Kritik Sosial Dalam Novel The Da Peci Code Karya Ben Sohib Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Septian Cahyo Putro 109013000024
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
ii
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 9 September 1991
NIM : 109013000024
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code
karya Ben Sohib dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen Pembimbing : Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum.
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Juli 2013
Septian Cahyo Putro NIM 109013000024
(3)
iii
Kata Kunci: kritik, sosial, novel.
Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib adalah novel yang menyajikan
kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab yang tinggal di daerah Condet. Novel semacam ini seakan menjadi oase di tengah keringnya novel-novel bernuansa Betawi. Penelitian terhadap novel ini perlu dilakukan untuk menggali sejauh mana realitas kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab ditampilkan dalam novel ini. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap kritik sosial yang disampaikan pengarang melalui karyanya ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu mengkaji hubungan antara karya sastra dan masyarakat, bagaimana hubungan itu terjadi, dan apa akibat yang ditimbulkan atas hubungan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi unsur intrinsik novel, menganalisis kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut, barulah kemudian mengungkapkan kritik sosial yang terdapat dalam novel. Terakhir yang tidak kalah penting adalah menemukan implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Akhirnya diperoleh bahwa kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut merupakan hasil dari proses akulturasi, sehingga kebudayaan masyarakat Arab masih dapat dirasakan di tengah dominasi kebudayaan Betawi. Kritik sosial dalam novel ini merupakan kritik yang umum dalam kehidupan sehari-hari, seperti kebiasaan menggunakan peci putih yang oleh sebagian orang dianggap wajib diluruskan dengan gagasan bahwa peci hanyalah simbol belaka, anggapan bahwa maulid adalah perbuatan yang sia-sia dijelaskan
dengan dalil pada surat Al-A’raf ayat 157, maupun pernyataan untuk tidak
mempercayai dukun (paranormal).
Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia novel ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran apresiasi sastra. Melalui novel ini dapat digali berbagai nilai-nilai positif seperti, sikap kritis, menghargai perbedaan pendapat, dan menghormati kedua orang tua. Nilai-nilai tersebut merupakan fondasi dasar pembentukan karakter siswa. Novel ini menggunakan gaya bahasa yang ringan, lucu, dan tidak mengandung unsur pornografi maupun kekerasan. Sehingga sangat tepat dijadikan media pembelajaran apresiasi sastra bagi siswa sekolah menengah.
(4)
iv
Keywords: Critics, Social, Novel
Novel The Da Peci Code by Ben Sohib is a novel describe the culture of
Betawi for generations of Arabian people live in Condet. This novel though be a oasis in the midst of crip the novels Betawi nuance. The research for this novel need for excavating so far how the reality of Betawi for generations of Arabian people culture shown in this novel. Beside, the purpose of this research is to reveal the social critics that want to telling by authors with his work.
The research use sociology of literature approach investigate how the context between literature and society, how the context occur, and what the result of that related. The research do with identification of intrinsic novel, analysis social condition of Betawi for generations of Arabian people in the novel, then revealing social critics in the novel. The important last is finding this research implication for language and literature of Indonesian learning.
The conclusion is social condition of Betawi for generations of Arabian people in the novel is the outcome of acculturation process, so that the culture of Arabian people still be find in the midst of domination the culture of Betawi people. The social critics in this novel is the common critics in daily live, like habbit wear the “peci putih” that belief by part of people is obligatory justify that “peci putih” just symbol.
In the language and literature of Indonesian learning this novel can be use as learning media. Through the novel can be investigate the positive values, such as critical attitude, appreciate the different opinion, and respect parent. The values is basic fondation to built the student character. The language style of this novel is simpel, funny, and not contain porn and violence.
(5)
v
ridhaNya, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, beserta para sahabatnya.
Perjuangan selama empat tahun diakhiri oleh sebuah titik pada bagian terakhir skripsi ini. Titik ini bukan hanya menandakan akhir, tapi juga merupakan titik awal dimulainya petualangan baru dalam dunia yang berbeda yaitu dunia kerja.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu baik dalam bentuk moral maupun materi dan kepada orang-orang yang telah berjasa memberikan secercah ilmu pengetahuan kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan segala kasih
penulisngnya kepada penulis. Kasih penulisng yang tidak akan mampu penulis ganti dan tergantikan oleh apapun. Tak akan kusia-siakan semua peluh dan air matamu wahai ayah dan ibu. Juga kepada adik penulis Arif Saputra atas pengertiannya dan teman berbincang di rumah.
2. Ibu Mahmudah Fitriyah selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah mengajarkan penulis berbagai ilmu kehidupan.
3. Bapak Jamal D. Rahman selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang
telah dengan sabar dan cermat membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Serta selalu memberikan nasihat-nasihat juga pengetahuan untuk memperluas wawasan penulis. Terima kasih atas semua waktu yang Bapak berikan kepada penulis, maaf jika selama ini penulis sering “meneror” Bapak, maaf pula untuk semua perkataan dan sikap yang mengecewakan Bapak selama bimbingan ini.
4. Dosen-dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
sangat luar biasa. Memberikan berbagai ilmu yang sangat berarti bagi masa depan penulis.
(6)
vi
penulis dalam melengkapi data-data di skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia khususnya Adi, Hamid, dan Sa’i yang telah merelakan kosannya sebagai tempat tinggal kedua penulis. Juga untuk Raras yang telah ikut memberikan warna bagi kehidupan penulis selama di kampus. Semoga kita bisa berkumpul lagi suatu saat nanti dalam keadaan sehat dan sukses. Aamiin.
Semoga skripsi ini dapat memperluas wawasan pembaca terkait teori sosiologi sastra dan memperkaya khazanah pengetahuan sastra Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu jika ada tulisan atau kata-kata yang kurang berkenan penulis mohon maaf. Kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangatlah penulis harapkan.
Jakarta, 17 Juli 2013
(7)
vii
Kata Pengantar ... i
DaftarIsi ... iii
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah... 5
C. Pembatasan Masalah ... 6
D. Rumusan Masalah... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Metodologi Penelitian ... 7
G. Manfaat Penelitian ... 7
H. Kajian Pustaka ... 8
I. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II Landasan Teori A. Pengertian Novel ... 10
B. Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel ... 11
C. Mimetik ... 17
D. Sosiologi Sastra ... 18
E. Kritik Sosial... 22
F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 23
BAB III Profil Ben Sohib A. Biografi dan Pemikiran Ben Sohib ... 26
B. Karya-Karya Ben Sohib ... 28
BAB IV Hasil Penelitian A. Unsur- Unsur Intrinsik novel The Da Peci Code karya Ben Sohib ... 30
(8)
viii
karya Ben Sohib ... 55
D. Implikasi Penelitian Novel The Da Peci Code karya Ben Sohib dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 68
BAB V Penutup A. Simpulan ... 72
B. Saran ... 73
Daftar Pustaka ... 74
Lampiran-Lampiran ... 77
(9)
1
A.
Latar Belakang
Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis yang mengandung keindahan. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra. Ditinjau dari segi penciptanya, karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu.
Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya sastra berguna untuk mengenal
manusia, kebudayaan serta zamannya.1 Dikatakan oleh Abrams2 bahwa karya
sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, karya yang memiliki kapasitas untuk mengevokasi energi-energi yang
stagnasi.3
Salah satu bentuk karya sastra yang kita kenal adalah novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk ke
Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella berarti sebuah barang baru yang
1
Zulfahnur, dkk., Teori Sastra, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 254. 2
Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), h. 254.
3
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 6.
(10)
kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.4 Novel terbagi lagi dalam dua jenis yaitu novel serius dan novel populer. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel serius di pihak lain, justru “harus” sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu.5
Salah satu bentuk novel populer adalah novel The Da Peci Code6 karya
Ben Sohib. Novel tersebut merupakan novel yang mengisahkan tentang kehidupan seorang pemuda bernama Rosid keturunan Arab-Betawi yang hidup di tengah keluarga saleh yang sangat taat memegang adat istiadat leluhurnya.
Novel yang berhasil meraih predikat best-seller ini mencoba
menampilkan kehidupan sosial masyarakat Betawi keturunan Arab yang hidup di zaman teknologi informasi. Melalui novelnya ini Ben Sohib berusaha mengkritisi kehidupan sosial masyarakat Arab-Betawi yang cenderung ortodoks. Gaya penceritaannya yang sederhana membuat novel ini enak dibaca ditambah lagi dengan alur ceritanya yang begitu mengalir dan selalu membuat penasaran. Meski dalam sampulnya tertulis, “Tidak Mengguncang Iman”, namun ternyata novel ini cukup mengguncang keimanan.
4
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 9.
5
Ibid., h. 18.
6
Novel The Da Peci Code adalah “plesetan” dari novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Kedua novel tersebut tidak memliki keterkaitan yang kuat. Novel The Da Vinci Code menceritakan mengenai usaha para sejarawan dan ahli kriptologi untuk mengungkap rahasia di balik lukisan-lukisan Leonardo Da Vinci sedangkan novel The Da Peci Code berusaha mengungkap tradisi peci putih sebagai budaya masyarakat Betawi keturunan Arab. Namun, kedua novel tersebut sama-sama membahas tentang simbol, novel The Da Peci Code membahas tentang peci sebagai simbol umat Islam, sedangkan novel The Da Vinci Code membahas makna simbol-simbol yang berhubungan dengan ‘cawan suci’ dalam kepercayaan umat Kristiani.
(11)
Ben Sohib dalam novel The Da Peci Code, menceritakan sebuah tradisi masyarakat Betawi keturunan Arab yang begitu menganggap peci sebagai syarat utama bagi komunitasnya. Komunitas tersebut bernama al-Gibran. Sebuah komunitas yang beranggotakan masyarakat Betawi keturunan Arab. Peci putih sebagai penutup kepala merupakan ciri khas dari komunitas tersebut, jadi jika ada anggota dari komunitas tersebut yang tidak mengenakan peci putih ketika diadakan acara-acara keagamaan al-Gibran maka ia pasti akan disisihkan atau dengan sadar diri ia akan menjauhkan diri pada acara tersebut.
Di tengah tradisi berpeci yang begitu kuat pada komunitas tersebut, tampillah sosok Rosid, anak dari Mansur al-Gibran. Rosid adalah seorang pemuda berambut kribo yang berusaha melawan tradisi berpeci komunitas al-Gibran. Menurut Rosid, peci hanyalah simbol belaka seperti halnya peci yang dipakai oleh kaum Nasrani ataupun Yahudi dan bukan merupakan ajaran agama. Peci tidak dapat menjamin apakah seorang itu baik atau tidak. Ia pun ditentang habis-habisan oleh ayahnya bahkan diusir dari rumah. Segala daya dan upaya telah dilakukan sang ayah untuk membuat Rosid mau mencukur rambut kribonya namun gagal. Alhasil Mansur, sang ayah akhirnya menyerah kepada pendirian Rosid. Tapi bersamaan dengan itu Rosid pun menyadari kekeliruannya karena telah berselisih paham dengan ayahnya. Rosid mendapat pencerahan dari Ustaz Abu Hanif (ayah Mahdi—teman Rosid) tentang peci putih yang dikenakan oleh komunitas al-Gibran merupakan penanda saja bahwa mereka kaum muslim, seperti halnya belangkon yang dipakai sebagai penanda orang Jawa atau Sunda, maupun ulos yang menandakan orang Batak.
Sebenarnya persoalan sederhana ini tidak perlu bertele-tele jika saja sang ayah mampu mematahkan pendapat sang anak dengan cara yang tepat. Namun apa daya, sang ayah malah terus memaksakan kehendaknya pada sang anak dengan alasan bahwa peci putih adalah ajaran leluhur al-Gibran (keluarga Mansur keturunan al-Gibran) yang sifatnya wajib. Dari
(12)
permasalahan yang sederhana ini cerita dibangun secara utuh. Konflik-konflik ditampilkan secara runtut dari tahap pemunculan sampai penyelesaian.
Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Sastra yang mengandung pesan kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka, yang dengan kekuatan imajinasinya boleh
dikatakan sebagai orang yang memiliki indera keenam.7 Inilah yang
dilakukan oleh Ben Sohib, ia menemukan kejanggalan pada kehidupan sosial masyarakat Betawi keturunan Arab dan mencari jawabannya lalu dituangkan ke dalam bentuk fiksi yang imajinatif namun tidak terlepas dari kebenaran yang ada.
Ben Sohib yang memang dibesarkan di lingkungan Betawi ini dengan cemerlang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Betawi (terutama keturunan Arab) lengkap dengan tabiat dan kebiasaan masyarakatnya. Latar sosial yang dilukiskan dalam novel ini telah berhasil membawa pembaca menyelami kehidupan masyarakat Betawi beserta intrik-intriknya. Sebuah novel yang sangat jarang ditemukan di era saat ini.
Novel ini juga masih sangat jarang diteliti dalam suatu penelitian ilmiah. Jadi, kesan orisinalitas pada penelitian ini terasa sangat kuat. Oleh karena alasan itulah, peneliti bermaksud menganalisis kritik sosial yang ada
pada novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Sebelum menganalisis kritik
sosial pada novel tersebut, peneliti akan menganalisis unsur-unsur intrinsik
dari novel The Da Peci Code karya Ben Sohib kemudian mendeskripsikan
kondisi sosial masyarakat Betawi keturunan Arab pada novel tersebut.
Implikasi penelitian ini dalam dunia pendidikan yaitu membantu membentuk karakter siswa. Saat ini pembentukan karakter siswa menjadi
7
(13)
prioritas utama kurikulum di Indonesia. Sehingga lahirlah silabus berkarakter dan rencana pelaksanaan pembelajaran berkarakter (RPP berkarakter). Salah satu karakter yang dapat digali dari novel ini adalah sikap kritis. Sikap kritis ini sangat dibutuhkan ketika siswa mendengarkan penjelasan-penjelasan dari gurunya sehingga dengan ditanamkannya sikap kritis diharapkan siswa mampu menjadi seorang pelajar yang aktif dalam kegiatan pembelajaran (active learning). Melalui karya sastra siswa dapat belajar tentang kehidupan, belajar menghargai karya orang lain, dan bahkan memotivasi mereka secara positif dalam bertindak.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Sebuah pendekatan multidisipliner yang mengkaji hubungan antara kondisi kehidupan sosial masyarakat dengan karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra pada penelitian ini akan peneliti fokuskan pada sosiologi karya yang memiliki keterkaitan dengan sifat dan kondisi sosial masyarakat. Kemudian peneliti juga menggunakan pendekatan teoritis yaitu pendekatan mimetik. Dengan pendekatan ini peneliti ingin mengkaji hubungan antara
kondisi sosial yang terkandung dalam novel The Da Peci Code karya Ben
Sohib ini dengan kenyataan yang terjadi pada masyarakat Betawi keturunan Arab pada umumnya. Karena, pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan kehidupan. Akhirnya, peneliti menarik sebuah judul dalam
penelitiannya ini yaitu, “Kritik Sosial dalam Novel The Da Peci Code
Karya Ben Sohib dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.”
B.
Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan
membahas mengenai kritik sosial dalam novel The Da Peci Code karya Ben
Sohib. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan berbagai masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Novel ini belum pernah diteliti dalam penelitian ilmiah sehingga
(14)
2. Novel ini adalah novel populer yang dapat dijadikan media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
3. Penyebab terjadinya berbagai kritik sosial dalam novel The Da
Peci Code karya Ben Sohib.
4. Penjabaran mengenai tercermin atau tidaknya kondisi sosial
masyarakat dalam novel ini dengan kondisi sosial masyarakat aslinya.
5. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel The Da Peci Code
karya Ben Sohib.
C.
Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu akan membahas mengenai permasalahan sosial dalam kehidupan masyarakat Betawi
keturunan Arab yang terdapat dalam novel The Da Peci Code karya Ben
Sohib.
D.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana perwujudan kritik sosial yang terkandung dalam novel
TheDa Peci Code karya Ben Sohib?
2. Apa implikasi penelitian novel The Da Peci Code karya Ben Sohib
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E.
Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kritik sosial pada novel The Da Peci Code karya
Ben Sohib.
2. Mendeskripsikan implikasi penelitian novel The Da Peci Code
karya Ben Sohib terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
(15)
F.
Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran, deskripsi, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Kemudian pengertian dari metode kualitatif adalah metode yang menghasilkan temuan-temuan data tanpa menggunakan prosedur statistik atau dengan cara lain dari pengukuran (kuantifikasi). Metode ini lebih berkenaan dengan interpretasi data yang ditemukan. Jadi, metode deskriptif kualitatif adalah sebuah metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis sebuah fenomena yang diselidiki dengan cara menginterpretasi data yang ditemukan tanpa perhitungan statistik.
G.
Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah pengetahuan sastra bagi pembaca secara umum dan siswa sekolah secara khusus dalam kaitannya dengan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian ini juga berusaha menyumbangkan sedikit pemahaman tentang Sosiologi Sastra dalam
mengungkap novel The Da Peci Code karya Ben Sohib.
2) Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan sikap kritis pembaca mengenai hal-hal yang umum dalam kehidupan sehari-hari, memberikan sedikit gambaran tentang kondisi sosial masyarakat Betawi, serta memberikan pandangan yang benar mengenai kebiasaan mengenakan peci putih. Penelitian ini juga diharapkan mampu
membantu mengungkap misteri di balik novel The Da Peci Code karya
Ben Sohib dengan cara menguraikan wujud kritik yang ingin disampaikan pengarang.
(16)
H.
Kajian Pustaka
Sepengetahuan peneliti novel The Da Peci Code karya Ben Sohib ini
belum pernah diteliti oleh orang lain. Hal ini didapat setelah melakukan penelusuran di internet dan pencarian di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Terbuka, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Indonesia. Namun, banyak penelitian yang terkait dengan kritik sosial salah satunya skripsi dari Rita Martini dari Universitas Muhammdiyah
Surabaya yang berjudul Kritik Sosial dalam Novel Tuhan, Izinkan Aku Jadi
Pelacur! Karya Muhidin M. Dahlan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra). Penelitian lainnya yang terkait dengan nilai sosial adalah skripsi Mega Fiyani dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjudul Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya
Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Dalam penelitian tersebut
disimpulkan bahwa novel Bukan Pasar Malam memuat nilai-nilai sosial
melalui interaksi sosial di dalam keluarga dan masyarakat seperti nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, dan nilai keikhlasan. Nilai-nilai tersebut dapat diimplikasikan pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI, dalam aspek mendengarkan.
I.
Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, peneliti membagi pembahasan ke dalam lima bab yang terbagi lagi menjadi sub-sub bab sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi Kajian Teoritis, yang membahas Pengertian Novel,
Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel, Sosiologi Sastra, Mimetik, dan Kritik Sosial.
(17)
Bab III berisi Profil Ben Sohib, Karya-Karya Ben Sohib, dan Penghargaan bagi Ben Sohib.
Bab IV berisi Analisis Unsur-Unsur Intrinsik Novel The Da Peci Code
karya Ben Sohib, Deskripsi Kondisi Sosial Masyarakat Betawi keturunan Arab dalam novel tersebut, Perwujudan Kritik Sosial dalam Novel tersebut, dan Implikasi Penelitian ini terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
(18)
10
A.
Pengertian Novel
Sebutan novel dalam bahasa Inggris—dan inilah yang kemudian masuk
ke Indonesia—berasal dari bahasa Italia novella berarti sebuah barang baru
yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja
bersifat imajinatif.1
Novel terbagi dua yaitu novel populer dan novel serius. Novel populer yang mengandung kritik sosial akan memberikan jawaban atau solusi atas kritik yang disampaikan pengarang. Jawaban atau solusi tersebut biasanya terdapat pada bagian akhir cerita. Sedangkan pada novel serius kritik tersebut bertujuan untuk mempertanyakan keyakinan pembaca terhadap suatu hal. Novel serius tidak memberikan jawaban secara langsung atas kritik yang disampaikannya melainkan membebaskan pembaca menentukan jawabannya.
Istilah novel sama dengan istilah roman. Kata novel seperti yang
disebutkan di atas berasal dari Italia yang kemudian berkembang di Inggris
dan Amerika Serikat. Sedangkan istilah roman berasal dari genre romance
dari Abad Pertengahan yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan
dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan
bagian-bagian Eropa Daratan yang lain. Berdasarkan asal usul istilah tadi memang ada sedikit perbedaan antara roman dan novel, yakni bahwa bentuk novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur
cerita hampir sama.2
1
Ibid., h. 4. 2
Jakob Sumardjo & Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, (Jakarta: Gramedia. 1986), h. 29.
(19)
B.
Pengertian Unsur-Unsur Intrinsik Novel
Menurut Fananie3 unsur intrinsik adalah struktur formal karya sastra
yang dapat disebut sebagai elemen-elemen atau unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Unsur-unsur tersebut secara utuh membangun karya sastra fiksi dari dalam, unsur-unsur intrinsik yang paling pokok terdiri dari: (1) tokoh dan penokohan, (2) latar, (3) alur, dan (4) tema.
Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro,4 terdapat delapan unsur fiksi
yang terdiri atas: (1) Tema, (2) Cerita, (3) Pemplotan, (4) Penokohan, (5) Pelataran, (6) Penyudutpandangan, (7) Bahasa, dan (8) Moral. Lain halnya
dengan Wahyudi Siswanto,5 ia membagi unsur fiksi menjadi tujuh jenis,
yaitu: (1) Tokoh, watak, dan penokohan, (2) Latar cerita, (3) Titik pandang/sudut pandang, (4) Gaya bahasa, (5) Alur, (6) Tema dan amanat, dan (7) Gaya penceritaan.
a. Tema
Tema berasal dari kata “thema” (Inggris) ide menjadi pokok suatu
pembicaraan, atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan omensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita akan dibangun dan berakhir. Dengan adanya tema pengarang mempunyai pedoman dalam ceritanya pada sasaran. Jadi tema adalah
ide sentral yang mendasari suatu cerita.6
Aminuddin7 berpendapat seorang pengarang memahami tema cerita
yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
3
Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), h. 58.
4
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 23. 5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142. 6
Zulfahnur, Op. Cit., h. 24. 7
(20)
Sementara itu terdapat lima tingkatan tema menurut Shipley.8 Dalam
Dictionary of World Literature ia mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema karya sastra berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yaitu sebagai berikut:
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat
kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini
lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat
kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat
ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socius. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang beum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.
8
(21)
Masalah yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
b. Latar
Abrams9 yang menyebut latar sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Menurut Sayuti,10 deskripsi latar fiksi secara garis besar dapat
dikategorikan dalam tiga bagian, yakni:
1. Latar tempat
Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu cerita terjadi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
2. Latar waktu
Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa secara historis dalam plot. Dengan jelasnya saat kejadian akan tergambar pula tujuan fiksi tersebut. Secara jelas pula rangakian peristiwa yang tidak mungkin terjadi terlepas dari perjalanan waktu dapat ditinjau dari jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakanginya.
3. Latar sosial
Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya.
9
Ibid., h. 216 10
(22)
c. Alur
Menurut Abrams alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita.11
Menurut Zulfahnur,12 berdasarkan fungsinya alur dibagi atas:
1. Alur utama
Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa pokok atau utama.
2. Alur bawahan (subplot)
Alur bawahan adalah alur yang berisi kejadian-kejadian kecil menunjang peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan tersebut berfungsi sebagai ilustrasi alur utama.
d. Tokoh dan penokohan
Tokoh cerita (character) menurut Abrams13 adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakannya.
Menurut Sayuti14 ditinjau dari segi keterlibatannya dalam
keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Tokoh sentral atau tokoh utama
Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa atau tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh sentral atau tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) tokoh itu paling memerlukan waktu penceritaan.
11
Siswanto, Op. Cit., h. 159. 12
Zulfahnur, Op. Cit., h. 27. 13
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 165. 14
(23)
2. Tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan)
Tokoh bawahan merupakan tokoh yang mengambil bagian kecil dalam peristiwa suatu cerita atau tokoh yang sedikit diceritakan.
Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.15
Dalam penokohan, dikenal ada dua cara atau metode yang digunakan
pengarang untuk menggambarkan tokoh cerita yaitu:16
1. Metode diskursif atau metode analitik
Metode ini digunakan pengarang dengan menyebutkan secara langsung masing-masing kualitas tokoh-tokohnya.
2. Metode dramatis atau metode tidak langsung
Metode ini digunakan pengarang dengan memberikan tokoh-tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri. Metode ini dapat dilakukan dari beberapa teknik antara lain: (1) teknik pemberian nama, (2) teknik cakapan, (3) teknik pikiran tokoh, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik lukisan persoalan tokoh, (6) teknik perbuatan tokoh, (7) teknik pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh lain, (8) teknik lukisan fisik, dan (9) teknik pelukisan latar.
e. Sudut pandang
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat,
15
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 166. 16
(24)
waktu dengan gayanya sendiri.17 Sudut pandang terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Sudut pandang persona ketiga: “dia”
Narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
2. Sudut pandang persona pertama: “aku”
Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona pertama, “aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita.
3. Sudut padang campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang
dituliskannya.18
f. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.19
g. Gaya penceritaan
Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik penceritaan. Teknik penulisan adalah cara yang digunakan oleh pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyajikan karya sastranya, seperti teknik pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik kolase, teknik asosiasi.20
17
Siswanto, Op. Cit., h. 151. 18
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 256. 19
Siswanto, Op. Cit., h. 158. 20
(25)
h. Moral
Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal
itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.21
C.
Mimetik
Abrams berpendapat mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar sastra. Pendekatan yang memandang sastra sebagai imitasi dari realitas. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimetik, peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Sedangkan bagi muridnya, Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia, dan peristiwa sebagai mana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Apa yang terjadi dalam penciptaan seniman masuk akal dalam
keseluruhan dunia ciptaan itu.22 Dalam kebudayaan Barat, khususnya Abad
Pertengahan, pikiran-pikiran Aristoteles mengenai peniruan diterima sebagai dasar estetik dan filsafat seni. Karya seni meniru alam sebagai ciptaan Tuhan (The Great Model), karya seni mencerminkan keindahan Tuhan, manusia
hanya menciptakan kembali, manusia sebagai homo artifex. Di Indonesia,
tampak dalam puisi-puisi Jawa Kuno, melalui konsep persatuan antara
manusia dengan Tuhan lewat keindahan, sebagai penjelmaan Tuhan.23
21
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 320. 22
Siswanto, Op. Cit., h. 189. 23
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 5.
(26)
Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah atau sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra.
D.
Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari
akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan,
teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Selanjutnya
terjadi perubahan makna, socius berarti masyarakat, logos berarti ilmu. Jadi,
sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat.
Sastra dari akar kata sas (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk, dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti
kumpulan alat untuk mengajar atau buku pengajaran yang baik.
Sesungguhnya kedua ilmu memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Perbedaan sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana ditunjukkan melalui
perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.24
Teori-teori sosial sastra sesungguhnya sudah ada sejak zaman Plato/Aristoteles (abad ke-5/4 SM), filsuf Yunani. Dalam buku yang berjudul
Ion dan Republik dilukiskan mekanisme antarhubungan sastra dengan
masyarakatnya. Menurut Plato, karya seni merupakan tiruan (mimesis) yang
ada dalam dunia ide. Jadi karya seni merupakan tiruan dari tiruan, secara hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Filsafat ide Plato yang semata-mata bersifat praktis di atas ditolak oleh Aristoteles. Menurutnya, seni justru
mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (khatarsis), sebab
karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah.25
24
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 2.
25
(27)
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya
dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra.26 Menurut
Sapardi Djoko Damono, ada dua kecenderungan utama dalam telaah
sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan
bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini
bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua,
pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Masalah pokok sosiologi sastra adalah hubungan antara sastra dengan masyarakat, bagaimana hubungan tersebut terjadi, dan bagaimana akibat-akibat yang ditimbulkannya baik terhadap karya sastra maupun masyarakat itu sendiri.27
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang
membesarkannya dan sekaligus membentuknya.28
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta
26
Ibid., h. 2. 27
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 268.
28
(28)
hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan
dunia sekitarnya.29
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya.
Selain itu, Laurenson30 mengemukakan ada tiga perspektif yang
berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
2. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya;
3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi
sosial budaya atau peristiwa sejarah.
Wellek dan Warren mengemukakan tiga klasifikasi yang berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu:
1. Sosiologi pengarang
2. Sosiologi karya sastra
3. Sosiologi pembaca
Menurutnya, hubungan sastra dengan masyarakat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan situasi
sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat
dari berbagai kegiatan di luar karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan
dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial
karya sastra. Sejauh mana sastra dikembangkan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk
29
Fananie, Op. Cit., h. 117. 30
(29)
dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra
yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat.31
Kemudian Jabrohim mengungkapkan sasaran dari sosiologi sastra, yaitu sebagai berikut.
a. Konteks sosial sastrawan
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi sastrawan sebagai individu di samping dapat mempengaruhi karya sastranya. Dalam hal ini kaitan antara sastrawan dan masyarakat sangat penting, sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka.
b. Sastra sebagai cerminan masyarakat
Sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Dalam hubungan ini terutama harus mendapat perhatian yaitu: (1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) sifat “lain dari yang lain” seseorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) genre sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diterima atau dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat.
31
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta), (Jakarta: PT Gramedia, 1995), h. 111.
(30)
c. Fungsi sosial sastra
Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) sudut pandangan yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (2) sudut pandangan lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” misalnya, tak berbeda dengan usaha untuk melambungkan dagangan agar menjadi
best seller. (3) sudut pandangan kompromistis seperti tergambar dalam
slogan “sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur”.32
E.
Kritik Sosial
Pengertian ‘kritik’ (sastra) berasal dari kata krites (Yunani Kuno) yang
berarti ‘hakim’. Krites sendiri semula berasal dari kata krinein ‘menghakimi’.
Pengertian kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
“kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan
baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.”33
Adinegoro mengungkapkan bahwa kritik adalah salah satu ciri dan sifat penting dari peristiwa otak manusia, sehingga kritik dapat dijadikan dasar untuk berpikir danmengembangkan pikiran. Kritik tidak dimaksudkan untuk meruntuhkan sesuatu melainkan untuk memperbaiki hal yang dianggap tidak
sesuai dan akhirnya untuk mendapatkan kemajuan.34
Kata sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
“berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum.”35
Dari definisi kritik dan sosial tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud kritik sosial adalah pandangan atau tangggapan penulis melalui
32
Jabrohim dan Ari Wulandari (ed.), Metodologi Penelitian Sastra, (Jogjakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), h. 158.
33
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), Cet. IV, h. 742.
34
Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik, (Djakarta: Nusantara, 1958), h. 10. 35
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), Cet. IV, h. 1331.
(31)
karyanya yang berisi kecaman terhadap fenomena sosial yang menyimpang. Astrid Susanto berpendapat bahwa kritik sosial adalah suatu aktifitas yang
berhubungan dengan penilaian (juggling), perbandingan (comparing), dan
pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang
terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan
pedoman.36 Kritik sosial memiliki fungsi sebagai kontrol terhadap jalannya
suatu proses bermasyarakat.
Adanya pengaruh lingkungan masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang akan memunculkan kritik sosial terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Sastra yang mengandung kritik sosial akan lahir di masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial masyarakat. Kritik sosial yang membangun tidak hanya berisi kecaman, celaan, atau tanggapan terhadap situasi tertentu, tetapi juga berisi inovasi sosial sehingga tercapai sebuah harmonisasi sosial.
Kritik dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Media yang tersedia untuk menyampaikan kritik juga cukup beragam. Karya sastra merupakan salah satu media untuk menyampaikan kritik sosial secara tidak langsung. Kritik sosial banyak dijumpai dalam karya sastra sebagai
bentuk gambaran realita sosial di masyarakat.37
F.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Secara luas dan tradisional pengajaran sastra memang mencakup sejumlah aspek, mulai sari teori sastra, sejarah sastra, sastra perbandingan, apresiasi sastra, sampai pada akhirnya kritik sastra. Tujuan pengajaran sastra, baik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi adalah untuk membentuk anak didik dan pemuda-pemuda kita menjadi pembaca-pembaca yang dapat menemukan kenikmatan dan nilai-nilai dalam cipta sastra, dan tetap menjadi
36
Anonim, “Kritik Sosial,” artikel diakses pada 8 Maret 2013 dari http://sebuahcatatansastra.blogspot.com/2009/02/kritik-sosial.html
37
Zainul Fuadi, “Kritik Sosial dalam Novel Wasripin & Satinah Karya Kuntowijoyo,” (Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Malang, 2009), h. 10.
(32)
pembaca-pembaca yang setia, bangga, serta bertanggung jawab terhadap cipta
sastra kita (Indonesia) sepanjang hayatnya.38
Tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam kurikulum 2004 yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mmendengarkan meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi karya sastra. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.
Selain tujuan di atas dapat juga dikembangkan pendidikan melalui sastra. Melalui sastra kita bisa mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, estetika, logika, dan kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta
pendidikan menyeluruh dan kemitraan.39
Maman S. Mahayana juga menyoroti proses pengajaran sastra di sekolah yang cenderung hanya sebatas memberi penjelasan tentang pengertian alur, latar, tokoh, tema, sudut pandang, dan berbagai jenis gaya bahasa. Padahal seperti kita ketahui bahwa tujuan pembelajaran sastra di
38
Mukhsin Ahmadi, Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra, (Malang: YA3, 1990), h. 85.
39
(33)
sekolah sesuai dengan kurikulum tahun 2004 adalah agar siswa mampu mengapresiasi dan membanggakan khazanah sastra Indonesia.
Menurutnya, itulah malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia (khasnya pelajaran sastra Indonesia), ketika siswa terus-menerus dijejali teori-teori dan konsep sastra, sementara karyanya sendiri tidak pernah dilihat dan disentuh. Suatu hal yang utama dalam pembelajaran sastra di semua tingkatan pendidikan dasar dan menengah adalah menyuruh siswa membaca karya sebanyak-banyaknya. Dari karya sastra yang dibaca itulah guru dapat menerangkan soal-soal konsep. Tetapi itu pun sebatas
pengetahuan belaka. Bukankah tujuannya adalah apresiasi?40
Pembelajaran sastra tidak hanya memahami unsur-unsur intrinsik atau ekstrinsik saja tapi juga dapat digali berbagai pelajaran hidup dari karya sastra yang disampaikan pengarang melalui caranya yang khas. Cara penyampaian inilah yang membuat pengarang berbeda dengan penceramah. Konsekuensi model pengajaran seperti itu, menuntut guru pandai melakukan pilihan atas karya-karya yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, setiap guru atau calon guru bahasa dan sastra Indonesia wajib menyukai sastra dan membaca banyak karya sastra. Tugas utama guru adalah mampu membuat siswa menghayati karya sastra.
40
Maman S. Mahayana,”Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah,” Susastra 5, vol. 3 (Januari, 2007): h. 90.
(34)
26
A.
Biografi dan Pemikiran Ben Sohib
Ben Sohib lahir pada tanggal 22 Maret di Jakarta. Dua novel best seller
-nya, The Da Peci Code dan Rosid dan Delia, diangkat ke layar lebar dengan
judul Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta (sutradara Benni Setiawan) dan
mendapatkan banyak penghargaan, termasuk film terbaik Festival Film Indonesia 2011. Ia mulai menulis sejak di bangku SMP. Beberapa tulisannya
berupa puisi, cerpen, dan features dimuat di Sinar Harapan, Pelita, dan Hai.
Saat ini bergiat di Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di Cililitan Kecil, Jakarta Timur.
Ben Sohib adalah sastrawan yang tertutup. Ia sendiri mengakui bahwa dirinya tidak pernah memberitahukan tentang biogarfi hidupnya kepada orang lain. “Saya hanya berusaha sok misterius,” begitu selorohnya ketika saya bertanya mengenai tempat tanggal lahirnya. Ben Sohib mengakui ketika ada media yang ingin menulis data dirinya, ia minta sesingkat mungkin. Ia juga tidak menjawab ketika saya tanya mengenai nama aslinya. Ia hanya bilang, “Ya, Saya lebih suka dikenal dengan nama itu (Ben Sohib).” Meski begitu, ia adalah sosok yang sangat ramah dan rendah hati. Bahkan penyuka rokok
Marlboro putih ini sempat beberapa kali menelpon saya untuk menanyakan
kepastian waktu wawancara.1
Riwayat pendidikan beliau adalah SD, SMP, dan SMA umum. Saya
ragu ketika hendak menanyakan lebih lanjut mengenai riwayat
pendidikannya, karena teringat sikapnya yang sangat menjaga rahasia data pribadinya. Meski karya-karyanya begitu kuat bernafaskan Islam ternyata ia sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren seperti yang saya duga. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri dan ia dibesarkan di keluarga yang juga tidak terlalu fanatik dengan Islam. Ben Sohib mengakui bahwa
1
(35)
latar Islam yang ditampilkannya dalam novel The Da Peci Code merupakan hasil pengamatan dan pembacaannya terhadap lingkungannya.
Sastrawan yang saat ini tinggal di Bukit Duri, Kampung Melayu ini, memiliki darah keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut (Yaman). Garis keturunan tersebut diwariskan oleh kakeknya. Sedangkan neneknya adalah keluarga keraton Yogyakarta. Jadi sebenarnya, ia memiliki gelar Raden Mas pada namanya. Namun, gelar ini enggan ia gunakan. Ia lebih suka dipanggil Ben Sohib saja.
Kesibukan Ben Sohib sehari-hari ialah menulis. Saat ini ia sedang menggarap novel terbarunya yang belum diberi judul dan mengisahkan tentang kehidupan seorang haji. Ia juga melatari novel ini dengan nuansa ke-Islam-an yang kental dengan latar yang sama (dengan novel sebelumnya) yaitu masyarakat Betawi.
Ayah satu anak ini mengakui kalau ia bukanlah orang Condet asli. Ia hidup berpindah-pindah sejak kecil. Ia pernah tinggal di Bandung, Bali, Jawa Timur, kemudian terakhir di Jakarta. Hampir separuh usianya ia habiskan di Jakarta, itulah yang membuatnya merasa sebagai bagian dari masyarakat Betawi. Meski begitu, ia tidak pernah mengakui dirinya sebagai sastrawan Betawi. Berbeda dengan S. M. Ardhan, Muntaco, atau Chairil Gibran Ramadhan yang memang sastrawan Betawi. Ia hanya menggunakan latar
Betawi agar novelnya tidak kaku dan mudah diterima masyarakat.2
Inspirasi penulisan novel ini adalah melalui pengamatan yang ia lihat di lingkungan Condet. Meskipun ia bukan warga Condet ia sering datang ke daerah itu untuk berdiskusi dengan rekan-rekannya mengenai sastra, politik, filsafat, maupun agama. Akhirnya ia dan rekan-rekannya membentuk sebuah komunitas bernama Majelis Sastra Masjid Al-Makmur. Komunitas inilah
yang menginspirasi terciptanya Sanggar Banjir Kiriman pada novel The Da
Peci Code. Kebiasaan umat Islam menggunakan peci putih dan baju koko pada komunitas di daerah Condet juga menjadi inspirasi utamanya menulis novel ini.
2
(36)
Ben Sohib yang memang tidak dibesarkan dalam lingkungan kehidupan Islam yang kuat menganggap bahwa agama adalah kehidupan itu sendiri yang di dalamnya terdapat arahan-arahan dan nilai-nilai. Masalah celana di atas lutut adalah persoalan remeh temeh dalam Islam yang tak perlu menjadi perdebatan. Ia juga tidak menyukai tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan Islam apalagi sampai menganggap kelompok atau komunitas tertentu paling benar dan semua dianggap salah. Sebuah pertanyaan klasik yang masih belum terjawab dalam benaknya adalah mengenai hal-hal yang telah ditetapkan di Lauh Mahfudz. Ketika saya tanya
pandangannya mengenai hal-hal yang maktub di dunia ini ia hanya
memberikan jawaban, “Itu adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak
akan memuaskan siapapun.”3
Ben Sohib pernah menjadi peserta Literary Biennale. Literary Bienale adalah sebuah festival sastra yang diadakan oleh Komunitas Salihara dan Komunitas Utan Kayu. Acara yang digelar pada awal Oktober 2011 ini telah
memasuki tahun keenam dan pada waktu itu mengambil tema Klasik Nan
Asyik. Acara ini diisi tidak hanya oleh para sastrawan muda saja namun juga sastrawan-sastrawan senior yang namanya telah banyak dikenal orang seperti D. Zawawi Imron, Danarto, Joko Pinurbo, dan masih banyak lagi. Pada acara
tersebut Ben Sohib bersama A. Fuadi (penulis trilogi Negeri Lima Menara),
Hasan Al Banna, Okky Madasari, dan Syaiful Alim berkesempatan menjadi
narasumber yang membahas tema “Sastra dan Tradisi Islam”.4
B.
Karya-Karya Ben Sohib
Ben Sohib telah menelurkan tiga karya. Buku pertama dan keduanya merupakan novel dwilogi yang telah difilmkan pada tahun 2010 dengan judul
Tiga Hati Dua Dunia, Satu Cinta, sedangkan buku ketiganya adalah
3
Wawancara Pribadi dengan Ben Sohib, Jakarta, 19 April 2013. 4
Anonim, “Biografi Ben Sohib,” artikel diakses pada 29 Januari 2013 dari http://www.literarybiennale.salihara.org
(37)
kisah nyata dari tayangan Kick Andy. Berikut ini adalah deskripsi singkat dari karya-karya Ben Sohib.
1. The Da Peci Code: Misteri Tak Berbahaya di Balik Tradisi Berpeci yang diterbitkan oleh Ufuk Press pada tahun 2008. Novel best seller ini kemudian diterbitkan lagi oleh Bentang Pustaka pada tahun
2010 dengan judul Hikayat The Da Peci Code: Misteri Tak Berbahaya
di Balik Tradisi Berpeci.
2. Rosid dan Delia juga diterbitkan oleh Ufuk Press pada tahun yang sama dengan buku pertamanya. Kemudian diterbitkan ulang oleh
Bentang Pustaka tahun 2010 dengan judul Balada Rosid dan Delia.
Berbeda dengan buku sebelumnya, buku ini mempersoalkan masalah yang lebih pelik dari sekedar ‘peci putih’, yaitu pernikahan beda agama antara Rosid dan Delia.
3. Seven Heroes yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 2009. Sesuai dengan judulnya, buku ini mengulas tentang tujuh orang
pahlawan terbaik pilihan Kick Andy. Pahlawan yang berjuang dalam
kesunyian. Dalam kesederhanaan atau bahkan hidup kekurangan, mereka merelakan sebagian besar waktu, tenaga, dan hartanya demi
menolong orang lain.5
5
Anonim, “Detail Buku,” artikel diakses pada 29 Januari 2013 dari http://www.bukukita.com
(38)
30
A.
Unsur-Unsur Intrinsik Novel
The Da Peci Code
karya Ben
Sohib
1. Tema
Novel ini bertemakan kritik sosial. Sesuai dengan lima tingkatan tema menurut Shipley, tema tersebut terdapat pada tingkatan ketiga yaitu
manusia sebagai makhluk sosial (man as socius). Shipley menjelaskan,
kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
Ben Sohib melalui novelnya berusaha mengkritik kebiasaan masyarakat yang cenderung ortodoks, hanya mengikuti tradisi leluhur tanpa dilandasi pemikiran yang kritis. Hal utama yang dikritik oleh Ben Sohib adalah tradisi berpeci putih yang dianggap ajaran agama bagi sebuah komunitas padahal hal tersebut tidak lebih hanya sebuah tradisi warisan leluhur. Selain mengkritik peci putih Ben Sohib juga mengkritik kesederhanaan pemikiran-pemikiran umat Islam mengenai busana muslim dan penyelenggaraan maulid Nabi Muhammad Saw.
Umat Islam sering berpendapat bahwa baju koko dan sarung adalah busana yang tepat untuk mengerjakan ibadah, sampai-sampai berpikir bahwa itu adalah busana wajib hingga mereka menganggap busana yang lain itu tidak layak, padahal kita semua tahu baju koko dan sarung masing-masing berasal dari Cina dan India. Kemudian mengenai maulid Nabi yang dianggap bidah oleh sebagian orang, Ben Sohib menjawab masalah ini dengan cukup baik sehingga tidak menimbulkan pertanyaan bagi pembaca. Ia menjawabnya dengan sebuah dalil yaitu surat al-A’raf ayat
(39)
157. “...ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengagungkan Nabi
diantaranya surat al-A’raf ayat 157.”1
2. Alur
Ben Sohib menggunakan alur campuran dalam menuliskan ceritanya. Hal ini didapat setelah melakukan pembacaan novel tersebut dengan cermat. Kisah ini menggunakan alur campuran, yaitu dengan menceritakan keadaan tokoh utama, setelah itu barulah menceritakan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya keadaan tersebut. Tidak berhenti sampai di situ, ternyata masih ada peristiwa-peristiwa baru yang dialami tokoh untuk mencapai klimaks cerita dan berakhir dengan bahagia.
Kisah ini dimulai dengan menceritakan kondisi Rosid setelah terusir dari rumah dan penyebab pengusirannya oleh Mansur, sang ayah. Ia terlibat konflik hebat dengan Mansur (ayahnya) akibat usaha Rosid yang hendak menggugat tradisi peci putih yang telah diwariskan selama berabad-abad. Ketika itu Rosid mengalami kebingungan, ia berjalan tanpa arah tujuan. Perhatikan kutipan berikut. “Rosid termasuk salah satu diantara mereka. Ia mengayunkan kakinya. Rambutnya yang kribo terangguk-angguk mengikuti setiap gerak langkahnya. Tapi ia tidak sedang dalam rangka ikut menyemarakkan suasana jalan raya, melainkan baru saja
terusir dari rumahnya.”2
Selanjutnya dikisahkan pula keadaan Mansur dan istrinya Muzna setelah peristiwa pengusiran itu. Betapapun marahnya orangtua kepada anak, tetap saja kasih sayangnya tak pernah luntur. Setelah peristiwa pengusiran itu Mansur merasakan kesusahan dalam hatinya, hal itu terbaca oleh Muzna sang istri. “...Muzna menatap wajah lelap sang suami. Ia tahu suaminya sedang masygul. Kemarin ia terlibat pertengkaran hebat dengan
Rosid... Pertempuran itu berakhir dengan diusirnya Rosid dari rumah.”3
1
Ben Sohib, The Da Peci Code, (Jakarta: Ufuk, 2008), h. 282 2
Ibid., h. 4 3
(40)
Pada tahap pengenalan ini juga diceritakan mengenai Mahdi sahabat baik Rosid yang rumahnya sering dijadikan tempat menginap Rosid. Setelah pengusiran malam itu Rosid memutuskan untuk menginap di rumah Mahdi. Diceritakan pula tentang pekerjaan Mansur sang ayah, sebagai pedagang pakaian yang cukup sukses.
Ia masih menerka-nerka di manakah gerangan ia berada. Tapi ketika tangannya meraba-raba sesuatu di bawah kepalanya, ia sadar; ini pasti
rumah Mahdi.4
Mansur al-Gibran bangkit dari kursi untuk melayani seorang calon pembeli... Sebenarnya ia cukup puas dengan perkembangan usaha toko yang dimulainya sejak dua tahun lalu... Semakin hari toko
Mansur semakin ramai. Ia mensyukuri kehidupannya.5
Pada bagian selanjutnya digambarkan mengenai kehidupan Rosid yang ingin kuliah di IKJ namun dilarang oleh ayahnya, kegemaran Rosid ‘nongkrong’ di Taman Ismail Marzuki (TIM), sampai pertemuan dengan pujaan hatinya Delia. Dari titik inilah mulai dimunculkan konflik-konflik antara Rosid dengan dirinya, ayahnya, dan Delia. Perhatikan kutipan-kutipan berikut ini. Pada titik ini pula pengarang menceritakan latar belakang pengusiran Rosid dari rumah yang merupakan bentuk alur mundur.
Ia berjanji bertemu Delia di warung tenda langganan mereka di Taman Ismail Marzuki.
Jalan Cikini Raya merupakan area yang paling ia sukai. Ini ada sejarahnya sendiri. Dua tahun yang lalu, sewaktu baru lulus SMU, Rosid berkeinginan kuat untuk belajar sinematografi di Institut Kesenian Jakarta yang berlokasi di TIM. Tapi Mansur sama sekali tak
setuju. Ini membuat Rosid sangat kecewa.6
Bagi Rosid, Delia bukan sekedar nama. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Ini semua bermula dari sebuah perkenalan yang
mengguncang sukma.7
Selain memunculkan konflik antara Rosid dengan ayahnya terkait peci putih, pengarang juga menampilkan permasalahan Rosid dan Delia yang
4
Ibid., h. 32. 5
Ibid., h. 37. 6
Ibid., h. 47. 7
(41)
terkait dengan kepercayaan agama. Masalah inilah yang nantinya akan mendasari lanjutan novel dwilogi ini. “Jawaban atas pertanyaan ini dengan mudah dapat ditemukan Rosid pada kalung salib dari bahan
perunggu yang menggantung di leher Delia.”8
Kemudian pada bagian ketiga sampai kedua belas diceritakan bagaimana perjuangan Rosid mengungkap sejarah peci dan kaitannya dengan agama Yahudi dan Nasrani. Pada bagian tersebut juga diceritakan bagaimana Mansur (ayah Rosid) melakukan berbagai upaya untuk membuat Rosid mau mencukur rambut dan memakai peci putih lagi. Setidaknya atas nasihat Said, Mansur telah melakukan tiga cara untuk mengubah pendirian Rosid. Antara lain dengan mendatangi “orang pintar” atau dukun untuk mengubah pendirian Rosid.
Rosid menemukan jawaban mengenai sejarah peci dan kaitannya dengan agama Yahudi dan Nasrani dari seorang sejarawan yang senang mabuk bernama Anto. “Rosid terpukau mendengar uraian Anto tentang sejarah agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam, berikut busana dan
simbol-simbolnya.”9
Cerita mulai beranjak ke titik klimaks. Di tengah usaha Rosid mengungkap sejarah peci, Mansur sang ayah telah menyusun berbagai strategi untuk mengubah pendirian Rosid. Ia benar-benar kesal dengan sikap anaknya yang semakin berani melawannya. Namun semuanya sia-sia, hingga ia kehilangan kesabaran dan mengusir Rosid dari rumah. Di tengah keputusasaannya Said kembali mengajukan ide baru pada Mansur yang hanya ditanggapi dengan nada kepasrahan.
Said telah menceritakan tentang “orang pintar” yang hidup di kaki gunung di wilayah selatan. Orang pintar yang berasal dari Marga
al-Gibran itu konon bisa mengubah hati orang.10
“Tenang Sur. Ente musti tenang,” kata Said. “Ane kenal ame seorang ustadz, die masih mude tapi udeh hebat... Cocok buat ngadepin
8
Ibid., h. 57. 9
Ibid., h. 167. 10
(42)
anak mude yang udeh terpengaruh aliran baru. Ane yakin kalau anak
ente berdebat ame die, kagak bakalan bisa ape-ape.”11
Semakin lama pertengkaran menjadi semakin tak terkendali. Dalam hitungan menit, Mansur sudah melontarkan kata-kata pamungkasnya,
“pergi lu dari rumeh!”12
“Terserah elu deh, Id. Lakuin aje apa yang menurut lu bisa ngerobah
tu anak,” Mansur berkata dengan nada keputusasaan...13
Selanjutnya pengarang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah Rosid diusir dari rumah. Pada bagian inilah, novel ini mencapai titik klimaks. Kepasrahan Mansur menyerahkan perkara anaknya kepada Said ternyata berbuah malapetaka. Suatu malam ketika para pemuda termasuk Delia dan Mas Anto sebagai narasumber sedang diskusi di Sanggar Banjir Kiriman datang segerombolan masa yang menyerbu ke tempat itu, mereka memaksa membubarkan Sanggar Banjir Kiriman karena dinilai menyebarkan aliran sesat.
Satu per satu mereka menyalami Anto dan Delia. Anto duduk bersila menyandarkan punggungnya pada tembok. Delia ikut duduk bersila
disebelahnya.14
Namun tiba-tiba terdengar sebuah teriakan keras dari luar rumah. “Bubarkan!”
“Bubarkan sekarang juga!”
“Tak ada tempat untuk aliran sesat!”15
Pada saat itulah situasi berlangsung begitu ramai dan ricuh, pertarungan antarkubu tak terhindarkan hingga Rosid terpaksa mengevakuasi Delia dan Mas Anto ke tempat aman. Ketika Rosid kembali ke rumah Mahdi, keadaan telah kondusif karena para hansip melerai massa dan membawa ketua tiap kubu ke rumah Pak RW. “Sekembali ke
rumah Mahdi, keadaan sudah aman dan terkendali.”16 “Ternyata Rosid
dibawanya ke “kediaman resmi” Pak Haji Jazuli; ketua RW 08...”17
11
Ibid., h. 142. 12
Ibid., h. 200. 13
Ibid., h. 217. 14
Ibid., h. 236. 15
Ibid., h. 238. 16
Ibid., h. 259. 17
(43)
Di rumah Pak RW semua dipersilakan bicara. Pak RW yang bijaksana dengan tenang menasehati setiap pemimpin dari kelompok-kelompok yang menyerang rumah Mahdi. Tidak lama dalang dari kejadian ini tertangkap, Ia adalah Said, orang kepercayaan Mansur. Ia kemudian dibawa ke kantor polisi. Mansur yang mendapat kabar dari tetangganya segera menuju rumah Pak RW. Ia langsung memeluk putranya Rosid dan sempat memaki Said yang hendak dibawa hansip.
“Coba ceritakan bagaimana permulaannya?” tanya Pak RW kepada
Mahdi.18
“Kalau menurut kamu bagaimana permulaannya?” tanya Pak RW
kepada Lukman.19
Tiba-tiba dari luar ada seseorang yang berteriak, “Ini, provokatornya tertangkap!”
Said langsung didudukkan di hadapan Pak RW.20
“Selamet lu, Sid. Selamet,” kata Mansur terbata-bata. Rosid balas
memeluk dan mendudukkan sang ayah di sampingnya.21
Akibat peristiwa ini Rosid menjadi sadar betapa ayahnya menyayanginya, begitu pula Mansur yang menyadari kesalahannya dalam mendidik anak. Penyelesaian dari kisah ini adalah dengan penyadaran Rosid oleh ustaz Abu Hanif tentang pandangannya terkait peci putih dan juga tentang hubungannya dengan Delia. Di bagian akhir cerita Rosid yang tak mampu kehilangan Delia memilih untuk membiarkan hubungan keduanya mengalir saja seperti air. Pengarang juga menutup kisah ini dengan akhir yang lucu.
Ustadz Abu Hanif memulai nasihat panjangnya, “Sid, gue bukan mau ngadilin mane yang bener mane yang sale... Masalahnye bukan di situ tapi cara lu ngemukain pendapat... Gue pake sarung dan peci putih, ini cuman penanda... Same aje kalau ade orang pake belangkon pasti orang Jawa atau Sunda. Kalau ada orang pakai ulos itu berarti orang
Batak.22
18
Ibid., h. 263. 19
Ibid., h. 264. 20
Ibid., h. 267. 21
Ibid., h. 271. 22
(44)
“Nah sekarang gue mau ngomongin soal demenan lu, si Delia”, kata
Ustadz Abu Hanif setelah menarik nafas panjang.23
Ia ingin hubungannya dengan Delia tetap seperti dulu, mengalir
seperti sungai di dekat rumah Mahdi.24
Belum sempat ia mengecup kening Rosid, spontan ia menarik kepalanya sedikit ke belakang... Akhirnya sambil masih menutup mulutnya, Mansur bertanya, “Sid....” Bersin. “Lu besok....” Bersin
lagi. “Jadi cukur rambut?”25
Alur campuran yang digunakan pengarang dalam menceritakan kisahnya memberikan warna tersendiri pada novel ini. Pengarang tahu betul bagaimana mempermainkan pemikiran pembaca. Namun entah disengaja atau tidak, penanda alur campuran dalam novel ini sangat minim. Tanpa kecermatan dari pembaca tentu mereka akan menganggap novel ini menggunakan alur maju karena hubungan kausalitas antar bagian cerita seperti mengalir begitu saja, padahal ada sebuah bagian cerita yang dipisahkan dan diselipkan bagian cerita lain di tengahnya.
3. Latar
a) Latar Tempat
NO. Betawi Sunda Kota
1. Jln. Condet Raya Rumah “orang
pintar” di kaki gunung wilayah Sukabumi
Di atas Jembatan Ciliwung
Stasiun Kalibata
2. Rumah Rosid Kios Rokok
3. Kawasan Condet Jln Otista
4. Rumah Mahdi Dalam metromini
5. Gg. Haji Saabun Jln Cikini Raya
6. Jln H. Noin Taman Ismail
23
Ibid., h. 294. 24
Ibid., h. 315. 25
(45)
Marzuki
7. Toko di Mansur
Pusat Grosir Cililitan
Tenda Soto di TIM
8. Sanggar Banjir
Kiriman (rumah Mahdi)
Stasiun Cikini
9. Depan rumah
Mahdi
Tol Jagorawi
10. Depan Sanggar
Banjir Kiriman
Bakoel Koffie
11. Masjid As-Salam Rumah Mas Anto
di Jln Purworejo
12. Tempat
penampungan TKW
Jln Blora, Jln Thamrin, Bundaran HI, Jln Kebon Sirih, Jln Sabang, Jln Jaksa
13. Rumah RW 08
(Pak Haji Jazuli)
Sebuah cafe di Jln Jaksa
14. Masjid Al-Ikhlas
15. Warung Tenda di
Taman Ismail Marzuki
16. Jln Dewi Sartika
Total 131 8 79
Penggolongan latar tempat di atas berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat yang dominan dalam novel ini. Sehingga diperoleh tiga penggolongan yaitu Betawi, Sunda, dan Kota (budaya
(46)
metropolitan). Latar tempat dalam novel ini digambarkan begitu jelas. Ben Sohib sengaja membawa pembaca menikmati suasana daerah Condet, Cikini, atau stasiun Senen dengan tujuan membentuk imaji yang kuat pada benak pembaca mengenai masyarakat Betawi.
Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa latar tempat yang berbudaya Betawi paling banyak digunakan oleh Ben Sohib. Ia
menginginkan pembaca benar-benar menyelami kehidupan
masyarakat Betawi melalui latar tempat yang digunakannya karena latar tidak menunjukkan tempat saja namun menggambarkan juga kondisi sosial masyarakat pada daerah tersebut. Penggunaan latar tempat ini juga sedikit banyak membantu pemahaman pembaca terhadap isi cerita.
b) Latar Waktu
No.
Siang Malam
Pagi Siang Sore Petang/
Malam Tengah Malam Suara Adzan Subuh Jelang tengah hari
Jam 5 sore Senin, 07.46
malam Waktu Maghrib Larut malam Dingin udara pagi
Siang hari Sore
menjelang senja
Langit senja semakin tua
Pukul 23.08
Pagi hari Setelah
makan siang
Sore hari Makan
malam Jam 10 pagi Suara adzan Zuhur Sebelum Maghrib Malam
(47)
Pagi menjelang siang
Waktu Ashar
Malam berikutnya
Selasa, 04.52 sore
Malam ketiga Malam selepas Isya Pukul 20.11 Waktu Isya Selepas Isya Sabtu, 07.48 malam Langit malam
T
ot
al 11 9 10 22 5
30 27
Latar waktu yang paling banyak digunakan dalam novel ini adalah siang hari dengan perbedaan yang sangat sedikit dengan latar waktu malam hari. Sehingga dapat dikatakan latar waktu siang dan malam hari memiliki porsi yang hampir sama.
Melalui data ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan waktu siang hari menunjukkan cerita ini adalah cerita kehidupan sehari-hari karena di siang hari orang-orang paling banyak beraktifitas seperti, berdagang, memasak, kuliah dan lain-lain. Data ini juga dapat dijadikan petunjuk bahwa kritik yang disampaikan Ben Sohib adalah kritik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan pemilihan waktu malam hari menunjukkan bahwa kejadian-kejadian dalam cerita ini tidak berhenti setelah matahari terbenam. Bahkan klimaks dari cerita ini terjadi di malam hari. Kegiatan-kegiatan yang
(48)
berlangsung di malam hari dalam cerita ini misalnya, diskusi, “nongkrong” di kafe, latihan kasidah, atau sekedar makan malam.
Petunjuk tahun terjadinya peristiwa-peristiwa pada novel ini adalah tahun 2004 ke atas. Petunjuk ini diperoleh dari kutipan berikut. “Di sisi kanan halaman, di bawah rerimbunan pohon sawo, mobil Daihatsu
Zebra silver keluaran tahun 2004 milik Mansur terparkir di garasi.”26
Latar waktu berperan besar dalam mengungkapkan alur yang digunakan pengarang dalam novel ini. Petunjuk alur yang diperoleh melalui waktu yaitu pada penyebutan hari dan jam pada setiap awal sebuah peristiwa yang diceritakan dengan alur maju, sedangkan saat tidak disebutkan hari dan jamnya berarti cerita tersebut merupakan rangkaian arus balik atas cerita yang telah terjadi. Melalui latar waktu ini dapat disimpulkan pula bahwa pengarang ingin benar-benar menunjukkan kuatnya pengaruh Islam pada masyarakat dalam novel tersebut karena begitu seringnya menggunakan petunjuk waktu salat. Bukti pernyataan tersebut misalnya terdapat pada kutipan berikut. “Hingga masuklah waktu Isya. Ketika Mansur telah selesai
mendirikan salat berjamaah dengan istrinya...”27 “Gemuruh suara azan
Subuh dari ratusan masjid besar maupun kecil membelah langit
Condet.”28
4. Tokoh dan Penokohan
a. Rosid
Rosid adalah tokoh protagonis dan sekaligus menjadi tokoh utama dalam novel ini. Karakter yang ditampilkan Rosid dalam novel ini yaitu kritis, keras kepala, cerdas, rajin membaca, taat beragama Islam, dan bertanggung jawab. Perubahan karakter Rosid menunjukkan Rosid termasuk tokoh bulat.
26
Ibid., h. 15. 27
Ibid., h. 200. 28
(49)
b. Delia
Ia adalah gadis manis beragama Katolik yang menjadi pacar Rosid. Delia menjadi tokoh tritagonis karena perannya dalam menolong Rosid mencari jawaban atas misteri di balik peci putih. Gadis perokok yang gemar pergi ke kafe ini memiliki sifat sportif, menyukai tantangan, cerdas, lincah, dan sopan.
c. Abah (Mansur)
Pria ini adalah ayah Rosid, yang bisa dibilang memiliki peran antagonis karena kehendaknya berlawanan dengan tokoh utama. Karakternya keras kepala, kasar namun penyayang, mau menang sendiri, pantang disalahkan, tegas, dan royal. Sama dengan tokoh Rosid, tokoh ini termasuk ke dalam tokoh bulat karena di akhir cerita ia menyadari segala kekeliruannya.
d. Umi
Umi adalah sosok wanita Betawi lama pada umumnya. Ia penyabar, penyayang, pandai memasak dan mengaji, serta patuh pada suami. Benar-benar sosok yang sempurna bagi seorang istri dan ibu. Ia tak pernah berkata kasar ataupun membantah suaminya, sangat bertolak belakang dengan suaminya.
e. Mahdi
Ia adalah sahabat baik Rosid. Mahdi adalah seorang mahasiswa yang ceroboh, royal, terbuka, cerdas, dan sedikit pemarah. Ia juga berperan sebagai tokoh tritagonis yang mendampingi tokoh utama.
f. Said
Orang ini adalah tangan kanan Mansur (ayah Rosid). Ia memiliki akal yang cukup cerdas namun kecerdasannya itu hanya dimanfaatkan untuk memperdaya orang lain demi memperoleh uang. Ia menjadi orang yang bertanggung jawab atas kerusuhan di Sanggar Banjir Kiriman namun ia juga yang secara tidak langsung mendamaikan hubungan antara Rosid dengan ayahnya.
(1)
Latar Waktu
Siang Malam
Hlm Pagi Jml Siang Jml Sore Jml Petang/
Malam
Jml Tengah Malam
Jml
3 Senin,
07.46 malam
1
11 Suara
Adzan Subuh
1
17 Dingin
udara pagi
1
25 Malam
begitu sepi
1
30 Pagi
hari
1
32 Jam 10
pagi
1
35 Larut
malam 1
36 Pagi itu 1
37 Jelang
tengah hari
1
43 Siang
hari
1
54 Siang 1
(2)
sore
71 Sore
menjelan g senja
1
75 Langit
senja semakin tua
1
76 Makan
malam 1
81 Siang 1
82 Pagi 1 Malam 1
83 Setelah
makan siang
1
89 Siang
hari
1
101 Sore hari 1
102 Sebelum
Maghrib 1
103 Waktu
Ashar
1 Waktu
Maghrib 1
104 Makan
Malam 1
109 Jam 10 pagi
1
111 Pagi menjela ng siang
1
122 Sore itu.. 1
(3)
132 Malam berikutn ya
1
133 Malam
ketiga 1
139 Siang 1
147 Malam
selepas Isya
1
155 Pukul
20.11
1
168 Pukul
23.08
1
173 Udara
pagi
1
175 Malam
hari tiba 1
193 Pagi ini 1
194 Makan
siang 1
196 Suara
adzan Zuhur
1
200 Waktu
Isya
1
205 Selasa,
04.52 sore
1
212 Adzan
Maghrib 1
(4)
ini
214 Selepas
Isya
1
215 Larut
malam 1
221 Sore itu 1
226 Sore hari 1
228 Malam
itu
1
235 Sabtu,
07.48 malam
1
237 Langit
malam 1
263 Malam
itu, Sabtu malam
2
284 Larut
malam 1
289 Pagi itu 1
303 Sore itu 1
319 Malam
itu
1
Total 11 9 10 22 5
Total Latar Waktu Siang Hari 30 Total Latar Waktu Malam Hari
(5)
Lampiran 6: Foto Peneliti dengan Pengarang Novel The Da Peci Code
Ben Sohib
(6)
BIODATA PENULIS
Septian Cahyo Putro lahir di Jakarta, tanggal 9 bulan 9 tahun 91 (keren kan?). Pendidikan formal pertama adalah di TK Ketangi Purworejo, Jawa Tengah. Kemudian melanjutkan di SDN Mekar Pelita Hati Bekasi, Jawa Barat, lalu pada saat kelas 5 pindah ke SDN 011 Pondok Labu Jakarta Selatan. Selanjutnya di SMPN 96 Jakarta dan SMAN 66 Jakarta sampai tamat. Akhirnya diterima di UIN Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2009, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini berusaha mendapat beasiswa untuk melanjutkan program Magister dan Doktor.
Cita-cita terbesarnya adalah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Saat ini ia memiliki lembaga bimbingan belajar privat
Student Consultant (meski muridnya baru satu orang). Mudah-mudahan beberapa tahun lagi lembaga ini akan memiliki ratusan cabang di seluruh Indonesia. Aamiin.
Prinsip hidupnya adalah hidup itu jangan mengalir mengikuti arus, apa beda hidup dengan kotoran atau sampah kalau hanya mengalir mengikuti arus? Hidup harus memiliki tujuan dan berjuang untuk meraihnya. Semakin agung tujuannya, semakin keraslah perjuangannya. Satu lagi deh, paling penting adalah bermanfaat bagi orang lain. (e-mail: septiancahyoputro@gmail.com, kunjungi juga blog saya: halamantian.blogspot.com)