b. Terdapat mubaligh yang biasa dipanggil ustaz. Dalam novel ini terdapat beberapa orang ustaz yang digambarkan
oleh Ben Sohib sebagai ulama yang sangat disegani oleh masyarakat dan para pengikutnya. Mereka memiliki kewibawaan dan ilmu yang
tinggi bahkan kemampuan persuasif untuk mengubah karakter buruk seseorang. Ustaz tersebut diantaranya adalah ustaz Holid dan ustaz
Abu Hanif.
47
Alwi Shahab, Betawi Queen of the East, Jakarta: Republika, 2002, h. 68.
48
Sohib, Op. Cit., h. 263.
49
Nilamsari, Op. Cit., h. 47.
Ustadz Holid merupakan orang yang tepat untuk menjinakkan Rosid. Ia masih muda, ilmunya tinggi, dan wibawanya besar...
Orang-orang berebut untuk bisa mencium tangannya.
50
Orang yang biasa dipanggil Ustadz Abu Hanif itu dikenal sebagai orang yang berperangai lembut dan santun. Ia juga dikenal sangat
bijaksana... Ustadz Abu Hanif memiliki kemampuan persuasif untuk mencerahkan jiwa seseorang.
51
Ustaz tersebut sangat disegani oleh masyarakat sekitar dan biasanya
memimpin sebuah
majelis taklim.
Alwi Shahab
menerangkan, di Condet ini tinggal sejumlah mubaligh yang bukan saja disegani penduduk setempat, tapi juga masyarakat ibukota.
Termasuk Habib Umar Alatas, ulama besar yang wafat tahun 2000 dalam usia lebih satu abad.
52
Strata sosial masyarakat etnik Betawi Condet menempatkan kaum ulama guru mengaji, para haji, dan orang yang dianggap keturunan
Nabi yang disebut Sayid atau Habib pada kelompok elite yang paling dihormati masyarakat. Demikian juga dengan para haji. Mereka
menerima penghormatan yang besar, baik dalam perlakuan berkaitan dengan upacara keagamaan maupun dalam setiap acara formal. Gelar
haji dapat mempengaruhi prestise dan status sosial seseorang dan keluarganya dalam masyarakat.
53
2. Ekonomi
Satu-satunya perwujudan kondisi ekonomi masyarakat Condet dalam novel ini adalah mata pencaharian mereka yang umumnya berdagang.
Ayah Rosid yaitu Mansur dalam novel ini adalah seorang pedagang. Diceritakan, ia berdagang pakaian muslim di Pusat Grosir Cililitan dan
cukup sukses dengan usahanya. Entah disengaja atau tidak pemilihan profesi pedagang ini oleh Ben Sohib seolah menunjukkan bahwa itulah
mata pencaharian utama masyarakat Condet. “Sekitar 2 km dari situ,
50
Sohib, Op. Cit., h. 175.
51
Sohib, Op. Cit., h. 246.
52
Shahab, Op. Cit., h. 68.
53
Nilamsari, Op. Cit., h. 78.
Mansur al-Gibran bangkit dari kursi untuk melayani seorang calon pembeli. Hari ini toko pakaian yang ia kelola tak terlalu ramai. Biasanya,
menjelang tengah hari seperti ini, sudah ada paling tidak sepuluh orang berbelanja di toko yang diberinya nama Toko Pakaian Busana Insan itu.”
54
Sebenarnya pada awalnya profesi masyarakat Condet adalah bertani. Mereka adalah petani yang mengandalkan hidup dari hasil kebun tetapi
karena hasil kebun yang dimiliki tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka petani rata-rata memiliki pekerjaan sampingan sebagai
pedagang. Pekerjaan berdagang justru dianggap lebih baik karena dapat mendatangkan uang setiap harinya, berbeda dengan hanya yang
memfokuskan pada pekerjaan pertanian yang baru mendapatkan uang pada saat panen berlangsung.
Hal lain yang menyebabkan banyak petani di Condet menekuni pekerjaan sebagai pedagang karena rata-rata mereka adalah petani kecil
yang memiliki lahan yang sempit, sehingga hasil kebun yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari.
55
Pedagang adalah profesi yang paling banyak ditekuni masyarakat di Jazirah Arab, mereka datang ke Nusantara pun dengan tujuan utama untuk
berdagang meski ada juga yang hendak menyebarkan dakwah Islam. Tidak heran jika profesi tersebut masih mendominasi di kalangan masyrakat
Betawi keturunan Arab, terutama di daerah Condet. Hal ini sesuai dengan laporan pihak kelurahan setempat bahwa sebanyak 2.347 penduduk
berprofesi sebagai pedagang dan menempati urutan pertama. Setelahnya barulah profesi buruh dan jasa lainnya.
3. Budaya
Kondisi kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel ini meliputi beragam hal mulai dari makanan, hiasan rumah, penggunaan
sapaan, dan lain-lain yang akan dijabarkan seperti di bawah ini.
54
Sohib, Op. Cit., h. 37.
55
Ibid., h. 74.
a. Makanan khas masyarakat Betawi keturunan Arab: nasi tomat dengan daging kambing goreng atau nasi uduk dan ayam goreng
lengkap dengan sambal kacangnya. Inilah bentuk akulturasi budaya antara masyarakat Betawi dengan
masyarakat keturunan Arab. Nasi tomat dan daging kambing goreng adalah makanan khas masyarakat Arab, sedangkan seperti kita ketahui
nasi uduk adalah makanan khas masyarakat Betawi. Kedua bentuk budaya itu berbaur dan menjadi ciri khas masyarakat Betawi
keturunan Arab. Ben Sohib menyatakan inilah budaya-budaya yang nampak dalam kehidupan masyarakat Betawi keturunan Arab di
daerah Condet.
56
“Hari ini sang ibu membuat nasi tomat dengan daging kambing goreng; menu favorit Rosid.”
57
“Menu hari ini nasi uduk dan ayam goreng lengkap dengan sambal kacangnya. Makanan
itu termasuk ke dalam menu favorit Rosid.”
58
b. Hiasan rumah yang berupa permadani bermotif suasana pedesaan di Timur Tengah.
Hiasan rumah semacam ini terdapat di rumah Rosid yang notabene merupakan keturunan Arab. Selain hiasan rumah, perabot rumah
tangga yang digunakan juga masih berhubungan dengan kebudayaan masyarakat Arab, misalnya teko yang bergambar pohon kurma dan
diapit dua bilah pedang. “Rosid duduk di ruang tengah, di atas permadani bermotif suasana pedesaan di Timur Tengah; bangunan
masjid dan rumah-rumah dari tanah berwarna coklat kekuningan... Di atas permadani itulah, setiap orang di rumah ini biasa menunaikan
salat.”
59
56
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013.
57
Sohib, Op. Cit., h. 83.
58
Ibid., h. 131.
59
Ibid., h. 82.
c. Penggunaan bahasa Betawi-Arab sebagai bahasa sehari-hari. Masyarakat dalam novel ini menggunakan bahasa Betawi-Arab
sebagai bahasa sehari-hari. Peristiwa ini dalam sosiolinguistik disebut campur kode. Campur kode terjadi terjadi apabila seorang penutur
bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Ciri yang
menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal.
60
Berikut ini contoh kutipan yang menandakan terjadinya campur kode. Kalimat yang bergaris bawah berasal dari kosakata
bahasa Arab. “Kalau anaknye syaiton, abahnya siape?”
61
“Ajib, bagus Tahu alamat atau nomor teleponnya?” tanya Rosid gembira.
62
Pada kenyataannya bahasa yang digunakan masyarakat Betawi asli adalah dialek Melayu Jakarta. Dialek itu tumbuh dari bahasa Melayu
yang digunakan sebagai lingua franca antar penduduk yang mempunyai latar belakang etnis dan bahasa yang beraneka ragam.
Oleh karena itu, struktur dan perbendaharaan kata dialek Melayu Jakarta banyak mengandung unsur-unsur bahasa kelompok etnis
pemakainya.
63
Dalam kasus campur kode pada masyarakat Betawi keturunan Arab dapat disimpulkan bahwa dialek Melayu Jakarta telah
berasimilasi dengan unsur-unsur bahasa Arab karena etnis kelompok pemakainya adalah masyarakat keturunan Arab.
d. Penggunaan bahasa sindiran Dalam novel The Da Peci Code terdapat bentuk bahasa sindiran
yang digunakan masyrakat pada novel tersebut. Sindiran tersebut telah disinggung dalam pembahasan mengenai gaya bahasa pada novel ini.
60
Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, Bandung: Refika Aditama, 2007, h. 87.
61
Sohib, Op. Cit., h. 5.
62
Sohib, Op. Cit., h. 125.
63
Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, Jakarta: APPM, 2006, h. 120.
“Jangan ngajarin bebek berenang, anak mude kagak tau ape-ape”
64
“Ane liat-liat, ente kayak burung salah kebon.”
65
Bahasa sindiran adalah salah satu bentuk bahasa rakyat Betawi. Bahasa sindiran merupakan bentuk pelahiran kolektif yang stereotip
dan telah dikenal makna dan maksudnya oleh masyarakat Betawi pada umumnya. Sindiran tersebut berfungsi sebagai mekanisme untuk
mengoreksi perbuatan dan tingkah laku seseorang yang dianggap menyimpang
dari norma-norma
yang berlaku
di dalam
masyarakatnya. Justru karena bentuknya stereotip dan berulangkali digunakan dalam percakapan sehari-hari, maka sindiran itu mudah
ditangkap dan disadari oleh orang yang disinggung.
66
e. Penggunaan sapaan. Masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel ini menggunakan
kata sapaan yang khas misalnya, Abah, Umi, dan Abang. Seperti dijelaskan Anwarudin Harapan, masyarakat Jakarta sejak zaman
sebelumnya ketika masih bernama Sunda Kelapa, telah membangun karakteristik etnis tersendiri. Di bidang kekerabatan istilah-istilah
yang dipergunakan dalam tata pergaulan sehari-hari adalah sebagai berikut: Gue, Lu, Nyak, Babe, Abah, Engkong, Mpok, Abang, dan
lain-lain.
67
“Bang Nuh adalah seorang bekas perampok yang sangat ditakuti.”
68
f. Sifat seorang istri yang begitu penurut pada suami. Dalam novel ini digambarkan bentuk kepatuhan seorang istri dari
golongan masyarakat Betawi melalui sosok Umi ibu Rosid. Ia adalah seorang istri yang menerima apa adanya karakter dan kondisi
64
Sohib, Op. Cit., h. 85
65
Sohib, Op. Cit., h. 91.
66
Harapan, Op. Cit., h. 122.
67
Harapan, Op. Cit., h. 52.
68
Sohib, Op. Cit., h. 265.
suaminya. Ketika suaminya memberi perintah misalnya membuatkan kopi ia melaksanakannya meski permintaan tersebut di pagi buta
sebelum Subuh. Sosok suami yang kasar dan keras kepala seperti Mansur tidak pernah ditentangnya, karena ia paham betul suaminya
pantang untuk disalahkan. “Mata umi yang sayu seakan-akan menceritakan kisah tentang kepasrahan yang panjang. Mungkin hidup
sekian lama bersama abah telah mengajari umi untuk selalu bersikap menerima apa adanya.”
69
g. Berpantun. Masyarakat Betawi sangat senang berpantun dalam setiap bentuk
komunikasi mereka. Pantun adalah ciri khas masyarakat betawi dan tidak dimiliki daerah lain di Indonesia. Pantun menjadi warisan
budaya Betawi yang hingga kini masih terjaga kelestariannya karena sering digunakan ketika ada pesta-pesta pernikahan dan berbagai
acara-acara komedi di televisi. Ben Sohib menggunakan gaya bahasa pantun untuk memperkuat latar sosial Betawi dalam novelnya. “Pohon
kenari daunnye teduh, rambut kribo kagak dicukur. Gue sendiri elu sepuluh, gue kagak mundur sampai lu kabur” Bang Nuh berpantun
asal-asalan...”
70
69
Sohib, Op. Cit., h. 84.
70
Ibid., h. 247.
C. Perwujudan Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code