karyanya yang berisi kecaman terhadap fenomena sosial yang menyimpang. Astrid Susanto berpendapat bahwa kritik sosial adalah suatu aktifitas yang
berhubungan dengan penilaian juggling, perbandingan comparing, dan pengungkapan revealing mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang
terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman.
36
Kritik sosial memiliki fungsi sebagai kontrol terhadap jalannya suatu proses bermasyarakat.
Adanya pengaruh lingkungan masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang akan memunculkan kritik sosial terhadap ketimpangan yang terjadi
dalam masyarakat. Sastra yang mengandung kritik sosial akan lahir di masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial
masyarakat. Kritik sosial yang membangun tidak hanya berisi kecaman, celaan, atau tanggapan terhadap situasi tertentu, tetapi juga berisi inovasi
sosial sehingga tercapai sebuah harmonisasi sosial. Kritik dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
Media yang tersedia untuk menyampaikan kritik juga cukup beragam. Karya sastra merupakan salah satu media untuk menyampaikan kritik sosial secara
tidak langsung. Kritik sosial banyak dijumpai dalam karya sastra sebagai bentuk gambaran realita sosial di masyarakat.
37
F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Secara luas dan tradisional pengajaran sastra memang mencakup sejumlah aspek, mulai sari teori sastra, sejarah sastra, sastra perbandingan,
apresiasi sastra, sampai pada akhirnya kritik sastra. Tujuan pengajaran sastra, baik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi adalah untuk membentuk
anak didik dan pemuda-pemuda kita menjadi pembaca-pembaca yang dapat menemukan kenikmatan dan nilai-nilai dalam cipta sastra, dan tetap menjadi
36
Anonim, “Kritik
Sosial,” artikel
diakses pada
8 Maret
2013 dari
http:sebuahcatatansastra.blogspot.com200902kritik-sosial.html
37
Zainul Fuadi, “Kritik Sosial dalam Novel Wasripin Satinah Karya Kuntowijoyo,” Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Malang, 2009, h. 10.
pembaca-pembaca yang setia, bangga, serta bertanggung jawab terhadap cipta sastra kita Indonesia sepanjang hayatnya.
38
Tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam kurikulum 2004 yaitu: 1 agar peserta didik mampu menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa; 2 peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mmendengarkan
meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi karya sastra. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan
mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan
membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi
kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam
sastra yang sudah dibaca. Selain tujuan di atas dapat juga dikembangkan pendidikan melalui
sastra. Melalui sastra kita bisa mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, estetika, logika, dan
kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan menyeluruh dan kemitraan.
39
Maman S. Mahayana juga menyoroti proses pengajaran sastra di sekolah yang cenderung hanya sebatas memberi penjelasan tentang
pengertian alur, latar, tokoh, tema, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya bahasa. Padahal seperti kita ketahui bahwa tujuan pembelajaran sastra di
38
Mukhsin Ahmadi, Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra, Malang: YA3, 1990, h. 85.
39
Siswanto, Op. Cit., h. 171.
sekolah sesuai dengan kurikulum tahun 2004 adalah agar siswa mampu mengapresiasi dan membanggakan khazanah sastra Indonesia.
Menurutnya, itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia khasnya pelajaran sastra Indonesia, ketika siswa terus-menerus
dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah dilihat dan disentuh. Suatu hal yang utama dalam pembelajaran sastra di
semua tingkatan pendidikan dasar dan menengah adalah menyuruh siswa membaca karya sebanyak-banyaknya. Dari karya sastra yang dibaca itulah
guru dapat menerangkan soal-soal konsep. Tetapi itu pun sebatas pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?
40
Pembelajaran sastra tidak hanya memahami unsur-unsur intrinsik atau ekstrinsik saja tapi juga dapat digali berbagai pelajaran hidup dari karya sastra
yang disampaikan pengarang melalui caranya yang khas. Cara penyampaian inilah yang membuat pengarang berbeda dengan penceramah. Konsekuensi
model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-karya yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, setiap guru atau calon
guru bahasa dan sastra Indonesia wajib menyukai sastra dan membaca banyak karya sastra. Tugas utama guru adalah mampu membuat siswa menghayati
karya sastra.
40
Maman S. Mahayana,”Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah,” Susastra 5, vol. 3 Januari, 2007: h. 90.
26
BAB III PROFIL BEN SOHIB